Loading...
Logo TinLit
Read Story - Diary Ingin Cerita
MENU
About Us  

“Ayo! Kalian buat tenda masing-masing dari poncho!” seru Kak Adit dari kejauhan di tengah deru jarum-jarum hujan yang menusuk bumi dengan cepat. Jas hujan model poncho yang sedang dipakai oleh para peserta diklat itu, sekarang harus mereka lepas untuk dijadikan tenda? Ya, ampun!

Nilam bukannya tidak tahu fungsi lain dari jas hujan poncho ini. Jas hujan yang hanya terdiri dari satu lembar persegi panjang dengan lubang di tengah tempat kepala masuk. Sebelumnya, para senior sudah mengajarkan caranya membuat tenda dari poncho. 

Cukup dengan mengikat lubang di tengah agar tertutup rapat, menyampirkan jas hujan ini di atas tali yang terbentang seperti menjemur pakaian, kemudian keempat ujungnya dikaitkan pada pasak. Bagian bawah “jemuran poncho” pun siap digunakan sebagai tempat berlindung.

Namun, malam sedemikian kelam. Mata minus Nilam sudah sangat kesulitan mengenali benda-benda di sekelilingnya. Kacamatanya semakin tebal dilapisi guyuran hujan yang menumpuk. Hawa dingin di tengah tubuh gunung terus saja memaksa Nilam untuk tetap menggigil. Tidak ada lagi kesibukan yang bisa dilakukan Nilam selain itu.

“Cari dua pohon untuk memasang tali! Cari empat batu besar untuk pasak! Cepat! Cepat! Cepat!” instruksi Kak Adit kembali menggaung. Seharusnya, itu cukup membantu Nilam untuk tahu langkah praktis apa yang bisa diambilnya. Namun, ia sudah sangat kelelahan.

“Di mana pohon? Apanya yang batu besar? Batu-batu ini memeluk tanah dengan erat! Bagaimana aku bisa mengangkat dan memindahkannya ke dekat pohon?” Nilam semakin kacau pikirannya. Ia hanya bisa berharap pada teman di dekatnya yang terkenal baik hati.

“Putu, bantu aku, ya. Buatkan tenda untukku. Aku sudah tidak kuat lagi,” ucap Nilam terpatah-patah dengan bibir yang terus bergetar di suhu rendah. Nilam bahkan tak tahu mana yang lebih baik, berdiri menggigil atau duduk di tanah yang bisa berisi apa saja di atasnya. Mata Nilam tak mampu menjangkaunya. Kulit Nilam sudah mati rasa untuk meraba permukaannya.

Wajah letih Putu baru saja lega melihat tendanya berdiri. Mendadak ia kembali gusar melihat kondisi Nilam yang sangat memprihatinkan. Tak mungkin ia egois dan berharap bisa beristirahat dengan tenang, jika melihat temannya masih kesusahan seperti itu.

Nilam menyerahkan poncho dan tali rafianya ke Putu. Ia semakin kedinginan kini tanpa jas hujan. Putu kelabakan. Segera dimintanya Nilam untuk berteduh dulu di dalam tendanya, “Kamu masuk sini biar enggak kedinginan!”

Nilam hanya bisa mengangguk lemah. Dicobanya melangkahkan kaki mendekati tenda Putu yang cuma sejauh satu meter dari tempatnya berdiri. Putu pun segera mencari lokasi yang baik untuk mendirikan tenda Nilam. Begitu selesai, Putu bergegas menemui Nilam untuk memberitahunya.

Apa mau dikata, ternyata tenda Putu kosong! Tak ada Nilam di sana. Putu kebingungan mencari Nilam. Namun, dia segera mendapatkan jawabannya. Rupanya, Nilam belum sempat beranjak dari tempatnya semula. Ia tersandung batu besar saat melangkah, dan jatuh tertidur. Nilam benar-benar tak sanggup lagi melawan rasa lelah yang menyerang sekujur tubuhnya.

“Lam, bangun! Tendamu sudah jadi. Kamu tidur di sana aja,” ucap Putu setengah berbisik sambil mengguncang-guncangkan lengan Nilam. 

Sejenak, Nilam sedikit membuka matanya. Pikirannya masih antara sadar dan tidak sadar, “Ha? Tenda? Di mana?” tanyanya dalam pandangan yang sangat kabur dan remang-remang.

“Itu, di sana, tuh! Dua pohon dekat sini,” tunjuk Putu ke arah di depannya, “Kelihatan kan, dari sini? Segera masuk! Sebelum ketahuan senior,” bisik Putu sungguh-sungguh. Nilam hanya mengangguk tanpa makna.

“Ayo, semua masuk ke tendanya masing-masing! Jangan ada lagi yang berkeliaran! Waktu istirahat kalian hanya sedikit. Gunakan sebaik-baiknya!” teriakan Kak Adit lagi-lagi terdengar. 

Dari tempat Putu berada, tampak Kak Adit sibuk menghitung jumlah tenda yang berdiri dengan teliti dan berulang-ulang. Perlahan namun pasti, pemilik suara itu menangkap sosok Putu yang masih berdiri di dekat tenda. Putu jadi panik dibuatnya.

“Kamu kenapa belum masuk tenda juga? Ayo, tidur!” perintah Kak Adit yang tak dapat dibantah dengan alasan apa pun. Putu pun segera masuk tenda dan berbaring di dalamnya. Diam-diam, dia berusaha mencuri dengar, khawatir Nilam juga mendapat hardikan yang sama.

Anehnya, Kak Adit berlalu begitu saja melintasi Nilam yang kembali meringkuk tak sadarkan diri. Tempat Nilam terbaring memang sangat gelap. Tidak mudah mengenali kehadiran Nilam di situ dengan pandangan sepintas lalu.

***

Azan Subuh yang dikumandangkan Kak Satya membangunkan para peserta diklat. Putu terkejut sekali melihat Nilam yang masih tertidur begitu saja di atas tanah. Kembali diguncang-guncangkannya bahu Nilam, “Lam, bangun!” panggil Putu agak keras.

Nilam merasa asing dengan situasi di sekitarnya. Pohon-pohon yang rapat menjulang, seolah berebutan mencapai langit lebih dulu. Dia bahkan tidak tahu siapa yang sedang berdiri di hadapannya, Aku di mana? Orang ini sedang berbicara dengan siapa?

“Nilam, Sudah subuh, tuh. Kamu salat dulu,” kata Putu mengingatkan. Nilam tertegun beberapa saat mendengar Putu kembali mengajaknya mengobrol.

Nilam? Siapa? Subuh? Oh, tidak! Aku harus salat! 

Nilam bergegas bangun. Setelah bingung beberapa saat melemparkan pandangannya ke kanan dan kiri, Nilam pun menggeledah isi ransel, mencari air untuk berwudu. Nilam merapikan posisi topi balaclava rajut merahnya agar tidak menyembulkan sehelai pun rambutnya. Dia mulai menegakkan salat dua rakaat dalam balutan pakaian medan lengkap dengan sepatu gunungnya.

Langit sudah lebih terang. Semburat merah perlahan mulai sirna. Namun, udara dingin masih saja enggan beranjak. Sambil gemetar, Nilam berusaha mengikuti gerak-gerik para peserta diklat di kelompok lain yang sedang menyiapkan sarapan. Nilam terus saja bertanya-tanya dalam hati.

Mengapa aku berada di tempat seperti ini? Penuh pohon tinggi, jalanan sempit menanjak, udara dingin, banyak orang … Untuk apa mereka berkumpul?

Nilam bahkan tak ingat seperti apa rasa mi instan dan susu panas yang sambil lalu masuk melewati kerongkongan.

***

Matahari semakin meninggi. Sinarnya lamat-lamat menghangatkan tubuh Nilam. Rombongan ini terus saja berjalan beriringan. Menyusuri pinggang gunung yang entah kapan sampai ke puncaknya.  Nilam merasa payah sekali. Semakin lama, semakin banyak teman-teman lain yang menyalip Nilam dan berjalan di depannya.

Ah, sebenarnya mereka ini akan ke mana? Mengapa aku harus mengikuti mereka? Tapi, aku juga tak tahu jalan pulang, bisik hati Nilam sambil sesekali menoleh ke kanan dan ke kiri. 

Daerah ini lebih lapang dari sebelumnya. Sengat mentari jadi terasa menyilaukan di mata Nilam. Sambil memicingkan matanya, Nilam membuang pandangan ke arah belakang. Ia sudah menjadi yang paling akhir kini. Di belakangnya, hanya ada beberapa senior yang segera berlalu melewati Nilam. Tiba-tiba, Nilam jatuh terduduk karena kelelahan.

“Eh? Kenapa, nih? Pay, kamu yang urus, ya!” teriak seorang senior berbadan tinggi besar, sedikit tambun, berkacamata, dengan rambut berombak yang panjangnya agak melewati kerah jaket.

“Ya!” sahut senior yang disebut Pay itu segera dari arah belakang Nilam. Dia berjalan sedikit di depan Nilam, kemudian berhenti sejenak sambil menoleh, “Ayo, jalan! Jangan berhenti di sini. Kamu bakal gampang capek kalau keseringan berhenti. Perjalanan kita masih jauh.”

Pandangan Nilam sangat kabur. Dia tidak mampu melihat apa pun di hadapannya. Putih, semuanya putih. Melihat Nilam yang hanya duduk bengong, Kak Pay berkali-kali mengibaskan telapak tangannya di depan mata Nilam. Tidak ada respon. Sepasang mata itu tetap menatap gamang ke arah yang tak jelas. 

Kak Pay menghentikan aksinya. Kemudian, dengan serta-merta, secepat kilat ia mengarahkan tinjunya ke depan muka Nilam. Reflek kedua mata Nilam berkedip. Kak Pay pun tertawa. “Kaget, kan? Sudah, ah! Yuk, jalan lagi!” ajak Kak Pay. 

Nilam memandangi wajah Kak Pay dengan saksama. Dia masih saja keheranan. Siapa orang ini? Kenapa aku bersama dia di sini? Nilam terus mencecar diri dengan berjuta pertanyaan yang tidak dia ketahui jawabannya.

 

Otak itu memang ajaib

Ia menghibur diri dengan cara membuat memori raib.

How do you feel about this chapter?

0 0 2 0 0 0
Submit A Comment
Comments (2)
  • dewaseduh

    Semoga menang ya, ceritanya unik, dan aku suka diksinya

    Comment on chapter Amnesia
  • suciasdhan

    Keren banget, semoga menang, ya😍

    Comment on chapter Amnesia
Similar Tags
Surprise! A Hectic Booster Vaccination Morning!
215      155     0     
True Story
Have you ever wondered what could go wrong when you are getting your vaccination? Well, here's one uneventful story that happened to me, which is just borderline funny.
Aku Benci Hujan
7380      1945     1     
Romance
“Sebuah novel tentang scleroderma, salah satu penyakit autoimun yang menyerang lebih banyak perempuan ketimbang laki-laki.” Penyakit yang dialami Kanaya bukan hanya mengubah fisiknya, tetapi juga hati dan pikirannya, serta pandangan orang-orang di sekitarnya. Dia dijauhi teman-temannya karena merasa jijik dan takut tertular. Dia kehilangan cinta pertamanya karena tak cantik lagi. Dia harus...
Wilted Flower
346      264     3     
Romance
Antara luka, salah paham, dan kehilangan yang sunyi, seorang gadis remaja bernama Adhira berjuang memahami arti persahabatan, cinta, dan menerima dirinya yang sebenarnya. Memiliki latar belakang keluarga miskin dengan ayah penjudi menjadikan Adhira berjuang keras untuk pendidikannya. Di sisi lain, pertemuannya dengan Bimantara membawa sesuatu hal yang tidak pernah dia kira terjadi di hidupnya...
Untitled
507      290     0     
Romance
This story has deleted.
MALAM TANPA PAGI
523      390     0     
Short Story
Pernahkah kalian membayangkan bertemu malam tanpa pagi yang menyapa? Apakah itu hal yang buruk atau mungkin hal yang baik? Seperti halnya anak kucing dan manusia yang menjalani hidup dengan langkah yang berat. Mereka tak tahu bagaimana kehidupannya esok. Namun, mereka akan menemukan tempat yang pantas bagi mereka. Itu pasti!
Sahara
22917      3472     6     
Romance
Bagi Yura, mimpi adalah angan yang cuman buang-buang waktu. Untuk apa punya mimpi kalau yang menang cuman orang-orang yang berbakat? Bagi Hara, mimpi adalah sesuatu yang membuatnya semangat tiap hari. Nggak peduli sebanyak apapun dia kalah, yang penting dia harus terus berlatih dan semangat. Dia percaya, bahwa usaha gak pernah menghianati hasil. Buktinya, meski tubuh dia pendek, dia dapat menja...
Sepotong Hati Untuk Eldara
1649      775     7     
Romance
Masalah keluarga membuat Dara seperti memiliki kepribadian yang berbeda antara di rumah dan di sekolah, belum lagi aib besar dan rasa traumanya yang membuatnya takut dengan kata 'jatuh cinta' karena dari kata awalnya saja 'jatuh' menurutnya tidak ada yang indah dari dua kata 'jatuh cinta itu' Eldara Klarisa, mungkin semua orang percaya kalo Eldara Klarisa adalah anak yang paling bahagia dan ...
JANJI 25
48      41     0     
Romance
Pernahkah kamu jatuh cinta begitu dalam pada seseorang di usia yang terlalu muda, lalu percaya bahwa dia akan tetap jadi rumah hingga akhir? Nadia percaya. Tapi waktu, jarak, dan kesalahpahaman mengubah segalanya. Bertahun-tahun setelahnya, di usia dua puluh lima, usia yang dulu mereka sepakati sebagai batas harap. Nadia menatap kembali semua kenangan yang pernah ia simpan rapi. Sebuah ...
Bukan Pemeran Utama
43      42     0     
Inspirational
Mina, Math, dan Bas sudah bersahabat selama 12 tahun. Ketiganya tumbuh di taman kanak-kanak, sekolah dasar, hingga sekolah menengah yang sama. Dalam perjalanan persahabatan itu, mereka juga menemukan hobi yang mirip, yakni menonton film. Jika Bas hanya menonton film di sela waktu luang saat ia tak sibuk dengan latihannya sebagai atlet lari , maka kegandrungan Math terhadap film sudah berubah m...
Untuk Navi
1180      654     2     
Romance
Ada sesuatu yang tidak pernah Navi dapatkan selain dari Raga. Dan ada banyak hal yang Raga dapatkan dari Navi. Navi tidak kenal siapa Raga. Tapi, Raga tahu siapa Navi. Raga selalu bilang bahwa, "Navi menyenangkan dan menenangkan." *** Sebuah rasa yang tercipta dari raga. Kisah di mana seorang remaja menempatkan cintanya dengan tepat. Raga tidak pernah menyesal jatuh cinta den...