Lalu lintas cukup ramai pagi jelang siang itu. Sepanjang perjalanan, Yudis gelisah. Emosinya campur aduk. Dia terus berpikir bagaimana harus menyikapi atas semua kejadian hari ini yang begitu menyesakkan. Bagaimana dia harus menjalani hari-hari setelahnya. Sampai kapan? Ingin sekali dia menyudahi kegalauan di hatinya dengan bertanya pada Ratri saat itu juga. Memastikan langsung kepada sang istri agar semuanya terang benderang: siapa sebenarnya ayah dari janin dalam rahimnya? Namun, Yudis takut jika semua ini terbongkar, ibunya pasti sangat kaget dan penyakit jantungnya akan kambuh.
Berjuta pertanyaan mendesak isi kepala Yudis: Mengapa dia tega mendustai semua orang bahkan orangtuanya sendiri? Hatinya berusaha untuk baik-baik saja, tapi tak bisa. Dia berusaha husnuzon pada apa yang menimpanya, tapi tetap tak kuasa. Dalam benaknya, Ratri adalah wanita yang jahat. Dadanya kian terasa sesak.
“Duhai Allah, apa yang harus kulakukan,” jeritnya dalam hatinya.
Mercy hitam itu terus melaju tenang menyusuri jalan Cihanjuang yang di kiri dan kanannya ditumbuhi pohon Kiara. Yudis melihat ke kursi belakang dari kaca spion tengah. Ratri terlihat masih lemah meski wajahnya nampak lebih segar. Bu Farida tak pernah berhenti mengusap kepala menantunya yang senantiasa tertutup kerudung itu. Senyum syukur selalu tersungging di bibirnya yang sudah mulai keriput.
“Neng harus benar-benar menjaga kesehatan. Kalau mau apa-apa, bilang saja sama Yudis, pasti akan dipenuhi. Benarkan, Yudis?” ucap Bu Farida. Usapan tangannya berpindah pada perut Ratri.
“I … iya, Bu!” Yudis sedikit gugup.
Ratri hanya tersenyum. Dia menatap wajah suaminya dari spion. Tak ada senyum di sana. Matanya menyala menyiratkan amarah. Lagi-lagi Ratri menangkap raut wajah yang sama pada suaminya sebagaimana ketika mereka masih di rumah sakit. Ratri tak paham dengan gelagat suaminya yang berubah. Tak seperti biasanya dia mendapati Yudis dengan mimik muka bak binatang buas yang ingin memangsa hewan buruannya.
Tiga puluh menit kemudian, Mercy hitam itu berhenti di depan sebuah rumah bergaya klasik di jalan Cihanjuang. Empat buah pohon palem tumbuh gagah di depan pagar halaman. Rumah terlihat teduh, terasa sejuk. Halamannya cukup luas dan terawat dengan baik. Rumput gajah tumbuh rapi menjadikan halaman terlihat hijau. Sebuah kolam ikan hias lengkap dengan air mancur buatan membuat suasana tambah asri. Belum lagi beberapa jenis bunga yang sengaja ditanam langsung pada tanah, membuat halaman rumah itu layak disebut taman. Sedang garasi terdapat di sayap kanan rumah. Dari garasi ke pintu pagar dialasi dengan paping blok. Teras rumahnya lebih tinggi 80 cm dari permukaan tanah dengan undakan tangga keramik putih.
Mang Dadang, tukang kebun yang terkadang merangkap sopir keluarganya, segera membuka pintu pagar. Mercy meluncur masuk pelan dan berhenti di depan garasi. Mang Dadang mendekati mobil lalu membukakan pintu mobil untuk Bu Farida dan Ratri karena Yudis malah melamun memeluk setir. Dia masih memikirkan tentang kenyataan pahit yang menjadi takdirnya: Apa yang mesti aku lakukannya, Yaa Rabb? Berikanlah petunjuk bagi hamba-Mu yang pendosa ini.
“Barang-barangnya langsung simpan di kamar saja, Mang!” seru Bu Farida kepada Mang Dadang.
“Baik, Bu,” jawab Mang Dadang santun.
Ibu Farida menggandeng Ratri masuk ke dalam rumah. Sementara, Yudis turun dari mobil beberapa saat kemudian. Langkahnya pelan. Tak bergairah. Mang Dadang keheranan melihat tingkah Yudis seperti orang linglung Mang Dadang dapat merasakan ada kegelisahan tengah dihadapi anak laki-laki semata wayang majikannya, tapi dia sungkan untuk bertanya.
Yudis tak masuk ke rumah. Dia malah memilih duduk di teras rumah. Dia memandang kosong halaman yang sengaja dibuat seperti taman lengkap dengan sebuah kolam ikan dan air mancur buatan itu. Yudis paling suka duduk di teras sambil memandang air mancur, apalagi malam hari. Hampir setiap malam dia dan Ratri bercengkrama di teras menikmati udara sejuk Kota Bandung. Namun saat ini, dia merasa seperti memandang neraka di depannya. Keindahan halaman rumahnya tertutup oleh suasana hatinya yang tengah dilanda amarah dan ketidakmengertian akan apa yang sedang dialaminya.
“O Tuhan ... ujian ataukah azab semua yang menimpaku ini?” tanya Yudis dalam hati.
Yudis memegang kepalanya yang terasa mengembang mau pecah. Jari-jarinya mencengkeram erat rambut sambil mendengus keras. Ingin rasanya dia berteriak untuk mengeluarkan emosinya, tapi urung dilakukan. Dia tak ingin kesehatan sang ibu kembali bermasalah.
Sementara, Bu Farida dan Ratri segera menuju kamar di lantai dua. Ratri duduk di tepian tempat tidurnya yang besar berseprai biru langit. Wajahnya makin terlihat segar. Matanya bening, sebening air dalam aquarium di sudut kamar. Apalagi ketika Bu Farida memberikannya segelas air putih. Wajahnya yang putih bersih itu semakin terlihat cantik bersemu merah di bagian pipi dengan sepasang lesung pipit yang begitu memesona setiap pandangan.
“Nah mulai sekarang, Neng musti lebih bisa menjaga kesehatan ya,” ucap Bu Farida lembut sambil mengusap pipi menantunya.
Ratri tersenyum. Manis sekali. “Insyaallah, Bu. Neng tidak akan menyia-nyiakan amanah Allah ini,” jawabnya sambil mengusap-usap perut.
“Kalau begitu, sekarang Neng istirahat dulu! Ibu mau ngobrol sama Yudis mengenai acara syukuran nanti malam.” Bu Farida mengusap perut menantunya.
Ratri mengangguk dan tersenyum. Kemudian merebahkan tubuhnya di tempat tidur. Bu Farida segera keluar menemui Yudis yang tengah duduk melamun di teras rumah. Bersamaan dengan itu datang Umi Siti dan Ustad Suhada membawa beraneka macam buah-buahan untuk Putrinya. Wajah-wajah sumringah penuh kebahagian tercermin di wajah mereka. Yudis yang sedang kalut berusaha sebisa mungkin untuk tersenyum meski hatinya serasa sakit lebih dari diiris-iris karena harus bahagia dengan kehamilan istrinya yang bukan dari darah dagingnya.
“Ah ...,” desah Yudis dalam hati.
***