Read More >>"> Titip Salam (Chapter 12 - Kehilangan) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Titip Salam
MENU
About Us  

   Menjelang akhir kepengurusan BEM, aku justru tidak pernah mengunjungi sekretariat BEM sama sekali. Tiap Bang Dito mengadakan rapat untuk menyusun LPJ Kementerian Sosial Politik, aku selalu beralasan tidak bisa hadir dan meminta dia untuk mengirim tugasku melalui e-mail saja. Aku tiba-tiba menjadi mahasiswa rajin kuliah walau di dalam kelas aku memilih bangku pojokan sembari membaca buku karya Pramoedya.

    Aku juga berusaha menjauhi Ryo karena sejak pertandingan final basket waktu itu, aku merasa aneh. Aku bisa tiba-tiba senang ketika Ryo mengajakku bicara, tapi aku bisa sangat kesal ketika dia menanyakan kabar June saja, jadi aku memutuskan untuk mengurangi intensitas kebersamaanku dengan dia. Dari pada aku senyum-senyum atau marah-marah tidak jelas hanya karena cara Ryo memperlakukanku.
    Siang ini, ketika aku baru selesai kelas, tiba-tiba Aya menghampiriku. “Cuy, temani gue dong!” pinta Aya seraya bergelayut di lenganku.
    “Ke mana?” tanyaku tidak acuh. Aku hanya ingin pulang ke kos dan tidur.
    “Gue ada lomba debat, nih, di Aula Kartini jam empat sore. Males kalau berangkat sendiri, lo nonton, ya.”
    “Lomba debat apaan? Fakultas?”
    Aya menggelengkan kepala. “UKM, English Study Club.”
    “Antaruniversitas?” Aku mengerutkan dahi.
    “Bukan. Antartim di UKM.”
    “Ih, ogah. Kan, itu isinya anak UKM lo semua.” Aku mempercepat langkah keluar gedung.
    “Enggak, untuk umum kok. Temani gue ya, please?” bujuk Aya.
    “Ya, terus gue ngapain di sana?”
    “Duduk aja di pojokan, lihat Youtube kek, atau baca buku.”
    Aku menghela napas. Aya kalau ada maunya, pasti akan dikejar sampai dapat. Termasuk jika aku menolak ajakannya ini, bisa dipastikan dia akan terus mengganggu dan memohon sampai aku benar-benar pulang. Dan, apabila aku tetap pada pendirianku untuk menolak, Aya bisa tidak mengajakku bicara tiga hari tiga malam.
    “Gue traktir makan siang, deh. Terserah lo mau makan apa aja!” Aya masih berusaha membobol pertahananku.
    “Ya, udah, deh. Ayo ke kantin!” Aku memutar langkah, menuju arah berlawan untuk ke kantin. Pertahananku jebol hanya karena kata ‘traktir’.
    “Yes!” Aya menyejajarkan langkahnya denganku dengan senyum lebar.
    Aku baru tahu kalau Aya sedang menghindari seorang laki-laki di UKM-nya. Dari sapaan singkat sebelum masuk aula, mahasiswa yang tidak aku tahu jurusannya itu menanyakan alasan Aya menolak berangkat ke aula bersama. Aya yang sok cuek—padahal biasanya jadi yang paling ramah di antara penghuni kos—hanya menjawab dia ada janji denganku sebelum dan sesudah acara sore ini.
    “Cakep, tuh,” bisikku pada Aya yang duduk di sampingku. Aku memilih duduk di bangku paling belakang, tapi juga paling atas karena Aula Kartini memiliki bentuk bangunan seperti bioskop.
    Aya sontak membelalakkan mata di depanku seolah mengatakan ‘yang bener aja?’. “Gue lagi deket sama cowok yang lain, cuy,” akunya.
    “Oh, ya? Lo kok enggak pernah cerita?”
    “Takut kalian godain kalau dia jemput ke kos.”
    “Idih! Emangnya kita cewek tukang goda apa? Tukang gado camilan, baru iya,” cibirku. “Siapa yang lagi deket sama lo? Anak UKM sini juga?”
    “Rahasia.” Aya menjulurkan lidah.
    Aku hanya memukul lengannya. Kemudian seorang laki-laki tinggi, berwajah oriental dengan rambut cepak mulai membuka acara.
    “Itu anak UKM lo juga?” bisikku lagi seraya menunjuk ke podium.
    “Kenapa? Ganteng, ya?” 
    Sebenarnya aku ingin mengatakan ‘enggak juga’, tapi karena mataku masih berfungsi normal, ditambah aku yakin kalau fitur wajahnya nyaris sempurna, jadi kuanggukkan kepala. “Kayak oppa-oppa di drama Korsel.” Kali ini aku malah terang-terangan.
    Aya menyetujui ucapanku. Bahkan, dia bilang wajah mahasiswa laki-laki itu lebih mulus dibanding wajahnya.
    Lomba debat yang tidak terlalu kuperhatikan itu selesai pukul enam sore, dimenangkan oleh tim Aya tentu saja. Sudah dibilang, temanku yang satu itu kalau punya keinginan pasti akan dikerjakan dengan ulet.
    Satu per satu keluar dari aula, tapi beberapa orang di depan pintu malah ada yang memekik terkejut. Lalu memanggil Aya yang masih duduk bersamaku di bangku belakang, karena kami sengaja menunggu agak sepi baru pulang ke kos.
    “Ada apa, sih?” tanyaku bingung karena para anggota UKM menjadi heboh.
    Aku dan Aya bergegas turun dan ….
    What the heck is!
    Aku mendelik, apalagi Aya yang berdiri tepat di tengah pintu aula.
    Kelopak mawar merah terhampar membentuk jalan setapak dari depan pintu menuju sebuah pilar besar di depan yang berjarak sepuluh meteran. Beberapa sudah tidak pada tempatnya karena angin sore meniup pelan. Anggota UKM yang tadi heboh sudah berdiri di kanan-kiri jalan, sembari membawa mawar merah!
    Berapa ratus tangkai mawar yang dia beli cuma untuk adegan opera sabun kayak gini? batinku. 
    Di pilar, tertempel karton besar ditulis dengan spidol hitam yang sepertinya terburu-buru. Aya, Will you be my girlfriend?
    Aku menepuk dahi. Aya menutup mulutnya karena takjub. Lalu perlahan mengikuti skenario, berjalan menuju pilar seraya menerima mawar merah pemberian teman-teman UKM-nya. Aku masih mematung di tempat yang sama, di pinggir pintu aula.
    Langkah Aya berhenti di depan pilar, dan muncullah seseorang yang makin membuatku membelalakkan mata dari balik pilar tersebut. Dia si mahasiswa berwajah oriental yang kusebut oppa-oppa tadi! 
    “Mau jadi pacarku, Aya?” tanyanya sembari menyerahkan sebuket besar bunga. Untung saja bukan mawar merah juga.
     Aya mengangguk. Semua bersorak. 
     Ya Tuhan! Teman gue seleranya ditembak ala telenovela banget! ucapku dalam hati sambil berusaha menahan tawa.
     Si oppa itu berteriak kegirangan. Acara pengakuan cinta berakhir dan semua ikut bersih-bersih halaman aula termasuk aku.
     Yang pacaran siapa, yang repot siapa!
     Aya menghampiriku yang baru saja memasukkan sapuan terakhir ke tong sampah. Kasihan sekali mawar-mawar itu berakhir di tempat pembuangan. Manusia memang begitu, suka merusak dan menyia-nyiakan sesuatu yang indah.
     “Cuy, tolong bawain mobil gue pulang, ya?” ucapnya sembari memaksaku menerima kunci mobilnya.
     “Hah? Gimana cara bawanya?” Aku melongo bingung.
     “Ya, disetir, lah! Lo bisa nyetir matic, kan?”
     “Ya … bisa. Tapi di jalan lurus doang! Kagak bisa belok-belok!” tolakku. “Lo telepon June aja, deh. Dari pada mobil lo kenapa-kenapa.”
    “Gue buru-buru, nih. Nanti minta tolong ke siapa kek keluarin dari parkiran. Kan, ke kosan cuma belok sekali dari sini. Lo pasti bisalah, itung-itung belajar.”
     Aku melotot, sampai-sampai bola mataku rasanya mau keluar. “Hah?”
    “Udah, ya. Gue ditungguin, nih. Mau diajak makan bareng. Thank you, cuy!” Kemudian Aya berlari ke arah si oppa yang menunggunya. “Jangan lupa, si putih kudu pulang ke kosan. Jangan sampai nginep di kampus!”
    “Aya!” panggilku.
     Akan tetapi, Aya hanya melambaikan tangannya.
    “Kacau, nih!” Aku menggaruk rambut bagian depan karena frustrasi bercampur kesal. Aya yang tadi mengajakku ke sini, malah sekarang meninggalkanku. Belum lagi dengan segala kerepotan yang dia timbulkan dari sore hingga malam.
      Aku mencoba menelepon tiga penghuni kos yang lain, siapa tahu ada yang bisa memberiku jalan keluar, tapi percuma tidak ada yang menjawab maupun membalas chat-ku di whatsapp group. Dengan langkah lunglai aku menuju gedung jurusan, berharap menemukan seseorang yang bisa membantuku memulangkan mobil Aya ke kos.
      Gedung jurusan sepi, sekretariat HMJ terkunci. Tidak ada orang, dan aku mulai mengerang kesal.
      “Lo ngapain?” tanya seseorang di belakangku hingga membuatku terlonjak kaget.
      “Ya Tuhan, kaget gue, ih!” 
      “Lah, lo ngapain gumam enggak jelas, bukannya pulang dari tadi.” Ryo mengernyit heran.
      “Kok lo masih di sini, Yo?” Aku jadi ikutan mengerutkan kening sambil menoleh ke kanan-kiri.
      “Gue baru kelar rapat HMJ.”
      “Yang lain ke mana?”
      “Pada kunjungan ke HMJ Teknik Sipil. Kenapa, sih?”
      “Em … Yo, gue minta tolong, dong.” Aku menundukkan kepala, merasa sungkan karena biasanya aku menolak dekat-dekat dengan Ryo.
      “Apaan?” tanyanya dengan kedua mata yang menatapku.
      “Bantuin gue bawa pulang mobil Aya ke kos.” Aku menangkupkan tangan di depan dada demi meminta bantuan Ryo. “Please ….”
      Mata Ryo tampak bergetar sesaat. “Gue enggak bisa.”
      “Ryo, please. Lo minta apa aja gue kabulin, deh.”
      “Gue enggak bisa nyetir, Jav.”
      “Jangan bohong, ih. Gue bener-bener minta tolong, kalau enggak, Aya ngamuk nanti.”
      “Coba minta tolong ke yang lain.”
       Aku menggeleng. “Gue udah puterin jurusan, enggak ada orang.” Sedikt berbohong, sebenarnya aku baru berkeliling ke lantai satu dan dua. Belum masuk ke laboratorium-laboratorium yang pasti ada senior sedang mengerjakan penelitian skripsi.
      “Lo coba ke lab—“
      “Ryo, please … bantuin gue. Gue bantuin lo sampai lo enggak salah paham lagi sama June, deh. Sampai masalah lo sama June kelar,” potongku dengan masih menangkupkan tangan dan hampir berlutut, tapi buru-buru dicegah Ryo.
      “Lo kenapa, deh, pakai acara mau lutut segala. Emang gue berhala?” Ryo meninggikan intonasi bicaranya.
      “Tolongin gue ….”
      “Oke! Sekarang di mana mobilnya?” 
      “Yes! Thank you, Yo. Lo temen gue yang paliiing baik, deh. Gue pasti bantu lo kelarin masalah sama June. Gue janji!”
      “Udah, buruan di mana mobilnya?”
      “Parkiran fakultas!” Aku bergegas mempercepat langkah menuju tempat mobil Aya diparkir karena sepertinya Ryo buru-buru.
      Sebelum membuka pintu pengemudi, kulihat Ryo sempat mengambil napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan, seolah dia tengah berusaha menenangkan dirinya. Aku mengerutkan kening, tapi kupikir mungkin Ryo terlalu gugup menyetir mobil orang lain.
      Kami sudah duduk di kursi masing-masing. Kulihat Ryo memakai seatbelt-nya.
      “Pakai seatbelt lo,” suruh Ryo ketus.
      “Deket doang. Enggak perlu,” jawabku tidak acuh.
      “Javitri, pakai seatbelt lo sekarang atau gue turun, nih!” Kali ini Ryo sedikit membentak.
       Aku jadi kalang-kabut. Ryo kenapa semarah ini cuma gara-gara seatbelt? pikirku heran.
       Ryo menyalakan mesin. Kedua tangannya setengah ragu memegang kemudi.
      “Lo gemeteran, Yo?” tanyaku bingung.
       Ryo hanya menghela napas. Kali ini matanya menatap jauh ke depan, seolah takut bertemu kerikil atau sesuatu yang bisa menghalangi jalannya. Tangan kirinya menggantung di udara, di atas tuas persneling, gelagat Ryo seperti penuh keraguan.
      “Ryo?” panggilku lagi. Benar-benar ada yang tidak beres dengan laki-laki di sampingku ini.
      “Oke,” ucapnya entah ditujukan pada siapa. Lalu tangannya mulai bergerak di atas tuas.  Tinggal memutar kemudi dan menginjak gas. 
       Bibir Ryo tampak komat-kamit, dia terus menarik napas panjang. Aku tidak berani mengganggu lagi. Kubiarkan Ryo fokus, mungkin karena dia tidak terbiasa menyetir mobil Aya ini. Yang kulakukan hana menunggu Ryo menjalankan mo—
       Braakk!
      “Ja-Jav, e-elo e-enggak apa-apa?” Suara Ryo bergetar.
       Semua terasa cepat. Padahal aku baru saja membatin kenapa Ryo tidak segera jalan. Sekarang, mobil ini sudah berada di dekat tiang lampu jalan. Kap mobil depan terlihat penyok dan mengeluarkan sedikit asap. Aku jelas terkejut setengah mati. Detak jantungku sudah berlompatan, apa yang sebenarnya terjadi?
      Petugas penjaga parkir fakultas dan beberapa orang yang kebetulan ada di sana menghampiri kami. Kulihat Ryo dengan napas terengah, dia menundukkan wajah seraya merangkul kemudi. Makin lama Ryo tampak kehilangan napas. Wajahnya pucat, tangannya gemetar hebat.
     “Yo, Ryo!” Aku memukul lengannya berkali-kali, berusaha mengembalikan kesadarannya walau matanya terbuka lebar, tapi pikirannya entah ke mana.
      Dengan sekuat tenaga kusandarkan tubuh Ryo di kursi dan melepas seatbelt-nya. “Ryo, tarik napas panjang,” ucapku, kali ini lebih lembut dan berusaha tidak panik. “Yo, Ryo. Hei, lihat gue.” Aku memanggilnya berkali-kali, tapi percuma.
      Aku bergegas keluar, petugas bertanya kenapa, tapi aku tidak mau menjawabnya sekarang. Kubuka pintu pengemudi, kutarik lengan Ryo dengan bantuan seorang laki-laki yang tidak aku kenal. Ryo masih kesulitan bernapas. Sempat kulihat sekilas seseorang mematikan mesin mobil.
      “Ryo, tarik napas panjang. Tenang. Oke? Gue enggak apa-apa, lo juga enggak apa-apa,” kataku sembari berjongkok di depan Ryo persis agar dia menatapku. Laki-laki di depanku ini seperti bukan orang yang kukenal. Dia nyaris tidak berdaya.
      “Mau dibawa ke rumah sakit aja, Neng?” tawar petugas sembari mengangsurkan sebotol air mineral.
      “Sebentar, Pak,” tolakku halus. “Pak, kayaknya temen saya cuma butuh oksigen lebih banyak. Bapak tinggal aja, enggak apa-apa.”
      “Nanti kalau kenapa-kenapa segera panggil saya, ya, Neng, di pos depan,” ucapnya seraya menunjuk pos petugas.
       “Iya, Pak. Nanti mobilnya biar diderek aja.” Aku berusaha tidak panik dan berpikir cepat.
Orang-orang yang tadi mengerubungi kami perlahan pergi. Aku masih terus memberi instruksi ke Ryo agar menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan-lahan.
       “Mau ke rumah sakit?” tanyaku seraya mengangsurkan botol minum yang sudah kubuka.
Ryo menggeleng. Wajahnya pucat. Tangannya yang sudah tidak terlalu gemetar menerima minum yang kusodorkan.
       Aku bernapas lega karena kesadarannya telah kembali. Sekarang memikirkan bagaimana cara bilang ke Aya dan membawa mobil ini ke bengkel. Aku beranjak dari hadapan Ryo, lalu duduk di sampingnya sambil memandangi mobil yang bernasib buruk malam ini.
      “Sorry, Jav,” ucap Ryo setelah tenang. 
       Kurasakan dia tengah memandang ke arahku. “Gue yang minta maaf udah paksa-paksa lo. Gue enggak tahu lo ada trauma nyetir.” Aku masih menatap mobil di depanku dan tiang lampu yang bengkok empat puluh lima derajat. Jujur saja, aku tidak mau menatap Ryo yang tidak berdaya seperti sekarang. Ryo yang kukenal selalu ceria, antusias, dan bersemangat.
       “Gue … pernah kecelakaan mobil waktu SMA. Gue maksa-maksa guru les buat jalan karena gue kesepian. Dia udah gue anggep Kakak. Tapi gara-gara itu, guru les gue enggak bisa ngajar gue lagi.”
       “Patah tulang?”
       “Meninggal dunia ….”
        Aku menelan ludah. Kutolehkan kepalaku ke arah Ryo yang ternyata masih memandangku. Matanya sayu, dan berkaca-kaca. Ya, rasa bersalah itu, aku tahu rasanya. Rasanya kehilangan orang terdekat yang paling disayang, juga menyakitkan dan hampir ikut mati juga. Entah apa yang mendorongku, kuraih tangah kiri Ryo. Dingin. Tangannya sedingin es. Pasti tadi dia ketakutan.
       “Bukan salah lo, Yo,” ucapku yang sepertinya kutujukan pada diriku sendiri.
Ryo menghela napas. “Gara-gara gue, semua gara-gara gue, Jav.” Dia memalingkan wajah, menatap bagian samping mobil Aya yang mengkilat.
       “Semua udah takdir. Itu yang bener.” Suaraku parau. “Gue … juga pernah kehilangan Kakak. Saudara kandung gue satu-satunya. Di keluarga, cuma dia yang deket sama gue, dan gue sayang banget sama dia. Tapi kenyataannya, Tuhan, lah, yang paling sayang sama kakak gue.”
       Kami berdua sama-sama memandang ke depan. Tidak mampu memandang jauh karena terhalang mobil. Ya, mungkin beginilah kehidupan. Aku tidak akan pernah bisa memandang apa yang ada di balik mobil ini sekarang. 
      Ryo menyandarkan kepalanya di bahuku. Aku sedikit tersentak, tapi mungkin dia benar-benar membutuhkannya sekarang. Tangan kami masih bertautan, lama-lama kurasakan tangan Ryo menghangat, syukurlah. 
      Kami hening sesaat. Merasakan angin malam yang menerpa rambut kami, suara gesekan daun, serta disinari lampu bengkok. Suasana kampus sepi, tapi pikiranku ramai. Detak jantungku malah berolahraga malam-malam. Biar saja sebentar seperti ini sebelum semua berjalan normal kembali dan aku disingkirkan. []

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • moonmaker

    kaya gue yg nunggu ngisi air sambil main game WKWKWK

    Comment on chapter Chapter 1 - Aku Javitri
Similar Tags
KILLOVE
3053      1038     0     
Action
Karena hutang yang menumpuk dari mendiang ayahnya dan demi kehidupan ibu dan adik perempuannya, ia rela menjadi mainan dari seorang mafia gila. 2 tahun yang telah ia lewati bagai neraka baginya, satu-satunya harapan ia untuk terus hidup adalah keluarganya. Berpikir bahwa ibu dan adiknya selamat dan menjalani hidup dengan baik dan bahagia, hanya menemukan bahwa selama ini semua penderitaannya l...
Potongan kertas
652      304     3     
Fan Fiction
"Apa sih perasaan ha?!" "Banyak lah. Perasaan terhadap diri sendiri, terhadap orang tua, terhadap orang, termasuk terhadap lo Nayya." Sejak saat itu, Dhala tidak pernah dan tidak ingin membuka hati untuk siapapun. Katanya sih, susah muve on, hha, memang, gegayaan sekali dia seperti anak muda. Memang anak muda, lebih tepatnya remaja yang terus dikejar untuk dewasa, tanpa adanya perhatian or...
Let's See!!
1367      663     1     
Romance
"Kalau sepuluh tahun kedepan kita masih jomblo, kita nikah aja!" kata Oji. "Hah?" Ara menatap sahabat kentalnya itu sedikit kaget. Cowok yang baru putus cinta ini kenapa sih? "Nikah? lo sama gue?" tanya Ara kemudian. Oji mengangguk mantap. "Yap. Lo sama gue menikah."
Hello Goodbye, Mr. Tsundere
746      550     2     
Romance
Ulya tak pernah menyangka akan bertemu lagi dengan Natan di kampus. Natan adalah panggilan kesayangan Ulya untuk seorang cowok cool, jenius, dan anti sosial Hide Nataneo. Ketika para siswa di SMU Hibaraki memanggilnya, Hide, Ulya malah lain sendiri. Ulya yakin si cowok misterius dan Tsundere ini punya sisi lain yang menakjubkan. Hingga suatu hari, seorang wanita paruh baya bertopi fedora beludru...
Sweet Equivalent [18+]
2738      773     0     
Romance
When a 19 years old girl adopts a 10 years old boy Its was hard in beginning but no matter how Veronica insist that boy must be in her side cause she thought he deserve a chance for a better live Time flies and the boy turn into a man Fact about his truly indentitiy bring another confilct New path of their life change before they realize it Reading Guide This novel does not follow the rule o...
Ethereal
1100      519     6     
Romance
Ada cowok ganteng, imut, tingginya 173 sentimeter. Setiap pagi, dia bakalan datang di depan rumahmu sambil bawa motor matic, yang akan goncenging kamu sampai ke sekolah. Dia enggak minta imbalan. Dia cuma pengen lihat kamu bahagia. Lalu, ada cowok nggak kalah ganteng dari sebelumnya, super tinggi, cool, nyebelin. Saat dideket kamu dia sangat lucu, asik diajak ngobrol, have fun bareng. Ta...
Anak Magang
25      23     0     
Fan Fiction
Bercerita sekelompok mahasiswa yang berusaha menyelesaikan tugas akhirnya yaitu magang. Mereka adalah Reski, Iqbal, Rival, Akbar. Sebelum nya, mereka belum mengenal satu sama lain. Dan mereka juga bukan teman dekat atau sahabat pada umumnya. Mereka hanya di tugaskan untuk menyelesaikan tugas nya dari kampus. Sampai suatu ketika. Salah satu di antara mereka berkhianat. Akan kah kebersamaan mereka ...
ARSELA: Perjodohan si Syar'i dan Ketua Geng Motor
96      89     3     
Romance
Memiliki hutang budi dengan keluarga Dharmendra, Eira mau tidak mau menyetujui perjodohan dengan putra sulung keluarga itu, Arsel, seorang ketua geng motor tersohor di kampusnya.
Memento Merapi
4333      1730     1     
Mystery
Siapa bilang kawanan remaja alim itu nggak seru? Jangan salah, Pandu dan gengnya pecinta jejepangan punya agenda asyik buat liburan pasca Ujian Nasional 2013: uji nyali di lereng Merapi, salah satu gunung terangker se-Jawa Tengah! Misteri akan dikuak ala detektif oleh geng remaja alim-rajin-kuper-koplak, AGRIPA: Angga, Gita, Reni, dan Pandu, yang tanpa sadar mengulik sejarah kelam Indonesia denga...
Love Arrow
364      236     2     
Short Story
Kanya pikir dia menemukan sahabat, tapi ternyata Zuan adalah dia yang berusaha mendekat karena terpanah hatinya oleh Kanya.