Yudis tak kuasa menahan air mata. Kata-kata Ratri bagai ribuan anak panah yang menancap tepat di jantungnya. Ia sangat menyesal telah membuat Ratri begitu menderita dengan perlakuan kasarnya selama ini. Segera dipeluknya Ratri. Wajah mereka bersentuhan. Airmatanya membasahi wajah pucat pasi sang istri.
“Jangan bicara seperti itu, Neng. Aa yang salah. Aa yang jahat sama Neng. Aa menyesal Neng. Maafkanlah suamimu yang telah zalim ini. Sebab perlakuan Aa semakin menambah penderitaan buat Neng.” Suara Yudis bergetar di antara isak.
Semua yang menyaksikan itu ikut meneteskan air mata. Apalagi Umi Siti dan Bu Farida. Suasana dalam ruangan itu sangat menyayat. Sementara Dewanti menghela napas dalam. Dia sedikit iri kepada Ratri yang begitu dicintai semua orang.
“Ratri gadis yang istimewa,” desahnya dalam hati.
Perlahan Yudis melepaskan pelukannya. Diusapnya kepala Ratri penuh kasih. Ratri kembali menatap Yudis. Matanya makin terlihat sayu. Berair bening laksana mata air zamzam. Semua yang ada di sana seperti menahan napas menunggu apa yang akan dikatakan oleh Ratri.
“Aa, Neng bukan wanita suci. Neng hanyalah seorang wanita pembohong penyebab malapetaka dan aib bagi keluarga. Pembawa aib bagi orang tua. Neng sadar diri. Neng rela Aa Yudis meninggalkan Neng. Carilah wanita lain yang lebih baik dan tentu saja yang sayang sama Aa Yudis dan Ibu. Dan sepertinya ....” Ratri melirik Dewanti.
Ditatap seperti itu, Dewanti salah tingkah. Ia baru menyadari kalau keberadaannya di samping Yudis membuat orang lain curiga. Bahkan mungkin Ratri makin merasa tersakiti. Dewanti sedikit menjauhi Yudis. Namun tentu saja Ratri semakin curiga. Matanya yang rapuh terus memandangi wajah Dewanti yang mulai sedikit memerah.
“Sepertinya wanita itu sudah ada di dekat Aa. Neng ikhlas Aa. Neng tak ingin menjadi penyebab ketidakbahagiaan dalam hidup Aa Yudis,” ucap Ratri kembali.
“Neng bicara apa sih! Sampai kapan pun Aa tak kan pernah meninggalkan Neng. Aa sayang sama Neng. Aa janji akan selalu berusaha membahagiakan Neng. Aa ingin menebus dosa-dosa Aa kemarin sama Neng,” jawab Yudis sambil memegang tangan Ratri.
“Iya Teh, Yudis tak kan pernah menyia-nyiakan Teteh lagi. Saya bisa menjamin kalau Yudis adalah salah satu pria terbaik yang ada di dunia ini. Andai pun kemarin Yudis melakukan kesalahan itu karena Yudis adalah manusia biasa yang tak luput dari amarah dan airmata.” Dewanti menimpal.
Ratri menatap Dewanti lekat. Dari bibirnya tersungging senyum. Begitu pun dengan Yudis. Ia menatap Dewanti perempuan berhati mulia.
“Apa Aa Yudis mau berjanji sama Neng kalau tidak akan pernah lagi berlaku kasar apa pun yang terjadi?” lirih Ratri.
Yudis menghela napas dalam. Senyum tersungging. Kemudian mencium jemari Ratri. “Dengar ya, Neng. Sejak kita menikah, sejak itulah Aa mencintai Neng. Dan cinta ini tak akan pernah luntur hanya karena kejadian ini. Percayalah, Aa akan selalu setia dan menyayangi Neng. Mulai sekarang Aa berjanji akan selalu mencintai dan melindungi Neng.”
Ratri tersenyum bahagia mendengar jawaban dari Yudis. Ia bisa merasakan ketulusan dari setiap getaran nada suaranya. Wajahnya seketika cerah, bola mata yang sejak tadi terlihat rapuh kini berbinar-binar. Bening, sehingga Yudis dapat melihat wajahnya pada kedua bola mata Ratri. Mereka pun kembali berpelukan. Tanpa rasa malu sedikit pun berkali-kali Yudis mengecup kening istrinya. Tangan mereka begitu kuat bergenggaman. Semua yang ada dalam ruangan itu pun terhanyut, air mata sedih Umi siti dan Bu Farida pun segera berubah menjadi air mata bahagia.
Berbeda dengan Dewanti, hatinya terasa dicabik-cabik oleh setiap kata yang diucapkan Yudis. Perlahan, sangat pelan, Dewanti mundur dan keluar dari dalam ruangan itu. Tak ada yang menyadari kalau Dewanti sudah keluar dari dalam ruangan itu karena mereka semua sedang terhanyut oleh kata-kata cinta Yudis.
Sesampainya di luar, ternyata Pak Jovan pun sudah berada dengan ibunya. Dewanti segera memeluk kedua orangtuanya itu. Pak Jovan dan Bu Nining mengelus kepala putrinya itu. “Kita pulang yuk, De,” ucap Bu Nining.
Dewanti mengangguk lesu.
Mereka berjalan bergandengan menyusuri selasar rumah sakit. Dewanti nampak sangat lelah, namun ada kebahagiaan menyelinap dalam hatinya karena Yudis pria yang sangat ia cintai, telah menemukan cinta sejatinya. Meskipun Dewanti sendiri tidak tahu kapan ia akan bertemu cintanya. “Yudis, meskipun cintaku telah terpaut padamu, tapi aku yakin akan ada seseorang yang mencintaiku lebih besar dan tulus dari cintaku kepadamu,” desah Dewanti dalam hati.
***