Ruli sengaja meminta Anjas untuk mencari rumah yang jauh dari desa Ronggo Lawuh tanpa sepengetahuan Syifa. Agar suatu saat Rudi tidak dapat menemui Syifa dan Akbar. Setiap orang tua akan melakukan hal yang sama saat mengetahui putrinya telah disakiti.
"Maaf, Nak. Di desa kita tidak ada rumah yang bisa kita beli, lagipula uang Bapak tidak cukup untuk membeli rumah di desa itu. Kamu tahu sendiri harga rumah di desa itu cukup mahal," jawab Ruli saat mendengar pertanyaan sang putri.
"Tapi bagaimana jika Mas Rudi datang ke desa dan mencariku?" tanya Syifa yang terlihat masih sangat mengharapkan kedatangan sang suami.
"Nanti biar aku yang menggantarnya ke sini," jawab Anjas meyakinkan Syifa.
"Sampai kapan kamu akan berharap dia datang menemuimu, sedangkan Rudi saja sudah bahagia dengan Istri barunya," batin Anjas sambil terlihat melamun di dalam mobilnya.
"Nak Anjas, mari masuk dulu," panggil Ruli hingga membuat Anjas terkejut.
"Eh, iya Pak," jawab Anjas sambil membuka sabuk pengamannya.
Rumah berbilik kayu tanpa perabotan itu terlihat begitu sangat sederhana. Sesaat Syifa terlihat melamun, seakan ada hal yang mengganggu pikirannya saat ini. Karena rasa cinta yang besar membuatnya sangat berharap jika sang suami akan datang untuk menjemputnya.
"Syifa, kamu dan Ibu istirahat saja, Bapak sam Anjas mau kepasar dulu untuk membeli beberapa perabotan," perintah Ruli kepada sang putri yang terlihat duduk melamun sambil menggendong Akbar.
"Iya Pak," jawab Syifa singkat.
***
Waktu berlalu dengan begitu cepat Syifa dan keluarganya sudah mulai bisa menata kembali kehidupannya. Sisa uang penjualan rumah sebagian mereka gunakan untuk membeli beberapa pasang kambing, sedangkan Syifa mulai membuka makanan anak-anak dan warung nasi dengan bantuan Sari. Akbar yang saat itu sudah berusia satu tahun terlihat sudah mulai aktif dengan tingkah lucunya.
"Assalamualaikum," ucap Anjas yang baru saja datang dengan gaya khasnya.
"Waalaikumsalam," jawab Sari dan Syifa secara bersamaan.
"Mari masuk, Nak Anjas mau makan apa?" tanya Sari dengan ramah.
"Tidak usah Bu, nanti saya jadi enak," jawab Anjas sambil tertawa.
"Tidak apa-apa Nak, Ibu sudah menganggap kamu seperti anak sendiri kok," jawab Sari sambil mulai meletakkan nasi ke piring.
"Terima kasih Bu, siapa tahu jadi anak nanti bisa jadi mantu," jawab Anjas lirih sambil menunduk.
"Mas Anjas bilang apa tadi?" tanya Syifa yang mendengar sedikit kata-kata Anjas.
"Ah tidak, aku hanya bilang semoga Ibu selalu sehat," jawabnya sambil nyengir kuda.
"Oh … Akbar hati-hati Nak!" tiba-tiba Syifa berteriak saat melihat sang putra berjalan ke halaman.
"Akbar sudah besar ya, dia terlihat tampan," puji Anjas dengan rasa malu.
"Alhamdulillah dia tumbuh jadi anak yang sangat sehat dan pintar, tapi sayang …." tiba-tiba Syifa menghentikan ucapannya.
"Sayang kenapa? Apa dia sakit," tanya Anjas yang mulai khawatir.
"Karena sampai saat ini Mas Rudi tidak datang menjenguknya," jawab Syifa sambil menunduk lesu.
"Sudah Nak, tidak usah kamu pikirkan laki-laki itu saat ini dia pasti sudah bahagia dengan Istri barunya, lebih baik kamu pikirkan masa depanmu," jawab Sari sambil berjalan membawa makanan untuk Anjas.
"Bu Sari benar, lebih baik kamu pikirkan masa depanmu, oh iya kata Pak Ruli kamu mau ikut kursus membuat kue?" tanya Anjas seolah ingin membuat Syifa lupa dengan kesedihannya.
"Iya Mas, siapa tahu suatu saat aku bisa membuka toko kue untuk menghidupi Akbar," jawab Syifa sambil tersenyum.
"Aku setuju itu, nanti biar aku antar jemput ya," tawar Anjas dengan sangat bersemangat.
"Tidak usah Mas, kasihan kalau Mas Anjas bolak-balik," jawab Syifa sambil tersenyum.
"Tidak apa-apa, aku senang bisa membantumu Syifa," jawab Anjas yang mulai menyendok nasi di piringnya.
***
Kehidupan rumah tangga Rudi dan Anita tidak sebahagia yang dipikirkan Syifa dan keluarganya. Anita yang saat itu sudah melahirkan seorang bayi perempuan justru tidak mau menjalankan kewajibannya sebagai seorang Ibu. Bahkan hampir setiap hari dia selalu pergi meninggalkan Aira bersama dengan Mbok Inah.
"Dimana Anita? Mbok," tanya Rudi sesaat setelah dia baru sampai di rumah.
"Mbak Anita pergi sejak pagi Mas," jawab Mbok Inah sambil menggendong Aira yang terus saja menangis.
"Dari pagi sampai jam segini belum pulang juga?" tanya Rudi dengan terkejut.
"Iya Mas, bahkan Mbak Anita tidak mau menyusui Aira, jadi tadi pagi terpaksa Mbok berikan susu formula untuknya, karena Mbak Anita menolak memompa Asinya," jawab Mbok Inah sambil terlihat kewalahan.
"Anita benar-benar kelewatan, sepertinya aku harus memberi pelajaran kepadanya," ucap Rudi yang langsung berjalan ke arah kamarnya.
Setelah membersihkan diri Rudi langsung menuju ke meja makan. Terlihat Mbok Inah yang masih sibuk menenangkan Aira di dalam gendongannya. Perlahan Rudi meminta Aira dan menyuruh Mbok Inah untuk ke dapur agar bisa menyiapkan makan malam. Malam ini Rudi sengaja mematikan lampu dan menunggu Anita di ruang tengah.
"Darimana saja kamu jam segini baru pulang?" tanya Rudi hingga membuat Anita terkejut.
"Aku … aku dari ketemu teman-teman di cafe," jawab Anita dengan gugup.
"Cafe apa yang buka sampai jam 4 pagi? Kamu pasti dari diskotik 'kan," tanya Rudi sambil berdiri dan menghampiri Anita.
"Jika iya kenapa? Apa kamu akan melarangku," tanya Anita sambil membentak Rudi.
"plak," tiba-tiba Rudi menampar Anita dengan keras.
"Dasar perempuan tidak tahu diri, harusnya kamu itu tahu jika kamu bukan perempuan single yang bisa pergi dan pulang kapanpun! Lihat Aira seharian ini dia menangis, apa kamu tidak kasihan bentak Rudi kepada sang istri.
"Bukankah Ada Mbok Inah dirumah, dan aku juga sudah meminta Mbok Inah membeli susu formula untuk Aira. Jadi tidak ada yang perlu dikhawatirkan lagi 'kan," jawab Anita sambil memegang pipinya.
"Anita, kewajibanmu sebagai seorang Ibu adalah memberi Asi untuk Aira bukan susu formula!" bentak Rudi yang sudah mulai kesal dengan tingkah sang istri.
"Tidak, aku tidak mau tubuhku rusak karena harus menyusui anak itu, kalau kamu mau lebih baik kamu saja yang memberinya Asi," jawab Anita sambil berjalan meninggalkan Rudi.
"Anita, Aku belum selesai bicara!" teriak Anita yang terus berjalan ke arah kamar.
"Anita sangat berbeda dengan Syifa, bahkan disaat Akbar bayi pun dia mampu mengurus rumah dan selalu memberikan Asi dengan penuh kesabaran," ucap Rudi sambil duduk di sebuah sofa.
Tiba-tiba Rudi teringat akan Syifa dan Akbar yang selama ini diabaikan. Sesaat rasa rindu akan sosok Syifa mulai merasuk di hatinya. Namun, semua langsung ditepisnya saat dia melihat hasil tes DNA yang menyatakan jika Akbar bukan darah dagingnya.
"Selamat pagi," sapa Ningrum yang baru saja tiba bersama kedua putrinya.
"Pagi Ma, ayo kita sarapan dulu Ma," ajak Rudi kepada Ningrum dan kedua adiknya.
"Ih, pagi-pagi makan mie instan," ucap Shania saat dia melihat Rudi menikmati semangkuk mie instan.
"Kenapa jam segini belum tersedia makanan, dimana Mbok Inah?" tanya Ningrum dengan nada kesal.
"Mbok Inah tidur dengan Aira," jawab Rudi sambil menikmati makanannya.
"What! Enak banget pembantu itu sudah siang masih tidur," jawab Ningrum yang langsung berjalan ke arah kamar Aira.
"Ini bukan salah Mbok Inah, Anita yang seharusnya disalahkan," jawab Rudi sambil sedikit berteriak hingga membuat Ningrum langsung menghentikan langkahnya.
"Kenapa Anita yang disalahkan? Memasak itu tanggung jawab pembantu tua itu bukan Anita!" bentak Ningrum seolah membela Anita.
"Sejak melahirkan Anita tidak pernah mengurus Aira, bahkan memberi Asi saja dia tidak mau. Setiap hari yang dia kerjakan hanya belanja, ke diskotik dan menghabiskan uang untuk hal yang tidak penting, dan asal Mama tahu Anita pergi dari pagi dan pulang setiap pukul 4 pagi," jelas Rudi hingga membuat Ningrum dan kedua adiknya terkejut.
Mendengar penjelasan Rudi, Ningrum langsung berjalan ke arah kamar Anita. Terlihat sang menantu yang masih terlelap dalam tidurnya. Ningrum yang sudah kesal langsung membangunkan Anita dengan sangat kasar.
"Anita! Cepat bangun dan masak untuk suamimu," bentak Ningrum sambil menguncangkan tubuh Anita.
"Ada apa sih Ma, pagi-pagi sudah berkicau," jawab Anita yang masih memejamkan matanya.
"Berkicau kamu pikir aku burung, cepat buka matamu,lihat ini sudah pukul 12 siang dan kamu masih enak dengan tidurmu!" teriak Ningrum hingga membuat Anita bangun karena berisik.
"Mama, bisakah tidak menggangguku sehari saja, aku ini sedang capek Ma!" bentak Anita sambil duduk dan menatap Ningrum dengan tajam.
"Oh jadi kamu sekarang berani melawan Mama! Rudi bilang kamu tidak mau merawat Aira dan tidak mau memberi asi untuknya, apa benar?" tanya Ningrum sambil bertolak pinggang.
"Benar, aku tidak mau badanku gemuk hanya karena memberi asi anak itu, lagi pula susu formula juga banyak gizinya," jawab Anita sambil merebahkan kembali tubuhnya di tempat tidur.
"Tidak ada namanya tubuhmu gemuk hanya karena memberi asi, lihat Mama tetap cantik dan langsung walaupun memberikan asi untuk tiga anak," jawab Ningrum sambil memamerkan tubuh langsingnya.
"Langsing, tapi payudara kendur juga buat apa," jawab Anita sambil menutup wajahnya dengan bantal.
"Anita cepat bangun dan masak buat Rudi sekarang!" bentak Ningrum yang sudah kesal dengan sikap Anita.
"Dasar Nenek tua berisik," jawab Anita sambil bangun dari tempat tidurnya dan langsung menyeret Ningrum keluar dari kamarnya.
"Anita buka pintunya! Dasar kamu menantu kurang ajar," teriak Ningrum sambil membuka pintu kamar yang ternyata sudah terkunci.
Ningrum yang masih marah langsung berjalan ke meja makan menemui Rudi dan kedua putrinya. Setelah duduk di hadapan Rudi, Ningrum mulai mengadukan sikap Anita kepadanya. Hal itu justru membuat Rudi tertawa.
"Apa aku bilang, Anita sudah berubah," jawab Rudi sambil tersenyum.
"Mulai besok kalian tinggal di rumah Mama saja, biar Mama ajari dia bagaimana menjadi menantu yang baik," Perintah Ningrum kepada sang putra.
"Terserah Mama saja, aku sudah capek bertengkar dengan Anita setiap hari," jawab Rudi sambil berdiri dari tempat duduknya.
***
Seperti perintah Ningrum, Rudi dan Anita kini tinggal bersama keluarga Rudi. Hari pertama mereka datang semua masih baik-baik saja. Namun, keesokan harinya perselisihan antara Ningrum dan Anita pun terjadi.
"Anita, mau kemana kamu?" tanya Ningrum saat melihat Anita sudah bersiap untuk pergi.
"Hari ini aku ada acara reuni dengan teman kuliahku," jawab Anita yang kini berdiri di hadapan sang mertua.
"Kamu tahu ini jam berapa? Bahkan Rudi dan Papa saja belum berangkat ke kantor," jawab Ningrum yang langsung melihat jam dinding.
"Memangnya kenapa kalau aku pergi sebelum Mas Rudi ke kantor?" tanya Anita dengan ketus.
"Harusnya kamu selesaikan dulu tugasmu sebagai Ibu dan Istri, bukannya pergi tanpa pamit seperti ini!" bentak Ningrum sambil berdiri dari tempat duduknya.
"Terserah Mama mau bilang apa," jawab Anita yang langsung meninggalkan Ningrum.
Ningrum yang tidak terima dengan sikap Anita langsung mengejar sang menantu. Ningrum yang sudah marah langsung menarik tangan Anita agar mau mengikutinya ke dapur. Namun, dengan cepat Anita langsung mendorong tubuh ibu mertuanya hingga membuatnya jatuh ke lantai.
"Anita!" bentak Rudi yang saat itu melihat perbuatan sang istri.
"Kamu benar-benar keterlaluan! Apa kamu lupa jika Mamaku adalah Mertuamu?" bentak Rudi sambil membantu Ningrum berdiri.
"Makanya kalau aku sudah bilang nggak ya nggak jangan ngeyel," jawab Anita sambil berjalan keluar dari rumah.
"Anita! Aku belum selesai bicara denganmu," teriak Rudi yang masih memegangi tubuh Ningrum.
Andre dan kedua putrinya yang saat itu masih di dalam kamar bergegas turun saat mendengar keributan yang terjadi antara Rudi dan Anita. Andre yang melihat Rudi memapah Ningrum yang terlihat lemas langsung membantu sang putra. Perlahan mereka mulai menidurkan Ningrum di tempat tidurnya.
"Mama istirahat saja, nanti jika urusan sudah selesai Papa akan segera pulang," ucap Andre kepada sang istri.
***
Andre yang penasaran dengan kejadian tadi pagi langsung memanggil Rudi ke ruangannya. Dia langsung menanyakan penyebab Ningrum jatuh ke lantai. Rudi yang ketakutan mulai menjelaskan masalah yang terjadi.
"Dari dulu Papa sudah tidak suka dengan perempuan itu, tapi Mamamu begitu membelanya," jawab Andre setelah mendengar penjelasan Rudi.
"Lalu apa yang harus kita lakukan Pa?" tanya Rudi kepada sang ayah.
"Ceraikan, perempuan itu tidak baik untukmu. Kembalilah kepada Syifa," perintah Andre sambil mendekatkan wajahnya ke arah Rudi.
"Tidak, aku tidak bisa kembali kepada Syifa Pa," jawab Rudi sambil menggelengkan kepalanya.
"Kenapa? Apa karena Akbar bukan putramu," tanya Andre yang di jawab anggukan oleh Rudi.
"Rudi dengarkan Papa, jika kamu mencintai Syifa dengan tulus kamu tidak akan pernah mempermasalahkan status Akbar, karena orang yang tulus tidak akan pernah peduli masa lalu pasangannya," jelas Andre sambil berdiri dari tempat duduknya lalu mendekati sang putra.
***
Hampir satu tahun Rudi dan Syifa berpisah, Syifa yang dulu hanya seorang gadis desa lulusan sekolah menengah pertama. Kini justru menjadi pemilik sebuah toko kue di desanya. Hubungan Anjas dan Syifa pun kini semakin akrab.
Hari ini adalah pembukaan toko kue milik Syifa. Anjas yang sedang sibuk mempersiapkan diri menghadiri acara Syifa. Tiba-tiba terkejut saat mendengar sebuah ketukan pintu.
"Assalamualaikum," terdengar suara laki-laki mengucapkan salam.
"Waalaikumsalam … Rudi," jawab Anjas yang terkejut saat melihat Rudi ada di hadapannya.
"Bagaimana kabarmu kawan?" tanya Rudi yang langsung memeluk tubuh Anjas.
"Baik, kamu sendiri bagaimana?" tanya Anjas sambil mengajak Rudi masuk ke dalam rumahnya.
"Aku kurang baik," jawab Rudi sambil duduk di sebuah kursi kayu.
"Kenapa? Kamu ceritakan saja, siapa tahu aku bisa membantumu," saran Anjas kepada sang sahabat.
"Apa kamu tahu keberadaan Syifa?" tanya Rudi tanpa basa-basi.
"Syifa, bukannya dia tinggal di alamat yang kamu berikan kepadaku waktu itu," jawab Anjas seolah tidak mengerti dengan keadaan yang sebenarnya.
"Dia sudah tidak ada di rumah itu, apa mungkin dia pulang ke rumah Pak Ruli," tebak Rudi hingga membuat Anjas terkejut.
"Aku rasa tidak, karena Pak Ruli dan Istrinya sudah tidak ada di desa ini, mereka menjual rumahnya kepada Pak Kades dan memintaku mengantarnya bertemu dengan Syifa," jelas Anjas sambil berusaha menghilangkan kegugupannya.
"Lalu kemana mereka? Hampir satu tahun ini aku tidak bertemu dengannya. Aku sudah salah telah meninggalkannya begitu saja," ucap Rudi sambil mengusap wajahnya dengan kasar.
"Memangnya apa yang terjadi sampai kamu meninggalkan Syifa?" tanya Anjas dengan penasaran.
Rudi pun mulai menceritakan kejadian yang membuatnya meninggalkan Syifa begitu saja. Dia juga menjelaskan kenapa dia mencari Syifa kembali setelah hampir satu tahun lebih meninggalkannya. Saat Rudi menceritakan perjalanan hidupnya dengan Syifa tiba-tiba ponsel yang ada di saku Anjas berbunyi dengan cepat Anjas mengangkat ponselnya dan berjalan menjauhi Rudi.
"Siapa? Apa hari ini kamu ada janji," tanya Rudi yang penasaran.
"Tidak, aku hanya harus segera berangkat ke proyek," jawab Anjas sambil memasukkan ponselnya kedalam saku celana.
"Kalau begitu aku ikut ke proyek, siapa tahu aku bisa dapat informasi tentang keberadaan Syifa," ucap Rudi sambil berdiri dari tempat duduknya.
"Apa yang harus aku lakukan, aku tidak mungkin memberitahu keberadaan Syifa dan keluarganya. Entah kenapa aku tidak rela jika Syifa harus kembali kepada Rudi," batin Anjas sambil berjalan beriringan dengan sang sahabat.
Rasa bimbang dan takut mulai menyelimuti Anjas saat kedatangan Rudi ke desa Ronggo Lawuh. Namun, Anjas tetap berusaha untuk tenang di hadapan sahabatnya, serta berharap jika Rudi tidak akan pernah tahu keberadaan Syifa dan keluarganya. Kedekatan yang selama ini terjalin ternyata membuat Anjas memiliki perasaan lebih kepada Syifa, sebuah perasaan yang seharusnya tidak boleh ada.
"Apa kamu bisa membantuku mencari keberadaan Syifa?" tanya Rudi kepada Anjas yang masih terdiam dalam lamunannya.
"Kita harus mencarinya kemana? Sedangkan aku sendiri tidak hafal dengan daerah disini," jawab Anjas sambil berusaha tenang.
"Bagaimana kalau kita berpencar," usul Rudi kepada sahabatnya itu.
"Berpencar bagaimana?" tanya Anjas seolah tidak mengerti apa yang dikatakan Rudi.