Disaat Rudi sedang sibuk mencari Syifa dan Akbar di Desa Ronggo Lawuh. Ditempat yang berbeda Anita dan Ningrum sedang berdebat tentang siapa yang menjaga Aira. Karena sejak Anita tinggal bersama Ningrum, Mbok Inah dilarang menjaga dan merawat Aira.
"Mbok!" teriak Anita sambil menggendong Aira.
"Mbok Inah sedang ke pasar," jawab Ningrum sambil membaca majalah yang ada di tangannya.
"Marni!" Anita kembali berteriak memanggil nama Marni.
"Marni sedang sibuk mencuci di belakang," jawab Ningrum yang masih terus fokus dengan majalahnya.
"Ini pasti rencana Mama 'kan membuat seluruh pembantu sibuk, agar mereka tidak membantuku merawat Aira!" bentak Anita sambil berteriak.
"Kamu lihat sekarang pukul 7 pagi ya tentu saja mereka sibuk dengan tugasnya, kamu pikir pembantu disini hanya digaji untuk menjaga anakmu? Jika kamu mau ya kamu jaga saja Aira, bukankah kamu Ibunya," ucap Ningrum sambil berdiri dan melemparkan majalah ke sofa.
"Asal Mama tahu, aku ini model terkenal jadi jadwalku sangat padat, tidak mungkin aku harus menjaga Aira sendirian," jawab Anita yang terlihat kesal.
"Kamu pikir Mama bodoh, artis terkenal dan sibuk saja masih bisa mengurus rumah dan keluarganya, apalagi kamu yang hanya seorang model tanpa nama, walaupun kamu banyak uang bayar dong baby sitter buat menjaga Aira," jawab Ningrum dengan ketus sambil berjalan meninggalkan Anita.
"Dasar mertua gila, dia pikir dia siapa bisa mengaturku seenaknya. Awas saja, aku akan berikan pelajaran untuknya," ucap Anita saat Ningrum sudah masuk ke kamarnya.
Anita terpaksa merawat anaknya seorang diri. Setelah menidurkan Aira di tempat tidur, Anita langsung mengambil ponselnya dan bergegas menghubungi Dion. Namun, saat dia sedang menikmati obrolan mesra dengan sang kekasih gelap.
"Bruk!" tiba-tiba Aira yang saat itu baru bisa merayap terjatuh dari tempat tidur dan menangis dengan kencang.
"Anita! Kamu ini bagaimana, menjaga anak satu saja tidak becus," teriak Ningrum yang baru saja masuk karena mendengar tangisan sang cucu.
"Makannya Mama saja yang rawat, bukannya Mama sudah terbiasa mengurus bayi," jawab Anita sambil cepat-cepat mematikan ponselnya.
"Mama tidak mau tahu, mulai hari ini kamu yang harus merawat Aira dengan tanganmu sendiri," perintah Ningrum sambil berjalan keluar dari kamar Anita.
Malam ini Anita hanya tidur berdua dengan sang putri karena Rudi masih sibuk dengan usahanya mencari keberadaan Syifa. Hampir semalaman Aira menangis tanpa henti. Hingga membuat Anita yang tidur pulas terganggu.
"Kamu bisa diam tidak! Aku sudah capek menjagamu seharian, dan sekarang kamu justru menangis tanpa henti, dasar anak pembawa sial," umpat Anita kepada sang putri.
Tangisan Aira dan teriakan Anita terdengar hingga ke kamar Ningrum. Makian Anita kepada sang putri membuat Andre iba. Hingga dengan terpaksa Andre yang masih sibuk dengan pekerjaannya terpaksa membangunkan Ningrum.
"Ma, Mama, cepat kamu ke kamar Anita dan ambil Aira," perintah Andre kepada sang istri.
"Biarkan saja dia tidur dengan Ibunya, biar dia tahu kewajibannya sebagai seorang istri dan Ibu yang baik," jawab Ningrum sambil memejamkan mata.
"Tapi kasihan anak itu Ma, ucapan Anita tidak mencerminkan sosok seorang Ibu," ucap Andre.
"Papa baru tahu? Anita 'kan memang perempuan gila, sudah jangan ganggu Mama," tegas Ningrum yang langsung melanjutkan tidurnya.
Anita yang hampir setiap hari ke salon untuk melakukan perawatan tubuhnya, hampir satu minggu ini tidak bisa melakukan perawatan. Wajah yang selalu terlihat segar dan cantik kini terlihat kusut bahkan terlihat sedikit menua. Setelah hampir satu bulan tidak ada kabar Rudi pun akhirnya pulang dengan terlihat lesu.
"Darimana saja kamu Mas?" tanya Anita saat melihat sang suami masuk ke dalam kamar.
"Bukan urusanmu, lebih baik kamu urus saja Aira dengan baik," jawab Rudi sambil berjalan ke kamar mandi.
"Kamu lihat apa yang sudah dilakukan Ibumu, dia melarang semua orang membantuku mengurus Aira, sampai-sampai aku tidak punya waktu untuk mengurus diriku sendiri, dan kamu selama ini pergi entah kemana, apa kamu tidak berpikir bagaimana keadaanku disini!" teriak Anita sambil menggendong Aira.
"Mama melakukan itu karena dia tahu tugas dan kewajibanmu sebagai Ibu, lebih baik kamu nikmati saja apa yang terjadi saat ini, karena apa yang kamu alami pernah Syifa rasakan," jawab Rudi sambil menoleh ke arah Anita.
“Syifa, Syifa kenapa hanya nama itu yang selalu kamu sebut! Apa kamu lupa kalau kalian sudah berpisah dari satu tahun lalu dan sekarang akulah istrimu Mas,” bentak Anita sambil berjalan ke hadapan sang suami.
“Aku tidak pernah menceraikan Syifa, dan sampai kapanpun aku akan mencarinya,” jawab Rudi dengan tatapan tajam.
“Terserah! Nih sekarang kamu jaga anak ini, karena aku mau ke salon,” ucap Anita sambil menyerahkan Aira kepada Rudi.
“Anita! kamu tidak bisa meninggalkan Aira begitu saja, karena aku harus segera ke kantor,” teriak Rudi sambil mengejar Anita yang sudah berjalan keluar rumah.
“Ada apa sih, rumah ini tidak ada ketenangan sama sekali sekarang,” ucap Ningrum yang baru saja keluar dari kamarnya.
“Lihat Ma, Anita meninggalkan Aira kepadaku, sedangkan aku harus segera ke kantor untuk memberi laporan kepada Papa,.” jawab Rudi kepada Ningrum.
“Perempuan itu benar-benar keterlaluan, kamu berikan saja Aira kepada Mbok Inah, soal Anita nanti biar Mama yang menegurnya,” perintah Ningrum sambil berjalan ke arah kamarnya.
Sejak Aira lahir sampai dia berusia 4 bulan Anita tidak pernah merawat sang putri dan memberi asi. Bahkan menggendong Aira pun Anita tidak pernah. Semua tugasnya sebagai seorang Ibu diserahkan sepenuhnya kepada Mbok Inah.
***
Siang itu di tempat berbeda, Anjas yang sedang duduk termenung memutuskan untuk pergi ke toko kue Syifa. Terlihat Syifa yang sedang sibuk melayani beberapa pembeli. Kehidupan yang sulit dan keras membuat Syifa menjadi wanita yang kuat. Usia yang seharusnya bisa dimanfaatkan untuk bersenang-senang justru habis dia gunakan untuk mencari rezeki untuk sang putra.
"Aku tidak tahu apa yang terjadi, tapi semakin lama aku mengenalmu semakin aku nyaman ada disampingmu," ucap Anjas dari dalam mobil sambil menatap Syifa dari dalam kejauhan.
"Assalamualaikum," ucap Anjas saat mulai masuk ke dalam toko.
"Waalaikumsalam, bagaimana kabarnya Mas? Lama tidak pernah datang kesini sejak pembukaan toko ini," jawab Syifa sambil menghampiri Anjas.
"Iya, karena beberapa hari ini aku benar-benar sibuk, oh ya apa kamu sudah mau pulang?" tanya Anjas kepada Syifa.
"Iya, karena aku memang membuka toko ini hanya sampai jam 5 sore, kasihan kalau Akbar harus menunggu lama-lama," jawab Syifa sambil merapikan tokonya.
"Syifa," panggil Anjas hingga membuat Syifa berhenti dan langsung menoleh ke arahnya.
"Aku ingin mengajakmu makan malam, ya anggap saja sebagai permintaan maafku kepadamu karena aku tidak hadir saat peresmian tokomu," jelas Anjas yang terlihat gugup.
"Boleh, memangnya kapan kita pergi?" tanya Syifa sambil tersenyum.
"Bagaimana kalau hari ini," usul Anjas yang langsung dijawab dengan senyuman dan anggukan dari Syifa.
Mereka pun akhirnya pergi ke sebuah cafe kecil yang ada di dekat toko. Setelah memesan beberapa makanan dan minuman mereka pun duduk di sebuah tempat. Anjas yang duduk di hadapan Syifa hanya bisa menatap wajah gadis itu dengan senyum.
"Mas Anjas kenapa menatapku seperti itu?" tanya Syifa saat dia sadar jika ada sepasang mata yang terus menatapnya.
"Tidak, aku hanya bahagia karena kamu sudah mulai bisa tersenyum dan bangkit dari keterpurukan," jawab Anjas sambil tersenyum.
"Syifa, apa aku boleh bertanya sesuatu kepadamu?" tanya Anjas sambil menatap mata Syifa.
"Boleh," jawab Syifa singkat.
"Apa kamu masih mencintai Rudi? Dan apa kamu masih mengharapkan dia kembali kepadamu," tanya Anjas dengan penasaran.
"Cinta itu memang masih ada, tapi berharap dia kembali sepertinya tidak karena aku sadar jika kebahagiaannya bukanlah Aku, jadi sebisa mungkin aku harus bisa mengikhlaskannya," jawab Syifa sambil menarik nafas panjang.
"Bagaimana jika dia datang dan memintamu kembali kepadanya?" tanya Anjas sambil terus menatap wajah perempuan yang ada di hadapannya.
"Untuk saat ini yang ada di pikiranku bukanlah sebuah pernikahan ataupun pasangan, tapi kebahagiaan Akbar karena hanya dia dan orang tua ‘lah penyemangat ku hingga aku mampu berdiri dan kuat sampai sekarang," jawab Syifa.
Ada rasa bahagia dalam hati Anjas saat mendengar jawaban Syifa. Karena kemungkinan untuk dia mendekati wanita pujiannya terbuka lebar. Namun, rasa ragu kembali hadir saat dia sadar jika gadis yang ada di hadapannya ini adalah milik sang sahabat yang sudah banyak membantunya selama ini.
"Beberapa waktu lalu Rudi datang ke Desa Ronggo Lawuh, dia datang untuk mencarimu dan ingin memintamu kembali," ucap Anjas hingga membuat Syifa langsung tersedak.
"Lalu bagaimana keadaannya? Dan apa Mas Anjas memberitahukan tempat tinggalku," tanya Syifa dengan rasa penasaran.
“Tidak, tapi dia sempat bercerita tentang kehidupannya dengan Anita yang sangat jauh dari kata harmonis,” jawab Anjas.
“Maksudnya?” tanya Syifa yang semakin penasaran.
“Sebenarnya aku tidak ingin mengatakan ini kepadamu, tapi setelah aku pikir-pikir bagaimanapun juga kamu berhak tahu tentang kedatangan Rudi," jelas Anjas kepada Syifa.
Beberapa hari berlalu dengan cepat, hari ini Syifa berniat untuk menutup tokonya seharian dengan maksud untuk mengajak Akbar dan orang tuanya. Sejak pagi Anjas sudah berada di rumah Syifa, karena dia diminta untuk mengantar Syifa dan keluarganya pergi ke sebuah tempat pariwisata. Setelah selesai mempersiapkan perbekalan mereka pun berangkat dengan wajah bahagia.
"Yayah hari ini kita mau jalan-jalan kemana?" tanya Akbar yang saat itu sudah berusia 2 tahun.
"Kita akan jalan-jalan ke kebun binatang, nanti disana ada gajah, harimau, dan banyak hewan lainnya," jelas Anjas sambil memangku Akbar.
Akbar yang sejak kecil mengenal sosok Anjas yang baik, serta begitu sangat menyayanginya. Hingga membuatnya berpikir Anjas 'lah Ayah yang selama ini dia rindukan. Karena itulah saat Akbar bisa bicara panggilan pertama untuk Anjas adalah Yayah.
“Assalamualaikum,” ucap seseorang dari pintu.