Demi mengakhiri kebingungan, Nilam pun memberanikan diri bertanya, “Kakak ini siapa?”
“Oh, aku Pay. Kamu Nilam, kan?” jawab Pay dengan nada bercanda.
Oh, Nilam itu namaku, ya? kata Nilam dalam hati. “Apa kita saling kenal sebelumnya?” tanya Nilam pada Kak Pay.
“Ha? Oh, kita belum kenalan, ya?” Kak Pay jadi merasa agak kikuk dengan situasi yang sangat formal ini. “Ya, sudah. Perkenalkan, aku Pay.”
Kak Pay menunjuk ke arah dadanya sendiri sambil tersenyum lebar. Tampaknya, Kak Pay ini sangat ramah. Nilam merasa bisa meminta banyak informasi darinya. “Ini di mana?” tanya Nilam lagi.
“Ini?” Kak Pay terhenyak mendengar pertanyaan Nilam yang semakin aneh. Dia mulai menyadari apa yang terjadi. “Ini di Gunung Penanggungan. Kamu enggak ingat?” tanyanya hati-hati pada Nilam.
“Pe-nang-gung-an?” eja Nilam sambil berusaha mengorek memori tentang kata yang diucapkannya.
“Iya. Ini gunung senasib sepenanggungan, sewelirang, dan searjuna!” cetus Kak Pay berusaha mencairkan suasana sambil menunjuk ke tanah tempat mereka berpijak, kemudian beralih ke arah Selatan.
Ada dua gunung di sebelah sana yang samar-samar tampak dari kejauhan. Penanggungan, Welirang, dan Arjuna memang tiga gunung yang letaknya berdekatan di daerah Jawa Timur. Sayang, Nilam hanya bisa terdiam. Dia sama sekali tidak menemukan petunjuk apa pun tentang tempat ini.
“Untuk apa aku di sini?” tanyanya lagi pada Kak Pay.
Kak Pay tampak syok dengan kenyataan yang sedang dihadapi. Dia sibuk mencari jawaban untuk Nilam. Setelah menata diri, Kak Pay mulai berusaha menjelaskan dengan tempo pelan-pelan dan mata melebar. Berharap Nilam bisa segera memahami dan teringat.
“Hem, kamu dan teman-temanmu saat ini sedang mengikuti diklat untuk diterima sebagai anggota baru di ekskul pencinta alam. Saya salah satu senior yang melatih kalian di sini,“ jawab Kak Pay. Binar matanya berubah menjadi penuh harap seraya bertanya, "Kamu ingat?”
Nilam menggeleng. Kak Pay pun menghela napas dalam-dalam. Dia benar-benar kebingungan apa tindakan yang harus diambilnya menghadapi kondisi tak terduga begini. Setelah berdeham berulang-ulang sambil berpikir, akhirnya Kak Pay memutuskan mengajak Nilam untuk beristirahat di tenda senior.
Nilam memasuki sebuah tenda regu dengan kapasitas sekitar 10 orang. Selain tenda ini, masih ada dua lagi tenda senior yang lain dengan ukuran lebih kecil. Kak Pay pun menceritakan secara singkat keadaan Nilam kepada para senior di situ dengan roman muka tegang.
“Amnesia?” Semua mata terbelalak, menoleh dan memandang iba pada Nilam.
Pancaran mata para senior laki-laki dibalut dengan rasa cemas, khawatir jika kejadian ini akan mencoreng nama ekskul pencinta alam. “Kok bisa sampai amnesia? Apa kita sejahat itu, ya?” Sekilas Nilam mendengar bisikan di antara mereka.
“Kamu ingat di mana rumahmu?” tanya Kak Adit. Nilam menerawang. Beberapa detik kemudian, dia menggeleng.
“Kita sebenarnya punya data alamatmu. Tapi, nanti kalau kita antar, terus kesasar, gimana? Kamu harus berusaha mengingatnya,” tutur Kak Adit lagi pada Nilam.
Kak Cindy datang mengingatkan. “Eh, jangan terlalu memaksa. Nilam pasti masih capek banget dengan segala kebingungannya ini. Kamu istirahat aja dulu, Lam. Sambil santai, coba ingat-ingat lagi. Apa pun yang muncul dalam pikiranmu, sampaikan aja ke kami. Siapa tahu, dengan begitu, kita bisa lebih membantumu,” ucapnya penuh bijak.
“Ini tuh, kaya kita pinjam disket ayahnya Nilam, terus enggak sengaja terformat. Kita jadinya cuma bisa balikin disketnya dalam keadaan kosong. Memorinya hilang semua!” kata Kak Adit dengan miris.
“Atau, seperti komputer yang hang! Masih hidup, tapi enggak bisa diapa-apain,” sahut Kak Catur sambil tertawa kecil.
“Eh, masa sih, hilang semua?” tanya Kak Pay penasaran, “Coba, coba. Nilam, ini bacanya apa?”
Ternyata, Nilam tetap bisa membaca dengan lancar. Kak Pay berseru lega, “Alhamdulillah. Lumayan, kita enggak harus ajari dia baca-tulis lagi, Bro!”
Lainnya hanya menanggapi dengan senyum tipis, gelengan, atau kening yang terus berkerut karena sedang berpikir keras.
“Gimana ini cara kita mempertanggungjawabkan keadaan Nilam ke orang tuanya?” tanya Kak Adit, meminta pendapat pada yang lain.
“Kita tetap harus menjelaskan apa adanya, sih,” cetus Kak Catur mengangguk-angguk seolah meyakinkan diri sendiri.
“Kita harus bisa mengembalikan ingatannya seperti sedia kala, dan itu biasanya enggak bisa cepat. Kita cuma punya beberapa hari sampai waktunya Nilam pulang,” jawab Kak Satya.
“Kalau di film-film sih, amnesia itu gara-gara habis terbentur sesuatu. Kamu merasa sakit di kepalamu, Lam? Di sebelah mana?” tanya Kak Catur.
Nilam berusaha lebih meningkatkan sensitivitas ujung-ujung saraf di kepala. Namun, dia kemudian menggeleng, karena memang tidak merasakan kesakitan yang berarti. Yang ada, dia jadi makin pusing karena memaksakan diri untuk terus berpikir.
“Kenapa kamu tanya sakitnya di mana? Kamu mau benturin lagi gitu, di bagian situ? Biar ingatannya kembali? Itu film banget!” kelakar Kak Pay sampai tertawa terbahak-bahak.
“Ya, kali aja, kan?” kata Kak Catur ragu-ragu sambil mengedikkan bahu, “Tapi, enggak mungkin juga, ya? Iya kalau pas. Kalau makin cedera, gimana?”
“Lah, itu kamu bisa mikir!” sahut Kak Pay dengan tawa makin keras seakan-akan sebuah kamuflase untuk menekan tingkat stres yang menusuk-nusuk benak.
Melihat teriknya sinar matahari yang makin memanjang masuk melalui celah tenda, Nilam terhentak tiba-tiba. “Eh, sekarang jam berapa, ya?”
“Ya, ampun! Kamu juga lupa waktu, Nilam?” tanya Kak Satya.
“He! Tanya jam itu bukan berarti lupa waktu. Tapi, karena enggak bawa arloji!” sergah Kak Catur di sebelahnya segera. Satya langsung menepuk jidat, menyadari kekonyolannya akibat terlanjur panik melihat kondisi Nilam.
“Sekarang jam 4 sore, Nilam. Memangnya, ada apa kamu menanyakan jam? Apakah kamu teringat sesuatu? Tentang janji kita, mungkin?” tanya Satya berusaha memperhalus suara. Ramai deh, teman-teman Satya menyoraki.
“Aku belum salat,” kata Nilam lirih. Semua senior yang berada di dalam tenda itu saling berpandangan.
“Dia masih ingat salat, lo!” celetuk salah satunya.
“Lah, kamu kenapa enggak salat? Amnesia, ya?” sahut yang lainnya.
Sesaat, tenda itu berubah menjadi agak gaduh karena penghuninya saling menimpali dengan bercanda. Namun, keramaian itu pun mereda seiring dengan kedatangan Nilam dari sungai terdekat usai berwudu. Setelah menanyakan arah kiblat, Nilam berdiri tegak dan mengangkat kedua telapak tangan setinggi bawah telinga, tanda memulai salat. Semua mata memandanginya dengan saksama dan keheranan.
“Masih ingat lo, caranya salat.”
“Bacaannya gimana, ya? Masih hafal, enggak?”
“Coba aja tanya!”
“Eh, dia lagi salat! Enggak bisa ditanyain!”
“Ya, kali. Kalau mau tahu, suruh aja dia baca keras-keras. Biar kita bisa periksa.”
“Ini lagi! Salat Zuhur sama Asar bacaannya enggak boleh keras!”
“Sstt!”
Mendengar ada yang memperingatkan, suara kasak-kusuk pun perlahan mereda. Begitu Nilam bangkit dari bersimpuh, segudang tanya sudah siap menanti di dalam mata para senior. Namun, setiap orang berusaha menahan diri. Mereka tidak ingin membuat Nilam kelabakan dengan situasi barunya. Karena itu, mereka memberi kesempatan bagi Nilam untuk mandi dan beristirahat. Sesungguhnya, banyak pula hal yang ingin diungkap Nilam. Namun, menyamankan pikiran adalah kebutuhan utamanya saat ini.
Saat tercerabut memori tentang semua yang semu
Mampukah aku untuk tetap mengingat-Mu?
Semoga menang ya, ceritanya unik, dan aku suka diksinya
Comment on chapter Amnesia