Pagi pun tiba dengan langit yang masih gelap dengan cahaya matahari di ujung yang ingin segera muncul dan menyinari dunia, namun aku yakin akan panas hari ini. Aku bangun dan membuka lebar jendela kamar dan duduk bersandar pada border jendela, lalu menghirup udara pagi yang begitu sejuk, walaupun terasa dingin karena masih begitu pagi. Setelah 15 menit aku segera turun untuk mandi dan bersiap-siap, karena hari ini di rencanakan akan ada studi lapangan untuk pelajaran Sejarah yang sudah di beritahukan terlebih dahulu tadi malam.
Setelah mandi dan bersiap untuk pergi ke sekolah aku segera beranjak keluar untuk menunggu Mila. Tidak lama Mila tiba dan kami pun berpamitan dengan Mama yang sebenarnya menyuruh Mila untuk mampir terlebih dahulu, namun Mila menolaknya karena kami terburu-buru dan takut akan terlambat jika Mila mampir dahulu. Dalam perjalanan udara begitu sejuk aku dan Mila juga melihat beberapa anak yang terlihat terburu-buru mengendarai motor mereka, tidak hanya itu aku juga melihat beberapa motor yang berjalan beriringan dengan motor lain karena mungkin mereka sudah tidak sabar untuk berbicara satu dengan yang lainnya.
“Han, nanti katanya Yuna dan Tya juga berboncengan menuju ke tempat studi lapangannya lho,” kata Mila.
“Ohh ya, asik dong,” kata ku.
“Iya, nanti kita bareng-barengkan berangkat dari sekolah sama anak-anak kelas lain juga nanti,” imbuh Mila.
“Wah, jadi rame banget dong nanti,” tanya ku sambil membenarkan helm yang terasa aneh.
“Iya, sepertinya akan sangat banyak anak yang begitu antusias, jadi mereka semua bakalan ikut sih menurutku, kecuali yang ada kepentingan,” kata Mila sambil tertawa.
“Wah, kok lo tiba-tiba ketawa sih?” kata ku yang ikut tertawa tanpa tahu apa yang di tertawakan.
“Gue lihat, tadi di jalan ada anak-anak kecil lari habis itu jatuh kayak nya enggak lihat jalan deh, jatuhnya lucu lagi,” kata Mila sambil tertawa.
“Oh ya? kok gue enggak lihat sih,” kata ku.
“Soalnya tadi di kiri jalan, waktu lo benerin helm,” kata Mila.
“Wah, masa sih?” kata ku penasaran.
Kami pun segera melaju dan berharap cepat sampai di sekolah dan mengakhiri hari dengan cepat. Tidak lama setelah kami sampai Tya dan Yuna juga sampai, kami berempat segera berjalan menuju kelas karena 5 menit lagi kelas akan di mulai. Dalam perjalanan yang harus melewati lapangan basket dan beberapa kelas membuat kami salah fokus dengan anak-anak dari kelas lain yang sedang asik mengobrol di depan kelas dengan posisi duduk yang rapat tanpa celah di kursi depan kelas.
“Aneh, mereka kenapa duduknya rapat banget? perasaan kursinya hanya cukup di isi 5 orang, kenapa jadi 10 orang sih,” kata ku terheran-heran dalam hati sambil melihat mereka.
Sesampainya di kelas aku melihat wajah Yuna yang terlihat seperti berpikir sesuatu sambil melihat ke arah anak-anak yang tadi melalui pintu kelas
“Yuna, kenapa sih?” kata ku dengan senyum yang hampir tertawa sambil menaruh tas.
“Aneh aja lihat mereka, masa kursi kecil muat 10 orang?” kata Yuna sambil berpikir keras dan melangkah menuju kursinya.
“Wah, kau nih sampai segitunya deh,” kata Tya sambil melihat Yuna dan duduk di kursi jelas.
“Ih, heran lho gue,” jawab Yuna sambil mengeluarkan buku untuk pelajaran pertama.
“Udah lah, itu ada triknya mungkin,” kata Mila sambil baca-baca materi hari ini.
“Iya, mungkin ada strateginya bisa muat segitu banyak,” kata ku sambil ikut berpikir dan mengeluarkan buku untuk pelajaran.
Tidak lama saat masih mengobrol Guru pun datang dan kami segera menyiapkan pelajaran. Jam pertama sangat seru karena Guru hanya menerangkan beberapa materi yang penting, setelah itu kami mengerjakan soal pilihan ganda dan di akhir pelajaran kami satu-persatu membacakan soal beserta jawabannya, namun tidak hanya itu kami juga di jelaskan oleh Guru soal-soal yang membutuhkan penjelasan. Semua murid mengikuti kelas dengan sangat antusias dan begitu hangat karena tawa serta senyuman dari beberapa lawakan Hugo dan yang lain.
Tidak lama waktu istirahat pun tiba, kami berempat segera menuju Koperasi dan berpapasan dengan Hugo dan Alex. Akupun menyapanya dan ingin selalu begitu, serasa ada yang aneh jika aku bertemu dan berpapasan dengannya apalagi ketika dia sudah menyebut nama ku. Serasa kita sudah begitu akrab padahal baru beberapa bulan dan hampir UAS.
“Hann?” kata Mila.
“Ya, kenapa?” kata ku.
“Jangan ngalamun deh, kita lagi jalan lho ntar jatuh,” kata Mila memperingatkan.
“Oh . . . ya, ya,” kata ku.
“Guyysss . . . buruan jalan, lemot amat,” kata Yuna yang sudah jauh.
“Iya nih, jadi jajan enggak sih?” kata Tya.
“Iya . . .,” kata Mila sambil menarik tangan ku karena aku terdiam setelah Alex menyapa ku.
Saat aku berlari menuju ke arah Yuna dan Tya, aku baru sadar kalau Alex sangat sering menyapa dan memanggil nama ku dari pada yang lain.
“Aneh . . .,” kata ku.
“Aneh kenapa Han?” kata Mila yang mendengar.
“Oh, enggak kok,” kata ku sambil tersenyum dan mengalihkan pembicaraan yang lain.
Tidak lama kami segera masuk ke Koperasi dan kamipun membeli minuman jelly serta wafer coklat tidak lupa aku juga membeli permen. Setelah membayar kami segera menuju ke kelas dan melihat beberapa anak-anak yang berlarian hingga turun ke halaman depan kelas yang masih beralaskan tanah dan hanya beberapa tumbuhan bahkan hanya satu pohon yang tumbuh di halaman itu. Akupun segera memperhatikan mereka, aku juga memperhatikan beberapa aktivitas di sana. Aku melihat ada anak-anak perempuan yang duduk melingkar, ada yang main hp sendiri, ada yang mengepang rambut temannya dan lain-lain. Bahkan dari gerakan dan aktivitas mereka aku tahu bahwa mereka sangat bahagia.
Istirahat pun usai setelah kami menghabiskan minuman jelly dan beberapa roti wafer. Kami segera menyiapkan pelajaran selanjutnya yang dimana itu pelajaran Matematika dan seperti biasa kami berempat keluar di tengah-tengah pelajaran. Bahkan kejadian itu tidak bisa membuat ku lupa, kami berlarian dengan jantung yang berdebar dan berhenti di belakang kamar mandi dengan pemandangan sawah yang luas, hembusan angin yang menyejukkan dan burung di udara yang begitu ceria dengan kicauannya. Tidak hanya itu di belakang kamar mandi juga tempat yang tidak bisa aku lupakan saat pelajaran Seni Budaya. Semua terasa begitu sempurna disisi sini, namun disisi lain aku begitu takut karena kebahagiaan baru yang aku dapatkan ini membuat ku resah dan gelisah.
Setelah itu kami pun kembali yang dimana pelajaran kurang dari 20 menit sebelum berakhir dan seperti biasanya kami menyalin jawaban dari teman lain yang begitu dengan sukarela memberikan jawaban mereka. Bersyukurnya kami karena teman sekelas kami begitu baik. Kami semua istirahat kembali dan kali ini kami hanya di kelas,
“Oh ya, kalian nanti kelas 2 mau masuk IPA atau IPS?” kata Mila dengan penasaran.
“Emm . . . entah kita lihat saja nanti,” kata Yuna.
“Kalau gue kayak nya IPS deh,” kata Tya.
“Gue juga sih . . .,” kata ku.
“Wahhh, semoga bisa sekelas lagi ya!” kata Mila.
“Amin . . .,” kata kami semua sambil tertawa bersama.
Pelajaran terakhir pun di mulai dan itu pelajaran Sejarah Pak Setya menjelaskan beberapa hal yang akan di lakukan dan menyuruh kami menjawab soal pilihan ganda pada buku. Pak Setya tidak menunggui kami dia segera pergi ke ruangan nya di kantor dan menunggu Hugo mengumpulkan buku kami semua. Dalam proses menjawab soal pilihan ganda kami semua murid bahkan saling memberikan jawaban agar cepat selesai. Ada juga yang asik tiduran dan mainan hp di kelas dan hanya menunggu teman yang lain selesai menjawab, setelah itu mereka tinggal menyalinnya.
Hari itu benar-benar asik, dalam situasi yang begitu gaduh dan ramai sekali karena sudah mendekati jam berakhirnya pelajaran, aku mencuri beberapa menit untuk melihat apakah Alex baik-baik saja dengan memandangnya dari meja ku. Setelah ku lihat bahwa dia benar-benar bahagia dengan candaannya bersama teman-temannya aku yakin dia akan baik-baik saja hari ini dan aku harap selalu begitu. Akupun segera mengumpulkannya ke arah meja Hugo setelah Mila, Tya dan Yuna selesai yang dimana aku melihat Alex dengan terburu-buru ketika menyalin jawaban itu. Aku tidak berani menyapa karena dia terlihat begitu sibuk “dasar anak laki-laki” kata ku dengan pelan.
“Seharusnya di salin dari tadi, bukan kurang dari 15 menit baru nyalin dasar,” imbuhku pelan sambil tersenyum.
Waktu berlalu kami semua murid segera berkumpul di parkiran setelah Hugo mengumpulkan semua buku dari kelas kami dan Pak Setya pun keluar untuk memberikan arahan pada kami.
“Oke, semua sudah berkumpul ya?” kata Pak Setya.
“Hari ini kita akan mengadakan studi lapangan, jadi mulai dari sekolah kita menuju ke tempat di mana acara itu berlangsung yaitu mengunjungi makam para leluhur, nanti disana kalian akan menanyakan beberapa pertanyaan kepada orang-orang sekitar atau bisa menanyakan beberapa hal dengan penunggu makam, setelah itu kalian juga bisa melihat tarian adat,” jelas Pak Setya.
“Kalian bebas mewawancarai siapapun guna melengkapi laporan yang akan kalian tulis dengan kelompok. Setelah itu kalian akan mengunjungi ketua adat di sana, nanti kita akan ke rumahnya dan akan mewawancarai beliau. Sebelum ke rumah ketua adat kita akan makan dulu bersama ya di area pemakaman. Hati-hati kesananya saya akan memantau dari belakang,” imbuh Pak Setya dengan penuh semangat.
Semua murid pun segera berangkat dan beberapa anak perempuan saling berboncengan termasuk kami. Dalam perjalanan yang begitu panas dan lingkungan yang tidak begitu aku kenal membuat ku sangat kagum karena lingkungan begitu asri. Tidak hanya itu sawah membentang, banyak gunung dan juga jalan yang sudah bagus karena aspal. Aku pun sangat menikmatinya,
“Hei, Han kita udah mau sampai. Sepertinya, itu yang banyak orang berkerumun itu tempatnya,” kata Mila.
“iya, rame Mil,” kata ku.
“Han, pegangan ya! ini sepertinya akan sedikit susah jalan masukknya,” kata Mila.
“Oke Mil,” kata ku sambil berpegangan.
“Wah . . . kita sudah sampai nih,” kata Mila.
“Wah . . . iya nih,” kata ku.
Semua murid pun segera turun dan berjalan memasuki area pemakaman namun ada juga yang melihat tarian adat yang dilaksanakan di samping makam leluhur. Akupun segera masuk dan menemani teman-teman melakukan wawancara dengan penjaga makam serta pengunjung yang sedang melihat tarian adat di area makam. Ketika akan memasuki makam kami harus melalui pintu dengan dinding yang mengelilingi makam, aku melihat pohon kamboja dan warna makam yang terlihat seperti batu serta lingkungan makam yang begitu bersih dan terjaga walaupun sedikit gelap karena banyaknya pohon yang mengelilingi makam tersebut.
Tidak lama setelah mengunjungi makam dan melakukan wawancara pada pengunjung serta penjaga makam Hugo selaku ketua kelas menyuruh kami untuk segera menuju parkiran motor yang tadi untuk mengambil makan. Sesampainya ditempat pengambilan makan yang letaknya di atas motor kami segera membagi-bagikannya aku mengambilkan makanan untuk orang-orang yang sudah mengantri seperti Mila, Yuna, Tya dan yang paling ku inginkan adalah dia yang berjalan ke arah ku dengan senyumannya dan auranya yang begitu memikat. Aku segera mengulurkan tangan ku dengan sebungkus nasi dan air mineral.
“Terimakasih Han . . .,” katanya dengan senyuman.
“Iya . . .,” kata ku.
Memang sebenarnya aku di kelas juga memiliki posisi penting yaitu Sekertaris karena katanya tulisanku bagus, yah sebenarnya sudah dari SMP aku jadi sekertaris kelas dari kelas 1 SMP sampai kelas 3 SMP. Tidak hanya itu Tya dan Yuna juga menjadi Bendahara kelas saat itu. Namun di SMA Mila tidak menjabat apapun karena dia merasa dirinya tidak begitu kompeten dalam hal-hal begituan. Setelah semua menyelesaikan makan siang, kami segera berangkat kerumah ketua adat. Aku sempat merasa gelisah karena tiba-tiba cuaca hujan kami harus menunggu hingga hujannya reda di depan rumah ketua adat dan menghentikan kegiatan sementara.
“Em . . . Mila kemana sih?” kata ku pelan.
Aku pun mencoba mencari Mila di sekitar tempat ku berteduh dan aku tidak berhasil menemukannya. Aku akhirnya menanyakannya pada teman yang lain dan katanya Mila sudah ada di dalam melihat proses doa ketua adat.
Wah . . . dasar nih anak enggak bilang-bilang, kata ku dalam hati.
Setelah hujan reda banyak anak yang segera melakukan aktivitas seperti biasa dan berkumpul di rumah ketua adat dengan berdesak-desakkan. Akupun hanya melihat dari belakang dan lama- kelamaan mereka segera membubarkan diri entah ada yang jalan-jalan di halaman ada yang naik ke atas gunung karena ada Mushola kecil disana. Entah duduk di depan dan lain-lain.
Mungkin mereka merasa bosan karena penggunaan bahasa jawa yang sangat halus, yang tidak bisa di mengerti sebagian orang bahkan seperti kami yang masih begitu muda ini, kata ku dalam hati sembari mengamati aktivitas mereka.
Setelah mereka membubarkan diri pintu rumah ketua adat pun sudah sepi walau masih ada orang di dalam yang melakukan wawancara. Akupun segera menuju pintu dan bersender mendekatkan badan ku dengan pintu itu. Tiba –tiba ada seseorang yang mendekatiku yang dimana dia berjalan bersama Hugo dan berkata
“Lagi ngapain Han?” katanya sambil memposisikan diri di samping ku dan Hugo masuk untuk mencari tempat duduk serta mendengarkan Ketua Adat berbicara.
“Oh, enggak ngapa-ngapain sih, gue cuma lihat saja,” kata ku.
“Oh . . . emang kamu ngerti apa yang mereka omongin?” kata Alex.
“Enggak sih, gue bener-bener enggak ngerti,” kata ku.
(mereka menggunakan bahasa jawa halus yang seperti ku bilang tadi bahkan aku tidak tahu artinya apa).
“Emang lo tau?” tanya ku.
“Eem. . , ya tahu sih, sedikit-sedikit,” katanya.
“Wah serius?” jawab ku sambil melihatnya yang berdiri di samping ku.
“Iya, serius,” kata Alex dengan senyuman.
“Oh . . . okee,” kata ku dengan senyuman.
“Oh ya Han?” kata Alex.
“Iya, kenapa?” tanya ku.
“Lo nanti pulang sama siapa?” tanya Alex.
“Gue nanti sama Mila,” jawab ku dengan sedikit heran.
“Oke . . . nanti pulang bareng saja, terus kita lewat jalan lain biar bisa langsung ke arah rumah lo ya?” kata Alex.
“Oh, okeee . . .,” kata ku.
Aku pun melihat Alex yang masih saja berdiri di samping ku dan begitu lama hingga jaraknya benar-benar dekat, bahkan tidak ada satupun orang yang memperhatikan kami berdua, karena mereka begitu sibuk dengan urusan masing-masing. Bahkan aku benar-benar bahagia saat itu, sesaat aku melihat wajah nya yang begitu serius memperhatikan apa yang orang-orang bicarakan. Sesaat aku tahu dia sedang memperhatikan ku, bahkan aku benar-benar seakan dibuatnya gila oleh waktu yang dimana aku ingin menghentikannya agar waktu memberiku detik atau menit lebih lama, agar aku bisa selalu berada di sampingnya seperti ini.
Terkadang ada beberapa orang yang datang ke pintu yang membuat ku lebih dekat lagi dengan Alex yang sedang berdiri, bahkan sesekali kami bercanda karena ada beberapa hal yang lucu saat itu. Ternyata Alex begitu hangat dan mudah bergaul dengan orang sekitarnya, dia juga sesekali menyapa teman-teman ketika dia sudah bosan mendengarkan obrolan anak-anak yang ada di dalam. Bahkan yang membuat ku heran dia tidak beranjak pergi dan tetap mempertahankan posisinya disamping ku. Namun Exel tiba-tiba merangkul Alex yang berada di samping ku. Tubuh Alex yang lebih tinggi dari ku pun mendekat dan menyenggolku karena gerakan Exel yang tiba-tiba itu.
“Cieee elah . . .,” kata Exel.
“Kenapa?” kata Alex dengan wajah jutek.
“Eeh Hann, dia tuh suka sama lo!” kata Exel.
“Oh . . .,” kata ku dengan jantung yang berdebar dan wajah yang merona.
“Apaa sihh kau Xel,” kata Alex sambil membawa Exel menjauh dan berbicara dengannya.
Lebih mengejutkan Alex pun kembali ke arah ku dan berkata,
“Nanti lo kalau sudah mau pulang bilang aja ya, cari gue. Gue ada di gunung sama temen-temen” kata Alex.
“Oke, siap!” kata ku dengan senyuman.
punggungnya berlalu pergi, yang sebenarnya aku sangat tidak menginginkan itu, bahkan aku ingin lebih lama lebih lama dari yang seharusnya terjadi. Akupun mengalihkan wajah ku kembali kemudian melanjutkan mendengarkan apa yang di kata kan ketua adat pada semua orang yang ada di sana tanpa menghiraukan apa yang sudah terjadi, termasuk Mila yang dari tadi tidak mengalihkan pandangannya pada ketua adat dan cerita di balik ritual yang terjadi. Tidak lama kemudian semua orang yang ada di dalam segera keluar karena wawancara sudah berakhir. Akupun mengobrol sebentar dengan Mila yang menjelaskan apa yang terjadi, namun pikiran ku teralihkan dengan pikiran tentang Alex. Entahlah kenapa aku bisa sangat menyukai moment itu, bahkan aku bisa sangat dekat dengannya. Apakah hanya aku yang dia perlakukan baik? aku benar-benar dilema aku tidak tahu kenapa aku bisa sangat menyukainya dan aku berharap dia tahu apa yang aku rasakan.
“Hei, Hann?” kata Mila.
“Iyaaa . . .,” kata ku.
“Sudah paham kan?” tanya Mila.
“Paham kok paham,” jawab ku.
“Oke, ya udah yang lain sudah pada pulang kita pulang yukk . . .,” kata Mila.
“Bentar Mil, gue cari Alex dulu,” kata ku.
“Ngapain cari Alex?” tanya Mila.
“Bentar,” kata ku sambil melangkah.
“Hei, Hann jelasin dulu. Ampun deh tuh anak kayak nya kesantet sama Alex!” kata Mila heran.
Aku pun melangkah dan mencari Alex bahkan bertanya ke beberapa teman dan katanya ada di gunung di dekat Mushola, karena aku tidak tahu tempatnya karena terhalang oleh banyak daun dari pepohonan.
“Alexx, ayo pulang!” kata ku sambil berteriak.
“Oh, cari Alex ya? dia di atas bentar ku panggilkan,” kata Rama.
“Hei, Lex! Di cari Hanna nih,” imbuh Rama.
“Ya . . . bentaar,” jawab Alex.
“Naik aja Hann, kalau mau,” kata Rama.
“Oh, enggak kok gue tunggu sini aja,” kata ku.
Tidak lama Alex pun turun dengan Exel di sebelahnya yang kebetulan arah rumah mereka sama.
“Ayo, Han,” kata Alex dengan pelan.
“Oke . . .,” jawab ku sambil berlari ke arah Mila yang sudah mengendarai motornya.
Aku pun segera naik dan kami segera berangkat untuk pulang. Aku dan Mila mengikuti Alex dan Exel dari belakang dan motor berwarna orange itu menuntun kami pelan-pelan menuju jalan ke arah rumah.
“Hei, kenapa tadi ngajak Alex sih?” tanya Mila penasaran.
“iya, tadi dia ngajak pulang bareng,” kata ku.
“wah, gitu ya . . .,” kata Mila.
“iya, Mil,” jawab ku.
“Lo beneran suka ya sama Alex?” tanya Mila.
“Entahlah Mil, gue juga enggak tahu. Bisa dibilang mungkin,” kata ku pelan.
“Hati-hati, Alex enggak cuma baik sama lo dia banyak deketannya,” kata Mila.
“Iya, gue tahu kok,” kata ku.
“Lo tahu kan, anak perempuan kelas sebelah?” tanya Mila.
“Yang mana Mil?” tanya ku.
“Kalau tidak salah kelas D. ada yang Alex suka katanya,” kata Mila.
Di tengah gerimis dan udara yang sangat mendukung untuk ku menangis.
“Oh, seriusan?” kata ku dengan hati yang serasa di hujani ribuan anak panah.
“Iya, serius! Katanya juga ada cewek di kelas C suka sama Alex. Lo jangan baper kalau Alex bilang apa-apa tuh,” kata Mila.
“Emm, habis dia baik sama gue Mil,” kata ku.
“Hann, lo tau kan baik bukan berarti dia beneran suka!” kata Mila.
“Iya sih Mil, lo bener,” kata ku.
“Lo pikir-pikir deh, kalau dia suka sama Lo enggak mungkin kan semua anak kelas lain juga dia baikkin,” kata Mila.
“Baikin dalam arti lain lho Han,” imbul Mila.
“Lo juga sudah punya Kak Jerry sadar lah, gue gini karena gue care sama lo Han,” imbuh Mila lagi.
“Gue tahu Mil, bahkan gue juga paham tapi gimana? Kayaknya gue enggak bisa bohong lagi,” jawab ku ditengah udara dingin.
“Sebenernya, kalau lo bahagia sih gue dukung apapun, tapi ya lo harus sadar posisi Han,” kata Mila.
“Iya, Mil,” kata ku sambil meneteskan air mata.
“Udah enggak usah nangis, gue tahu kok lo suka sama Alex dan gue paham,” kata Mila sambil menenangkan ku.
Aku pun tidak bisa menjawab Mila lagi. Akupun hanya bisa termenung sambil melihat pepohonan yang sudah basah terkena hujan dan berpikir lebih dalam tentang perkataan Mila, kemudian setelah kami tahu bahwa kami mengenal jalan yang kami lalui Mila pun mendahului motor Exel dan Hugo. Tidak lama Exel pun berada di samping kami dan mengatakan
“Hei . . ., Hanna, tadi tuh sebenernya Alex pengen nganterin lo pulang lho,” kata Exel dengan bangga sambil mengarahkan motornya tepat disamping kami.
“Apa, sih?” kata Alex memukul kepala Exel dengan pelan dan malu-malu.
“Tadi juga sebenernya dia mau boncengin lo, gimana kalau Mila sama gue aja?” tanya Exel.
“Enggak Hann, enggak mau aah gue!” kata Mila pelan.
“Enggak deh . . .,” kata ku sambil melihat ke arah Alex yang benar-benar tak bisa ku bohongi jika aku mengaguminya.
“oke . . .,” jawab Exel dengan tersenyum.
Setelah kami sampai di pertigaan Exel pun masuk ke dalam gang dan aku hanya bisa melihat mereka mendahului kami. Aku dan Mila segera melaju karena udara sudah mulai dingin dan langit sudah mendung. Kami pun sampai dirumah dan masih ada di depan rumah untuk mengantarkan Mila agar aku melihatnya pergi,
“Hanna gue enggak mampir ya, salam buat Mama mu,” kata Mila.
“oke Mil, hati-hati ya!” kata ku.
Aku pun segera melambaikan tangan setelah Mila pergi tanda untuk melepasnya pulang. Tidak lama saat aku masih duduk di depan rumah karena memikirkan hal lain aku melihat motor Alex yang melaju melalui rumah ku tanpa melihat dan fokus pada jalan.
“Wah . . . kok dia lewat sini bukannya lewat jalan tadi bisa ya?” kata ku.
Setelah itu aku segera masuk karena kepala ku begitu sakit yahh biasa akibat diet dulu jadi saraf kepala ku kena dan efeknya otot kepala bagian kanan sampai terlihat jika sudah waktunya untuk sakit. Akupun mengkhawatirkan Alex apakah dia sudah sampai di rumah karena sesaat hujan pun turun sangat deras. Akupun bertanya-tanya,
Sudah di rumah kah kamu?
Apakah kamu kehujanan?
Apakah kamu baik-baik saja?
Aku pun berpikir keras dengan semua yang terjadi, melangkah menaiki tangga dengan memegangi kepala ku yang begitu sakit. Aku segera merebahkan diri dan berkata “tumben nih kepala sakit biasanya enggak, aah gawat nih” kata ku. Aku pun memejamkan mata ku setelah minum obat dan merilekskan pikiran ku agar cepat pulih. Sesekali aku melihat langit-langit kamar sambil membayangkan hal-hal yang membuat ku takut, bahkan serasa hati ku sakit jika membayangkan itu. Bertanya-tanya dengan diri sendiri bagaimana jika Alex berpacaran dengan teman sekolah? Bagaimana jika dia tidak lagi dekat dengan ku? Bagaimana jika Alex menjauhi ku dan menghilang?
Aku pun menangis sambil memendamkan kepalaku pada bantal. Setelah mereda dan menyadarkan diri sendiri aku segera membuka jendela untuk melihat hujan yang sudah membasahi rumah dan halaman serta jalan. Dalam keheningan malam itu udara begitu dingin dan aku memutuskan untuk memberikan pesan pada Kak Jerry setelah aku mandi dan makan malam. Aku memberikan pertanyaan yang biasanya ditanyakan pasangan lain. Tidak banyak yang ku ceritakan soal kegiatan yang aku lakukan tadi, bahkan dia tidak tahu kalau aku menyukai orang lain.
“Aahhh . . ., benar-benar sial!” kata ku sambil melemparkan Hp ke kasur.
Malam pun semakin malam dan dingin semakin dingin aku menatap langit-langit kamar dan memikirkan hal yang baru saja terjadi. Hari ini aku begitu bahagia bahkan Kak Jerry pun tidak tahu apa yang aku lakukan. Kejadian hari ini seperti akan membekas dalam hati ku dan aku sempat berpikir bahwa Kak Jerry tidak pernah sekalipun memberikan kesan ini pada ku. Untuk berdekatan dan bertemu pun sangat jarang bahkan bisa di hitung menggunakan jari. Aku benar-benar bahagia hingga aku lupa bahwa ada hati yang harus ku jaga dan semua itu serasa tidak aku pedulikan. Apakah mungkin aku benar-benar sudah jatuh hati pada orang lain, jahat kah aku? Mungkin jika ku sembunyikan tidak ada yang akan tahu.
Aahh . . ., sialnya, seharusnya gue tidak boleh seperti ini! Hann sadar! kata ku dengan diri ku sendiri yang seakan lupa dan sudah tahu resikonya apa.
Aku bahkan tidak bisa melupakannya, di tengah keheningan malam itu aku memutuskan untuk segera tidur karena sudah begitu malam dan menarik selimutku karena sudah begitu dingin.