Rencanaku berjalan mulus. Seratus brownies lebih sudah aku kirimkan kepada customer via ojek online. Ada yang mentransfer uangnya ada juga yang cod. Mereka membayar tepat pada waktunya. Lagi- lagi hari kemarin dan besok sangat menyenangkan terlalu menyenangkan buatku bahkan ibuku. Aku membaca puluhan testimoni customer yang masuk dan menscrenshootnya ke story' intagram dan feed agar customerr yang baru semakin ingin membeli dan membeli kembali.
Aku membuka video-video di YouTube cara menjalankan bisnis kue. Ya aku sudah mengawali sedikit-sedikit perjalanan membuat kue badanku kurasa lebih mudah lelah daripada bekerja di kantor konsentrasi pun harus tetap tinggi tapi semua jadi terbayarkan saat pembeli suka dengan kue nya.
"Hai itu hidungmu itu cokelat?" Ibu mengusap hidungku dengan tisu.
"Oh ya, makasih ibu." Aku cekikikan.
"Itulah hadiah dari apa yang kamu kerjakan dua hari ini Lita, lelah kan bersandarlah sini di bahu ibu?" Aku tiduran di sofa kemudian Ibu mengelus rambutku. Ia sungguh menenangkan.
"Iya Bu ternyata lebih capek ya membuat kue daripada bekerja di kantor hanya duduk manis saja." Aku memejamkan mata sedikit demi sedikit.
"Iya tapi kan kamu bebas tidak diatur sama orang. Begitulah berwirausaha Lita. Kita tantangannya hanya dengan dapur dan customer." Ibu tetap mengelus rambutku.
"Customer?" Aku kaget kemudian bangun dan mulai duduk di samping ibu.
"Iya yang penting kita melakukan yang terbaik. Semangat ya." Ibu meninggalkan di sofa ruang tamu. Kemudian ia masuk ke dapur.
Dengan helaan napas, aku menaruh kakiku pada meja sofa yang terbuat dari kayu. Akh, semoga saja bisnis kueku kedepannya tidak ada kendala ya Tuhan.
Aku melihat langit-langit ruang tamu kontrakan. Cahaya rembulan di luar mulai terang kemudian aku mencoba keluar kontrakan. Sungguh ini sekali cahaya rembulan itu. Mataku sangat di manjakan oleh benda ciptaan Tuhan. Semoga saja perjalanan hidupku seperti cahaya rembulan itu tetap terang benderang di dalam kegelapan.
Ibu muncul dan mengagetkanku.
"Minum susu dulu Lita." Suara ibu bergema di belakangku.
"Hai Ibu. Indah sekali ya bulan purnama itu." Aku menoleh ke belakang kemudian duduk di depan teras kontrakan.
"Iya Lita diminum dulu susu nya Lit keburu dingin," Ibu memberikan segelas susu hangat lalu ia duduk di kursi kontrakan.
Beberapa anak kecil berlalu lalang di depan kontrakan. Ada yang sibuk bermain petak umpet dengan temannya, ada juga yang sedang bermain gadget.
Di sebelahku Ibu meminum susu jahe. Aromanya begitu menusuk hidungku.
"Kau mau Lita?" Tanya ibu memberikan setengah minumannya padaku.
Aku menyuruput sedikit demi sedikit teh jahe ibu. "Makasih ya Ibu sudah membantu semuanya dari awal Lita membuat kue."
Aku menaruh gelas di luar meja depan kontrakan.
"Sama-sama Lita, Ibu buat lagi susu jahenya ya." Ia mengangguk kemudian berdiri.
"Akh Ibu nanti gemukan loh, Ibu kan udah cantik, hahaha..!" Candaku. Aku tertawa lepas.
Seorang ibu-ibu melewati rumah kontrakan kami. Ia hanya mengucapkan salam kepada ibu dan melanjutkan perjalanannya.
"Akh kamu bisa ajah Lita, masa minum susu jahe bikin Ibu gemuk, hmmm..."
"Tapi tetap cantik kok Ibu," aku melangkah masuk ke dalam kontrakan mengikuti langkah Ibuku kemudian menutup pintu.
Melalui sedikit celah kaca jendela kamar. Aku bisa melihat barisan bintang-bintang yang bertebaran di langit gelap. Lampu-lampu warga yang terang menambah keindahan di malam ini. Angin semilir di malam hari ini membuat malam ini menjadi syahdu. Aku mulai memejamkan mataku dan menarik selimut biru kesayanganku.
"Sukses terus dengan bisnismu Lita," Rianti melambaikan tangannya. Kemudian ia pergi mengendarai motornya."
"Rianti..." Aku bangun tergaket. Melihat Rianti melambaikan tangan
Aku terbangun dari tidurku. Akh hanya mimpi. Aku bernapas dengan lega. Aku baru menyadari aku lupa menghubungi Rianti. Sorot mata Rianti di mimpi itu begitu tajam. Aku tersenyum Rianti sebaik itu, dia sampai datang di mimpiku. Dia harus tahu kesuksesanku membuat brownies. Pasti dia akan senang mendengar semua ceritaku seperti Ibu yang selalu senang aku bercerita.
Kadang aku suka berpikir, tidak ada orang yang baik seperti Ibuku dan teman SMAku. Tapi Rianti datang seolah-olah bagai bintang yang terang di langit sana. Aku mensyukuri semua hal yang terjadi beberapa Minggu ini. Tuhan telah mentakdirkan jalan yang baik bagi umatnya. Bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian dan hidup harus bekerja keras.
"Yes, ganbatte.. ganbatte." Aku mengepalkan tanganku bersemangat menuju esok hari yang cerah.
-!!-
Ruang resepsionis begitu sepi. Aku berjalan perlahan menyusuri mejaku sambil mengantuk. Langkah-langkah kakiku begitu kecil hingga tidak menimbulkan suara. Aku berhenti melihat salah satu anak tangga di atas. Ada seorang wanita terisak.
"Itu Mbak Yani," aku menyalakan kontak lampu yang menuju atas tangga.
Tidak tinggal diam dengan situasi ini, aku naik tangga berusaha mendekati dan mencairkan suasana hati Mbak Yani.
Jam menunjukan masih pukul enam pagi, aku dan Mbak Yani memang selalu pagi untuk datang ke kantor karena perjalanan rumah kami begitu jauh ke daerah mangga dua.
"Mbak ada apa, mbak baik-baik aja kan?" Aku merapikan rambut mbak Yani dan mengusap air matanya.
"Lita ibuku semalem sudah meninggal." Mbak Yani menghapus bening hangat di wajahnya.
"Ayo kita ke rumah Mbak Yani. Cepet." Aku menarik tangan Mbak Yani.
"Tidak Lita ibu sudah di kremasi tadi malam." Mbak Yani menundukan kepalanya ia menangis tersedu-sedu.
"Ya Tuhan, yang sabar ya mbak. Pasti ibu Mbak Yani sudah bahagia disana Mbak." Aku menepuk-nepuk pelan pundak Mbak Yani. "
"Iya Lita, aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi dirumah Lita." Mbak Yani terdiam memandangku beberapa saat.
Wajahnya terlihat lelah tetapi dia memaksakan diri untuk tersenyum. Kemudian Mbak Yani berjalan menuju toilet aku hanya mengikutinya dari belakang bertanya-tanya ini pasti mimpi yang paling buruk yang pernah Mbak Yani alami.
Seumur hidup baru kali ini aku mengalami teman yang orang tuanya meninggal, walaupun aku tidak pernah bertemu lagi dengan ayah. Air mata mulai mengalir dari pipiku.
"Aku turut berduka ya Mbak, Mbak bisa kekontrakan aku kapan saja mbak, ada ibuku juga disana, anggap aku sebagai adik Mbak ya mbak."
"Mamama... Kenapa mama tidak membawaku saja kesana?" Mbak Yani menangis begitu sesak.
Dalam sekejap sekeliling Mbak Yani begitu sesak. Gelap seluruh cahaya di ruangan toilet begitu lenyap. Dia tersengal-senggal dia kesulitan bernapas kemudian jatuh pingsan.
"Ya Tuhan Mbak Yani..." Sontak aku kaget, kemudian menaruh mbak Yani di tempat duduk toilet dan kelaur dari toilet..
"Tolong..tolong Mbak Yani pingsan."
Seseorang mengenakan blus biru naik tangga.
"Rianti, tolong Mbak Yani. Tolong pingsan." Aku segera menarik cepat tangan Rianti.
"Astaga pingsan dimana?" Rianti menyimpan cepat tasnya di loker karyawan.
Kami berdua langsung menuju toilet wanita. Kami meminta bantuan kepada karyawan laki-laki untuk menggontong Mbak Yani.
-!!-
Aku meununggu Mbak Yani di ruangan khusus. Gelombang kepanikan tiba-tiba menghantamku dan kepanikan seolah muncul dan kesadaranku menampar segalanya. Aku masih sangat khawatir dengan kondisi Mbak Yani pasti dia sangat ketakutan dan sendirian dirumah. Apa Mbak Yani tidak punya keluarga dan aku harus menghubungi siapa untuk memberi tahu kabar Mbak Yani?
Rianti duduk di sebelah kasur Mbak Yani sambil terus memperhatikan Mbak Yani.
Dengan sekali helaan napas, Rianti mulai bicara.
"Ti gimana kejadiannya kok Mbak Yani bisa pingsan."
"Ssst..." Aku langsung memotong pembicaraan Rianti.
Aku membisikan di telinga Rianti." Ibunya sudah meninggal Rianti."
"Ya ampun Lita, aku nggak tahu maaf." Rianti menutup mulutnya.
Rianti mengganguk sambil memperhatikan aku bercerita kesana dan kemari.
Setengah jam kemudian Mbak Yani sadar. Dengan cepat Rianti memberikan air minum padanya.
"Mbak mau roti," tanyaku pelan. Aku mengambol roti kemudian mencoba menyuapi mbak Yani.
Mbak Yani menelan roti sedikit demi sedikit. Tatapan matanya tidak terlalu bersemangat seperti biasanya. Wajahnya sangat pucat. Tangannya pun gemetar, kali ini wajahnya sedikit memutih. Tangannya bergetar kembali saat meminum air putih. Napasnya begitu terengah.
"Mbak kamu sakit ya?" Wajah kamu pucat banget mbak?" tanya Rianti prihatin.
"Oh nggak, aku baik-baik saja kok. Aku hanya kurang beristirahat. Makasih ya kalian sudah nemenin aku."
"Kalau gitu istirahat saja Mbak disini tidak usah ke lantai atas." tambahku.
Aku mencoba menyisir rambut Mbak Yani yang sangat kusut.
"Mbak kamu benar-benar nggak apa-apa?" Tanya Rianti penasaran.
Mbak Yani menggeleng meyakinkan Rianti.
"Aku harus balik ke Mrs. Laura, Lita. Kamu nggak apa-apa kan mbak bersama Lita aku nggak nemenin dulu?"
"Iya tenang saja Ti, gue nggak apa-apa kok." tambah Mbak Yani.
"Kalau ada apa-apa Mbak main saja ke rumah Rianti ya," Rianti mengelus rambut Mbak Yani.
Dengan sedikit ragu, akhirnya Rianti pergi keluar pintu ruangan khusus.
Dengan izin Mrs. Laura akhirnya aku memutuskan untuk mengabdikan hari ini pada Mbak Yani. Ya, menunggu Mbak Yani segera pulih di ruangan khusus. Ruangan resepsionis di tunggu oleh anak baru bagian gudang.
Aku melirik jendela ruang meeting yang bersebelahan dengan ruang khusus. Satu per satu, karyawan kelaur dari ruangan rapat. Semua karyawan pasti melalukan tugasnya dengan baik. Begitu juga Yanti yang menunggu ruangan resepsionis.
Dengan spontan, aku melihat Rianti tertawa dengan Mrs. Laura. Hal ini membuatku kaget. Ada apa dengan mereka berdua. Akh, tidak mungkin Rianti jahat denganku. Pasti mereka sedang bercanda. Ini hanya pikiran kusutku saja. Aku tidak boleh berpikiran negatif. Rianti sangat baik sekali denganku dan dengan Mbak Yani juga.
Aku menghela napas memperhatikan kondisi Mbak Yani. Mbak Yani pasti sangat terpukul dia sendirian didalam rumahnya. Apa yang harus aku lakukan ya Tuhan aku tidak tega dengan Mbak Yani. Rumah kontrakanku kecil. Aku tidak bisa membantu Mbak Yani banyak-banyak. Hanya bisa membantu memulihkan kondisi psikis nya.
Sebenarnya ini bukan pertama kali aku melihat Mbak Yani bersedih, tapi kali ini aku sungguh sangat menghawatirkannya.
Aku mulai menguap beberapa kali. Sungguh mataku tidak bisa diajak bersahabat. Aku mencoba menenggelamkan diri di sofa yang empuk sambil menonton televisi. Aku berusaha mengunyah permen karet agar aku tidak mengantuk. Mencoba sedikit-sedikit melebarkan kedua bola mataku.
-!!-
Matahari begitu terik. Walaupun kepanasan, aku dan Mbak Yani tetap bertahan di halte bus busway. Aku ingin mengantarkan Mbak Yani pulang ke rumahnya. Keadaan dia sudah tidak pucat lagi seperti tadi pagi. Mbak Yani duduk di halte busway wanita, sedangkan aku berdiri mematung di depan tempat duduk Mbak Yani karena tidak kebagian kursi. Ya sudahlah aku harus tahan dari mangga dua ke daerah harmoni juga tidak begitu jauh.
Di balik pintu busway ada dua orang pelajar mengenakan jaket koki putih bergegas melwatiku. Mereka membawa buku-buku resep masakan cake dan minuman. Rasanya adegan melewatimu sudah dilatih seperti mereka sengaja dilepas dari kandangnya dan diarahkan untuk melintas di depanku. Namun, aku tidak mau harus tersenyum melihat toga mereka. Tentu saja aku sudah pernah melihat koki tersebut di Instagram atau di televisi-televisi dan YouTube. Tetapi dalam dapur sungguhan aku belum pernah melihat sekeran apa koki-koki mengerjakan tugas mereka. Pastinya pelajar itu sudah hapal menu-menu bintang lima. Akh, apa dayalah aku cuma resepsioni dan penjual kue kecil-kecilan. Hanya saja mereka membuat aku semangat untuk meneruskan cita-citaku kembali. Yap kuliah! Entahlah aku bisa kuliah atau tidak. Aku hanya bisa berdoa semoga ada rezeki untuk meneruskan apa yang aku cita-citakan.
Aku mematung kembali. Seseorang melambaikan tangannya dengan kemudian ia memberiku isyarat agar aku duduk di kursi busway yang sudah kosong. Aku berjalan menyusuri kursi busway yang kosong itu, kemudian aku duduk. Jaraknya hanya bersebrangan dengan kursi Mbak Yani.
"Hati-hati tiang," teriak seseorang satu detik terlambat.
"Makasih," jawabku dengan wajah kue seraya mengelus-elus dahi yang sudah mencium sedikit tiang busway.
Di sebelah kiriku seorang anak kecil tertawa kecil melihat dahiku mencium tiang busway.
Aku mengernyitkan bibirku sedikit ke sebelah kanan. Akh ada-ada saja anak kecil itu!
Semua orang di dalam busway terlihat sangat santai. Ada yang membaca buku, ada juga yang mengobrol. Di sebelah kananku tampak ibu-ibu bermula Chinese sama dengan Mbak Yani ia tersenyum tipis kemudian mengobrol kembali dengan temannya yang sudah duduk di bangku busway. Dia memiliki gigi kuning yang sangat menyebalkan membuat aku sungguh jijik di buatnya.
Tanpa sadar aku menyentuh dan menginjak kaki di sebelahku. Wanita berjubah hitam itu memperkenalkan dirinya dalam bahasa Inggris.
"Halo, Siena." Dia menjulurkan tangannya dan akupun menjabatnya. Kira-kira wanita itu akan kemana ya pikirku.
Siena orang Pakistan itu membuat aku merasa tidak nyaman karena dia terus saja menceritakan hal-hal pribadinya dalam bahasa Inggris kepadaku. Aku hanya menjawab yes,yes saja walaupun aku sedikit mengerti apa yang dia ucapkan tetapi dia terlalu banyak bicara, hingga membuat aku ingin sekali cepat sampai di rumah Mbak Yani.
Huft! Sungguh banyak orang-orang aneh di luar rumah.
Akupun menjauh dari perempuan itu dan mulai menatap jendela lurus. Tanpa sadar aku mengigit jariku.
"Mengapa kau menggigit jarimu?" Mbak Yani mengagetkanku dia pindah duduk di sebelahku.
Aku hanya menggeleng.
Setidaknya aku dan Mbak Yani sudah menghabiskan satu jam di perjalanan, nampaknya hari mulai sore jalan-jalan di Jakarta mulai macet. Semua orang bertempur dengan kehidupan mereka masing-masing.
Tidak sengaja aku menginjak brosur pelajar tadi, aku meraih brosur itu kemudian membacanya dengan teliti.
Sebuah event lomba memasak dan lomba membuat kue akan diadakan Jumat depan. Wow, hebat sekali pelajar itu mendapatkan brosur ini! Ini sungguh sangat menarik. Apakah karyawan sepertiku bisa mencoba lomba tersebut. Aku memotret brosur tersebut. Kemudian mengsave telpon panitia event lomba itu.
Busway berhenti sejenak diantara dua gedung. Tepatnya di halte kota tua. Dengan langkah kaki cepat kedua pelajar koki tadi kelaur dari busway.
Dengan cepat aku memasukan brosur event lomba itu ke dalam jaket hijauku. Satu persatu banyak orang yang turun dari busway. Akhirnya, aku bisa bernapas lega, karena si shopie bule Pakistan itu sudah keluar dari bus busway. Aku sama sekali tidak tahan dengan bau mulut dan bau badannya.
Aku mengambil ponselku dari dalam tas, kurasa sudah aman main ponsel di dalam busway karena hanya beberapa orang saja di dalam busway khsuus wanita.
Aku membuka google crome mencoba mencari tahu lomba event itu ada dimana?
Wow, ternyata event itu diadakan di dekat kontrakan rumahku. Mall kota Casablanca. Dalam benakku aku ingin mengikuti lomba membuat cake dan mendekor cake tersebut. Tapi kemampuanku masih sangat minim. Kuputuskan untuk melihat saja nanti event tersebut, kecuali jika aku berubah pikiran aku akan mengikuti lomba tersebut.
Aku harus melihat YouTube, apa saja yang dilombakan dan persiapan apa saja yang harus dibawa.
-!!-
Sebuah tepukan pelan di bahu menyadarkanku untuk turun busway.
"Hai Mbak Yani, sudah harmoni ya." Aku tersipu malu karena terlalu fokus pada handphone.
" Iya Lit, ayo turun!" Mbak Yani melangkah kakinya gontai.
Aku cepat-cepat menyusul Mbak Yani aku khawatir jika Mbak Yani terjatuh pingsan kembali.
"Gue nggak apa-apa Lita," seru Mbak Yani dia memegang pundaku.
"Mbak hati-hati ajah jalannya ya," aku merangkul tangan Mbak Yani.
Aku hanya takut Mbak Yani kenapa-kenapa. Mbak Yani hanya tersenyum lebar.
"Makasih ya Lita sudah mengantarkanku sampai rumah." Mbak Yani berjalan pelan. Aku membuntutinya di belakang karena jalan gang terlalu sempit.
"By the way rumah Mbak Yani masih jauh dari sini." Tanyaku penasaran.
"Iya Lit, aku hanya ingin lewat gang sini karena lebih dekat dengan busway ya, Lo capek ya Lita?" Mbak Yani berhenti menunggui aku dibelakangnya.
"Oh tentu saja nggak Mbak." Aku meraih tas Mbak Yani. Kugendong tas ranselnya dibelakang pundakku.
Mbak Yani memang sangat tomboy, berbeda dengan Rianti.
Darah harmoni ini masih mengingatkanku dengan ayah. Ya Tuhan dimanakah ayah berada. Apa mungkin ayah sudah menikah lagi? Aku hanya ingin bertemu dengan ayahku.
Sesampainya di gang depan rumah Mbak Yani aku kaget melihat rumah yang sangat besar. Rumah itu dihiasi dengan pagar-pagar besi hitam. Rerumputan tinggi dan ranting-ranting pohon melingkari dan menyelimuti pagar-pagar besi dan dinding rumah tersebut. Rumah itu sudah tidak terurus. Aku membayangkan kembali rumah masa kecilku. Apakah itu rumahku ya Tuhan aku ingat ada pohon yang besar di rumah megah ayah.
Aku berhenti di depan rumah besar itu. Rumah itu membuatku penasaran aku harus masuk ke dalam rumah itu. Pasti itu rumah ayah dan nenekku. Bayangan sepuluh taun yang lalu terus menghujani alam bawah sadar pikiranku. Aku mengambil daun-daun di depan pagar rumah besar itu.
"Lita.. apa yang kamu lakukan?" Teriak Mbak Yani berlari menuju ketakutan.
"Eh iya Mbak Yani." Aku mencekam dedaunan.
"Kau baik-baik saja kan Lita?" Mbak Yani menarik tanganku kemudian ia mengajak aku cepat-cepat pergi dari rumah kosong besar itu.
Aku mengangguk kemudian menyusuri rumah Mbak Yani.
Setelah sepuluh menit aku sampai di rumah Mbak Yani. Banyak bebaun persembahan untuk ibunya. Aku sangat tidak kuat mencium bau tersebut. Tetapi untuk menghormati Mbak Yani aku masuk kerumah tersebut. Dari sejak tadi aku berpikir Mbak Yani pasti mengira aku telah kesurupan padahal aku masih penasaran mengapa rumah itu menjadi tidak terurus. Pasti ayah sudah tidak ada lagi disana ya Tuhan jadi ayah kemana selama ini?
Aku menduduk pilu. Apakah aku bisa bertemu dengan ayahku kembali.
"Dimakan dulu Lit, ini nasi kuning pemberian tetanggaku." seru Mbak Yani ia menyodorkan semangkok nasi bungku diatas piring.
"Makasih ya Mbak," aku memakan nasi kuning dengan lahap.
"By the way kamu kenal dengan rumah itu Lita." Mbak Yani mengintrogasi.
"Oh iya tidak Mbak Yani. Aku hanya penasaran mengapa rumah itu kosong." Aku berdebar. Mbak Yani tidak boleh tau tentang asal usulku.
"Lain kali Lo jangan Kesana lagi ya Lita. Ngeri rumah kosong, Lo nggak kenapa-kenapa kan?" Tanyanya lagi.
"Nggak kok Mbak aku baik-baik saja." Aku menyeruput jus alpukat didepan Mbak Yani.
"Rumah itu sudah ditinggal penghuninya sewaktu aku kecil, kata ibuku penhuni rumah itu bangkrut karena wanita, dan sampai sekarang rumah itu menjadi mengerikan dan tidak pernah laku, kosong yah hanya rayap-rayap yang menyelimuti dan tinggal disana," Mbak Yani menggelengkan kepalanya. Ia menepuk dahinya.
"Hah wanita?" Sontak aku terkaget. Apakah itu ayahku? Ya Tuhan kalau memang itu ayah sekarang ayahku dimana? Apakah dia baik-baik saja.
Rumah itu membawa lamunan yang telah bertahun-tahun aku lamunkan. Aku harus mencari tahu sesuatu. Apakah aku harus memberi tahu ibuku?
Akh pasti ibuku tidak akan mau mendengar apa yang aku ceritakan. Apakah benar ayah berselingkuh dengan wanita lain?
Pada suatu titik aku tidak melamu. Aku benar-benar bangun dari mimpiku. Aku benar- benar cemas membayangkan perasaan ibuku dahulu. Pasti ibu sangat terpukul waktu itu. Aku akan mencari tahu rumah itu dan aku akan membicarakannya pada ibu di waktu yang tepat. Ya Tuhan, semoga ada jalan kedepannya.
-!!-