“Nilam, menurutmu, sebaiknya kami menceritakan tentang kondisimu ini kepada orang tuamu atau enggak?” tanya Kak Cindy.
Nilam berusaha berpikir dengan hati-hati. Dia tidak boleh memaksakan diri, agar tetap bisa menimbang dengan jernih. Kalau tidak, bisa-bisa rasa berat itu kembali menindih isi kepala sebelum Nilam sempat menemukan solusi.
Setelah beberapa saat, Nilam pun menjawab, “Mungkin sebaiknya enggak usah, Kak. Untuk malam ini, aku bisa beraksi diam dulu. Toh, aku memang kelelahan dan butuh banyak istirahat. Sepertinya, jika situasinya normal, aku bisa mendapatkan lagi ingatanku sedikit demi sedikit.”
Seluruh senior di dalam mobil itu mengangguk-angguk setuju, “Kamu punya waktu seharian besok untuk beristirahat. Semoga, saat masuk sekolah, semuanya sudah bisa seperti sedia kala, ya, Lam,” ucap Kak Cindy penuh harap. Nilam tersenyum manis mengaminkan.
Mobil Mercedez Benz berwarna hijau pucat keluaran tahun 80-an itu pun sampai di depan pagar rumah Nilam. Setelah berbasa-basi sebentar dengan kedua orang tua Nilam, para senior pun pamit pulang.
Nilam melalui malam itu dengan membersihkan diri dan makan apa pun yang dihidangkan oleh Bunda. Dia memilih tak terlalu banyak bicara, daripada salah nantinya. Bunda tampaknya memahami kondisi Nilam yang pasti letih setelah menghabiskan empat hari di tengah gunung.
***
Keesokan harinya adalah hari Minggu. Nilam menggunakannya untuk mempelajari isi rumah, para penghuni, dan tentu saja dirinya sendiri. Tidak terlalu sulit bagi Nilam untuk mengerti berapa anggota keluarganya, dan di mana letak tiap ruangan berada.
Meski tidak serta-merta pulih seluruhnya, Nilam semakin merasa akrab dengan isi kamarnya. Dia berusaha memahami seleranya berpakaian, pernik-pernik yang menunjukkan hobinya, serta yang lebih penting adalah seluruh pelajaran sekolah yang telah dilaluinya.
Untunglah, cukup mudah bagi Nilam menelaah kembali pelajaran-pelajaran itu. Nilam memiliki buku bacaan dan catatan yang lengkap. Bahkan, ternyata dia mempunyai agenda yang berisi rincian jadwal harian, mingguan, dan bulanan dalam setahun.
Seluruh aktivitas yang telah dijalani Nilam sebelumnya, tercatat rapi di sana. Setelah mengecek berkali-kali, Nilam memastikan tidak ada tugas yang terbengkalai. Semua sudah diselesaikan sebelum berangkat diklat. Aku anak rajin, rupanya, pikir Nilam dalam hati dengan geli.
Seharian itu, Nilam mengisi sisa waktu dengan belajar, agar lebih siap bersekolah besok. Dia tidak ingin ada keganjilan yang terlalu mencolok nanti. Bisa-bisa, Nilam lebih sulit sembuh jika direpotkan dengan segudang pertanyaan dan perhatian.
***
Waktunya masuk sekolah. Nilam masih ingat jalur angkot yang harus dinaikinya untuk berangkat dan pulang dari sekolah. Info tentang angkot ini didapatkan Nilam dari Kak Pay yang memberitahunya, begitu mengetahui di mana lokasi rumah Nilam.
Pelajaran pertama di sekolah dapat diikuti Nilam dengan ringan. Ibu Guru memanggil satu nama murid yang tertulis di daftar kehadiran agar maju ke depan, untuk menjawab soal nomor satu dari PR yang diberikan sebelum liburan.
“Aduh! Maaf, Bu. Saya amnesia ini, gara-gara libur seminggu. Lupa semua pelajaran, Bu!” seloroh murid yang memiliki nama itu. Tawa pun pecah menghiasi seisi ruang kelas. Lumayan sebagai penyegaran di hari pertama.
Alasan, deh. Aku yang amnesia aja bisa mengerjakan soal itu, cetus Nilam dalam hati sambil tertawa geli.
Bu Guru pun menawarkan pada siapa saja yang bersedia maju untuk menjawab. Tak ada telunjuk yang teracung. Tiba-tiba, terdengar celetukan dari kursi belakang, “Nilam aja, Bu! Biasanya dia rajin tuh, mengerjakan PR.”
Bu Guru pun mengundang Nilam untuk mengerjakan soal di papan tulis. Sejenak Nilam ragu. Namun, akhirnya Nilam pun menyalin jawaban yang sudah tertera di dalam buku tugasnya ke papan tulis. Ibu Guru mengangguk-angguk membenarkan jawaban Nilam.
“Cie …! Peringkat satu gitu, lo!” goda salah satu teman Nilam.
Nilam jadi tertegun. Ternyata, aku ini juara kelas, ya? bisik batinnya berdenting-denting.
***
Begitu bel jam istirahat pertama berbunyi, Nilam segera menghambur ke perpustakaan sekolah. Dia masih penasaran dengan apa yang dialaminya. Sebenarnya, aku ini kenapa? Bagaimana bisa terjadi? Mengapa ada hal-hal yang bisa aku ingat dengan cepat? Mungkinkah amnesiaku ini sembuh total?
Nilam mencari-cari buku yang bisa menjawab setumpuk pertanyaannya. Namun, dia tak menemukan satu pun. Dengan gontai, Nilam berjalan ke arah petugas perpustakaan dan bertanya, “Bu, saya tidak menemukan buku yang saya inginkan. Di mana ya, saya bisa mendapatkan koleksi buku yang lebih lengkap?”
Petugas perpustakaan yang masih muda itu mengangkat kepala, berpikir sejenak, kemudian melontarkan sebuah ide, “Oh, kamu bisa coba ke perpustakaan daerah.”
Beliau pun memberikan alamat dan jalur angkot yang menuju ke sana. Nilam sangat berterima kasih menerima selembar kertas berisi info berharga tersebut, seiring dengan suara bel tanda masuk berbunyi.
***
Pulang sekolah, Nilam langsung menuju ke tempat yang dimaksud. Benar saja. Perpustakaan daerah itu sangat besar. Gedung bertembok putih yang terdiri dari dua lantai dengan ruangan-ruangan yang luas. Di bagian lorong buku Psikologi, di antara rak-rak hitam yang tinggi, akhirnya Nilam menemukan beberapa buku yang membahas tentang amnesia.
Nilam segera mengambil duduk menghadap meja terdekat. Netranya mulai melahap berderet-deret tulisan yang tertera di dalamnya. Cukup melelahkan, tetapi puas. Jika bukan karena diingatkan petugas yang menjaga perpustakaan ini, Nilam tentu enggan beranjak dari tempat duduk.
***
Karena keterbatasan waktu, Nilam tak sempat mengurus kartu anggota agar bisa meminjam buku-buku itu dan membawa pulang. Di dalam angkot yang mengantarkannya ke rumah, Nilam mengulang-ulang di dalam hati kesimpulan dari bacaan yang baru dinikmatinya tadi.
Nilam berbicara dengan dirinya sendiri di dalam hati, Ternyata, amnesia itu bermacam-macam, ya. Ada yang bersifat sementara, dan ada yang permanen. Ada yang berlangsung secara perlahan, ada yang tiba-tiba. Sepertinya, yang kualami ini bersifat tiba-tiba namun sementara. Itu yang namanya … apa tadi?
Buru-buru Nilam mencari agendanya tempat mencatat beberapa poin penting tentang buku yang dibaca tadi dan mulai mengeja, Transient Global Amnesia alias TGA. Apa benar ini yang kualami?
Beberapa detik pandangan Nilam hanya terpaku pada tiga huruf singkatan dari nama penyakitnya. Hingga kemudian, dia beralih pada bagan lain yang dibuatnya, Penyebab amnesia juga bisa banyak hal, tidak hanya karena benturan di kepala. Bisa juga karena kejang atau adanya penyumbatan singkat pada pembuluh darah yang memasok ke otak, akibat terlalu sering melakukan aktivitas berat.
Nilam mengambil napas dalam-dalam. Anoksia, itukah yang kualami waktu itu? Kadar oksigen yang terlalu sedikit di dalam tubuh, sehingga dapat memengaruhi seluruh otak dan menyebabkan hilangnya memori?
Nilam merasakan denyut-denyut halus menggeliat dari dalam sisi dahi. Setelah agak mereda, Nilam melanjutkan berpikir, Berarti, anoksia yang kualami enggak sampai menyebabkan kerusakan otak. Karena itulah, amnesia yang terjadi padaku cuma bersifat sementara. Uh, semoga.
Nilam menutup mata sejenak sambil mengembuskan napas pelan-pelan. Tapi, aku sekarang lega. Karena, dalam kebanyakan kasus, amnesia umumnya sembuh sendiri seiring waktu. Syukur, deh. Aku jadi enggak perlu membenturkan kepala untuk mendapatkan ingatanku lagi, batin Nilam sambil menahan tawa.
Semoga menang ya, ceritanya unik, dan aku suka diksinya
Comment on chapter Amnesia