“Mawar?” Aku menyebutkan benda yang kini berada dalam genggamanku.
“Iya,” jawab Ogi tertawa malu sambil mengusap belakang kepalanya yang dihiasi kuncir dengan karet seadanya.
Aku yang masih menggunakan ransel, iseng menghitung jumlah tangkai bunga berwarna merah segar yang dijadikan sebuket dan berdampingan bunga peacock ungu kecil. “Kenapa dua belas?” tanyaku penasaran.
“Desember.” Mahasiswa semester lima yang berdiri di depanku sejak tadi menjawab singkat dengan sabar.
Aku hanya melempar senyum simpul, lalu segera menyuruh Ogi pulang karena tidak nyaman jika kami mengobrol lama sambil berdiri berhadap-hadapan di depan indekos. Apalagi pemilik indekos tinggal di lantai satu, memudahkan beliau mengawasi gerak-gerik kami sebagai penghuni yang tinggal di lantai atas.
Dengan sebuket mawar merah ala sinetron remaja yang biasa aku tonton saat jam kuliah kosong, aku kembali naik ke atas menuju kamar. Sepi, semua kamar masih terkunci dengan tirai tertutup berarti empat penghuni kos lain belum ada yang kembali.
Mawar merah yang dibungkus dengan kertas tisu berwarna putih itu kuletakkan di atas meja belajar begitu saja. Selera Ogi benar-benar mengejutkan. Aku kira, laki-laki dengan rambut gondrong yang panjangnya hampir menyaingi rambutku adalah laki-laki jantan yang tidak akan pernah mau menyentuh bunga, tapi Ogi justru membeli itu untuk orang yang menurutnya istimewa.
Aku segera mengambil handuk dan melesat ke kamar mandi, tubuhku lengket setelah seharian menyibukkan diri di kantor BEM untuk mengurus program kerja dan laporan pertanggung jawaban separuh periode.
Akan tetapi, setelah aku mengambil gayung ternyata air di dalam bak mandi yang tersisa hanya setinggi lima sentimeter. Gayung berbentuk hati itu sampai menyentuh keramik bak yang paling dasar. Aku memutar kran, tapi tidak keluar air sedikit pun, bahkan menetes pun tidak. Artinya, sakelar pompa air di dekat tangga depan belum dinyalakan.
Aku mendengus sebal, mood untuk mandi hilang sudah. Kupakai baju kembali seakan telah selesai membersihkan diri. Sudah puluhan kali aku mengingatkan untuk selalu mengisi air di bak mandi saat penghuni indekos lain selesai mandi. Namun, sepertinya aktivitas mereka terlalu padat hingga tidak menghiraukan aturan sederhana yang kubuat itu lagi.
Sambil menunggu air di bak mandi penuh, aku memilih memainkan snake game di gawai dengan khidmat seolah sedang mengheningkan cipta di Hari Pahlawan, sebelum akhirnya sebuah panggilan masuk membuatku terpaksa menghentikan ular yang sedang bersemangat melahap titik-titik makanan sembari memanjangkan badan. Aku menggeser simbol telepon berwarna hijau.
“Apa?” tanyaku ketus tanpa mengucapkan kata halo.
“Ya ampun, galak amat sih,” ucap suara laki-laki di seberang yang sudah kukenal.
“Cepetan, deh, kalau ngomong, ularnya keburu mati, nih!” decakku kesal.
“Ular? Ular apa, sih, Jav? Bukannya lo udah pulang ke kos?”
“Ya ular gue, masa ular lo!”
“Heh, cewek kok seenaknya ngomongin ular gue!”
“CEPETAN! ADA APA!” aku menaikkan intonasi bicara karena geregetan.
“Turun, gue di depan kos lo, nih,” suruh dia, lalu panggilan dihentikan sepihak.
Aku melongokkan kepala dari jendela yang menghadap langsung ke jalan raya, seorang laki-laki dengan kemeja flanel dan rambut pendek cepak disisir klimis melambaikan tangannya dari bawah mengisyaratkan agar aku segera turun.
“Ada apa, sih?” gerutuku begitu menghampiri laki-laki yang duduk di atas jok motor bebek entah sejak kapan.
Dia menyerahkan satu kantung plastik dan satu paper bag. Alisku menyatu. “Burger?” tanyaku, walaupun sebenarnya aku sudah yakin ada lima roti bundar dibungkus food paper putih di dalam paper bag coklat, apalagi kalau bukan burger, sedangkan kantung lainnya berisi satu float ice.
Dia mengangguk membenarkan. “Lo sendirian di kos?” tanyanya.
Kini, aku yang menganggukkan kepala. “Udah, kan?” Aku membalikkan badan berniat kembali ke atas.
“Eh, kata lo ada ular, Jav? Di mana? Di kamar lo? Perlu gue bantu usir?” cecarnya sambil mencengkeram pergelangan tanganku untuk mencegahku pergi.
“Gue, kan, udah bilang itu ular lo, Haris!” sentakku hingga membuat beberapa pengendara yang tidak sengaja lewat menoleh ke arah kami.
“Javitri?” Haris menundukkan pandangan lalu memandangku bingung. Lima detik kemudian aku melenggang pergi dengan tidak acuh setelah menerima pemberian tulus darinya.
Aku sudah kembali ke kamar, meletakkan titipan Haris bersama mawar yang baru sepuluh menit tergeletak di tempat yang sama. Kuambil satu burger untuk mengganjal perut yang lapar lalu mengintip bak mandi, memastikan apakah aku sudah bisa mandi sekarang atau belum. Ternyata baru terisi setengah bak, aliran air kran tidak terlalu kencang malam ini. Aku segera mengunyah burger dengan cepat agar dapat segera menuntaskan niat yang sejak tadi terhambat.
Ketika aku baru akan masuk ke kamar, tiba-tiba sebuah teriakan yang sangat kukenal terdengar diikuti langkah kaki terburu-buru menaiki tangga setelah memarkir motor. “Jaaav, lo di lagi di kamar mandi?” teriaknya sebelum mencapai lantai dua. “Eh, lo di sini ternyata,” ucap gadis bermata bulat yang berdiri tiga meter dariku sambil melempar tasnya ke sembarang tempat tanpa membuka kamarnya terlebih dahulu.
“Tiaar, lo mau ngapaiiin,” teriakku saat melihatnya berlari ke arah kamar mandi.
“Perut gue muleees,” jawab Tiar yang sudah di dalam.
Aku bersungut kesal sambil meremas food paper lalu membuangnya ke tempat sampah dengan kasar. Keinginanku untuk mandi benar-benar sirna sekarang, lebih baik aku melakukan hal yang lain, beli makan malam misalnya. Karena burger tadi tidak sebesar dan sekenyang yang aku kira.
“Tiar, gue mau ke warung sebelah, titip makan enggak?” tanyaku sambil mengetuk pintu kamar mandi.
“Enggak, gue diet. Eh, tapi lo masih simpen camilan enggak, Jav?” tanya Tiar di tengah-tengah menuntaskan hajatnya.
“Ada burger, tuh, dari Haris. Masing-masing satu. Float Ice-nya punya lo,” jawabku dari balik pintu.
“Dia kirim makanan lagi?”
“Lo yang ngode dia, kan?” selidikku.
“Enggak ada ceritanya gue kode-kodean sama Haris. Mending kasih kode ke yang lain,” ucap Tiar setelah menutup kran air, mungkin agar suaraku terdengar lebih jelas di telinganya. “Udah sana, ganggu orang konsentrasi aja,” usirnya.
“Eh, itu kran air jangan dimatikan! Gue belum mandi dari tadi, bak juga baru keisi, lo dateng-dateng main serobot aja.”
“Iya-iya, cerewet,” sahut Tiar lalu kembali terdengar suara aliran air.
Aku mengomel, Tiar selalu menganggapnya sepele. Padahal, menunggu bak mandi dipenuhi air itu membuang waktu. Kuputuskan segera pergi ke warung yang letaknya tepat di samping indekos, sebelum mencapai jam makan malam dan warung pasti ramai oleh pembeli.
Indekos tempat aku tinggal letaknya strategis, tepat di samping jalan raya, satu kilometer dari gerbang belakang kampus dan begitu keluar pagar langsung disuguhkan deretan kios makanan. Indekos yang aku tempati sejak awal semester dua ini hanya memiliki tiga kamar dengan lima orang penghuni. Sering disebut private indekos oleh teman-teman angkatan karena pemiliknya hanya bersedia menerima lima gadis termasuk aku dan kebetulan kami kuliah di jurusan yang sama plus satu angkatan.
“Makan di sini apa bungkus, Neng?” tanya Bu Rohmah, si pemilik warung makan yang sehari-harinya tidak terlihat akrab dengan Bu Nur, pemilik indekos. Setidaknya, begitulah pengamatanku selama dua semester ini.
Aku menimbang sejenak. “Di sini aja, Bu,” jawabku karena makan di tempat atau di kos sama saja. Sama-sama sendiri.
Setelah menerima nasi pesananku tadi, aku sengaja mengambil duduk di ujung dekat dinding dengan punggung membelakangi pintu masuk warung. Sesekali aku mengarahkan hidung kecilku ke ketiak. Aku khawatir jika ada orang lain yang mengambil duduk di sampingku dan terganggu dengan aroma tubuhku yang tidak sesedap mi goreng. Namun, sepertinya tidak mungkin ada yang menempati kursi di sekitarku karena warung tampak lengang dan masih ada dua deret meja panjang di depan tanpa penghuni.
Di tengah-tengah menyendokkan makanan ke mulut, sekelompok mahasiswa datang dengan beberapa motor, dari suaranya aku yakin ada lebih dari tiga motor karena suasana warung yang semula hening tiba-tiba riuh dengan suara laki-laki.
Bahkan, mahasiswi yang sejak tadi duduk di bangku belakangku sudah menyelesaikan makannya sebelum para mahasiswa laki-laki itu menguasai meja.
Aku memfokuskan tangan, mulut dan mata pada makanan di depanku. Tahu begini lebih baik makan di kos. Aku memang sering mendapat serangan panik jika tiba-tiba berada di keramaian. Aku menyesali keputusanku.
“Jav!” Seseorang memanggilku dari arah belakang. Oke, ternyata mereka teman seangkatanku. Entah semuanya, entah sebagian yang kebetulan orang-orang aku kenal. Aku enggan menoleh dan tetap melanjutkan makanku.
“Lho, itu Jav?” Suara laki-laki yang lain yang kukenal.
“Siapa lagi yang pakai hoodie hitam pas gerah begini kalau bukan Javitri.”
Sekarang aku benar-benar yakin, ini rombongan teman seangkatanku, sepertinya mereka baru selesai praktikum. Aku masih tidak menggubris mereka.
“Jav, noleh ke belakang, dong! Sok enggak denger lagi.” Terdengar langkah laki-laki yang memanggilku pertama kali menghampiri kursi tempatku duduk. Lima orang. Tidak. Dua belas orang mahasiswa lainnya ikut mendekati mejaku seperti anak ayam. Mejaku yang tadinya kosong sekarang justru dipenuhi mahasiswa laki-laki dengan aku sebagai satu-satunya perempuan yang menyempil di antara mereka.
Jurusanku, Teknik Elektro, memang didominasi mahasiswa laki-laki. Hanya ada lima belas mahasiswi di angkatanku termasuk aku dan empat teman indekosku, serta sembilan puluh laki-laki. Itu masih mending, dibandingkan kakak tingkat yang setahun di atasku, angkatannya terdiri dari delapan perempuan dan seratus lima belas laki-laki.
Herannya, jurusan lain yang mayoritas perempuan justru senang bila ada kuliah bersama dan sekelas dengan jurusanku. Namun, tidak denganku. Aku justru muak dengan tingkah mereka selama satu setengah tahun ini. Masih ada dua setengah tahun lagi, itu pun kalau aku lulus tepat waktu sesuai kurikulum, empat tahun untuk menyelesaikan pendidikan S1.
“Sendirian? Mana yang lain?” tanya laki-laki pertama menarik kursi tepat di depanku sambil mengambil perkedel yang masih utuh di piringku. PERKEDEL ITU SENGAJA AKU SISAKAN DI AKHIR!
“Ryo! Itu gue pinggirin dari tadi biar bisa dimakan terakhir, kenapa malah lo embat, hah!” sungutku marah.
Ryo terkekeh seakan tidak berdosa sama sekali. “Nanti gue ganti, jangan ngambek, lah.”
Aku memasang raut wajah yang super malas, enggan meladeni Ryo lagi.
“Kok sendirian, Jav? Yang lain mana?” ulang Ryo kedua kali.
Aku mendengus. “Nanyanya yang jelas. Yang lain apa si June?”
Ryo berdehem sejenak. “Lo tahu, lah, maksud gue.” Dia menggaruk dahinya dengan canggung. “Anak kosan belum pulang semua, Jav?” tanyanya lagi, dan sekarang berganti memakan orek tempe di piringku satu per satu seolah itu adalah camilan.
“June belum pulang. Kalau tanya yang jelas, sebutin namanya, jangan anak kosan-anak kosan melulu,” decakku sambil melotot karena Ryo belum menghentikan kegiatan menjarah makanannya.
“Tahu, tuh, jadi cowok yang sat-set-wat-wet gitu, lho. Masa nanyain June ke Jav, terus,” timpal Agus, laki-laki yang duduk di sampingku.
“Nah, memangnya gue ini ibuknya si June apa,” sindirku sambil mengunyah nasi yang masih tersisa seperempat.
“Eh, Gusi, lo diem, ya! Ikutan aja!” hardik Ryo yang menyebut Agus dengan nama ejekan buatannya. Sungguh kekanak-kanakan.
“Eh, gantian, gih, yang pesen makan,” suruh Ryo karena sejak tadi baru tiga orang yang menghampiri Bu Rohmah untuk memesan makanan.
“Lo, tuh, yang cepetan pesen makan sekalian ambilin perkedel lima biji buat gue,” ucapku sembari melirik Ryo yang sejak tadi malah keenakan makan punyaku.
“Kok jadi lima, Jav? Kan, gue cuma makan satu.” Alis Ryo yang tebal dan panjang menyatu.
“Mau disampein salam ke June, enggak?” ancamku.
“Eh iya-iya. Ampun, deh.” Ryo menangkupkan tangannya di depan dada sambil beranjak.
“Yo, kerupuk di sebelah lo dioper ke sini dong,” ucap laki-laki yang masih berdiri dengan piring di tangannya, itu Dion.
Ryo, segera menggeser toples kerupuk yang bersandar di dinding ke arah Dion yang kini duduk di bagian ujung lainnya. Kemudian berjalan ke etalase yang berisi deretan makanan.
Kuliah di jurusan yang mayoritas laki-laki ini bukan pilihanku. Dari dulu, aku sudah menolak mentah-mentah ketika Ayah bersikeras menyuruhku mendaftar kuliah di Jurusan Teknik Elektro di institusi teknik terkemuka. Mau jadi apa, perempuan masuk ke jurusan teknik? Begitu pertanyaanku saat lulus SMA.
Dengan seperempat hati—bahkan sudah tidak setengah lagi—aku menjalani tes tulis UTBK-SNBT karena saat itu aku tidak lolos ketika SNBP yang hanya berbekal nilai rapor. Dan, saat itu aku tahu ternyata kekuatan doa orang tua jauh lebih kuat jika dibandingkan palu Thor sang Dewa Petir yang mampu mengendalikan cuaca. Doa orang tua mampu mengendalikan takdirku. Aku diterima di Jurusan Teknik Elektro satu setengah tahun yang lalu dan sebentar lagi aku akan menjadi mahasiswa semester empat.
Sudah berkali-kali aku melakukan protes ke Ayah, hengkang dari rumah, mogok makan, mengurung diri di kamar dua hari yang hanya berakhir sia-sia karena aku sendiri tidak tahan. Namun, ternyata keinginan Ayah menjadikanku sarjana teknik terlalu dominan. Hingga akhirnya aku berhenti memaksakan impianku sebagai ahli bahasa, tapi bukan berarti protesku ke Ayah berakhir juga. Kini, aku hanya menjalani kehidupan yang penuh keajaiban sebagai mahasiswa teknik.
Seperti sekarang, seakan sebuah keajaiban karena tidak ada yang bertanya padaku, aku sudah mandi atau belum ketika dua belas teman laki-laki melihat aku makan dengan wajah lusuh dan kucel atau bahkan mungkin bau. Mereka tidak peduli. Bagi mereka, sepertinya aku lebih cocok sebagai Javitro berjenis kelamin laki-laki, bukan Javitri si mahasiswi yang dulunya sangat manja dan feminin. []
kaya gue yg nunggu ngisi air sambil main game WKWKWK
Comment on chapter Chapter 1 - Aku Javitri