Minggu ini adalah minggu dimana semua siswa mengumpulkan semua tugas dari semua guru. Tugas-tugas yang di kumpulkan adalah Seni Budaya, Prakarya dan Keterampilan, karena beberapa mata pelajaran sudah di jadwalkan berakhir pada Minggu kemarin. Semua siswa sangat gembira dan bahagia karena tidak ada mata pelajaran hari itu dan bisa di bilang Jam Kosongnya bagi semua siswa. Aku juga ikut bahagia karena dapat mengobrol sepuasnya dengan teman-teman ku. Hari itu kami memutuskan untuk pergi ke koperasi untuk membeli makanan. Tapi Tya dan Yuna mengajak kami untuk membeli somay di depan sekolah karena sudah begitu bosan dengan makanan yang ada di Koperasi. Setelah membeli somay kami langsung bergegas kembali ke kelas. Tiba-tiba suara lirih Mila yang berjalan di samping ku mengejutkan ku,
“Han, lihat tuh!” kata Mila sambil mengarahkan jarinya.
Aku pun melihat ke arah jari Mila dan ternyata ada Alex disana bersama dengan siswi kelas lain dengan candaan dan senyum yang terlihat bergitu bahagia. Bumi ku seaakan runtuh, bahkan aku membiarkan diriku di hujani seribu panah. Aku hanya bisa mengatakan
“ohh . . .,” jawabku pada Mila yang membuat Mila menyudahi penglihatanya.
Tidak hanya itu Tya dan Yuna juga sampai berhenti untuk menandakan ada sesuatu yang terjadi di depan mereka.
“Han, Aaalll . . .,” kata Yuna yang mulutnya di tutup oleh Tya.
Sedangkan Tya memandangi ku yang sudah begitu menyedihkan.
“Sudah-sudah, ayo terus jalan!” kata Tya.
“Mil, tapi kita bakalan nglewatin mereka lho,” kata Tya yang ragu.
“Ya sudah, duduk sini dulu deh,” kata Mila.
Kami pun duduk di tengah perjalanan menuju ke kelas, Mila pun menyenderkan kepalanya di bahu ku dan menatap langit dan berkata
“Langit begitu cerah hari ini, wahhh . . ., awannya seakan ingin lari karena angin begitu cepat,” kata Mila menghibur ku.
“Apa sih Mil, kau ini ada-ada saja,” kata ku sambil tersenyum dan melihat langit.
“Han jangan sedih ya, kau lupakan dulu masalah yang terjadi dan fokus sama ujian besok Rabu. Besok juga libur kan buat persiapan,” kata Yuna menenangkan.
“Iya, fokus dulu kan besok sudah UAS!” kata Tya.
“Iya santai deh, gue enggak apa-apa kok,” kata ku menenangkan mereka yang sudah sangat cemas dengan keadaan yang ku alami.
“Sepertinya, sudah tidak ada yuk kembali ke kelas,” kata Mila.
Kami pun segera kembali dengan berjalan pelan sambil melihat sekitar, karena sudah tidak akan berada di lingkungan kelas 1 lagi. Setelah hampir mendekati kelas Alex dan Hugo pun keluar dengan tiba-tiba yang dimana aku masih menundukkan kepala ku dan bahkan tidak mengetahui jika mereka sudah berada di depan ku. Aku pun melihat sepatu yang di pakai Alex berada di depan ku dengan segera aku mengangkat wajahku dan melihat ke depan yang dimana aku bertemu mata dengan Alex yang tersenyum seolah bahagia. Disisi lain aku melihat Mila, Yuna dan Tya yang sudah menyingkir sekaligus melihat ku berhadapan dengan Alex.
“Hai, Han lo enggak apa-apa kan?” tanya Alex dengan senyum santai yang seperti biasanya.
“ohh, sorry,” kata ku sambil memberikan jalan kepada mereka.
“Hei, Han lo kenapa?” kata Hugo penasaran.
“Ohh, Gue enggak apa-apa kok,” kata ku sambil tersenyum.
“Yakin Han?” tanya Alex memastikan untuk ke dua kalinya dan terlihat seperti ingin memastikan bahwa aku baik-baik saja.
“Iya,” kata ku.
Mereka pun segera berjalan dan pergi, namun ku lihat Alex sesekali memastikan dengan menengok ke belakang, karena aku masih memperhatikan mereka yang pelan-pelan berlalu pergi. Akupun melihat Mila, Yuna dan Tya yang sedari tadi melihat ku yang bersusah payah menormalkan keadaan.
“Hanna?” kata Mila dengan wajah yang memastikan apakah sekiranya aku baik-baik saja.
Dengan cepat Yuna dan Tya meraih tangan ku dan mengajak ku untuk segera masuk ke kelas.
“Hanna, lo enggak apa-apakan?” kata Yuna.
“Iya, lo enggak apa-apakan?” kata Tya.
“Enggak kok, gue enggak apa-apa,” kata ku dengan lemas.
Mila pun segera merangkul ku dan menepuk pundak ku untuk menenangkan keadaan.
Waktu pun cepat berlalu banyak kejadian yang ku lihat hari itu, yang membuat perasaan kacau balau. Bahkan dalam perjalanan aku tidak bisa fokus, namun aku berusaha untuk menyelamatkan diri agar sampai di rumah dengan selamat. Tidak lama aku sampai dan segera masuk, kemudian bergegas ke kamar karena Mama sedang istirahat pada jam segini jadi tidak menyambut ku pulang dan aku sudah tahu itu. Aku pun segera merebahkan diri, melemparkan tas ku yang sudah tak tahu berada dimana. Membenamkan wajah ku ke bantal dan menangis.
Kenapa harus kamu? kenapa bukan orang lain saja. Bahkan aku masih bisa baik walaupun kamu enggak tahu apa yang aku rasain. Sungguh menyebalkan, aaaa siaaaallllll . . ., kata ku dengan diri ku sendiri.
Aku segera bangkit dan membuka jendela yang dimana angin sepoy-sepoy masuk membuat suasana semakin mendukung untuk ku melanjutkan tangis ku, ditambah lagi dengan langit yang mendung seakan merasakan apa yang aku rasakan. Dengan seragam yang masih ku pakai, aku merasakan angin yang berhembus menyentuh pelan rambut ku yang terurai. Air mata yang menetes melalui pipi ku terasa dingin karena angin. Aku bahkan tidak tahu harus bagaimana, semakin lama aku semakin tidak bisa menahannya. Melihat mu dengan dia begitu menyakitkan ku yang bukan siapa-siapa ini.
Seharusnya kamu tidak baik dengan semua orang. Apa lagi dengan ku yang mudah jatuh hati ini. Namun semua ini salah ku karena sudah mengizinkan semua kebaikan mu ini masuk ke hati ku. Masuk dan duduk, bahkan diam dan bertahan. Tanpa ku izinkan pergi dan berlalu.Setelah kejadian itu Alex sudah tidak memberikan ku pesan, bahkan aku bertanya-tanya dan takut menggangu jika aku mengiriminya pesan terlebih dahulu. Aku benar-benar tidak bisa berpikir jernih lagi dan masih berada di balik jendela yang sudah tertutup karena hujan aku berdiri cukup lama bahkan sampai tahu warna langit yang dari mendung berubah menjadi senja sore diiringi rintik hujan.
Akupun bergegas turun untuk mandi dan makan malam. Malam itu benar-benar dingin dan aku bertekad untuk menyelesaikan perasaan ku ini dan harus berakhir malam ini juga. Setelah makan malam selesai aku segera naik dan merebahkan diri di kamar. Aku melihat langit-langit dan berkata pada diriku, untuk apa memikirkan orang yang tidak memikirkan kita. Bahkan orang yang bukan siapa-siapa, aku harus benar-benar sadar diri, mengerti keadaan dan berusaha memahami semua. Untuk memberitahunya aku begitu sulit karena takut dia akan pergi.
Aku pun kembali menangis, menangisi diri sendiri yang begitu bodoh sudah berani mencintai orang lain. Hingga lupa bahwa masih ada satu hati yang seharusnya ku jaga, yang setidaknya masih ku miliki. Walau sudah tidak seperti dulu dan sudah terasa asing, namun aku masih memiliki tanggung jawab untuk menjaganya. Aku menangis semalaman untuk membuat diriku kembali esok hari dengan keadaan yang sudah membaik.
Malam itu aku berharap agar sakit ini cepat berlalu dan pergi hingga timbul semangat baru dalam diriku yang sudah lelah akan ke pura-puraan tidak menyukainya.