“Hai Lit,” sapa Mbak Yani melambaikan tangannya. Ia turun dari tangga halte busway.
Aku melirik kesebelah kiri.” Mbak Yani. Tumben belum jam delapan dah dateng.”
“Biasa Lit menghindari macet. Lo taulah Jakarta hari senin macet parah. Kalau bisa sih Gue pindah Planet. Hahaha..” katanya dengan mimik muka ceria.
Dasar memang konyol! Aku tersenyum mengangkat dagu. Kami melewati ruko-ruko Harco Mangga Dua.
“By the way, Rumah Lo dimana sih Lit?” Mbak Yani melirik wajahku serius.
“Tebet Mbak, Mbak Yani Harmoni kan?” Jawabku penasaran.
“Lo tau dari mana Lit?” Mata Mbak Yani melebar.
Aku menarik napas dalam-dalam. “Riiiantii…..”
“Nggak usah bahas Rianti! It’s no important Litaaa!
“Tapi Kita satu Kantor Mbak! Jangan sampe musuhan Mbak.” Aku tak mau mengalah.
Wajah Mbak Yani mendengus kesal. “Dia udah ngedeketin Ridwan Litaa…”
Wajah Mbak Yani tiba-tiba saja pucat. Ia menarik tangan kananku kemudian kami masuk Kantor. Kami berdua menempelkan jempol tangan pada layar absensi. Tut! Diterima!
“Duduk sebentar Mbak! Ada yang mau aku ceritain!”
Mbak Yani nyaris melangkahkan kakinya menuju lantai dua.
Aku mengajak Mbak Yani sarapan pagi di Ruang Meeting. Ia memang menghindari pertengkaran denganku.
Mbak Yani meluruskan kaki di kursi Ruang Meeting lantai dua. Ia tak berkata sepatahpun. Ia memang menghindari obrolan tentang Rianti. Aku mengambil tempat makan di dalam tas selempang. Ada ayam bakar keju.
Mbak Yani mengambil ayam bakar dengan canggung. “Makasih Lit.”
Aku mencuil ayam bakar keju lalu melumatnya. “Omong-omong aku mau bertanya.”
“Apa?” Mbak Yani menggigit ayam bakar kemudian mengunyahnya pelan.
“Apa yakin Mbak Yani suka sama Ridwan?”
“Ya entahlah Lit….”
Aku menatap Mbak Yani. Mencoba memutar kata-kata yang baik di kepalaku. Dalam hati, aku berdoa biar wajahnya tak muram.
“Minggu kemarin, aku liat Ridwan sama cewek di Mall Gajah Mada Mbak!” Wajahku khawatir.
“Maksudmu sama Rianti?” Ujarnya arogan. Ia melotot.
Aku menjulurkan ponsel di depan wajah Mbak Yani. Ia menyunggingkan senyum saat menatap wajah Ridwan dengan wanita lain. Ia terlihat sinis.
“Jadi Gue sama Rianti diboongi?” Kata-kata Mbak Yani membuat wajahku kemerahan.
“Iya Mbak, tangan kananku gemetar. Aku menyimpan ponsel di atas meja.
“Bagus kalau begitu! Dasar Playboy! Dia kan ngajakin Gue kencan terus!”
Aku melihat wajah Mbak Yani yang tampak kesal. Hati perempuan di depanku itu kini benar-benar terbakar. Belum pernah aku melihat ekspresi wanita sekesal itu. Aku semakin panik. Aku tak dapat membayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya.
“Okei-okei fine, semua masalah Ridwan kelar! Gue mundur!” Ia bangkit dari tempat duduk lalu menyilangkan kedua tangannya di dada.
Aku mengangkat bahu. “Yah. Dijadikan pelajaran saja Mbak!”
Aku diam, melihat ekspresi Mbak Yani yang tampak berpikir.
“Uhh… Bodoh amat sih Gue!” Mbak Yani menepuk-nepuk wajahnya sendiri.
Dengan setengah berdiri aku menghentikan tangan Mbak Yani. Otakku mendadak kosong saat melihat tingkah Mbak Yani. Well, hanya ini caranya meredamkan hati Mbak Yani dan Rianti.
Mbak Yani menoleh dan tersenyum. “Thankyou Lita dah ngasih taauuu.”
Aku menghembuskan napas. “Sabar Mbak! Cinta yang salah selalu datang di awal. Cinta sejati pasti akan datang suatu hari nanti!”
Mbak Yani menganguk pelan. Dia menyibak sungai kecil di wajah manisnya.
-ii-
Mbak Yani sebenarnya muak melihat Rianti yang berdiri di depan pintu ruangan kerja di lantai dua. Dalam hatinya, ia merasa tidak nyaman jika tak saling sapa berlarut-larut. Rianti memalingkan wajahnya dari Mbak Yani kemudian melangkah menuju toilet wanita. Tatapannya terlihat sinis.
Mbak Yani menatap Rianti. “Hai Ti.”
Rianti terlihat sangat rapih. Ia memakai minyak wangi yang mencolok. Wajahnya tampak cantik walaupun ia menggunakan lipstik pink di bibirnya. Rianti sedikit melirik kearah Mbak Yani.
“Iya Mbak,” jawab Rianti singkat. Tanpa basa basi ia membuka pintu toilet wanita.
“Pagi Rianti…,” sapaku ketika melihat wajah Rianti di cermin.
“Eh, hai Lit.” Jawab Rianti canggung. Ia mencoba tersenyum.
Aku tengah mengecek rambutku yang terurai. Perempuan berdarah Aceh itu kemudian berdiri di sampingku. Ia mengecek wajahnya lalu mengoleskan blush on coklat bata di kedua pipinya.
“Udah sarapan Ti?” Kataku penasaran.
Rianti tersenyum. “Udah Lit, kamu?”
“Udah… Itu blush on wardah kan? Aku suka banget yang warna itu. Kamu sering pakai?” Aku bertanya lagi.
“Iya. Kamu mau?” Rianti mendekatiku.
Aku mengangguk. Gadis itu menepuk blush on dengan kuas kemudian memoleskannya pada pipi kananku.
Dibalik wajah cantik Rianti ternyata dia sangat berbakat merias wajah orang lain. Rasa penasaranku semakin menjalar saat Rianti sudah tidak canggung lagi denganku.
“Kamu lagi bad mood sama Mbak Yani ya?” Tanyaku hati-hati ketika Rianti mengoleskan kuas di pipi kiriku.
Rianti menatapku dengan heran. “Aku nggak paham maksud kamu. Kamu ini ngomong apa sih?”
Kata-kataku membuatnya tersinggung. Aku semakin merasa bingung ketika menatap wajah Rianti yang tak menyukai pertanyaanku. Dia membereskan semua alat make up nya ke dalam tas kosmetik kecil.
“Ti.” Aku tak tahu lagi harus berbicara apa. Aku takut memperparah bad mood Rianti.
“Don’t say it Lita! Aku baik-baik saja dengan Mbak Yani. No Problem!” Rianti tidak ingin dibantah. Ia tersenyum lebar kemudian membuka pintu toilet.
“Semoga semuanya baik-baik saja ya Ti. Tidak baik tidak saling sapa. Gue bukan mau ikut campur tapi kita adalah satu keluarga di Kantor.” Kataku lega.
Aku berusaha berkata-kata panjang sebelum Rianti keluar dari pintu toilet.
Rianti berbalik. Ia menghembuskan napas sedalam-dalamnya berusaha melebarkan senyuman. “Terima kasih ya Lita. Semua akan baik-baik saja.”
Rianti menutup pintu toilet kemudian melangkah menuju ruangannya.
Emosi Rianti pasti nyaris padam ketika mendengar kata-kataku. Aku tahu sebagai seorang teman aku harus mendamaikan Rianti dan Mbak Yani.
Aku terdiam. Tidak pernah terbesit di dalam pikiranku akan terjadi Friendzone di dalam satu kantor. Aku pikir menjadi karyawan Kantor sangat asyik. Ternyata banyak masalah di Kantor dibandingkan ketika sekolah.
Pikiranku akan hanyut akan pertanyaan sampai kapan aku bisa bertahan di Kantor ini? Sampai kapan aku bisa mempunyai tabungan yang banyak untuk bisa berbisnis online brownies?
Diam-diam kerja di Kantor sangat rumit. Ada saja masalah yang terjadi.
Aku menyandarkan punggungku pada dinding toilet wanita. Aku bersumpah jika sudah tiga bulan kerja di Kantor ini akan memulai mencoba bisnis online brownies walaupun hanya kecil-kecilan.
Aku mengepal tangan kananku. Ya aku harus semangat! Pasti aku bisa!
-ii-
Mbak Yani menghampiriku dengan setumpuk kertas di tangan kirinya. Ia menyimpan dokumen itu di samping komputer.
“Lo ngapain sih pake blush on itu?” Tanya Mbak Yani heran.
“Kok jadi blush on sih Mbak?” Aku tersengat tiba-tiba.
“Hahaha… Lo mirip ondel-ondel tauu.. menor!” Canda Mbak Yani. Ia tertawa lepas.
Aku mengambil kaca di laci meja. Dalam hati aku jadi malu. Masa sih aku terlihat seperti ondel-ondel! Aku menatap wajahku sendiri lalu mengibaskan sapuan blush on dengan tisu.
Mbak Yani merampas tisu. “Eh, aku becanda kali Lita.”
“Beneran nggak mirip ondel-ondel kan Mbak? Duuuhhhhh!”
Aku semakin tidak percaya diri. Kutarik beberapa tisu di sebelah tumpukan arsip Kantor.
“Eh udah-udah Gue becanda Littaaaa!” Mbak Yani membuang tisu-tisu itu ke dalam tong sampah di bawah meja.
“Tapi nggak malu-maluin kan Mbak.” Aku cemberut.
Mbak Yani memegang daguku. “Hahaha… Lo diajarin siapa sih? Bisa sampai kayak gini?”
Aku menarik napas. Aku tak mungkin memberi tahu Mbak Yani. Pasti dia illfeel.
“Hei, malahan bengong!” Mbak Yani melambaikan tangannya di depan wajahku.
“Eh Mbak anu Rianti.” Kataku gugup.
Mbak Yani menatapku sinis. Ia mengambil setumpuk kertas.
“Jangan lampiaskan emosi Lo Mbak sama Rianti.” Aku menarik tangan Mbak Yani saat ia akan berlalu.
Mbak Yani berbalik. “Gue sih udah coba berdamai sama Rianti ya Lita! Tadi pagi Gue nanya sama dia.”
Mbak Yani memiringkan bibirnya. Kesal.
“Ya bagus dong Mba! Nggak baik marahan lebih dari tiga hari!” Aku berbicara dengan intonasi tinggi.
Aku menghidupkan lagi layar komputer kemudian mengetik absensi karyawan.
Mbak Yani mengeluarkan ponselnya dari saku rok. Ia mengotak-atik ponselnya. “Mmmmhhh….”
Aku tahu Mbak Yani dan Rianti memiliki karakter yang berbeda. Mbak Yani lebih terbuka daripada Rianti penuh dengan privasi. Mbak Yani sebenarnya cantik, hanya wajahnya tampak jutek jika belum kenal.
Aku melirik Mbak Yani. “Hai Mbak awas nanti ada Miss. Laura!”
Aku merampas ponsel Mbak Yani.
“Oh iya.” Mbak Yani nyengir.
Ponsel Mbak Yani berbunyi. Ia tampak bingung. Aku mengembalikan ponselnya lagi. Saat menatap ponsel Mbak Yani bingung.
“Iya halo.” Mbak Yani menjawab telponnya. Ia berlari membuka pintu Kantor.
Di ujung Pos Security terlihat Mbak Yani sedang memijit kepalanya. Ia tampak serius mengobrol dengan seseorang di hp. Aku tahu kalau perempuan itu sedang dalam banyak masalah. Semoga tidak terjadi apa-apa!
Aku mengetik lagi absensi dengan serius. Ini sudah jam sebelas siang. Laporan absensi belum kelar!
“Lit…Lita…”
Aku menaikkan kepalaku. “Iya Mbak Yani, kenapa?” Jawabku tegang.
“Ibu Gue kritis Lit. Gue ke RS dulu ya. Tolong Lo kasih tau Pak Rahman atau Miss. Laura!” Jelasnya panjang lebar. Ia berlari menuju lantai dua.
“Iya Mbak hati-hati. Nanti aku nengok Mbak.” Aku bangkit dari kursi.
Hujan mulai rintik-rintik di luar Kantor. Ya Tuhan semoga Ibunya Mbak Yani baik-baik saja!
Aku menghela napas lagi. Tanganku gemetar. Aku mengangkat gelas lalu meleguknya sedikit.
-ii-