Setiap kejadian itu terbayang, Amarah, sakit hati dan keputusasaan berbaur menjadi satu dalam dadanya. Membuat napasnya sesak. Andai bunuh diri bukan sebuah dosa, pasti Ratri telah mengakhiri hidupnya sejak dulu. Tapi ia sadar, bunuh diri bukanlah pemecahan dari masalah yang sedang dialaminya kini.
Terkadang terpikir oleh Ratri untuk menggugurkan kandungannya. Tapi lagi-lagi jiwa perempuannya menolak. Ratri sadar janin dalam rahimnya tak berdosa. Bagaimanapun ia berhak untuk lahir ke dunia. Tapi Ratri tak ingin terus tersiksa dalam duka dan air mata.
“Aku harus segera mengatakan ini kepada Umi dan Abi,” lirihnya.
“Dan, aku akan menanggung apapun akibatnya. Setidaknya mereka tahu, derita apa yang sedang aku alami kini,” ucapnya lagi dalam hati. Air matanya pun terus berlinang. Mengalir, bermuara pada sepi.
Malam kian sunyi. Denting jam di dinding seolah requiem yang diaransir ulang dari denyut nadi menambah suasana malam kian mencekam. Dari dapur, terdengar Bu Farida batuk-batuk. Makin lama, batuknya makin keras dan sering. Ratri sedikit cemas. Segera disekanya air mata. Lalu segera keluar menuju dapur.
“Ibu sakit?” tanya Ratri sambil memegang bahu Bu Farida dan mencoba memijit-mijitnya.
“Ah, nggak apa-apa kok. Mana suamimu? Kok malah kamu yang keluar?”
“Hmmm … anu, Bu.”
Belum sempat Ratri meneruskan kata-katanya, Bu Farida memegangi dada sambil meringis. Membuat Ratri semakin cemas. Segera digandengnya Bu Farida dan mengajaknya kembali ke kamar. Namun, ketika melewati ruang tengah, tiba-tiba Bu Farida limbung hampir saja terjatuh jika Ratri tidak segera memeluknya.
“Ibu kenapa?” Ratri sangat cemas.
Bu Farida tak menjawab karena detik selanjutnya ia sudah tak sadar.
Ratri sangat panik. Segera didudukan Bu Farida di sofa. Ia berteriak memanggil Mang Dadang. Tak lama Mang Dadang pun datang bahkan Bi Nengsih pun turut serta. Mereka pun sangat panik ketika melihat Bu Farida tergeletak di sofa.
“Ambilkan kunci mobil di laci meja rias, Bi!” seru Ratri.
Tanpa menjawab, Bi Nengsih segera berlari ke kamar majikannya. Sementara Ratri dan Mang Dadang berusaha menyadarkan Bu Farida dengan memijit kakinya. Ketika Bi Nengsih datang, Ratri pun meminta Mang Dadang untuk membopong Bu Farida menuju mobil yang kebetulan akhir-akhir ini tidak pernah dimasukan ke garasi. Bi Nengsih segera membuka pintu pagar. Tanpa banyak kata lagi, Ratri segera membawa Bu Farida ke rumah sakit.
***
Hari masih terlalu pagi ketika Yudis pulang ke rumah. Ia sangat kaget ketika mengetahui dari Bi Nengsih bahwa penyakit ibunya kambuh. Pikiranya segera menyangka bahwa Ratrilah penyebab kambuh penyakit ibunya. Dia pun segera pergi ke rumah sakit membawa cemas kepada ibunya dan amarah kepada Ratri.
Setibanya di rumah sakit, Yudis segera bertanya kepada bagian pendaftaran di mana ibunya dirawat. Karena memang Bu Farida telah beberapa kali dirawat di rumah sakit itu, maka tak butuh waktu lama bagi perawat untuk mencari nama Bu Farida. Yudis pun segera berlari menuju ruangan tempat ibunya dirawat.
Yudis langsung masuk ke dalam ruangan setelah yakin di sanalah ibunya dirawat. Ternyata benar, ibunya sedang tergeletak. Matanya terpejam. Di sampingnya Ratri duduk tertunduk. Terlihat bahunya bergerak-gerak menahan tangis.
“Ini semua pasti karena ulahmu, Ratri!” seru Yudis. Suaranya sedikit keras.
Ratri mengangkat wajahnya. Menatap wajah suaminya yang kini tak ada lagi keteduhan di setiap tatapannya selain amarah.
“Ibu tiba-tiba pingsan, Aa,” jawab Ratri tetap lembut. Tetap menghormati Yudis sebagai seorang suami meskipun Yudis sudah tak menganggapnya lagi sebagai istri.
“Hlah jangan bohong! Pasti kau mengatakan sesuatu kepada ibu sehingga ibu kaget,” ucap Yudis tetap kasar.
“Demi Allah, Aa. Neng tidak mengatakan apa-apa kepada ibu.” Ratri memelas.
Plak! Sebuah tamparan mendarat di pipi putih Ratri yang kini selalu sembab. Ratri terhuyung. Hampis saja jatuh andai ia tak berpegangan pada ranjang. Hatinya sangat hancur. Jiwanya terguncang hebat. Ia tak menyangka kalau Yudis bisa bertindak sedemikian kasar padanya. Ratri mundur beberapa langkah mencoba menghindari amarah Yudis yang semakin meluap-luap.
Yudis mengalihkan tatapan ke wajah ibunya. Kemudian duduk di tepian tempat tidur sambil memegang tangan ibunya. Kini wajahnya terlihat sendu. Air matanya pun menetes. Pada wajah yang selalu terlihat lelah, perlahan Bu Farida menggerakan tangannya dan membuka matanya.
“Yudis …,” lirih Bu Farida.
Yudis segera mengangkat wajahnya.
”Alahamdulillah, ibu sudah sadar,” jawabnya.
“Ke mana kamu semalam? Kenapa kau tinggalkan istrimu sendirian di rumah,” tanya Bu Farida.
“Hmm ... semalam Yudis ketiduran di masjid, Bu,” jawab Yudis berbohong.
“Jadi siapa yang bawa ibu ke rumah sakit?”
Yudis tak menjawab.
“Mana Ratri?” tanya Bu Farida.
“Di sini, Bu,” sahut Ratri dengan tersenyum sambil menyeka air matanya.
“Maafkan ibu sudah merepotkanmu.”
“Ibu kok bicara seperti itu? Sudah kewajiban Neng menjaga dan merawat ibu,” jawab Ratri.
Bu Farida tersenyum lalu memegang tangan Ratri.
“Neng memang istri dan menantu yang baik,” lembut Bu Farida.
Yudis terdiam. Tahulah dia bahwa penyakit ibunya kambuh bukan karena disebabkan oleh Ratri. Justru Ratrilah yang telah menyelamatkan ibunya. Ada sedikit penyesalan dalam hatinya telah menampar Ratri. Baru pertama kali ini ia menampar seorang wanita.
“Kenapa pipimu merah begitu, Neng?” tanya Bu Farida.
“Nggak apa-apa Bu. Cuma gatal-gatal saja.”
Bu Farida menatap Yudis. “Nanti setelah dokter datang, antar istrimu periksa, Yudis.” katanya.
Yudis hanya mengangguk.
***