Sinar mentari menyelinap melalui celah gorden. Tante Diana segera menyingsingkan gorden membiarkan cahaya matahari pagi leluasa masuk ke dalam kamar. Yudis segera menyeka wajah ibunya dengan handuk kecil yang sebelumnya dicelupkan ke dalam air hangat. Sementara Tante Diana dan Pak Syam keluar untuk menengok Ratri. Bu Farida terus merengek ingin bertemu dengan Ratri.
“Nanti, Bu, kalau sudah diperiksa dokter.” Yudis tak bisa begitu menuruti keinginan ibunya tanpa izin Dokter.
“Kasihan Ratri, Yudis. Dia pasti sangat tersiksa dengan semua ini. Ibu ingin meminta maaf padanya. Ini semua gara-gara ibu yang terlalu memaksakan kehendak ibu.” Keinginannya untuk bertemu dengan Ratri seolah memberi kekuatan tersendiri baginya. Bu Farida bangkit dan duduk meskipun harus menyender.
Yudis terdiam. Ia merasakan hal sama dengan apa yang dirasakan oleh ibunya. Bahkan Yudis lebih lagi. Ia benar-benar merasa menjadi suami paling jahat karena telah menyakiti orang yang sudah jelas terzalimi dan itu istrinya sendiri. Seharusnya ia percaya dan menolong Ratri ketika menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Namun, Yudis malah menghukum Ratri dengan kata dan perlakuan kasarnya.
Dokter Ariny bersama dua orang perawat datang dan segera memeriksa kondisi Bu Farida. Nampak teliti sekali Dokter Ariny memeriksa Bu Farida. Sementara Yudis hanya terdiam menanti apa yang akan dikatakan Dokter Ariny setelah memeriksa ibunya.
“Kondisinya lebih baik daripada semalam,” ucap Dokter Ariny kepada Bu Farida tak lupa tersenyum kemudian menarik napas dalam.
Bu Farida mengangguk. “Dokter, boleh nggak ibu keluar sebentar?” tanya Bu Farida.
“Mau ke mana, Bu?”
“Ibu ingin lihat kondisi Ratri, Dokter. Tolong, sebentaaarrr saja.” Bu Farida memohon.
“O kirain mau ke mana. Tapi yakin kondisi Ibu bisa lebih baik setelah ketemu sama Ratri?” tanya Dokter Ariny.
“Setidaknya Ibu tenang jika sudah melihat bagaimana kondisi Ratri.”
“Baiklah!” jawab Dokter Ariny. “Suster!” seru Dokter Ariny.
“Ya Dok.”
“Tolong ambilkan kursi roda untuk Bu Farida.”
“Baik Dok.”
Tanpa banyak kata perawat keluar. Tak lama sudah kembali sambil mendorong sebuah kursi Roda. Dokter Ariny dan Yudis pun segera membantu Bu Farida untuk duduk pada kursi roda.
“Biar saya saja yang mengantarnya, Dok!” seru Yudis.
“Silahkan Pak Yudis,” jawab Dokter Ariny.
Yudis pun segera mendorong kursi roda menuju temapt di mana Ratri dirawat.
Ratri sudah sadar. Tentu saja Umi Siti sangat senang melihat Ratri membuka matanya. Bola matanya yang bening namun terlihat lelah bergerak-gerak seperti sedang mencari seseorang. Sepertinya Ratri belum sadar sepenuhnya.
“Ini Umi, Neng …,” lirih Umi Siti.
Ratri menatap lelah ibunya. Sejenak terdiam. Ia mencoba bangkit namun Umi Siti segera melarangnya. Bersamaan dengan itu Ustad Suhada sudah kembali sambil membawa beberapa buah roti kukus. Keinginannya untuk sarapan langsung hilang begitu melihat Ratri sudah sadar.
“Alhamdulillah … terima kasih ya Allah ...,” girang Ustad Suhada sambil meletakan Roti kukus pada meja kecil di samping tempat tidur dan segera menghampiri Ratri.
“Abi ... Umi ...,” lirih Ratri. Bola matanya yang selalu berbinar kini terlihat benar-benar lelah.
“Ini Umi sama Abi, Neng. Abi dan Umi tidak akan pernah meninggalkanmu.” Umi Siti mengusap kepala putrinya.
“Ma … maafin Neng, Umi …,” lirihnya.
“Sudah … sudah …, nggak ada yang harus Umi sama Abi maafkan. Ini semua bukan sebuah kesalahan, tapi ujian dari-Nya,” tandas Ustad Suhada. Ia tak ingin putrinya tersiksa oleh rasa bersalah karena memang ini bukanlah sebuah kesalah.
Ratri terdiam. Menatap kosong langit-langit kamar dengan mata lelahnya. Kedua bola mata itu mengatakan segala yang selama ini tak pernah terkatakan. Napasnya pelan dan dalam, diiringi lelehan air mata dari kedua sudut mata menyiratkan hati yang sangat perih. Bersamaan dengan itu, masuklah Tante Diana dan Pak Syam dan langsung menghampiri Ratri. Mencoba menghibur dan memberi semangat. Namun ….
“Aa Yudis ...?” tanya Ratri pelan.
“Yudis sedang menyeka dulu Bu Farida, Neng. Bahkan Bu Farida pun ingin menemuimu. Tapi nggak tahu juga Dokter akan mengizinkannya keluar atau tidak. Soalnya kondisinya masih lemah.” Tante Diana yang menjawab.
“Bagaimana keadaan ibu?”
“Ibu baik-baik saja. Kamu tenangkan pikirannya biar kondisimu cepat pulih,” kini Pak Syam yang menjawab.
Ratri kembali terdiam. Terpejam. Menghela napas dalam. Namun lelehan air matanya tak berhenti. Bening, menghanyutkan segala luka dalam dada.
Tak ada yang bersuara. Hening yang menyakitkan dalam ruangan itu seolah menghalangi cahaya matahari pagi untuk menyelinap menghangatkan suasana. Umi Siti tak henti-hentinya mengusap kepala putrinya. Sementara Ustad Suhada berusaha memberikan kekuatan dengan genggaman tangan. Hatinya tak henti berdoa.
Bersamaan dengan itu, Bu Farida dan Yudis masuk ruangan. Yudis diikuti oleh Dewanti yang seakan tak mau berjauhan dengan Yudis. Entah apa yang ada dalam pikiran Dewanti. Namun, jelas terlihat cinta dan perhatian dalam setiap ucap dan tingkahnya kepada Yudis. Tentu saja itu secara tak langsung makin menyakitkan bagi Ratri. Termasuk juga Ustad Suhada dan Umi Siti. Tapi, baik Ratri, Umi Siti dan Ustad Suhada tak bisa berbuat apa-apa selain memendam sakit dalam hati. Yudis tak menyadari bahwa keberadaan Dewanti di sampingnya makin menyakitkan Ratri.
“Maafin Neng, Bu …,” lirih Ratri ketika Bu Farida telah berada tepat di sampingnya.
“Justru ibulah yang seharusnya minta maaf sama Neng. Andai ibu tahu apa yang sebenarnya terjadi sama kamu, pastilah ibu akan mencegah agar semua ini tak terjadi.” Air mata Bu Farida kembali berlinang.
Ratri terdiam sejenak. Kemudian mengalihkan pandangan kepada Yudis. Matanya yang lelah berair mampu membuat jiwa Yudis tergoncang.
“Aku bukanlah Maria, Aa. Yang mengandung Isa dengan Kalam Tuhan. Aku hanya wanita sederhana yang terzalimi. Terenggut kesuciannya lahir dan batin. Tapi aku bisa apa? Ini semua takdir Allah sebagai ujian kepadaku yang selalu berusaha mendekati-Nya. Sekarang semua terserah padamu, suamiku. Aku rela jika kau berniat meninggalkan aku. Aku ikhlas jika kau bersanding dengan wanita yang mencintai dan kau cintai. Namun, meski sekejap, kenanglah aku sebagai istrimu. Istri yang pernah berdiri sebagai makmum di belakangmu. Istri yang telah menyerahkan segenap bahagia dan air mata hanya kepadamu.”
***