Dari jaman gua SD sampai SMA ga banyak sekali cerita yang gua lalui, dan kalau semua cerita itu di tuliskan ke dalam sebuah novel, itu akan menjadi trilogy yang sangat menyenangkan untuk di baca, tapi menjadi kehidupan yang membosankan untuk dijalani. Kenapa? Karena seringnya gua hanya menjadi bumbu dalam cerita orang, pemeran pembantu yang perannya lumayan penting tapi tidak sepenting itu sehingga menjadi pemeran utama.
Kalau di istilahkan, gua hanyalah seorang Legolas dalam novel Lord of The Rings, hanyalah seorang Kurapika dalam komik Hunter x Hunter, hanyalah seorang Aquaman dalam kelompok Justice league, hanyalah seorang Janice di antara geng F.R.I.E.N.D.S, hanyalah kerupuk diantara banyaknya lauk di warteg. Hanya pemanis dalam sebuah cerita, cukup manis untuk diingat, tapi tidak cukup manis untuk membuat anda khawatir dengan kesehatan anda. Dan sayangnya ini terjadi di hampir seluruh cerita yang gua lalui dari jaman SD sampai SMA.
Apakah salah untuk menjadi pemeran pembantu dalam sebuah cerita? Jelas tidak, banyak kok pemeran pembantu yang mencuri perhatian para penonton sampai-sampai dia dibuatkan film nya sendiri. Contohnya adalah Valak, di film the Conjuring 2 dia sukses merebut perhatian dikarenakan karakternya yang sangat menyeramkan, sampai-sampai James Wan memutuskan untuk membuat film original dari Valak, bahkan dia juga muncul di film Annabelle Creation. IYA GUA SESUKA ITU SAMA FILM HOROR, SANA LU.
Jadi yah memang ga ada yang salah menjadi pemeran pembantu di sebuah cerita, tapi kalau lu menjadi pemeran pembantu di cerita lu sendiri itu baru salah. Dan itu lah yang gua alami selama lebih dari 6 tahun. Di saat gua SMA dan SMP, di mana ABG lain sedang sibuk mengumpulkan dan membuat cerita mereka sendiri untuk diceritakan kepada anak cucu di masa tua, di saat itu gua sedang sibuk membantu cerita orang agar cerita mereka lebih berwarna.
Oke kita memasuki sesi QnA ya.
‘Mas Risky, apa sih yang mas maksud dengan cerita? Dongeng begitu, ya? Dongeng yang pemerannya binatang namanya fabel loh.’
Oke pertanyaan luar biasa dari Ibuk Dessy ya, dan iya benar sekali dongeng atau cerita yang menceritakan tentang kehidupan hewan itu namanya fabel ya, walaupun gua ga ngerti ya nyambungnya pertanyaan Ibuk sama fabel itu di mana. Cerita yang gua maksud di atas itu adalah kehidupan kita, bukan dongeng ya. Gua percaya saat kita menjalani hidup kita, kita selalu menuliskan cerita kita sendiri, yang biasanya kita sharing kepada orang terdekat.
‘Ki, begimana caranya mengetahui kalau kita udah bukan pemeran utama dalam hidup kita?’
Wah pertanyaan yang asoy dari mas Naufal. Hmm, kalau gua sih menyadarinya saat gua mau menceritakan kejadian-kejadian yang gua alami kepada seseorang yang dekat sama gua, ntah kenapa cerita itu dimulai dengan ‘eh masa kemarin temen gua. . .’ atau ‘eh tau ga, gua kan lagi jalan bareng si A terus tiba-tiba si A. . .’ atau ‘gua kan lagi main ps, terus abang gua. . .’ Ntah kenapa cerita yang gua ceritakan itu bukan milik gua, gua hanya sebagai orang yang menceritakan ke orang lain, dan itu sering banget kejadian.
‘Gimana cara lu sadar kalau lu bukan pemeran utamanya Riz?’
Oke Bapak Utama, gua akan menceritakan awal mula gua menyadari hal ini dan apa yang terjadi setelah gua menyadari bahwa gua bukan lagi pemeran utama dalam hidup gua.
Ini semua terjadi saat gua sedang menunggu pengumuman lulus-lulusan jaman SMA, cukup lama kita semua di buat menunggu, sembari menunggu tidak sedikit teman-teman gua yang harap-harap cemas menunggu hasil apakah mereka di terima di kampus yang mereka tuju atau tidak, dan ada juga yang sudah tenang karena mereka sudah di terima di universitas yang mereka tuju. Gua sendiri saat itu sudah pasti masuk ke universitas yang gua tuju, gua memutuskan untuk masuk ke salah satu universitas swasta yang ada di Malaysia, tempat kakak gua dulu menimba ilmu.
“Jadi Ki, kapan ke Malaysia?” tanya Fawwaz. Fawwaz adalah teman akrab gua dari jaman gua SMP, dan pada masa-masa kegabutan saat itu gua lumayan sering nongkrong bareng temen-temen lama gua.
“Satu bulan lagi Waz, tapi sebenernya gua harus nunggu visa studi gua dulu sih, jadi walaupun kelas nya udah mulai tapi visa gua blom keluar, yah gua ga bisa ke sana dulu.”
“Lah bisa gitu yah? terus gimana kabar visa lu?”
“Kata agent nya sih fix bakal telat, tapi katanya biasa begitu.”
“Terus dari Pekanbaru ada orang lain ga yang bakal masuk ke kampus lu itu?”
“Hmm ga tau ya, ga pernah nanya. Setiap gua kontakan sama doi pasti nanyain soal visa atau ada sesuatu yang harus gua bawa ga untuk ke Malaysia.”
“Yah lagi pula tujuan sebenernya ke Malaysia kan emang buat nyari temen baru kan?” tanya Fawwaz.
Ya itu benar, alasan utama gua ingin berkuliah di luar negeri adalah bertemu dengan orang-orang baru. Keinginan terbesar gua adalah membuat circle yang berisi orang-orang yang bukan dari berbagai macam daerah, memang pengen aja ketemu orang-orang yang baru untuk nambah wawasan dan menambah link. Jiah dewasa.
Maksud gua bertemu orang-orang baru di sini bukan specifically orang bule ya. Kakak gua dulu berkuliah di sana, dan dia bertemu orang dari berbagai negara, dan juga dia ketemu sama orang Indonesia yang berasal dari berbagai macam daerah, jadi yah menurut gua itu cukup menyenangkan dan ntah kenapa itu membuat gua cukup excited.
Besoknya gua berencana buat ketemu lagi dengan Fawwaz dan Aldy, di tempat langganan gua buat beli putu bambu. Bagi yang ga tau apa itu putu bambu, putu bambu atau kue putu adalah makanan tradisional yang biasanya berwarna putih atau hijau, yang di dalamnya diisi gula jawa atau gulah merah, dan di berikan parutan kelapa di atasnya. Ini adalah salah satu makanan kesukaan gua.
“Eh jadi lu keterima di mana, Waz?” tanya Aldy yang sepertinya bingung bagaimana dengan cara memakan putu bambu.
“Gua ke Medan Dy, kemarin baru aja keluar hasilnya,” jawab fawwaz, sambil mengambil satu buah kue putu tadi.
“Kedokter ya, Waz?” tanya gua sembari mengambil kue putu.
“Kedokteran woy, an nya jangan ketinggalan. Iya, Alhamdulillah dapet tuh kedokteran” jawab Fawwaz.
“Wah ga nyangka loh gua lu kedokter,” kata Aldy.
“Iya gua juga ga nyangka loh, padahal dulu lu jago banget jadi kiper.”
“Kedokteran namanya woy, ga ada nyambungnya juga gua jago kiper sama gua dapet kedokteran.”
“Terus sama cewe lu sekarang gimana? Kan dia stay ya di Pekanbaru?” tanya gua ke Fawwaz.
“Nah itu dia, blom ada ngomong kami. Kayanya sih jalanin dulu aja.”
“Alah tipikal, paling dua bulan masuk kuliah putus gara-gara nemu yang lain,” jawab Aldy yang sepertinya masih kesulitan mengambil kue putu.
“Yee namanya juga usaha, kalau emang putus ya mau gimana kan? Masa gua harus mengorbankan masa depan gua demi stay di sini bareng dia? Masuk kedokteran susah bro,” jawab Fawwaz yang sedikit emosi.
“Yah kalau emang ga jodoh mau gimana lagi kan? yang penting ga langsung nyerah,” jawab gua.
“Idih eek kuda.” Gua di eek kudain.
“Ya lu pada mah enak, jomblo jadi ga ada yang di pusingin.”
“Lah lu kira jomblo enak apa ya, Waz? Ga enak tau, ntar pas prom masa gua pergi bareng nyokap gua? Kan ga asik yak. Ya ga, Ki?”
“Elah si Rizki mah mau punya pacar mau ga juga ga peduli dia, hidupnya gitu-gitu aja,” jawab sahabat gua, yang memang sudah mengetahui seluruh cerita gua dari awal kita temenan sampai detik ini.
Dan kalau kalian sadar dalam tulisan gua ini, gua ga pernah menyinggung soal asmara sama sekali. Bukan berarti gua ga punya pacar atau gebetan ya, gua punya kok tapi ntah kenapa itu bukan lah cerita yang menarik untuk diceritakan. Hubungan gua ya sesimpel kenalan-dekat-pacaran-putus-gakenal. Udah, bahkan di dalam hubungan-hubungan gua ini ga ada konflik juga, jadi bisa gua bilang gua jarang banget berantem sama pacar gua. Yah namanya juga otak dan hatinya masih belum terbentuk dengan sempurna, jadi mungkin ini cuma cinta monyet, mungkiiin.
Besoknya gua ngajak si Fawwaz buat makan putu bambu lagi, karena ada sesuatu yang menyangkut di kepala gua, dan gua pengen makan manis-manis lagi.
“Eh Ki, ga boleh tau kebanyakan makan putu bambu.”
“Lah kenapa emang?”
“Lah masih nanya lagi, itu kue dalemnya gula merah, terus bagian atasnya ditaburi oleh kelapa parut ditambah gula lagi, untung kaga ada Nutella nya kaya martabak-martabak jaman sekarang.”
“Lah kalau ini kue ga sehat dimakan keseringan, kenapa lu udah makan tiga biji sedangkan gua yang beli blom makan sama sekali?”
“Karena sesuatu yang biasanya tidak sehat itu lebih enak.”
“Yoiiii,i sobat gua neeeeh,” sambil melayangkan high five ke arah dia.
“Yoiii sohib nih,” dia menyambut high five gua, selain kita tidak sehat, kita juga alay.
Sama seperti teman akrab pada umumnya, kita memulai percakapan dengan hal yang tidak penting dan nyambung ke banyak topik. Sampai di mana kue putu bambu kita habis dan percakapan pun mulai masuk ke ranah yang serius.
“Ga Kii, ga mungkin bisa lu ngehindar,” kata fawwaz serius.
“Sumpah Waz, emang gosip yang gua denger begitu.”
“Ga masuk logic-nya Ki, ga masuk.”
“Lah ga masuk di mana? Itu logis banget kalau lu pikirin dengan kepala yang sedang dingin.”
“GA MUNGKIN KITA BISA KABUR DARI POCONG KALAU LARI KITA ZIG ZAG! ITU SETAN LOH! LEMAH AMAT TU SETAN!”
“Lah kan dia lompat, kalau kita larinya zig zag dia pasti jatoh lah, mana mungkin dia bisa lompat zigzag? Gimana sih lo? Gugel dah kalau ga percaya,” gua cukup emosi di sini. Fawwaz pun mengeluarkan hpnya dan meng-Google apakah benar berlari zig zag bisa membuat pocong bete buat mengejar kita.
“Ki.”
“Hah gimana? Bener kan?”
“Lari zig zag itu bukan buat kabur dari pocong,” kata Fawwaz datar.
“Ohh bukan? Jadi kuntilanak ya? Tapi lebih logis lari dari pocong atau suster ngesot sih.”
“Bukan juga.”
“Lah jadi lari dari setan apa woy??” gua kepo.
“Lari dari buaya.” Gua diem denger jawaban Fawwaz, dia juga diem sembari melepaskan sepatu dan membidik kepala gua.
Setelah keadaan sudah tidak sepanas tadi dan Fawwaz juga sudah memakai sepatunya lagi, dia baru sadar bahwa kita belum ada membahas persoalan yang menyangkut di kepala gua.
“Oh iya kita belum ada ngebahas kenapa lu ngajak gua ke sini.”
“Setelah hampir sejam kita di sini baru inget kita bahkan belum menyentuh alasan kenapa gua ngajak lu ke sini.”
“Biasa mah begitu, jadi ada apa nih? Mau ngebuat gebrakan baru apa nih sekarang?” ga jelas banget ni orang.
“Inget ga sih kemarin lu bilang gua kalau punya pacar ataupun ga pasti ga peduli dan hidup gua juga bakal gini-gini aja?”
“Elaaah gitu aja baper lu ah, maap deh maap. Tapi emang bener tau, Ki.”
“Lah gua ga baper kok, cuma kemarin gua kepikiran aja gitu. Yah maksudnya, lu kan salah satu temen deket gua yak, berarti kemungkinan besar yang lu bilang itu benar.”
“Lah bukan kemungkinan lagi itu mah, emang bener. misalnya nih lu punya pacar ya, ntah kenapa lu malah jadi males-malesan gitu, terus ga ada gitu perbedaan antara lu jomblo sama lagi punya pacar.”
“Lah emang harus ada bedanya? Bukannya pacar yang baik adalah pacar yang tidak membuat lu menjadi orang lain?”
“Emang menjadi orang lain itu buruk? Menurut gua kata-kata yang tepat bukan menjadi orang lain tapiii menjadi orang yang baru.” Lah anak 16 tahun bisa bijak ternyata, fix ngambil quote di Pinterest.
Sebenernya sampe di detik ini apa yang dia bilang itu benar, gua percaya bahwa yang namanya menjalin hubungan dengan orang lain itu bisa membuat kita menjadi orang yang baru, bukan menjadi orang lain tapi menjadi orang yang baru. Jangankan pacar, temen baru aja bisa membuat kita menjadi orang yang bener-bener baru, ga usah temen deh, lu baru nemu akun YouTube yang cocok sama lu aja bisa membuat lu memakai kosa kata yang di pakai sama si youtuber itu, apakah itu buruk? Menurut gua sih engga.
“Lah jadi maksud lu gua harusnya memang berubah kalau punya pacar gitu?” tanya gua ke Fawwaz.
“Ya engga juga sih Ki, pertama yang harus lu cari adalah pacar yang memang bisa ngebuat lu gerak dan bareng-bareng ngebuat cerita baru bareng lu gitu. Ga usah pacar deh temen aja dulu. Kan lu susah banget yak buat temenan, nah menurut gua sekarang ini fokus lu adalah membuat teman baru dan membuat cerita lu sendiri.”
“Lah kenapa jadi membuat cerita coba? Cerpen gitu? Ga jago gua, Waz.”
“Ga dong, kebanyakan nyari cara kabur dari pocong sih lu jadi bloon kan. Lu sadar ga sih setiap kita ketemu pasti cerita lu itu-itu mulu, ga bosen apa lu?”
“Yah gua ga ada ngerasa cerita gua itu-itu aja sih, setiap kita ketemu pasti ada aja pembahasan kita kok.”
“Ya pasti ada, kalau ga soal setan, soal film, kalau ga ya game. Ga ada yang lain kan?”
Yak inilah efek memiliki teman akrab yang berani ngomong yang jelek-jelek soal lu di depan muka lu, tapi kata orang-orang sih ini lah yang namanya teman beneran, kata orang-orang loh ya bukan kata gua.
Tapi yah bener kata si kampret, hal menarik yang terjadi di gua terakhir kali terjadi hampir tiga tahun yang lalu, saat awal-awal banget gua masuk SMA, saat itu jempol kaki gua di serang oleh robot, itulah terakhir kali gua mengalami kejadian yang menarik. Sisanya? Hmm antara ga ada yang menarik atau itu bukan kejadian punya gua.
Disini gua sadar, gua udah bukan pemeran utama dalam cerita gua sendiri.
Jadi bagaimanakah cara saya agar kembali menjadi pemeran utama? Menemukan teman baru agar memiliki cerita baru? Beranikan diri untuk pengalaman baru? Cari pacar yang memiliki sifat tidak mirip sama kita tapi tetap sefrekuensi? Nyobain masuk istana boneka di Dufan? Mencoba trend-trend yang ada di social media? Mencoba berjalan-jalan ke alam? Mencoba makanan vegetarian? Apakah mungkin salah satu dari metode di sebelah adalah cara yang tepat? Pada saat itu gua juga blom tau. Pada saat itu.
Di karenakan percakapan gua sama Fawwaz ini lah, gua bertekad saat gua memulai kehidupan gua di jenjang perkuliahan dengan mencoba hal-hal baru. Dan atas dasar dia pula lah gua mulai ‘membuka hati’ untuk orang-orang baru. Apakah ini akan membuat gua kembali menjadi pemeran utama? Yah jujur gua ga tau, tapi setidaknya gua ga diem di tempat seperti yang sudah-sudah.
Singkat cerita satu minggu lagi visa gua untuk berkuliah di Malaysia selesai, dan gua pun mulai sibuk mengumpulkan barang-barang untuk di bawa ke Malaysia. Tetapi tekad gua untuk membuat hidup gua kembali on track adalah hal utama yang ada di otak gua.
Pada hari Senin, gua mendapatkan kabar bahwa visanya akan kelar pada hari Jumat minggu ini, yah walaupun gua sebenernya udah telat kelas hampir 2 mingguan tapi itu bukan menjadi masalah. Dan keluarga gua juga sudah memberikan perintah kepada gua untuk berangkat pada hari Minggunya, agar kalau ada apa-apa gua masih punya satu hari untuk membereskannya.
“Jadi ntar lu ke Malaysia nya hari Minggu, Ki? Fix itu?”
“Iya nih Waz, ga kerasa yak.”
“Jadi gimana nih project-an lu yang mau hidup seperti Larry?”
“Ya semuanya di mulai pas kaki kanan gua menyentuhkan kulitnya di tanah Malaysia,” jawab gua.
“Kaki kanan? Ohhh kaki baik?”
“Yoiiii.”
“Lu ntar di sana di daerah apa Ki? KL?”
“Bukan-bukan, kalau kata kakak gua sih, ini daerah yang memang isi nya itu banyak kampus-kampus, namanya Cyberjaya.”
“Widiiih namanya keren gitu ya, terus lu udah jadi nanya blom siapa nih yang bakal ke sana dari Pekanbaru selain lu?”
“Anjirrr gua lupa sumpah, besok deh gua tanyain sekalian gua ada mau ngambil berkas di sana.”
“Terus lu kesananya dianter siapa? Gua boleh ikut?”
“Lah maap situ siape? Ntar gua di anter mak sama kakak gua sih.”
“Idih sama nyokap lu? Sendiri dong biar lebih my trip my adventure.” Efek dari menunggu masuknya kuliah membuat teman gua ini kebanyakan nonton tv.
“Kata dia, dia takut ntar pas sampe di Malaysia gua langsung ngabisin duit gua buat sepatu dan game. Oleh karena itu dia wajib ikut.” Sumpah, ini tidak benar sama sekali ya, saya masih memiliki kontrol dalam membeli barang koleksi.
“Ohhh masuk akal itu, terus kakak lu?”
“Ohh itu dia mau liat kampus dia dulu, jadi pengen ikut.”
“I see, yaudah pokoknya jangan lupa tujuan utama lu ke sana ya, Ki.”
“Jelas dong, untuk menjadi orang yang baru, dengan mencoba hal-hal baru, membuka hati kepada orang-orang baru, dan pas gua ketemu ke lu gua udah punya cerita gua sendiri,” gua sangat pd dengan semua rencana yang gua buat.
“BUKAN BEGOOO, YA BUAT BELAJARLAAAAAH!”
“Lah iya juga yak.” Berasa sketsa comedy.
Ya mau bagaimana pun alasan utamanya gua ke Malaysia ya mau kuliah, jadi pendidikan numero uno. Jadi selain itu yah bisa menunggu. Yak ini memang hal paling benar. Yak.
Hari Rabunya gua pergi ke agent pendidikan yang ngasih bimbingan ke gua untuk kuliah di luar negeri.
“Jadi kamu udah beli tiketnya?” tanya si mbak yang memang dari awal membantu gua.
“Udah mbak, jam 11 hari Minggu. Ntar aku perginya sama Mama sama mbak Wenny juga.”
“Ohhh bagus-bagus, soalnya kan Wenny dulu di sana kan, jadi dia bisa ngasih tau harus kemana, bagus itu bagus.”
“Jadi data-data dari kampusnya udah dikirim ke Mbak kan?”
“Ohh udah kok tadi pagi, ini aku print-in ya.” Dia langsung pergi ke arah komputernya.
“Ohh iya Mbak, aku lupa nanya dari kemarin nih. Kan kemarin katanya yang dari Pekanbaru ada dua orang ya yang masuk ke Limkokwing, nah kalau boleh tau nama dia siapa ya? Mana tau aku kenal.”
“Ohh iya kemarin aku juga lupa ngasih tau kamu, namanya Citra Ki, kenal?”
“Ohhh kenal mbak, dulu satu SMP sama aku itu dia.” Yah sebenernya ga kenal-kenal amat sih, cuma sebatas tau nama doang. Bahkan gua ga yakin ni orang tau bahwa gua exist.
“Coba kamu ntar kontakan sama dia deh, soalnya dia itu kalau ga salah hari Jumat udah berangkat itu.”
“Ohhh visa dia selesai lebih dulu dari aku ya?”
“Iya Ki, nanti kamu chat aja coba tanya-tanya gitu. Soalnya gimana pun ceritanya nanti kamu di negeri orang itu yang mau membantu itu tetap orang dari kampung kamu Ki, begitu.” Jujur gua ga paham, tapi niat dia baik jadi gua ngangguk doang.
Malamnya gua coba buat ngechat si Citra, untuk memberi tahu bahwa gua juga pergi ke kampus yang sama dengan dia. Ternyata dia tau siapa gua, dan dia juga tau bahwa gua akan pergi ke kampus yang sama dengan dia. Memang sepertinya gua terlalu tidak peduli dengan keadaan sekitar yak.
Inti percakapan kami pada malam itu adalah, nanti pas kita sampai di Malaysia kita harus saling membantu dalam hal pertemanan maupun makanan, ga paham kenapa makanan tapi gua iya in dulu aja agar kami berteman dan dia berpikir gua orang yang baik, yak rencana yang solid.
Pada hari Jumatnya dia memberi kabar ke gua dia akan berangkat hari ini bareng sama kakak dan nyokapnya, dan nanti dia dan keluarganya menginap di hotel yang ada di daerah Cyberjaya. Sedangkan nanti gua dan keluarga gua bakal nginep di KL, tapi menurut informasi dari kakak gua KL dan Cyberjaya itu tidak jauh, kurang lebih 1 jam kalau naik tol, jadi yah masih dekat lah.
Memang benar tadi gua bilang kalau gua ingin membuat circle yang isinya orang berbagai macam daerah dan negara, namun dari pengakuan abang dan kakak gua yang lebih berpengalaman dalam hal ini, mereka bilang memiliki teman dari daerah yang sama sangat membantu kita pada saat berkuliah di luar negri. Kenapa? Pada saat apa-apa mereka bisa menjadi penyelamat nomor 1 kita, karena berasal dari daerah yang sama, jadi harapannya, mereka memiliki budaya yang sama. Yah semcam itu lah, gua juga bingung jelasinnya. Intinya, gua akan mengakrabkan diri gua ke Citra, dengan harapan kalau ada apa-apa kita akan saling membantu.
Tidak kerasa sekarang sudah hari Sabtu, dan besok gua bakal berangkat ke Malaysia untuk memulai sesuatu yang baru. Takut? Hmm ga juga sih. Excited? Hmm ga juga karena semua orang tau memulai sesuatu itu adalah hal besar, dan membutuhkan komitmen di dalamnya. Apapun itu, kita ga bisa setengah-setengah dalam memulai sesuatu.
Mungkin terdengar lebay, tapi pada titik ini gua cukup lelah dan kecewa dengan keadaan yang gua lalui, dan memang sudah seharusnya gua memulai semuanya kembali. Gua merasa saat gua menyadari bahwa gua sudah bukan pemeran utama dalam cerita ini cukup berdekatan dengan keberangkatan gua ke Malaysia adalah kebetulan yang memang sudah ditakdirkan.
Dan pada hari minggu, ini adalah hari yang sudah gua nanti, nyokap dan kakak gua yang akan ikut mengantar ke Malaysia, sudah siap. Sedangkan gua masih duduk di kamar, barang sudah di pack dengan sangat rapi di koper berwarna luar biasa besar berwarna biru, yang memang sengaja di beli nyokap, karena ini bukan kali pertama anaknya akan merantau ke luar negri, jadi beliau sudah tau sebanyak apa barang yang harus di bawa.
Bokap dan abang gua hanya mengantar sampai bandara, jadi selama perjalanan ke bandara, mereka memberikan wejangan yang sangat dalam, mulai dari jaga makanan, saling membantu, jaga pertemanan, selalu angkat telfon dari keluarga, kalau ada apa-apa selalu bilang ke mereka, nilai jelek adalah hal biasa, dan yang terpenting KURANG-KURANGI BELI SEPATU. Gua ga ngerti kenapa sepatu selalu jadi maslah bagi mereka, tapi yaudah lah ya.
Sampainya di bandara, kita mengurus semua hal dengan lancar dan aman. Saat di ruang tunggu, pada bagian keberangkatan internasional tidak begitu ramai, yah karena pada saat itu memang sedang tidak musim liburan, jadi tidak banyak orang yang akan pergi ke Malaysia.
Saat duduk di ruang tunggu, kakak dan nyokap mulai ngobrol tentang Malaysia, sebuah cerita nostalgia yang sudah sering gua dengar. Ntah kenapa, perasaan gua sangat gundah, merasa ada yang kurang. Gua merasa seperti ada yang tertinggal, namun pada saat gua bilang ke nyokap, dia cuma jawab “ biasa itu, karena yang di bawa banyak, jadi selalu ada yang ketinggalan.” Namun gua tau, ini bukan soal barang.
Temen-temen akrab gua mulai menanyakan apakah gua udah berangkat atau belum, tidak terkecuali cewe yang lagi deket sama gua, namun karena dia akan pergi ke jogja sedangkan gua ke Malaysia, jadi kita tau ini hubungan ga bakal menuju kemana-mana. Citra juga sudah menanyakan kapan gua akan ke dorm atau apartement yang sudah di siapkan oleh kampus gua, untuk gua tinggali.
Perasaan gundah tadi berubah menjadi rasa geli di sekujur tubuh gua, ga tau ini rasa takut atau rasa senang karena harus meninggalkan zona nyaman gua, ini adalah kali pertama gua merasakannya.
Selama di ruang tunggu, gua membalas seluruh chat yang masuk sampai benar-benar tidak ada lagi yang membalas chat gua. pikiran gua mulai kosong, gua mengambil headphone dan novel Raditya Dika, berharap pikiran gua tidak menjebak gua seperti yang sudah-sudah.
Tidak lama, panggilan boarding berkumandang, memberitahu kami untuk segera menaiki pesawat. Dengan novel dan passport di tangan, serta headphone yang gua kalungkan di leher, gua berbaris menuju ke pesawat.
Gua duduk di dekat aisle, nyokap di tengah, dan kakak gua di jendela. Memang keadaan pesawat tidak ramai sama sekali, hanya ada beberapa bapak-bapak yang sepertinya berangkat untuk urusan bisnis, dan beberapa orang keluarga, yang sepertinya akan berangkat mengantar anaknya pergi berkuliah seperti gua. Kenapa gua tau, karena terlihat dari mimic muka mereka, mimic mereka bahagia dan cemas di saat yang sama.
Mimic yang tidak jauh berbeda dari gua. perasaan menggelitik tadi masih belum hilang, masih menggelitik di sekujur tubuh ini. Bahkan dengan earphone di telinga dan novel di tangan gua, pikiran gua mulai melayang-layang ntah kemana. Otak gua mulai bertingkah, gua mulai memikirkan gimana kalau sampai di sana semua yang gua rencanakan gagal? Gimana kalau ternyata di sana gua malah ga dapet temen? Gimana kalau ternyata gua tetep sama aja? Gimana kalau gua tetep jadi seorang penghibur di cerita gua sendiri? Gimana kalau di sana ga ada martabak keju coklat? Gimana kalau ternyata gua ga nemuin orang sefrekuensi di sana? Gimana kalau gua ternyata ga cocok di jurusan yang gua ambil?
Gimana kalau gua menutupkan mata gua sekarang dan tidur? Oke ide bagus, gua mengikuti apa yang di perintahkan pikiran ini, memejamkan mata dan berpura-pura tidur, dengan harapan menipu otak gua. Gua pun mulai terlelap sepanjang perjalanan. Dengan harapan nanti saat gua bangun di kehidupan baru, gua menjadi karakter baru di cerita gua. Menjadi karakter utama.