Loading...
Logo TinLit
Read Story - Titip Salam
MENU
About Us  

       Sabtu ini aku tidak pulang ke rumah, final basket putri Piala Rektor diadakan Sabtu malam, dan kami berempat alias penghuni kos sepakat untuk menonton June bertanding. Jurusan Teknik Elektro masuk ke babak final sesuai harapan dan akan bertemu dengan Jurusan Teknik Kelautan. Karena Papa jelas tidak percaya jika aku ada acara di kampus, Aya berbaik hati menelepon Papa untuk memintakan izin, dan beruntung suasana hati Papa sedang baik, jadi aku dengan mudah mendapat izin Papa.
    Malam ini kami berempat menuju lapangan indoor, sedangkan June sudah berangkat sejak pukul empat sore tadi. Dan, seperti biasa sebelumnya aku harus bersabar menunggu tiga gadis berdandan sejak selesai salat magrib hingga lima menit sebelum pertandingan dimulai. Akhirnya kami baru sampai lapangan setelah lima menit berputar-putar mencari tempat parkir. Padahal aku ingin melihat June bermain sebagai starter.
    “Kalian, sih, lama banget dandannya! Kita telat, nih!” decakku kesal dan buru-buru keluar mobil.
    “Cuma telat sepuluh menit, Jav,” sahut Tiar membela diri karena sebenarnya dia yang paling lama, apalagi alisnya sempat tercoret.
    “Sepuluh menit itu satu kuarter! Dan kita udah skip kuarter satu!” 
    “Udah, deh, Jav. Kan, masih ada waktu nonton,” ucap Wita menengahi. Bukan. Lebih tepatnya menyuruhku berhenti mengomel.
    Tribun tampak penuh di mana-mana, seperti tidak ada tempat tersisa. Kami menuju tempat bendera Jurusan Teknik Elektro dikibarkan, bendera sebesar empat meter kali empat meter itu terlihat sangat mencolok di dinding lapangan indoor. Itu bendera buatan angkatanku saat ospek, katanya untuk meningkatkan sense of belongings kami sebagai mahasiswa Teknik Elektro.
    Sepertinya kuarter pertama baru selesai, kulihat para pemain sedang istirahat di pinggir lapangan sambil mendengarkan Mas Angga yang memegang papan dada. Karena menuju tribun jurusan kami harus melewati tribun Jurusan Teknik Kelautan, baru saja berjalan tiga meter, sorakan membahana. Tentu saja menyoraki aku dan tiga penghuni kos lainnya yang sengaja menggunakan jaket jurusan.
    “Sayonara, sayonara, Elektro juara duaa ….” Tribun Jurusan Teknik Kelautan riuh menyanyikan yel-yel hasil plesetan lagu sayonara.
    “Wita, dapat salam dari Ogi!” teriak salah satu laki-laki yang entah duduk di mana, suaranya yang keras mampu terdengar hingga ke telinga kami yang sedang berusaha berjalan lebih cepat.
    “Ciyeee … suit, suit!” Mereka bersorak dengan heboh lagi. Jurusan Teknik Kelautan ini hampir sama seperti jurusanku yang mayoritas mahasiswanya laki-laki, jadi ketika bertemu di final seperti ini, apalagi pertandingan putri, mereka sibuk saling ejek.
    Suara peluit menandakan kuarter kedua dimulai. Kami berempat berpencar mencari tempat duduk. Kulihat Ryo melambaikan tangan ke arahku dari tribun atas. Dia duduk dengan Agus, Dion dan sederet teman laki-laki lainnya. Aku buru-buru menaiki tangga, tapi karena langkahku terlalu cepat aku terpeleset di salah satu anak tangga ketika sudah mendekati tribun atas.
    “Aduh!” Kakiku rasanya nyut-nyutan.
    Ryo yang duduk di ujung buru-buru menolongku. “Lo, tuh, ya, cerobohnya dikurang-kurangin kek. Naik tangga doang, jatuh.”
    “Jangan cerewet, buruan bantu gue. Kuarter dua udah mulai, nih!”
    Ryo mengalungkan lenganku ke bahunya, aku meringis karena menahan sakit, sepertinya terkilir. Lalu mendudukkanku di bangkunya.
    “Enggak apa-apa, Jav?” tanya Dion yang duduk tidak jauh dariku.
    “Sakit banget,” jawabku sambil meluruskan kaki.
    “Nanti kompres es aja,” sahut Agus.
    Aku hanya mengangguk.
    Tiba-tiba Ryo berjongkok, dia melepas sneakers dan kaos kakiku tanpa ragu. Untung saja aku rajin ganti kaos kaki dan cuci sepatu, kalau tidak bisa-bisa Ryo pingsan setelah membukanya. Kemudian menyentuh bagian pergelangan kaki kiriku yang masih terasa berdenyut. Memutar-mutarnya pelan dan hati-hati. Aku merasa aneh. Perutku geli. Apa karena tangan Ryo yang juga menyentuh telapak kakiku sekarang? Namun, kalau geli aku harusnya tertawa, ini tidak. Geli di perutku terasa menyenangkan hingga naik ke dada, membuat detak jantungku lebih cepat. Aku benar-benar tidak bisa fokus dengan pertandingan basket sekarang.
    “Rasanya gimana? Nyeri banget?” tanya Ryo dengan kepala mendongak.
    “Hah?”
    “Mulai deh, hah-hoh-nya! Nyerinya gimana? Kayak berdenyut gitu? Ini kaki lo bengkak.”
    “Iya, nyut-nyutan.” Aku mengangguk dan kurasakan pipiku memanas. Mungkin karena memang situasi lapangan yang panas dan gerah.
    Ryo turun, tanpa memasang sepatuku kembali. Tiga menit kemudian dia kembali dengan sesuatu di tangannya. Lalu menempelkannya di pergelangan kakiku.
    “Langsung kompres pakai es aja, tadi gue minta ke Mas Angga untung mereka bawa banyak,” ucap Ryo sebelum kutanya.
    “Makasih. Lo duduk aja, biar gue kompres sendiri.” Aku membungkuk, berusaha meraih ice bag dari tangan Ryo.
    “Enggak apa-apa, lo duduk aja.” Ryo menepis tanganku, dan duduk di anak tangga tanpa memikirkan celananya akan kotor.
    “June main, tuh. Lo enggak bisa lihat kalau dari situ.”
    “Masih bisa, kok. Kan, gue tinggi.” Sesekali pandangan Ryo dialihkan ke lapangan dan ikut bersorak bersama teman-teman lain.
    Aku tidak lagi memaksanya untuk duduk di atas dan memilih melihat pertandingan yang tersisa dua kuarter lagi. Jurusan Teknik Kelautan masih memimpin walau selisihnya tidak jauh, hanya beda dua poin, tapi tetap saja harus lebih waspada. June sebagai kapten memimpin tim, berteriak ke empat pemain lain untuk mengarahkan mereka.
    Tim Jurusan Teknik Kelautan terlihat agresif dan terus menyerang, sedangkan June memilih memperkuat defense, dan menyerang tiap ada kesempatan. Teman sekamarku itu mendapat posisi point guard sejak dulu, mungkin karena tubuhnya yang paling pendek dibandingkan pemain lain yang menjulang tinggi. Namun, June gesit saat menggiring, mengumpan dan mencuri bola dari lawan.
    Kuarter tiga makin memanas karena dari dua kuarter sebelumnya tim Jurusan Teknik Elektro dan Teknik Kelautan sama-sama unggul alias seri. Mereka mulai adu mental, apalagi kondisi tubuh yang sudah lelah.
    Kini bola dipegang oleh June, dia mendribel bola hingga ke garis tengah seraya membaca situasi lalu mengoper bola pada Alin. Aku ikut tegang selama menonton pertandingan. Apalagi June terlihat kelelahan, hanya dia yang belum digantikan. Kuarter tiga tersisa satu menit lagi dan seragamnya sudah basah oleh keringat, sedangkan jurusanku tertinggal satu poin.
    June berlari masuk ke daerah lawan menembus pertahanan Jurusan Teknik Kelautan. “Alin!” teriaknya meminta bola.
    Aku tahu ini penyerangan kilat, hanya ini cara satu-satunya mendapat poin cepat, tapi beresiko. Tiga pemain lain masing-masing menjaga seorang lawan.
    Alin mendribel dengan gerakan memutar untuk melewati center lawan, dan berhasil. June sudah berada di belakangnya bersama lawan yang berusaha menghalanginya. Akhirnya Alin memberikan operan pada Fira yang berada tidak jauh darinya.
    Fira dengan cepat memberikan bola ke June yang berada di three point line. Teman sekamarku itu tanpa ragu melempar bola ke ring dengan lompatan tinggi yang memukau. Bola melayang ke arah yang diharapkan. dan …
    Masuk!
    Semua mahasiswa Jurusan Teknik Elektro bersorak kegirangan apalagi lima detik kemudian peluit tanda kuarter ketiga berakhir berbunyi. Namun, di lapangan semua pemain sekaligus Mas Angga segera mengerubungi June.
    “Ada apa?” tanya Dion bingung.
    Beberapa berusaha memanjangkan leher untuk melihat situasi yang sebenarnya terjadi. Mas Angga tampak melambaikan tangan ke seseorang di pinggir lapangan. Petugas medis berlari mendekati mereka.
    “June cedera ankle!” teriak seseorang dari depan.
    Ryo yang berdiri di sampingku sejak satu menit lalu untuk merayakan kemenangan kuarter tiga, sontak melempar ice bag ke arahku dan bergegas berlari turun. Kurasakan sesuatu di dadaku bergejolak. Kesal.
    June dibopong dengan tandu. Sepertinya, dia tidak mendaratkan kakinya dengan benar setelah melompat tadi sehingga mengenai pergelangan kaki. Semua orang bertepuk tangan mengiringi June keluar lapangan, karena permainannya yang mengesankan. Kutebak, dia tidak dapat melanjutkan pertandingan.
    “Thank you, June!” teriak Agus yang pastinya tidak akan didengar oleh orangnya langsung.
    Final berakhir dan gelar juara basket putri diberikan pada jurusanku, Teknik Elektro. Beruntung, semua pihak menerima dengan legowo, sehingga tawuran yang ditakutkan tidak terjadi. Semoga di pertandingan lain juga bisa seperti ini. Situasi damai. Namun, tidak denganku yang sejak tadi merasa kesal. Ryo tidak kembali ke tribun dari tadi. Entah apa yang bisa dia lakukan untuk June yang cedera di bawah sana.
    “Bisa jalan enggak?” tanya Dion begitu beberapa orang mulai beranjak meninggalkan lapangan basket indoor.
    “Kayaknya bisa kalau dituntun.” Aku meringis. Kakiku masih terasa berdenyut, tapi tidak separah tadi.
    “Lah, lo kenapa, cuy?” tanya Aya yang tiba-tiba sudah berdiri di sampingku.
    “Biasa, kebanyakan melamun tuh, Ay.” Agus mewakiliku.
    “Ya ampun, bisa-bisanya sekamar samaan keseleo,” decak Aya heran.
    “Yang lain mana?” Aku tidak melihat Tiar dan Wita walau tribun sudah mulai sepi.
    “Nemenin June ke rumah sakit, sama Ryo. Cederanya lumayan parah, jadi kata Mas Angga lebih baik rontgen sekalian konsultasi dokter.”
    Aku terdiam. Ternyata Ryo ikut ke rumah sakit. Harusnya aku tahu kalau itu pasti terjadi karena Ryo terlalu tergila-gila pada June. Bukannya selama ini aku biasa saja? Oke, Javitri kamu harus bersikap BIASA SAJA!
    “Ngapain geleng-gelengin kepala? Lo pusing?” Dion menatapku heran.
    “Eh, enggak.” Gawat, aku memang terlalu banyak melamun. “Aya, bantuin gue berdiri,” ucapku sembari mengulurkan tangan.
    “Tapi kita ke rumah sakit dulu. Jemput yang lain.” Aya memegang bahuku dan menuntunku berjalan.
    “Oke.” Tidak ada pilihan lain karena tadi kami berangkat nebeng mobil Aya.
    “Kita ikut sekalian dong, Ay,” sahut Agus dari belakang kami.
    “Kalian bawa motor aja, ya? Gue takut kalau ternyata June juga ikut pulang, mobil gue bawa dua orang keseleo, nih.”
    “Siap, Ayyangkuuu ….” goda Dion sambil cekikikan.
    “Heh, ujung solder karatan! Bisa diem enggak? Berisik amat!” semburku dengan kepala menoleh ke belakang, sedangkan Aya hanya tertawa tanpa tanggapan. 
    June tidak perlu rawat inap. Lagi pula kata Wita melalui whatsapp, June menolak jika harus menginap di rumah sakit, selain tidak mau merepotkan kami, katanya dia tidak akan bisa tidur di rumah sakit.
    Aku menunggu di mobil karena kalau ikut Aya masuk ke IGD, hanya akan merepotkan. Satu jam kemudian satu rombongan yang wajahnya kukenal semua, berjalan menuju tempat parkir. Kulihat dari jendela, June menggunakan alat bantu jalan. Di sampingnya ada Wita, Tiar, dan June. Serta laki-laki yang tidak kembali tadi berjalan di belakang June bersama Mas Angga, Dion, dan Agus.
    Kubuka pintu mobil dengan senyum pura-pura.
    “Lho, gue kira lo udah pulang, Jav,” ucap Wita bingung.
    “Kaki dia juga keseleo, cuy,” sahut Aya seraya menunjuk kaki kiriku yang bebas tanpa sepatu.
    “Hah? Kok bisa, sih?” June keheranan.
    “Oke, kita punya dua pasien, guys,” tambah Wita sambil menggelengkan kepala.
    Ryo memajukan langkahnya mendekati pintu mobil, lalu menatapku. “Masih sakit? Periksa sekalian, deh,  biar dikasih obat kayak June. Mumpung masih di sini.”
    Cih, siapa dia sampai berhak suruh-suruh gue? Aku menggeleng. “Begini doang. Besok juga sembuh.”
    “Iya, Jav. Gue anter, yuk!” Tiar sudah memegang tanganku untuk membantu keluar mobil.
    “Enggak perlu. Gue beneran enggak apa-apa.”
    “Sampai kos, kompres es batu, jav,” tambah Mas Angga yang menunjukkan kecemasan.
    “Udah gue kompres tadi, Mas, pas di tribun,” sahut Ryo.
    Dih, sok perhatian, batinku.
    “Oh, ice bag tadi buat Jav? Kalian sweet amat, sih.” Mas Angga senyum-senyum tidak jelas dan justru membuatku mulas.
    “Stop! Ayo pulang, June.” Aku mengulurkan tangan untuk membantu June naik.
    Temanku itu menurut, kruknya diberikan ke Aya. Kaki kanannya yang cedera masih diangkat sedikit karena tidak boleh digunakan sebagai tumpuan berdiri. June berpikir sejenak dan ragu karena takut malah menyakiti kakinya.
    “Mau gue bantu naik?” tawar Ryo sembari membuka kedua telapak tangannya seakan mau menggendong.
    “Ciyeee ….” Dion, Agus dan Tiar sontak bersorak dan Ryo hanya memberi tatapan tajam ke mereka.
    Aku membuang napas kasar dengan decakan.
    “Mas Angga, bisa tolong gendong gue aja naik ke mobil?” tanya June sambil memalingkan wajah ke pelatih basketnya. 
Kami semua terkesiap dan saling pandang, tidak terkecuali Ryo yang membelalakkan mata. Dia tidak dianggap. Aku menarik sedikit, sangat sedikit ujung bibirku ke atas.
    “Gue?” Mas Angga menunjuk dirinya.
    “Tolong, Mas,” pinta June.
    “Oke.” Si pelatih basket itu menurut saja sambil memandang ke arah Ryo dan mengucap kata ‘sorry’ tanpa suara, tapi jelas kita semua tahu. Mas Angga yang tinggi itu dapat dengan mudah membopong June dan mendudukkan gadis itu di sampingku. “Nanti naik ke kosnya gimana?” tanya Mas Angga.
    Ah, iya. Kita melupakan itu. Aku juga. Bagaimana cara naik ke kos di lantai dua?
    “Ya, udah. Kita ikut antar mereka aja, Mas,” sahut Agus memberi ide.
    “Javitri juga kayaknya enggak bisa naik tangga pakai satu kaki,” imbuh Dion.
    “Gue oke aja, sih.” Mas Angga menganggukkan kepala. “Lo ikut juga, kan, Yo?”
    “Sorry, gue lupa di rumah ada acara,” tampik Ryo. “Gue balik duluan, ya,” pamitnya kemudian dan bergegas meninggalkan kami.
    Begitu lebih baik, ucapku dalam hati. []
    

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • moonmaker

    kaya gue yg nunggu ngisi air sambil main game WKWKWK

    Comment on chapter Chapter 1 - Aku Javitri
Similar Tags
Lalu, Bagaimana Caraku Percaya?
140      108     0     
Inspirational
Luluk, si paling alpha women mengalami syndrome trust issue semenjak kecil, kini harus di hadapkan pada kenyataan sistem kehidupaan. Usia dan celaan tentangga dan saudara makin memaksanya untuk segera percaya bahwa kehidupannya segera dimulai. "Lalu, bagaiamana caraku percaya masa depanku kepada manusia baru ini, andai saja jika pilihan untuk tak berkomitmen itu hal wajar?" kata luluk Masal...
Gi
1162      676     16     
Romance
Namina Hazeera seorang gadis SMA yang harus mengalami peliknya kehidupan setelah ibunya meninggal. Namina harus bekerja paruh waktu di sebuah toko roti milik sahabatnya. Gadis yang duduk di bangku kelas X itu terlibat dalam kisah cinta gila bersama Gi Kilian Hanafi, seorang putra pemilik yayasan tempat sekolah keduanya berada. Ini kisah cinta mereka yang ingin sembuh dari luka dan mereka yang...
Nothing Like Us
36137      4534     51     
Romance
Siapa yang akan mengira jika ada seorang gadis polos dengan lantangnya menyatakan perasaan cinta kepada sang Guru? Hal yang wajar, mungkin. Namun, bagi lelaki yang berstatus sebagai pengajar itu, semuanya sangat tidak wajar. Alih-alih mempertahankan perasaan terhadap guru tersebut, ada seseorang yang berniat merebut hatinya. Sampai pada akhirnya, terdapat dua orang sedang merencanakan s...
Palette
6169      2229     6     
Romance
Naga baru saja ditolak untuk kedua kalinya oleh Mbak Kasir minimarket dekat rumahnya, Dara. Di saat dia masih berusaha menata hati, sebelum mengejar Dara lagi, Naga justru mendapat kejutan. Pagi-pagi, saat baru bangun, dia malah bertemu Dara di rumahnya. Lebih mengejutkan lagi, gadis itu akan tinggal di sana bersamanya, mulai sekarang!
Caraphernelia
997      524     0     
Romance
Ada banyak hal yang dirasakan ketika menjadi mahasiswa populer di kampus, salah satunya memiliki relasi yang banyak. Namun, dibalik semua benefit tersebut ada juga efek negatif yaitu seluruh pandangan mahasiswa terfokus kepadanya. Barra, mahasiswa sastra Indonesia yang berhasil menyematkan gelar tersebut di kehidupan kampusnya. Sebenarnya, ada rasa menyesal di hidupnya k...
Lost Daddy
5271      1191     8     
Romance
Aku kira hidup bersama ayahku adalah keberuntungan tetapi tidak. Semua kebahagiaan telah sirna semenjak kepergian ibuku. Ayah menghilang tanpa alasan. Kakek berkata bahwa ayah sangat mencintai ibu. Oleh sebab itu, ia perlu waktu untuk menyendiri dan menenangkan pikirannya. Namun alasan itu tidak sesuai fakta. AYAH TIDAK LAGI MENCINTAIKU! (Aulia) Dari awal tidak ada niat bagiku untuk mendekati...
Asoy Geboy
6033      1659     2     
Inspirational
Namanya Geboy, motonya Asoy, tapi hidupnya? Mlehoy! Nggak lengkap rasanya kalau Boy belum dibandingkan dengan Randu, sepupu sekaligus musuh bebuyutannya dari kecil. Setiap hari, ada saja kelebihan cowok itu yang dibicarakan papanya di meja makan. Satu-satunya hal yang bisa Boy banggakan adalah kedudukannya sebagai Ketua Geng Senter. Tapi, siapa sangka? Lomba Kompetensi Siswa yang menjadi p...
The Legend of the Primrose Maiden
1000      536     1     
Fantasy
Cinta dan kasih sayang, dua hal yang diinginkan makhluk hidup. Takdir memiliki jalannya masing-masing sehingga semua orang belum tentu bisa merasakannya. Ailenn Graciousxard, salah satu gadis yang tidak beruntung. Ia memiliki ambisi untuk bisa mendapatkan perhatian keluarganya, tetapi selalu gagal dan berakhir menyedihkan. Semua orang mengatakan ia tidak pantas menjadi Putri dari Duke Gra...
Ethereal
1278      629     6     
Romance
Ada cowok ganteng, imut, tingginya 173 sentimeter. Setiap pagi, dia bakalan datang di depan rumahmu sambil bawa motor matic, yang akan goncenging kamu sampai ke sekolah. Dia enggak minta imbalan. Dia cuma pengen lihat kamu bahagia. Lalu, ada cowok nggak kalah ganteng dari sebelumnya, super tinggi, cool, nyebelin. Saat dideket kamu dia sangat lucu, asik diajak ngobrol, have fun bareng. Ta...
Kungfu boy
3060      1169     2     
Action
Kepalanya sudah pusing penglihatannya sudah kabur, keringat sudah bercampur dengan merahnya darah. Dirinya tetap bertahan, dia harus menyelamatkan Kamalia, seniornya di tempat kungfu sekaligus teman sekelasnya di sekolah. "Lemah !" Musuh sudah mulai menyoraki Lee sembari melipat tangannya di dada dengan sombong. Lee sudah sampai di sini, apabila dirinya tidak bisa bertahan maka, dirinya a...