Read More >>"> Titip Salam (Chapter 13 - Deep Thinking) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Titip Salam
MENU
About Us  

               Aku tidak bisa bilang pada Aya bahwa Ryo yang menabrakkan mobilnya. Walaupun Ryo bersikeras akan bertanggungjawab penuh, tapi kutolak. Jika Aya atau teman-teman lain tahu bahwa dia yang membuat mobil Aya ringsek bagian depan, Ryo menjadi berkewajiban menjawab pertanyaan dari mereka, tidak menutup kemungkinan teman-teman lain akan mengetahui trauma Ryo.

               “Emang kenapa kalau mereka tahu?” tanya Ryo sengit, ketika kami sedang di bengkel mobil waktu itu.

               “Lo bakal terusan ditanya sama mereka dan itu bikin lo keinget terus sama kejadian itu.” Aku berusaha memahami situasi Ryo.

               Ryo bergeming sejenak. Wajahnya yang sejak tadi menegang, kini perlahan mengendur dan menunjukkan ketenangan kembali. “Kenapa lo jadi mikirin gimana gue?”

               “Karena gue tahu rasanya mengingat kejadian yang pengin dilupain. Sengsara, Yo,” jawabku lirih nyaris kehilangan suara di akhir kalimat.

               Aya sempat marah padaku, dan bagiku itu wajar. Namun, kukatakan bahwa akan kutanggung semua ongkos perbaikannya hingga mobilnya bisa kembali seperti semula. Padahal sebenarnya bukan aku, tapi Ryo yang membayar biaya bengkel. Ya, setelah berdebat panjang akhirnya Ryo setuju bahwa akulah yang menabrakkan mobil Aya, sedangkan dia berada di balik layar. bertanggung jawab atas seluruh kerusakan yang terjadi.

               Sore ini aku harus ke Aula Kartini, ada agenda laporan pertanggungjawaban BEM dan sesuai jadwal, kementerianku yang bertugas memaparkan laporan kepengurusan. Jujur saja aku agak malas, karena situasi organisasi yang membuatku tidak lagi nyaman. Namun, aku harus ikut menjelaskan pencapaian program kerja kajian strategis selama setahun, setidaknya aku tidak melarikan diri dari tugas dan tanggung jawabku. Buat apa aku pernah mengkritik sistem pemerintahan yang tidak sesuai dengan janji petinggi dulu, jika ternyata aku pun sama saja tidak bisa memegang janji dan mengkhianati jabatan.

               “Duduk sini, Jav!” panggil Ogi ketika aku celingukan mencari bangku kosong di aula.

               Aku agak ragu, karena kursi yang ditunjuk Ogi adalah di sebelah Bang Dito. Namun, jika aku makin menghindar, pasti mereka akan berpikir lebih buruk tentangku. Aku membalas panggilan Ogi dengan anggukan. “Hai, Bang Dit. Hai, Gi,” sapaku basa-basi.

               “Eh, lo, Jav. Baru dateng?” jawab Bang Dito, kali ini lebih ramah, tidak seperti saat rapat kemarin.

               “Iya, Bang. Baru selesai kuliah.”

               “Rajin, nih, sekarang,” timpal Ogi yang duduk di sebelah kiriku.

               Aku menoleh. “Dari dulu gue rajin, kok.”

               “Iya, iya … percaya ….” goda Ogi dengan tawa pelan. “Eh, Bang. Gue di whatsapp sama Dani, nih. Dia ngajak ‘ngopi’ bareng sama lo juga. Gimana?” Ogi menekankan kata ngopi di kalimatnya.

               Aku tahu maksud Ogi. ‘Ngopi’, bagi kami bukan sekadar minum kopi di café fancy. Melainkan di warung kopi yang memberikan tempat dengan beberapa bangku kayu panjang saling berhadapan, dan hidangan sederhana seperti kopi hitam, kopi susu, teh, minuman kemasan saset, mi goreng, dan terkadang jika beruntung, kami juga bisa membeli tempe mendoan, tahu isi tauge  atau sate puyuh. Bang Dito pernah mengajakku dan Ogi nongkrong di sana ketika malam, membicarakan proker kementerian, atau sekadar bertukar info mengenai buku yang kami baca.

               “Dani, Wardani, si bakal calon Presbem itu?” tanya Bang Dito sambil sedikit mencondongkan badan ke depan agar tidak terhalang olehku yang sedang duduk bersandar pada kursi.

               “Iya. Feeling gue, dia mau bahas visi dan misi, sih.”

               “Emang udah waktunya, cari Tim Sukses Kampanye.”

               Aku yang berada di antara mereka, lagi-lagi menjadi tidak kasatmata. Keduanya terus mengobrol membahas siapa saja yang akan maju menjadi presbem, dan langkah-langkah yang harus Ogi ambil selanjutnya agar terpilih menjadi Menteri Sospol. Aku ingin pindah kursi, tapi tidak memungkinkan karena Ogi tiba-tiba menyuruhku menjadi notulen agenda LPJ tahunan.

               “Jav! Gue antar pulang ya!” teriak Ogi ketika aku sudah melewati pintu aula.

               Aku menoleh. Tiba-tiba saja Ogi sudah berdiri di belakangku, padahal tadi dia masih sibuk mengobrol dengan mahasiswa lain yang sepertinya juga mencalonkan diri menjadi menteri. “Enggak usah, gue bisa pesen ojek online kok.”

               “Jam sebelas, emang masih banyak ojek online?” Ogi memandang arlojinya.

               Ternyata sudah semalam itu. Agak mengkhawatirkan juga kalau tidak ada ojek online yang mau mengambil pesananku nanti.

               “Gue antar aja, sih. Sekalian makan dulu kalau lo mau.”

               Ah, iya. Aku belum makan sejak siang. Pantas saja tubuhku seperti kekurangan energi sejak tadi. “Boleh, deh.”

               “Oke, tunggu di depan, ya. Gue ambil motor dulu.” Kemudian Ogi berjalan lebih cepat menuju tempat parkir dan aku ke pos depan.

               Lima menit kemudian, kami sudah duduk berhadapan di warung tegal yang masih buka. Mungkin karena aktivitas mahasiswa yang tidak pernah surut, membuat pemiliknya iba pada kami yang terkadang sampai lupa makan.

               “Gimana kabar Wita, Jav?”

Sudah agak lama tidak mendengar Ogi menanyakan Wita, mungkin karena dia terlalu sibuk dengan urusan pencalonannya menjadi menteri.

               “Ya … gitu. Alhamdulillah masih cewek dia.”

               “Anjir!” umpat Ogi sambil melempar bungkus kacang goreng ke arahku. Lalu tertawa kencang.

               “Lo kalau beneran suka kenapa enggak langsung deketin sendiri, sih, Gi?” tanyaku gusar karena sebenarnya aku sudah memendam pertanyaan ini dari lama.

               “Gue belum punya apa-apa kalau ternyata dia juga bilang suka ke gue.”

               “Hah?” Aku tidak mengerti.

               “Cowok itu enggak bisa asal bilang ‘gue suka lo’ ke cewek yang menarik perhatiannya.”

               “Kenapa gitu? Temen cowok gue banyak kok yang langsung tembak terus pacaran.”

               Ogi menyeruput teh hangatnya. Kami masih menunggu rawon pesanan kami yang katanya masih dipanaskan. “Bagi gue, ngomong suka ke cewek itu berarti harus bertanggung jawab atas perasaan dan rencana ke depan. Enggak asal ngajak luntang-lantung anak orang dan enggak jelas arah hubungannya mau ke mana. Ya, lo pasti paham lah, maksud gue.”

               Deep thinking. Pemikiran Ogi terlalu dalam dan menurutku terlalu … picisan? “Terus kalau cewek yang lo suka keburu digaet cowok lain gara-gara lo kelamaan gimana?”

               “Ya, udah, berarti bukan jodoh gue. Nanti juga bakal ketemu lagi yang menarik perhatian.”

               Aku tertawa. “Gue yakin cowok yang bisa mikir kayak lo mungkin satu banding seribu di zaman sekarang.”

               “Eh, enggak juga. Banyak lho yang mikir sama kayak gue. Cuma cewek zaman sekarang tuh kayak yang mikir, kalau saling suka ya kudu pacaran. Kalau PDKT ya kudu diungkapkan langsung. Apa, ya, kayak diperbudak di bawah nama cinta, gitu,” Ogi mengambil kerupuk karena dua piring nasi rawon sudah terhidang di depan kami, “Toh siklusnya selalu, PDKT, ditembak, pacaran, antar-jemput, saling kasih hadiah, saling ingetin makan, rajin kasih tahu posisi lo di mana, mesra-mesraan yang level mesra tiap pasangan juga beda-beda, berantem, putus. Cari cewek lain, begitu lagi, keulang terus siklusnya sampai entah kapan. Ribet gue bayanginnya.”

               Aku jadi teringat dengan Aya yang tempo hari ditembak sama si oppa-oppa senior UKM-nya. Dengan mawar sebegitu banyak yang pasti perlu duit banyak juga, dan untuk mahasiswa seperti kami tentu saja sumber keuangan masih berasal dari orang tua. Sekarang mereka resmi pacaran dan aku, bahkan mereka sendiri, tidak akan tahu sampai kapan hubungan mereka bisa bertahan.

               “Jadi, lo sekarang tahu, kan, kenapa gue selalu titip-titip salam, nanyain kabar Wita, atau titip hadiah ke Wita lewat lo?” tanya Ogi, sedikit menyindirku. Dia tahu apa yang kupikirkan. “Bukan karena gue pengecut, Jav.”

               Aku mengangguk, tanpa menginterupsi atau menyangkal karena ucapan Ogi kubenarkan. Sebenarnya ada yang ingin kutanyakan lagi pada Ogi, tentang sikap Bang Dito padaku. Namun, kuurungkan karena aku takut jika ternyata itu hanya pikiran jelekku dan membuat Ogi tahu kalau selama ini aku selalu berpikiran buruk tentang orang-orang di sekelilingku.

               LPJ BEM kepengurusan Pak Pres telah berakhir, aku lega karena sesuatu yang harus kuhindari jadi berkurang satu, padahal dulu BEM selalu menjadi tempat pelarian nomor satu. Tersisa dua hal yang belum bisa aku singkirkan dari pikiran dan hidupku. Kuliah dan Ryo. Rajin menghadiri kuliah bukan berarti membuatku tiba-tiba mencintai jurusan ini, tapi justru makin banyak yang membebani pikiranku dan aku sendiri tidak yakin bisa lulus dengan jumlah semester maksimal untuk sarjana yaitu dua belas semester. Jika lebih dari itu tentu saja Drop Out dari kampus sesuai peraturan akademik. Benar-benar DO.

               “Jav, mau ke mana?” tanya Ryo yang yang secara ajaib sudah berjalan di sampingku ketika aku selesai kelas siang ini.

               “Pulang, tidur.”

               Ryo menghentingkan langkah dan memandangku heran. Aku jadi ikut-ikutan mengerutkan dahi. “Lo jadi mahasiswa kupu-kupu sekarang? Bukan kura-kura?” tanyanya.

               “Apa, sih?” Aku melanjutkan jalanku, tidak menggubris ucapan Ryo.

               “Kupu-kupu, kuliah-pulang-kuliah-pulang.”

               “Kura-kura?” tanyaku yang ujung-ujungnya penasaran juga.

               “Kuliah-rapat-kuliah-rapat,” jawab Ryo tanpa cekikikan seperti biasanya. “Lo beneran udah enggak nge-BEM?”

               “Udah selesai, sekarang siap-siap ganti kepengurusan.” Aku jadi sewot karena mengingat Bang Dito dan Ogi yang mengobrol tentang bakal calon Presbem baru dan diskusi yang tidak melibatkan aku secara terang-terangan kemarin.

               “Terus, lo enggak lanjut di sana?”

               Aku menggeleng.

               “Wow! Gue kira lo bakal jadi Menteri Sospol, Jav.”

               “Sayangnya, enggak bisa.” Ah, aku jadi ingat lagi soal IPK-ku yang di bawah standar.

               “Kenapa enggak bisa?” Ryo lama-lama sudah seperti wartawan.

               “Lo kenapa kepo banget, deh!” sungutku.

               “Gue, kan, cuma nanya. Galak amat, ih.” Ryo memasang wajah pura-pura takut.

               “IPK gue, enggak nyampe batas minimal jadi menteri,” ucapku datar. Ya, apalagi yang perlu ditutupi. Memang kenyataannya seperti itu.

               “Hah? Jadi menteri ada persyaratan IPK juga?” Kali ini Ryo seperti benar-benar kaget.

               Aku menganggukkan kepala.

               “Wah, enggak adil dong, buat orang-orang yang sebenarnya bisa di posisi itu, tapi kemampuan akademiknya jadi penghalang. Ternyata bener, ya, mulai ada pembatasan aktivis dengan cara meninggikan standar akademis. Ya, biar kayak begini. Mau enggak mau mahasiswa kudu rajin belajar, biar bungkam!”

               Aku tersentak hingga menghentikan jalanku untuk kedua kalinya. Itu pemikiranku sejak selesai aksi kemarin yang kenyataannya BEM Universitas terlalu tunduk pada birokrasi hingga tidak bisa membelaku dan malah menganggapku sebagai provokator. “Lo sejak kapan jadi tertarik bahas soal beginian?” Alisku hampir menyatu karena benar-benar baru kali ini Ryo membicarakan soal isu politik di kalangan mahasiswa.

               “Yaa … sejak lama, sih. Cuma gue milih jadi pendiem aja, Jav.”

               Aku memukul lengannya keras.

               “Sakit, woi!”

               “Biar lo enggak kesurupan. Biar setannya keluar!”

               Kali ini Ryo tertawa. “Gimana kalau lo ikut HMJ sama gue, Jav? Dari pada ilmu organisasi lo disia-siakan. Tenang, enggak ada persyaratan IPK kok,” ucapnya sebelum kutanya.

               “Emang di HMJ ada sospol?” Aku agak sangsi.

               “Kalau Dion yang jadi Ketua HMJ tahun ini, katanya bakal bikin beberapa departemen baru, termasuk sospol sama sosmas.”

               Aku membuka lebar mataku. “Serius?”

               Ryo mengangguk. “Makanya, dukung Dion jadi Ketua HMJ!” ucapnya bersemangat seraya mengepalkan tangan, seolah dia dibayar miliaran oleh Dion untuk mempromosikan namanya.

               Aku sendiri tidak terlalu mengikuti pergerakan HMJ karena lebih dulu berkecimpung di BEM Universitas. Sepertinya, ide Ryo tidak buruk-buruk amat. Dari pada menjadi kupu-kupu, lebih baik menjadi kura-kura untuk melepas penat kuliah yang tidak jelas nasibnya ke depan.

               Akhirnya, aku tidak jadi pulang karena Ryo mengajak untuk segera bertemu dengan Dion, dan berujung aku duduk di kantin sore ini yang awalnya aku berniat pulang ke kos. Dion senang pendukungnya bertambah satu. Ketika kami berempat sedang makan siang di kantin bersama Ryo dan Agus, Dion resmi menjadikanku Tim Sukses Kampanye-nya. Ya, sebentar lagi kampus akan pesta pemilu. Mulai dari BEM Universitas, BEM Fakultas, hingga HMJ semua melaksanakan pemilihan ketua organisasi untuk kepengurusan yang baru.

               “Jav, beneran, nih, gue catet nama lo jadi TSK gue,” ucap Dion. Ini sudah ketiga kalinya dia memvalidasi pernyataan Ryo yang diucapkan dua puluh menit lalu.

               “Ya ampun, lo tanya sekali lagi, gue mundur,” gerutuku setelah menghabiskan es kopi hingga tandas sebelum Ryo merebutnya.

               “Oke, oke. Gue takut salah denger aja, sih.” Dion cengengesan sambil menggaruk belakang kepala. Lalu mengetikkan sesuatu di ponselnya. “Kalau gue jadi Ketua HMJ, lo yang jadi ketua departemen sospolnya!” Dion mengulurkan tangan kanan.

               “Deal!” Aku membalas uluran tangan Dion dan terjadilah kesepakatan.

               Setelah memotret KTM-ku sebagai persyaratan pendaftaran TSK, Dion dan Agus berpamitan lebih dulu. Aku juga beranjak dari kursi setelah kepergian mereka dua menit lalu.

               “Mau ke mana?” tanya Ryo dengan alis naik.

               “Pulanglah, kan dari tadi gue mau pulang.”

               “Bentar!” Ryo mencengkeram pergelangan tanganku. Sentuhannya sekarang cukup membuat perutku mulas.

               “Apa lagi?!” hardikku berusaha menutupi kegugupan.

               “Duduk dulu. Gue mau minta tolong.”

               “Apa, sih? Cepetan!” Aku mengempaskan diriku di kursi lagi.

               “Em … Jav. Gue … mau ajak June nonton Java Jazz di weekend depan, bantu gue bikin June dateng, ya?” pinta Ryo dengan dua tangan bertangkup.

               “Yo, coba lo telepon atau ajak langsung aja, deh.” Hatiku seperti baru saja terempas ombak samudera. Sakit, dan runtuh seperti batuan tepi pantai yang abrasi. Namun, kucoba memberi jawaban selogis mungkin.

               “June enggak bakal kasih gue kesempatan ngomong, Jav.”

               “Ya, apalagi dengan gue bilang ‘eh, June, Ryo ngajak lo jalan, nonton Java Jazz’. Makin enggak ada harapan dia dateng.”

               “Nah, lo bilang aja kalau lo atau Aya atau siapa gitu yang ngajak. Jangan gue.”

               “Enggak mau! Nanti June malah ngamuk ke gue.”

               “Please, Jav. Lo bilang kalau mau bantu gue apa aja, kan, pas malam-malam lo minta gue setirin mobil Aya.”

               “Ih, itu enggak kehitung, ya. Kan, mobilnya enggak nyampe kosan, tapi nyampe ke bengkel.”

               “Tetep aja itu janji. Please, Jav ….” Ryo memasang raut wajah yang super duper memelas, walau wajah tengilnya tidak ada melas-melasnya sama sekali.

               Aku menghela napas. “Kali ini aja. Yang pertama dan terakhir gue bohongin June! Kalau June ngamuk ke gue, lo yang tanggung jawab!”

               “Iya, gue yang bakal mengatasi semuanya. Lo tenang aja.” Ryo meraih tanganku yang bebas, menggenggamnya erat. Sayangnya, perasaanku juga makin erat padanya. []

              

 

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • moonmaker

    kaya gue yg nunggu ngisi air sambil main game WKWKWK

    Comment on chapter Chapter 1 - Aku Javitri
Similar Tags
KILLOVE
3053      1038     0     
Action
Karena hutang yang menumpuk dari mendiang ayahnya dan demi kehidupan ibu dan adik perempuannya, ia rela menjadi mainan dari seorang mafia gila. 2 tahun yang telah ia lewati bagai neraka baginya, satu-satunya harapan ia untuk terus hidup adalah keluarganya. Berpikir bahwa ibu dan adiknya selamat dan menjalani hidup dengan baik dan bahagia, hanya menemukan bahwa selama ini semua penderitaannya l...
Potongan kertas
652      304     3     
Fan Fiction
"Apa sih perasaan ha?!" "Banyak lah. Perasaan terhadap diri sendiri, terhadap orang tua, terhadap orang, termasuk terhadap lo Nayya." Sejak saat itu, Dhala tidak pernah dan tidak ingin membuka hati untuk siapapun. Katanya sih, susah muve on, hha, memang, gegayaan sekali dia seperti anak muda. Memang anak muda, lebih tepatnya remaja yang terus dikejar untuk dewasa, tanpa adanya perhatian or...
Let's See!!
1367      663     1     
Romance
"Kalau sepuluh tahun kedepan kita masih jomblo, kita nikah aja!" kata Oji. "Hah?" Ara menatap sahabat kentalnya itu sedikit kaget. Cowok yang baru putus cinta ini kenapa sih? "Nikah? lo sama gue?" tanya Ara kemudian. Oji mengangguk mantap. "Yap. Lo sama gue menikah."
Hello Goodbye, Mr. Tsundere
746      550     2     
Romance
Ulya tak pernah menyangka akan bertemu lagi dengan Natan di kampus. Natan adalah panggilan kesayangan Ulya untuk seorang cowok cool, jenius, dan anti sosial Hide Nataneo. Ketika para siswa di SMU Hibaraki memanggilnya, Hide, Ulya malah lain sendiri. Ulya yakin si cowok misterius dan Tsundere ini punya sisi lain yang menakjubkan. Hingga suatu hari, seorang wanita paruh baya bertopi fedora beludru...
Sweet Equivalent [18+]
2738      773     0     
Romance
When a 19 years old girl adopts a 10 years old boy Its was hard in beginning but no matter how Veronica insist that boy must be in her side cause she thought he deserve a chance for a better live Time flies and the boy turn into a man Fact about his truly indentitiy bring another confilct New path of their life change before they realize it Reading Guide This novel does not follow the rule o...
Ethereal
1100      519     6     
Romance
Ada cowok ganteng, imut, tingginya 173 sentimeter. Setiap pagi, dia bakalan datang di depan rumahmu sambil bawa motor matic, yang akan goncenging kamu sampai ke sekolah. Dia enggak minta imbalan. Dia cuma pengen lihat kamu bahagia. Lalu, ada cowok nggak kalah ganteng dari sebelumnya, super tinggi, cool, nyebelin. Saat dideket kamu dia sangat lucu, asik diajak ngobrol, have fun bareng. Ta...
Anak Magang
25      23     0     
Fan Fiction
Bercerita sekelompok mahasiswa yang berusaha menyelesaikan tugas akhirnya yaitu magang. Mereka adalah Reski, Iqbal, Rival, Akbar. Sebelum nya, mereka belum mengenal satu sama lain. Dan mereka juga bukan teman dekat atau sahabat pada umumnya. Mereka hanya di tugaskan untuk menyelesaikan tugas nya dari kampus. Sampai suatu ketika. Salah satu di antara mereka berkhianat. Akan kah kebersamaan mereka ...
ARSELA: Perjodohan si Syar'i dan Ketua Geng Motor
96      89     3     
Romance
Memiliki hutang budi dengan keluarga Dharmendra, Eira mau tidak mau menyetujui perjodohan dengan putra sulung keluarga itu, Arsel, seorang ketua geng motor tersohor di kampusnya.
Memento Merapi
4333      1730     1     
Mystery
Siapa bilang kawanan remaja alim itu nggak seru? Jangan salah, Pandu dan gengnya pecinta jejepangan punya agenda asyik buat liburan pasca Ujian Nasional 2013: uji nyali di lereng Merapi, salah satu gunung terangker se-Jawa Tengah! Misteri akan dikuak ala detektif oleh geng remaja alim-rajin-kuper-koplak, AGRIPA: Angga, Gita, Reni, dan Pandu, yang tanpa sadar mengulik sejarah kelam Indonesia denga...
Love Arrow
364      236     2     
Short Story
Kanya pikir dia menemukan sahabat, tapi ternyata Zuan adalah dia yang berusaha mendekat karena terpanah hatinya oleh Kanya.