Keesokan harinya aku bangun pagi dan belajar sebentar untuk mengulas beberapa materi ujian yang sudah ku pelajari tadi malam. Aku segera mandi dan bersiap-siap untuk berangkat ke sekolah. Aku mengambil sarapan ku dan berpamitan dengan Mama. Dalam perjalanan aku melihat langit yang cerah dan udara segar menyambutku dengan kicauan burung yang mengisyaratkan untuk segera menyelesaikan hari ini. Tidak lama aku sampai di sekolah dengan sangat bersemangat karena ini adalah hari terakhir ujian minggu ini. Ujian juga akan dilanjut besok senin dan selasa sebagai akhir dari UAS. Aku benar-benar sangat bersemangat. Aku bergegas menuju kelas, melihat lapangan basket yang ku lewati dan beberapa anak-anak sedang asik belajar membuat ku ingin cepat ke kelas. Tiba-tiba suara yang gaduh datang dari belakang,
“Apa sih Yaa, kau ni . . .,” kata Yuna.
“Apa sihh? orang enggak ngapa-ngapain!” kata Tya.
Aku pun segera menengok ke belakang.
“Hei, kenapa sih pagi-pagi dah berisik?” kata ku yang masih berdiri di samping lapangan basket.
“Tau ah, Tya nih jail mulu,” kata Yuna.
“Udah sini-sini, yuk buruan ke kelas!” kata ku sambil merangkul Tya dan Yuna.
Dari kejauhan aku sudah melihat Mila yang sedang belajar di depan kelas dengan sangat senang Yuna dan Tya berlari ke arah Mila yang membuat Mila kaget hingga matanya melotot.
“Dasaarrr . . ., kalian,” kata Mila dengan kesal.
“Cie . . . kaget yaa?” kata Yuna.
“Kau ni, belajar mulu deh!” kata Tya.
“Hei, Mil,” kata ku dari belakang Yuna dan Tya.
“Hei Han, kasih tau tuh anak-anak lo, suruh jangan kagetin gue, kalau jantung gue berhenti di detik terakhir bisa gawat. Belum juga selesai ujian, dasar kalian!” kata Mila mendekati Yuna dan Tya sambil menggelitik mereka.
Mereka pun akhirnya tertawa bersama dan saling melontarkan candaan setelah omelan Mila yang dari A-Z keluar pagi itu. Aku sungguh bahagia melihat mereka begitu senang pagi itu. Tidak lama bel pun berbunyi dan kami saling memberikan semangat dan masuk ke kelas masing-masing.
Hal aneh terjadi saat pertengahan ujian, di tengah keriwehan anak-anak mencari jawaban. Kak Sarah yang duduk di samping ku terlihat senyum-senyum sendiri, bahkan sampai menundukkan kepalanya dan aku mendengar perkataan yang membuat ku tidak fokus, bahkan hati ku serasa sesak.
“Jerry-jerry,” kata Kak Sarah sambil tertawa bahagia.
Aku pun sempat tidak menghiraukan apa yang Kak Sarah katakan dan kembali fokus dengan pertanyaan yang belum selesai ku kerjakan. Tidak lama, karena waktu berjalan begitu cepat bel tanda ujian selesai pun terdengar. Semua murid segera mengumpulkan jawaban ke depan. Namun semakin lama semakin mengganggu pikiran ku dengan apa yang di katakan Kak Sarah tadi. Akupun dengan tidak sengaja langsung mengarahkan wajah ku ke Kak Sarah.
“Kenapa, lihat-lihat?” kata Kak Sarah judes.
“Tadi, sepertinya gue dengar kalau Kakak sebut nama Kak Jerry,” tanya ku.
“Emang kenapa? makanya dijaga kalau punya cowok!” kata Kak Sarah dengan keras.
“Bercanda Han . . .,” imbuhnya dengan tertawa.
Aku hanya terdiam, mencerna perkataan Kak Sarah yang begitu menyakiti perasaan ku, serta melihat semua orang yang sudah melihat ke arah suara keras itu datang. Untung nya ujian sudah selesai dan aku bergegas keluar tanpa menunggu Tya dan Yuna.
“Wah . . . marah tuh anak,” kata Kak Sarah.
“Brak… (suara meja), apa lo bilang? Lo apain Hanna Hah!” kata Yuna yang emosi setelah mendengar ucapan Kak Sarah yang membuat semua anak di kelas menoleh ke arah mereka.
“Heii Na, udah . . . di lihatin semua orang lho ini!” kata Tya yang berada dibelakangnya sambil menarik tangan Yuna.
“Resek nih, mentang-mentang Kakak Kelas!” kata Yuna sembari kembali ke mejanya untuk membereskan tasnya.
Semua anak pun mencoba meredakan suasana dengan menyuruh Yuna untuk tidak terpancing emosi.
“Emang kenapa? Hanna aja kegatelan sama cowok lain!” kata Kak Sarah dengan keras dan emosi.
“Hah, apa kegatelan?” kata Yuna kembali menatap sadis Kak Sarah.
“Iya emang, temen lo tuh cewek gatel!” kata Kak Sarah sambil mengejek.
“Wahh . . . brengsek ni cewek!” kata Yuna sambil menarik baju Kak Sarah.
“Lo berani sama gue?” kata Kak Sarah sambil menarik rambut Yuna dan membawa Yuna keluar kelas.
“Gubrak . . . (suara tubuh Yuna yang di dorong Kak Sarah ke depan dan membentur pintu)”.
Depan kelas pun semakin gaduh dengan teriakan Yuna dan Kak Sarah yang dimana Tya berusaha untuk memisah kan mereka.
“Hei, kawan stop ah! come on!” kata Tya sambil merajuk.
Namun perkataan Tya tidak di dengar oleh mereka berdua karena sudah tersulut emosi.
Semua murid dari kelas lain pun keluar mendengar suara kegaduhan itu, hingga Hugo ketua kelas kami pun memisahkan mereka yang berlari dari kejauhan. Aku yang melihatnya sangat terkejut dan segera menghampiri mereka.
“Hei . . ., Yuna apa-apaan sih?” kata ku sambil memegang tangan Yuna yang dimana tangan ku sendiri gemetar melihat apa yang sudah terjadi.
“Diam aja lo, dia ngatain lo kegatelan emang gue enggak emosi apa?” kata Yuna yang masih memegang baju Kak Sarah.
“Dasar, adik kelas berani-berani sama Kakak kelas!” kata Kak Sarah yang sudah sangat emosi.
“Makanya, lo jangan asal ngomong” kata Yuna.
“Udahlah, Yuna!” kata ku sambil menangis.
“Iya udah Yun, lo enggak malu di lihatin semua orang nih?” kata Hugo sambil menarik tangan Yuna. Semua murid pun keluar yang dimana Alex juga melihat kejadian itu. Dengan tidak di duga Alex menarik tangan ku
“Udah Han jangan nangis, sebaiknya lo minggir!” kata Alex dengan wajah yang serius.
Mila yang tidak bisa melakukan apapun segera menarik ku dan menangkan ku. Alex dan Hugo serta anak-anak lain berusaha memisahkan mereka dan mencoba berbicara pada Yuna yang sudah mulai kesakitan dan mulai mengeluarkan air mata karena Kak Sarah yang terlihat begitu serius menarik rambutnya.
Tidak lama Kak Jerry pun datang, dia dan teman-temannya, terlihat begitu berkuasa hingga semua orang memberikan jalan padanya.
“Udah Sar, berhenti!” katanya sambil memegang tangan Kak Sarah yang masih berada di rambut Yuna. Kak Sarah pun menoleh dan melepaskannya sambil menangis.
Yang paling mengejutkan adalah Kak Sarah memeluk Kak Jerry di depan mata ku dan Kak Jerry langsung membawa Kak Sarah pergi. Aku yang melihatnya hanya bisa menangis, Kak Jerry pergi tanpa menanyaiku, tanpa melihat ke arahku, tanpa menyapa dan tanpa menanyakan apakah aku baik-baik saja. Hingga suara itu lagi-lagi membuat ku goyah,
“Lo enggak apa-apakan?” tanya Alex.
“Gue, enggak apa-apa kok,” kata ku.
“Dasar kurang ajar si Jerry!” kata Mila sambil memegang tangan ku yang masih gemetar.
“Na, lo enggak apa-apakan?” tanya Hugo.
“Santai Go, Gue enggak selemah itu!” kata Yuna.
“Terus, kenapa loe nangis gitu?” tanya Tya.
“Ohhh ini, mata Gue pedes!” jawab Yuna sambil tertawa.
“Wah, Gila sih lo!” kata Hugo.
“Na, lo enggak apa-apakan?” tanya Mila.
“Enggak Mil santai!” jawab Yuna.
“Yuna . . .,” kata ku sambil menangis.
una pun segera memeluk ku dengan erat.
“Maafin gue ya Na?” kata ku.
“Santai Han, emang gitu kan gunanya punya sahabat!” kata Yuna sambil menghapus air mata ku.
“Gue sayang sama kalian . . .,” kata ku dengan suara yang lemas.
Kami pun berpelukan bersama dengan dilihat oleh semua orang yang begitu kagum melihat persahabatan kami.
Tidak lama ujian terakhir untuk minggu ini pun di mulai dan Kak Sarah terlihat diam saja. Dia juga tidak seperti biasanya, cepat-cepat mengerjakan dan keluar dengan tergesa-gesa. Aku yang melihat nya hanya terdiam dan membiarkan ulah Kakak Kelas yang satu itu yang sudah membuat sahabat ku terluka untuk membelaku. Sial, bahkan aku tidak bisa membela diriku sendiri hanya membiarkan orang lain membela ku. Lain kali aku enggak boleh begitu, kata ku dalam hati. Tidak lama kami pun keluar karena ujian sudah selesai dan mendapatkan pengumuman bahwa ujian akan diadakan hari Senin saja. Aku semakin senang, karena ujian tidak jadi 2 hari.
Kami pun segera menuju parkiran, dalam perjalanan aku masih melihat Yuna yang bisa-bisanya tertawa dengan kejadian yang dia lakukan hanya untuk membelaku. Aku benar- benar merasa bersalah padanya,
“Hei Han, sampai dirumah lo harus istirahat ya!” kata Yuna dengan senyuman.
“Iya Na, thanks ya . . .,” kata ku.
“Iya Han, lo segera istirahat kalau sudah sampai,” kata Tya.
“Thanks, ya,” kata ku dengan senyuman kecil.
Mila tidak bisa mengatakan apapun dia hanya merangkul ku dan mengelus tangan ku yang masih terasa bergetar. Sesampainya di parkiran aku melihat Kak Jerry dan beberapa temannya,
“Tuh Jerr, si Hanna!” kata salah satu temannya dengan keras hingga terdengar dari jauh. Akupun memegang erat tangan Mila dan dengan tidak terduga Tya dan Yuna menghampiri Kak Jerry yang sudah berjalan ke arah ku.
“Heii, stop lo mau ngapain lagi?” kata Yuna.
“Bentar aja, gue mau ketemu Hanna!” kata Kak Jerry.
Yuna pun menoleh ke arah ku dan aku menoleh ke arah Mila dan Mila pun berbisik
“Sudah temui saja dulu gue tunggu sini, lo harus hargain dia masih pacar lo!”kata Mila pelan.
Aku pun segera menghampiri Kak Jerry dan kami berbicara di dekat parkiran dengan di jaga beberapa teman dari Kak Jerry dan Mila, Yuna serta Tya yang melihat dari jauh.
“Han, sorry ya? tadi aku enggak nglihat kamu!” kata Kak Jerry.
Aku hanya bisa terdiam mendengar ucapan Kak Jerry yang tidak melihat ku.
“Enggak apa-apa, biasanya juga bagaimana?” kata ku.
“Enggak gitu Han . . .,” kata Kak Jerry yang sudah tidak seperti biasanya.
“Ya udah lah, aku mau pulang! Capek banget rasanya,” kata ku sambil berdiri.
“Alex, ya?” kata Kak Jerry.
Aku menghentikan langkah ku mendengar Kak Jerry mengatakan itu, jantung serasa berdebar kencang mendengar ucapan Kak jerry.
“Alex?” kata ku.
“Iya, kamu gini karna dia kan?” tanya Kak Jerry.
Aku pun menunduk sambil berdiri menahan emosi yang begitu dalam, bahkan air mata yang sudah berada di sudut ku tahan agar aku tidak terlihat lemah di depannya. Melihat sahabat-sahabat ku yang sudah berdiri memandangku serasa membuat hati ku harus menahan emosi dan sabar.
Huff . . ., aku hanya bisa menghela nafas dan mengatakan,
Sudah lah, aku capek jangan bikin gosip yang hanya kelihatannya saja! kata ku sambil berlalu pergi.
“HANNA . . ..” kata Kak Jerry sambil berteriak.
“Apa? Urus saja urusan kita! Jangan melibatkan orang lain,” kataku sambil menahan tangis.
“Hah, sialan!” kata Kak Jerry yang dapat di dengar semua orang.
Mila pun menyambut ku dengan uluran tangannya
“Udah Han, ayo pulang!” kata Mila yang menyuruh ku memakai helm.
Kami pun segera pulang dalam perjalanan aku menahan tangis ku, agar Mama tidak melihat mata ku yang setengah sembab ini. Tidak lama aku sampai di rumah dan bergegas masuk,
“Hei Han, gimana ujiannya lancarkan?” tanya Mama yang sedang membaca koran di ruang Tv.
“Iya Ma . . .,” kata ku sambil bergegas naik ke kamar.
Sesampainya di kamar aku langsung membuka jendela duduk di samping kasur dan menundukkan kepalaku dan menangis. Angin yang masuk serasa dingin, menyentuh lembut tubuhku bahkan langit pun mendukung dengan mendung yang tiba-tiba datang dan hujanpun turun dengan sangat derasnya.
Aku tidak mengerti dengan apa yang terjadi hari ini, hari yang begitu berat untuk ku. Perasaan yang selama ini ku jaga, hati yang selama ini aku lindungi. Bahkan untuk menyukai orang lain pun aku dapat sembunyikannya dengan baik, karena aku masih tahu diri dan aku masih menjaga hati. Sampai hari ini aku masih menjaga mu, masih menghargai mu, masih mempertahankan perasaan yang sama untuk mu. Namun apa yang ku dapat? Dengan terang-terangan kamu memeluknya di depanku, dengan terlihat mata kamu memperlihatkan semua di depan teman-teman ku, yang bahkan aku tidak berani melakukan itu. Apakah harus ku akhiri hari ini dengan tangisan, apakah aku harus berpura-pura untuk tidak terjadi apapun? Ini benar-benar menyakitkan.
Aku pun beranjak dan merebahkan diriku, karena kepalaku sudah mulai pusing. Sejenak aku melihat langit-langit kamar yang tidak jelas karena air mata ku yang menggenangi seluruh wajah ku. Aku pun memejamkannya dan merasakan angin yang masuk melalui jendela dengan rintik hujan yang terdengar. Akupun memutuskan untuk tidur dan membuat hari ini menjadi hari pemulihan untuk ku.
Matahari sudah terbenam, aku sudah bangun dan mandi. Kemudian membantu Mama menyiapkan makanan, karena besok libur jadi aku memutuskan untuk tidak belajar malam ini. Aku sudah hampir menyembuhkan diri, ternyata tidur adalah obat yang paling baik untuk ku. Setelah pukul 7 malam kami segera makan bersama, tidak ada yang spesial malam itu, aku hanya mengikuti alur yang mereka bicarakan dan hanya mendengar serta ikut tertawa ketika ada yang terdengar lucu. Tidak lama setelah kami sudah selesai makan malam, Papa menyuruh kami untuk segera masuk ke kamar, karena hujan semakin deras. Dengan pelan aku menaiki tangga menuju kamar, dengan pelan aku membuka pintu dan berdiri di balik pintu setelah menutupnya. Ayo hati, kamu harus bisa sembuh hari ini, kata ku dengan diriku sendiri sambil menahan tangis yang sudah meluap di hati.
Aku berjalan pelan mendekati jendela yang belum sempat ku tutup, mengulurkan tangan ku dan menyentuh air hujan yang turun dari langit. Kamu terasa dingin seperti hujan, kamu hari ini adalah kamu yang baru sudah bukan kamu yang dulu pernah ku kenal dengan senyuman manis dan perhatian mu. Bahkan kamu tidak akan tega melihat ku menangis, kamu juga akan tahu aku dimana, dan aku yakin kamu akan mencari ku saat itu, kamu akan melihat ku, kamu akan menatapku dan memastikanku apakah aku baik-baik saja. Namun hari ini aku kehilangan mu, kehilangan mu dan benar-benar kehilangan kamu, kata ku dalam hati sambil memainkan hujan.
Entah apakah langit yang sudah mengaturnya, entah apakah benar-benar akan begitu . . ., hah, ini benar-benar menyesakkan! kata ku dengan diri ku sendiri sambil menutup jendela. Aku pun segera merebahkan diri, memeluk guling dan tertidur. Dalam pejam ku aku berkata Karena aku masih mempertahankan perasaan ku untuk menjaga mu, maka aku akan menjaganya. Sampai dimana nanti aku dapat melepasmu dengan senyuman atau sebaliknya dengan kesedihan mendalam, kata ku dalam hati.