Tiba di parkiran terdengar suara memanggilnya. Dewanti menghentikan langkahnya. Ketika menengok, ternyata seorang pria beralis tebal dengan rambut menutupi kedua telinganya sedang berjalan ke arahnya. Sementara kedua tangannya disembunyikan di belakang punggung. Melihat itu, Bu Nining dan Pak Jovan tersenyum sambil terus berlalu menuju mobil.
“Arya! Sejak kapan di sini?” tanya Dewanti segera ketika Arya sudah berada di dekatnya.
Arya tersenyum. “Sejak tadi. Aku sengaja datang untukmu,” jawabnya tenang. Senyumnya pun selalu mekar.
Dewanti pun tersenyum. “Itu apa?” tanya Dewanti memandang tangan Arya yang tersembunyi di balik pungung.
“Tebak!”
“Pasti boneka lagi,” jawab Dewanti.
Arya tersenyum. Kemudian mengeluarkan tangan dari balik punggungnya. Ternyata benar, di tangannya tergenggam boneka anak monyet berbulu abu-abu dan langsung diberikan kepada Dewanti.
“Ouw, lucuuu bangeeet ...,” seru Dewanti ketika menerima boneka monyet itu. Segera diciumnya boneka itu. Namun, “Jangan cium … jangan cium ... belum muhrim … bukan muhrim!” monyet itu tiba-tiba bersuara.
Tawa Dewanti meledak hingga bahunya bergoncang. “Terima kasih Arya, kamu memang selalu bisa membuatku tertawa di saat aku tak bisa tertawa. Membuatku tersenyum saat aku bersedih,” katanya sambil menatap Arya dalam. Ia kini benar-benar sadar bahwa Aryalah yang selalu setia padanya.
Arya balas tersenyum.
“Karena aku mencintaimu, Dewanti,” lirih Arya hanya dalam hati.
Dewanti tersenyum. Sepertinya ia mendengar apa kata hati Arya. Tanpa ragu lagi, Dewanti menggandeng tangan Arya. Mereka berjalan menuju mobil. Pak Jovan dan Bu Nining menyambut mereka dengan senyum. Dan, bila mobil mulai melaju tenang, maka Arya dan Dewanti menyusuri jalan pulang. Mungkin hingga maut memisahkan.
***