Read More >>"> Titip Salam (Chapter 2 - Si Cantik Nomor Satu Sampai Empat) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Titip Salam
MENU
About Us  

            “Jav, ini mawar siapa?” tanya June dengan mata terarah pada sebuket mawar merah di meja begitu membuka pintu kamar. Aku sekamar dengan June, sedangkan Tiar memilih satu kamar dengan Wita, dan Aya mengambil kamar sendiri dengan ukuran lebih kecil.

            “Mawarnya Wita dari Ogi. Wita enggak ikut pulang bareng lo?” Aku melepas hoodie karena baru kembali dari warung, menyisakan kaus berlengan spaghetti di tubuh kurusku.

            “Wita masih beli makan sama Aya. Lo udah makan belum? Temenin gue makan di warung sebelah yuk, Jav,” pinta June sambil menguncir rambut bergelombangnya yang hitam berkilauan.

            “Aku baru balik dari warung kali, ke sana sendiri, deh.”

            “Yah, masa sendirian. Bentar aja, Jav. Dibungkus, kok.” June memasang wajah memelas.

            Aku menarik bibir datar setelah mengembuskan napas panjang. Padahal sejak tadi aku ingin mandi. Sesulit inikah mau mandi sebentar saja, aku hanya butuh sepuluh menit. Enggak. Hanya kurang dari lima menit untuk membersihkan diri karena aku tidak pernah melakukan body scrub terlebih dahulu seperti yang lainnya.

“Di warung sebelah ada Ryo sama yang lain. Lo dapat salam, tuh, dari Ryo,” kataku sambil meraih handuk dan mengalungkannya di leher. Aku berani taruhan, June tidak akan mau ke warung sebelah sekarang.

“Enggak jadi. Nanti aja, lah,” ucap June yang kini malah membaringkan tubuhnya di tempat tidur.

Seandainya ini kuis Family 100 dengan pertanyaan ‘sebutkan apa saja yang dihindari June!’, maka jawabanku ‘menghindari Ryo’ pasti terletak di posisi paling atas dan tentu saja aku akan membawa pulang uang jutaan rupiah sebagai hadiah pemenang.

            “Atau gue telepon Wita aja, ya? Titip beli makan,” kata June lagi, meminta pendapatku sebelum aku pergi ke kamar mandi.

            “Ide yang brilian. Enggak sia-sia IPK lo cumlaude.” Aku menjentikkan jari tanda setuju. Kemudian dengan kecepatan penuh, aku segera melesat menuju kamar mandi sebelum June mengajak bicara lebih panjang.

            Air di bak mandi seharusnya penuh, tapi justru hanya berisi satu per empat bak. Airnya berkurang dari yang seharusnya, minimal ada setengah bak tadi sebelum kutinggal makan malam. Kubuka kran, tapi tidak ada tanda air keluar dari sana. Pompa air dimatikan lagi. Pasti Bu Nur yang jiwanya memang superhematos tidak bisa mendengar suara pompa air menyala terlalu lama.

            “Juuun, tolong nyalain pompa air dooong,” teriakku dengan kepala yang tersembul dari pintu kamar mandi agar suaraku bisa lebih jelas didengar oleh June yang berada di kamar.

            “Mageer,” jawab June dengan teriakan juga.

            “Tiaaar, pompa air dooong,” teriakku lagi. Tapi, kali ini tidak ada sahutan dari kamar Tiar. Entah dia sedang tidur atau pura-pura tidak mendengar.

            Ya Tuhan, kenapa tidak ada yang bisa diandalkan, batinku sambil mendengus karena kesal. Aku masuk kembali ke kamar mandi, kebiasaanku saat mandi adalah air di bak mandi harus penuh karena kamar mandi indekos ini tidak memiliki shower seperti di rumahku, sedangkan aku butuh banyak air untuk mandi.

            Setelah urusan mandiku yang kisahnya super panjang, tapi hanya membutuhkan waktu tiga menit untuk mandi selesai—tidak seimbang dengan perjuanganku sejak awal pulang tadi—aku duduk di kursi belajar lalu menyalakan laptop ketika tiba-tiba gawaiku berbunyi dan nama Ogi terpampang jelas di layar.

            “Apa?” Satu lagi kebiasaanku selain harus mandi dengan air yang memenuhi bak mandi, yaitu menjawab panggilan telepon tanpa salam atau halo.

            “Wita udah terima bunganya, Jav?” tanya Ogi di seberang telepon.

            “Orangnya belum pulang. Nanti gue suruh dia ngucapin terima kasih ke lo sendiri,” jawabku malas.

            “Oke, thanks, ya, Jav. Besok aku traktir makan, deh.” Ogi berusaha menghiburku.

            “Gue enggak mau tahu, besok makannya harus lebih mahal dari mawar!” Kemudian kuhentikan panggilan sebelum Ogi menjawab lagi.

            “Ogi? Lo pinter banget ambil kesempatan makan gratis,” celetuk June yang masih mempertahankan posisi berbaringnya.

            “Harus, dong!” sahutku bangga. “Anyway, lo udah ngerjain tugas integral vektor?” Aku menoleh ke arah teman sekamarku yang masih berbaring.

            “Gue enggak mau kasih contekan, ya! Tapi kalau lo minta ajarin caranya, baru gue mau.” June melirikku.

            “Ada cara yang sederhana kenapa milih yang ribet, sih? Prof. Budi enggak bakal tahu gue nyontek atau enggak,” gerutuku karena June makin lama makin pelit memberiku contekan.

            “Tapi lo bakal terusan enggak tahu caranya kalau nyontek melulu. Mau bunuh diri pas ujian?”

            Ya, June benar. Profesor Budi adalah Dosen mata kuliah persamaan differensial biasa dan parsial terkenal sebagai dosen ter-killer dengan berbagai aturan ketat dan tugas-tugas yang intensitasnya rapat tiap hari. Satu soal memang memiliki penyelesaian yang sama, tapi tiap mahasiswa akan melakukannya dengan cara penulisan yang berbeda dan Dosen tersebut bisa dengan mudah mengetahui siapa yang mencontek atau tidak. Sekali ketahuan mencontek, nilai ujian langsung D dan harus mengulang tahun depan.

            “Kenapa lo enggak mau belajar bareng aja, sih, Jav?”

            Aku lagi-lagi mendengus. June akan memulai ceramahnya kalau begini, dia sudah seperti mamaku. Kututup laptop, lalu ikut membaringkan tubuh di tempat tidur. “Gue … kayaknya salah jurusan.” Aku menatap langit-langit kamar dengan hiasan stiker bintang yang akan menyala ketika gelap. Aku dan June yang memasangnya saat baru pertama pindah, karena kami sama-sama penikmat sinar yang berasal dari bintang.

            “Lagi? Lo sudah puluhan atau hampir ratusan kali ngomong gitu. Tapi, kenyataannya lo masih nyangkut di Jurusan Teknik Elektro.” June beranjak dari tempat tidur, mengambil gelas miliknya dan meneguk isinya hingga tandas. “Lo, tuh, selalu mengeluh capek kuliah, nilai ancur, salah jurusan, tapi lo sendiri enggak ada usaha buat perbaiki padahal sebenernya lo bisa kalau lo niat, Jav.”

            Aku tidak menjawab ucapan June. Dia selalu mengutarakan pikirannya, mungkin karena sudah satu tahun kami satu kamar, dia merasa sudah mengenal aku dekat. Aku memeluk guling sembari membelakangi June. Menghadap tembok datar yang selamanya akan datar, sama seperti hidupku.

Tiba-tiba suara Aya melengking nyaring diikuti derap langkah menaiki tangga dengan terburu-buru. Si paling berisik dan heboh telah datang. “Gue beli Richeese level lima, nih, cuy!”

            Ceklek

            “Mauuu ….” sahut Tiar begitu keluar kamar. Sialan. Dia tadi pura-pura tidak mendengar saat kupanggil, sekarang malah nongol ketika ada makanan. Bukannya dia tadi bilang kalau lagi diet, ya?

            June ikut keluar kamar, menyambut Aya dan Wita dengan semringah karena lapar. Mau tidak mau, aku beranjak juga dari tempat tidur. Empat kotak ayam pedas sudah dikeroyok empat gadis di depan kamar. Aku masih kenyang, mungkin makan satu potong saja sudah cukup. Aya menyalakan televisi, suasana indekos yang tadinya sepi sekarang menjadi gaduh karena para penghuni yang bicara tanpa henti.

            “Ada mawar, tuh, dari Ogi,” ucap June mewakiliku, sambil mengedikkan dagu ke arah kamar kami.

            “Gue enggak minta mawar, lho, ya,” jawab Wita kalem. Entah memang kalem, entah dibuat-buat, karena gestur Wita seperti menolak, tapi dibalut dengan malu-malu kucing. Aku sudah hapal.

            “Ya, udah kali tinggal diterima aja, cuy.” Aya menyahut di tengah-tengah makannya. Wajahnya yang putih bersih tanpa jerawat membuat bibir Aya yang masih menyisakan lipstick matte itu makin tampak merah akibat kepedesan.

            “Eh, ya, masih ada burger, lho, dari Haris.” Aku berdiri mengambil paperbag di atas meja belajar.

            “Yar, lo minta Haris kirim makanan lagi?” selidik Wita ke teman sekamarnya.

            Tiar masih menenangkan mulutnya sebelum bicara. “Hue hak minta hapa-hapa1.” Tangan kirinya melambai. “Haah. Pedeees,” teriaknya sambil berlari menuju kulkas.

             “Gue udahan, takut jerawat muncul kalau kebanyakan makan pedes.” June mengikuti Tiar.

            Aku yang tadinya mengira cukup makan satu potong, ternyata sudah makan tiga potong sekarang ini.

            “Gue juga udah, gue, kan, lagi diet.” Tiar sejak tadi bilang begitu, tapi sudah bermacam-macam yang masuk perutnya termasuk burger dan float ice.

            “Kenyang juga, cuy.”

            “Iya, gue juga kenyang.” Wita mengiyakan ucapan Aya barusan.

            Ya Tuhan. Empat kotak ayam masih tersisa dua kotak, dan para gadis ini sudah mengeluh. Aku mendelik. “Lah, ngapain beli empat porsi, woi!”

            “Habisin aja, Jav.”

            “Gue udah makan, Wit, yang bener aja.”

            “Perut lo, kan, muat banyak, Jav. Sebenernya gue masih laper, tapi takut besok pagi jerawatan.”

            June—gadis tercantik nomor satu di jurusan—masih membahas jerawat di depanku yang memiliki beberapa jerawat kecil di sekitar hidung dan pipi. Ya, memang, June ini wajahnya bersih banget. Ralat. Bukan hanya June, tapi juga tiga lainnya. Aku sendiri heran, kenapa mereka berempat wajahnya bisa mulus banget seperti jalan tol yang baru dicor. Mungkin kalau ada nyamuk hinggap di wajah mereka, nyamuknya bisa terpeleset di sana.

            Empat gadis itu menggilai perawatan wajah. Dua minggu sekali mereka rutin pergi facial atau peeling, lalu sebelum tidur dan sebelum berangkat kuliah mereka tidak pernah meninggalkan pemakaian skincare. Selelah atau semalas apa pun, mereka pasti menggunakannya, sedangkan aku bisa mandi dua kali sehari di atas lima menit saja sudah bagus.

            “Gue bantuin, deh, cuy. Sayang, makanannya,” ucap Aya yang bibirnya sejak tadi merah banget.

            “Enggak kepedesan?” tanyaku.

            “Enggak apa-apa, sekali-kali,” jawabnya santai. Aya, pemilik dua lesung pipi yang menjadi mahasiswi tercantik nomor dua di jurusan. Wajahnya mungil, hidungnya kecil, bibirnya seperti orang mengecup, hanya kelopak matanya yang lebar sehingga bola mata Aya juga terlihat bulat jelas. Dia dijuluki baby face sejak mahasiswa baru.

            Aku mengacungkan jempol sambil melanjutkan makan.

            “Tugas integral vector ada yang udah kelar?” tanya Wita yang kini beralih dari memegang paha ayam, menjadi memegang notebook. Wita, si kalem dan keibuan serta dinobatkan menjadi tercantik nomor empat di jurusan—aku juga tidak tahu dari mana urutan ini berasal, sepertinya dari para mahasiswa laki-laki di jurusanku yang terlalu menganggur di kampus—sebenarnya Wita juga tidak kalah cantik, hanya karena kulitnya lebih gelap di antara kami, maka dia berada di posisi nomor empat. Padahal Wita manis ketika tertawa.

            June mengangkat tangan kirinya. “Gue udah kelar.”

            “Ajarin gue dong, Jun,” pinta Wita mendekati teman sekamarku yang tengah duduk di karpet sambil memainkan ponsel dan bersandar di sofabed.

            “Gue juga mau ….” Tiar tergopoh mengambil notebook-nya di dalam kamar, lalu ikut duduk di samping June. Kalau Wita si cantik nomor empat, Tiar yang menempati posisi si cantik nomor tiga di jurusan. Kulitnya bersih, wajahnya sudah seperti idol Kpop yang tanpa cela. Walau bentuk wajah Tiar ini lebar sama sepertiku, tapi perpaduan anggota panca indera Tiar justru membuatnya cantik. Alis dan kelopak matanya sedikit menjulang ke atas, membuat dia terlihat judes, padahal memang iya.

            Aku nomor berapa? Tidak ada. Jika mahasiswa laki-laki di jurusanku menganggurnya kebangetan sampai bisa membuat ranking seluruh mahasiswi dari semua angkatan, mungkin aku berada di nomor delapan puluh sekian. Walaupun aku sendiri tidak yakin total mahasiswi di jurusan teknik elektro bisa mencapai delapan puluh orang.

Iya, aku realistis saja. Tidak ada sesuatu yang terlihat wah dari wajahku yang superbiasa, meskipun teman-teman mengatakan iri dengan mataku yang berawarna cokelat terang seperti kelereng dan postur tubuhku yang mungil ideal. Mungil kok disebut ideal, justru postur tubuh Aya yang tinggi semampai, menurutku paling bagus di antara kami.

            Suara diskusi dari tiga mahasiswa teladan sepertinya sudah seru membahas persamaan integral garis yang membuatku ingin muntah walau hanya mendengarnya. Aku dan Aya memilih menghabiskan makanan sambil menonton televisi. Sepertinya, aku benar-benar salah tempat sekarang ini, terjebak di antara si cantik nomor satu hingga si cantik nomor empat. Yang tidak hanya cantik, tapi juga terlalu rajin kuliah. Pasti bukan kebetulan semata, Tuhan pasti sedang mengajakku bercanda.

            Esoknya, sebelum kelas dimulai, June mengomeliku sepanjang jalan menuju kampus karena belum mengerjakan tugas. Aya, sudah mengerjakannya semalam hingga pukul dua dini hari. Aku yang kekenyangan segera menarik selimut dan membenamkan diri di atas kasur.

            “Cepet kerjain dulu tugasnya!” sentak June sebelum berbelok masuk ke kelas.

            “Gue mau rapat di BEM.”

            June melotot. Raut wajahnya sudah seperti Mama yang memergokiku menyendok es krim saat tengah malam sambil berdiri di depan kulkas yang terbuka. “Bolos lagi?” tanyanya.

            “TA2, ya,” bisikku sambil cekikikan.

            “Ogah!” June melengos lalu meninggalkanku.

            Aku mengedikkan bahu. Tiba-tiba bahuku ditepuk keras—atau lebih terasa seperti dipukul—oleh seseorang. “What the—“

            “Fuck?” lanjut Ryo yang kini berdiri di hadapanku sambil tertawa puas karena melihatku terkejut. Dia tahu betul, jika aku terkejut, umpatanku akan meluncur mulus dari mulut. Karena itu, aku berusaha mengendalikan diri agar tidak menjadi kebiasaan buruk.

            “Lo, tuh, ya. Enggak bisa kaleman dikit apa kalau tepuk pundak cewek,” kesalku.

            “Lo cewek?”

            “Terserah lo, lah.”

            “June mana?”

Ryo ini nanya atau lagi bacain absen, sih! “Udah ke kelas.” Aku mengambil langkah berlawanan dari arah menuju kelas.

            “Lo enggak kuliah, Jav?” Kali ini, intonasi Ryo beneran nanya.

            Aku menggeleng tanpa menoleh ke arahnya.

            “Rapat lagi?”

            Aku mengacungkan ibu jari ke atas. Malas bicara sama Ryo, karena dia hanya akan menanggapinya dengan dua macam, cemooh atau candaan.

            Sekretariat BEM sepi, hanya ada lima orang yang sedang sibuk sendiri-sendiri. Mungkin karena masih jam kuliah dan di awal minggu begini biasanya jadwal kelas agak padat. Hari ini, aku janjian sama Ogi untuk membahas persiapan aksi masa setelah UAS.

            Ini adalah caraku mengalihkan pikiran dari perkuliahan yang memuakkan. Mencari kegiatan dan tempat lain, yang sekiranya aku bisa lebih ‘terlihat’.

            “Udah lama, Jav?” sapa laki-laki dengan rambut sebahunya belum dikuncir. Kali ini dia memakai kacamata berbingkai hitamnya, mungkin baru selesai kelas, karena biasanya Ogi tidak menggunakan kacamata kecuali harus melihat sesuatu yang jauh.

            “Baru aja.”

            Ogi mengikat rambutnya ala kadar dengan karet hitam yang awalnya berada di pergelangan tangan lalu melepas kacamata. Ogi setahun di atasku, dia mengambil Jurusan Teknik Kelautan. Saat kulempar pertanyaan basa-basi alasannya masuk jurusan itu, jawabannya karena terinspirasi dari film lawas, Baywatch. Apa-apaan itu! Film sama jurusannya nyambung aja enggak!

            “Mau dibahas berdua dulu aja enggak sambil nunggu yang lain?” tawar Ogi.

            “Di sini?”

            “Terserah. Lo udah sarapan belum, sih?”

            Aku menggeleng. Anak kosan sepertiku lebih sering skip sarapan dan menggabungnya dengan makan siang. Bukan karena terlalu berhemat, tapi karena malas beli makanan pagi-pagi dan memilih tidur hingga jam kelas paling awal.

            “Kantin, yuk. Gue traktir, deh.” Ogi yang baru saja duduk beranjak sambil meraih ransel hitamnya lagi.

            “Asyik ….” seruku senang dan mengikuti Ogi yang sudah keluar dari sekretariat BEM.

            “Jav, ajak Wita juga, dong,” gumam Ogi saat kami berjalan beriringan menuju kantin.

            “Ah, elah.” Aku menghela napas. Laki-laki memang baik kalau ada maunya. []

 

           

1 ”Gue gak minta apa-apa”

2 Titip Absen

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • moonmaker

    kaya gue yg nunggu ngisi air sambil main game WKWKWK

    Comment on chapter Chapter 1 - Aku Javitri
Similar Tags
ARSELA: Perjodohan si Syar'i dan Ketua Geng Motor
90      83     3     
Romance
Memiliki hutang budi dengan keluarga Dharmendra, Eira mau tidak mau menyetujui perjodohan dengan putra sulung keluarga itu, Arsel, seorang ketua geng motor tersohor di kampusnya.
Samudra di Antara Kita
17916      3521     136     
Romance
Dayton mengajar di Foothill College, California, karena setelah dipecat dengan tidak hormat dari pekerjaannya, tidak ada lagi perusahaan di Wall Street yang mau menerimanya walaupun ia bergelar S3 bidang ekonomi dari universitas ternama. Anna kuliah di Foothill College karena tentu ia tidak bisa kuliah di universitas yang sama dengan Ivan, kekasihnya yang sudah bukan kekasihnya lagi karena pri...
Moira
20711      1957     5     
Romance
Diana adalah seorang ratu yang tidak dicintai rajanya sendiri, Lucas Jours Houston, raja ketiga belas Kerajaan Xavier. Ia dijodohkan karena pengaruh keluarganya dalam bidang pertanian dan batu bara terhadap perekonomian Kerajaan Xavier. Sayangnya, Lucas sudah memiliki dambaan hati, Cecilia Barton, teman masa kecilnya sekaligus salah satu keluarga Barton yang terkenal loyal terhadap Kerajaan Xavie...
Bee And Friends 2
1667      578     0     
Fantasy
Kehidupan Bee masih saja seperti sebelumnya dan masih cupu seperti dulu. Melakukan aktivitas sehari-harinya dengan monoton yang membosankan namun hatinya masih dilanda berkabung. Dalam kesehariannya, masalah yang muncul, ketiga teman imajinasinya selalu menemani dan menghiburnya.
Mencari Malaikat (Sudah Terbit / Open PO)
4482      1609     563     
Action
Drama Malaikat Kecil sukses besar Kristal sang artis cilik menjadi viral dan dipujapuja karena akting dan suara emasnya Berbeda dengan Viona yang diseret ke luar saat audisi oleh mamanya sendiri Namun kehidupan keduanya berubah setelah fakta identitas keduanya diketahui Mereka anak yang ditukar Kristal terpaksa menyembunyikan identitasnya sebagai anak haram dan mengubur impiannya menjadi artis...
Gurun Pujaan Hujan
6297      1886     6     
Romance
Setelah setahun meninggalkan kota, aroma desa dan pegunungan kembali akrab menyapa penciumanku setiap hari. Semua terasa amat dekat untuk mereka yang masih menganggapku asing, siapa sangka bahwa ternyata kenangan dan pengalaman punya bahasa tersendiri untuk menceritakan keinginannya agar diingat dan muncul di masa sekarang, seolah-seolah mereka ingin aku tahu bahwa dulu aku juga pernah merasakan ...
Segitiga Bermuda
3460      1197     1     
Romance
Orang-orang bilang tahta tertinggi sakit hati dalam sebuah hubungan adalah cinta yang bertepuk sebelah tangan. Jika mengalaminya dengan teman sendiri maka dikenal dengan istilah Friendzone. Namun, Kinan tidak relate dengan hal itu. Karena yang dia alami saat ini adalah hubungan Kakak-Adik Zone. Kinan mencintai Sultan, Kakak angkatnya sendiri. Parah sekali bukan? Awalnya semua berjalan norm...
The Ruling Class 1.0%
1161      474     2     
Fantasy
In the year 2245, the elite and powerful have long been using genetic engineering to design their babies, creating descendants that are smarter, better looking, and stronger. The result is a gap between the rich and the poor that is so wide, it is beyond repair. But when a spy from the poor community infiltrate the 1.0% society, will the rich and powerful watch as their kingdom fall to the people?
Antic Girl
80      64     1     
Romance
-Semua yang melekat di dirinya, antic- "Sial!" Gadis itu berlalu begitu saja, tanpa peduli dengan pria di hadapannya yang tampak kesal. "Lo lebih milih benda berkarat ini, daripada kencan dengan gue?" tanya pria itu sekali lagi, membuat langkah kaki perempuan dihadapannya terhenti. "Benda antik, bukan benda berkarat. Satu lagi, benda ini jauh lebih bernilai daripada dirimu!" Wa...
Aku Biru dan Kamu Abu
487      263     2     
Romance
Pertemuanku dengan Abu seperti takdir. Kehadiran lelaki bersifat hangat itu benar-benar memberikan pengaruh yang besar dalam hidupku. Dia adalah teman curhat yang baik. Dia juga suka sekali membuat pipiku bersemu merah. Namun, kenapa aku tidak boleh mencintainya? Bukannya Abu juga mencintai Biru?