Bisa dibilang gua ini anak rumahan, ya benar gua anak rumahan. Gua males banget berkegiatan di luar rumah. Seperti contohnya gua males banget sama yang namanya panas-panasan, secinta apapun gua sama sepakbola, tapi kalau di ajakin main sepakbola gua pasti nolak, tapi kalau di ajakin futsal gua baru mau, yah itu karena futsal berada di dalam ruangan.
Gua adalah seorang anak yang lebih memilih baca komik di dalam rumah dari pada main petak umpet di luar rumah, gua adalah seorang anak yang lebih memilih bermain gameboy daripada bermain layangan di luar rumah, gua adalah seorang anak yang memilih untuk menonton Power Ranger dari pada mencari siapa D.B. Cooper sebenarnya. Bukan karena gua ga punya teman atau semacamnya, tapi itu memang pilihan hidup aku! Jangan maksa deh kamu!
Tapi gini-gini, gua waktu kecil hobi banget sama yang namanya mancing, yah walaupun bukan di alam bebas ya. Bukan di danau atau di laut lepas, tapi di kolam pancing. Dan jujur aja gua emang ga jago mancing, tapi gua adalah orang yang membawa hoki bagi orang yang mengajak gua mancing, true story.
Sewaktu gua kecil, gua sering banget di ajakin mancing oleh paklek gua. Bagi yang ga tau paklek itu apa, paklek adalah adik laki-laki dari nyokap atau bokap, nah karena nyokap gua orang jawa, jadi gua manggil adik laki-laki nya paklek. Pada saat gua kecil, ada salah satu paklek gua yang tinggal bersama gua, yaitu Paklek Rian.
Dia sering banget ngajakin gua jalan-jalan mengelilingi kota Pekanbaru dengan Vespa tua yang dia miliki, biasanya gua yang masih kecil duduk di bagian depan, menikmati hembusan angin yang membuat muka gua mati rasa terkadang. Ah masa-masa yang sangat menyenangkan.
Biasanya kami hanya berjalan-jalan, terus makan sate, batagor atau jajanan yang lain. Dan tidak jarang juga dia mengajak pacarnya saat itu, Tante Shinta. Jadi kita sering banget keliling nyari tempat makan yang belum pernah kita cobain bertiga.
Sampai suatu hari minggu, gua lagi asik-asiknya dengerin lagu Jamrud, Paklek Rian nyamperin gua.
“Ki, jalan-jalan kita sama kak Shinta?” saat itu gua manggil Tante Shinta masih dengan panggilan ‘Kak’, tapi karena sekarang mereka sudah menikah gua memanggilnya dengan panggilan ‘Tante’.
“Ayok Lek, mau makan apa?”
“Mancing kita yok.”
“Mancing? Mancing ikan?”
“Engga, mancing keributan. Ya iyalah mancing ikan.” Lah ngegas doi.
“Beneran ini? Di laut?”
“Engga dong, kan ga ada laut di sini. Di ini aja, kolam pancing.”
“Ohhh Paklek sering mancing ya?” tanya gua.
“Engga, ini pertama kali, tapi tenang kan ada kak Shinta.”
“Ohh kak Nila jago mancing?”
“Engga juga, tapi kan dia bidan, jadi kalau ada apa-apa gampang.” Doakan kami teman-teman.
Akhirnya setelah menimbang-nimbang mana yang lebih seru antara melakukan kegiatan di luar rumah yang baru pertama kali gua lakukan yaitu memancing, dengan mendengarkan lagu Surti dari Jamrud sampai gua hafal, akhirnya gua memutuskan untuk pergi memancing, itu juga gua udah di janjiin buat di beliin es krim setelah memancing. Murah sekali anak ini.
Akhirnya kami bersiap menjemput Tante Shinta terlebih dahulu, dengan Vespa kesayangan dan satu buah ember, kami siap berangkat. Sesampainya di depan rumah Kak Shinta, ternyata dia sudah menunggu di depan rumahnya.
“Adek Risky udah pernah mancing?” tanya Tante Shinta.
“Blom pernah Kak, Kakak udah pernah?”
“Ini pertama kali.” Sip, kita bertiga bakal tenggelam di kolam pancing.
“Lek, kita ga beli cacing dulu?” tanya gua ke paklek.
“Ga ki, nanti kan semua alat-alatnya disewain di sana, nah mereka juga ngasih pelet buat umpannya. Jadi kita ga make cacing.”
“Ohh gitu, lah ini bawa ember buat apa?”
“Ini buat ikannya lah, biar gampang bawa pulangnya.”
“Loh ikannya kita bawa pulang?”
“Iya dong, buat kita makan, atau kita cemplungin di kolam belakang.” Di halaman belakang rumah gua ada kolam ikan.
“Ohhh gitu ya, kirain ga boleh di bawa pulang.”
“Lah kan kita bayar, masa ga boleh di bawa pulang.” Lah iya juga yak.
Akhirnya setelah perjalanan yang cukup panjang, kami sampai di kolam pancingnya, namanya adalah ‘Kolam Pancing Riky” dan pada saat itu, ini adalah satu-satunya kolam pancing yang ada di Pekanbaru, jadi bukan gua sengaja mencari yang namanya mirip dengan nama gua ya. Narsis amat gua.
Saat kita memasuki ke daerah kolam pancingnya, mereka memiliki dua kolam yang cukup gede, dan di setiap sisi kolamnya ada tempat duduk dengan atap di atasnya, jadi kita ga bakal kepanasan selama memancing. Sebelum bagian kolam, ada sebuah rumah kayu yang sepertinya tempat dimana kita membayar, meminjam, dan menimbang ikan, dan di situ ada tulisan tulisan ‘Yang sudah di pancing, tidak boleh di kembalikan ke dalam kolam.’
“Kita nyewa pancingannya berapa ya? Tiga?” tanya Paklek.
“Dua aja lah dulu, kan ini kita pertama kali. Jadi biar ga mubazir gitu, ganti-gantian kita,” jawab tante Shinta.
Akhirnya setelah disetujui kami pun hanya meminjam dua pancingan, satu serokan ikan, satu buah alat tempat meletakan ikan yang sudah di pancing, dan itu bentuknya jaring yang biasanya di letakan di dalam air. Sedangkan pelet untuk umpannya bisa ambil sebanyak yang kita mau, bisa di refill gitu. Berasa di resto all you can eat yak.
Sebelum memulai mancing, kami diajari dulu bagaimana cara memasang umpannya, bagaimana cara mengetahui kalau ada ikan yang ketangkep atau ga dan hal-hal dasar lainnya. Setelah melewati pendidikan singkat, kami pun siap beraksi.
Hari cukup terik saat itu, keringat mulai mengalir di leher kami, walaupun kami belum memulai perburuan kami. Tapi rasa ingin mendapatkan ‘strike’ di dada kami jauh lebih membara dibandingkan cuaca saat itu. Azeh cool bet.
Di sini ada dua kolam, kolam yang pertama itu bentuknya memanjang, dan berisi ikan patin dan nila, tapi di kolam ini di tujukan untuk orang-orang yang sudah biasa mancing, karena ikan-ikannya berukuran cukup besar, jadi tarikannya lebih yahut. Sedangkan kolam kedua lebih kecil ukuran kolamnya, dan isinya adalah ikan patin, nila dan mas.
Kami di beritahu untuk memancing di kolam kedua, karena ukuran ikan di situ lebih kecil, jadi untuk noobs kaya kami di sarankan untuk mancing disini, kalau kami langsung mancing di kolam besar, takutnya kami tidak kuat dengan tarikan ikan, dan itu bisa ngebuat emotional damage untuk kita para pemula. Tragis.
Kami sudah memilih spot yang sepertinya banyak ikannya, setelah meletakan semua barang-barang, kami pun menyiapkan pelet basah untuk ujung kail pancingan kami. Setelah itu. . . Hap paklek melemparkan benang pancingnya dengan sempurnah ke arah tengah kolam.
Sekarang giliran gua yang melemparkan benang pancingan, jujur aja gua cuckup excited dengan pengalaman baru ini. Gua pun bersiap dan…. Yak benang pancing gua juga terbang ke arah tengah kolam dengan indahnya, yah walaupun ga tengah-tengah amat tapi itu cukup ciamik untuk seorang pemula.
“Dek, tarik lagi coba pancingan Adek,” kata Tante Shinta.
“Loh kenapa, Kak?” tanya gua.
“Itu kan pelet nya blom di pasang.” Bego, gua menggulung benang pancing gua kembali. Setelah gua memasang peletnya, gua melemparkan lagi benang pancing tadi, yah tidak seindah yang pertama sih, tapi at least kali ini ada umpan di ujung kailnya.
5 menit, 10 menit, 15 menit sudah berlalu. Namun blom ada ikan yang sepertinya nyangkut di kail kami, gua sudah merasa bosan karena kita cuma diem ngeliatin kail pancingan.
“Ki, coba tarik pancingan Risky,” kata paklek.
“Hah kenapa?! Ada ikannya?!” tanya gua yang langsung menggulung benang pancingannya.
“Coba tarik aja dulu.” Gua menarik dengan semangat, tapi tidak ada ikan di ujung kailnya, namun pelet yang tadinya ada, tiba-tiba hilang.
“Nah kan pantesan ga ada ikannya, peletnya aja ga ada.”
“Lah tadi udah Adek pasang loh Lek, sama Kak Shinta tadi.”
“Mungkin udah di makan sama ikan nya tapi Risky ga sadar, atau pas ngelempar tadi peletnya copot gara-gara masangnya ga kuat tadi.”
Akhirnya gua pun memasang kembali pelet baru ke kail tadi, saat sedang memasang tiba-tiba pancingan paklek bergoyang, dan bener aja ada ikan yang memakan umpan doi. Dia langsung menariknya dengan perlahan agar ikannya tidak melawan, dan benangnya tidak putus. Tapi ga perlu waktu lama bagi paklek untuk menaklukkan ikan ini, setelah permainan tarik-ulur yang tidak yahud, ikan menyerah, dan berhasil diangkat ke darat.
Ikan pertama yang kami dapat adalah seekor ikan nila, walaupun bukan gua yang terlibat dalam pertarungan tadi tapi gua merasa sangat hype dan ingin merasakan juga rasa dari tarik menarik dari ikan di ujung kail. Setelah meletakan ikan tadi ke tempat yang aman, gua pun melemparkan lagi kail pancing gua ke arah kolam, tapi kali ini dengan lebih hati-hati, karena takutnya umpannya copot lagi.
Setelah itu gua duduk dan menunggu lagi, Paklek Rian juga sudah melemparkan kailnya ke arah tengah kolam, dia sudah terlihat sangat jago dalam hal pancing memancing ini.
“Huh, gua ga bakal kalah, gua bakal narik ikan paling gede yang ada di sini,” dalam hati gua.
Ga sampe 5 menit tiba-tiba benang dari pancingan Paklek Rian ada yang menarik, yak dia dapet lagi.
“Nih Ki dapet lagi, coba Risky yang narik,” sambil menyerahkan pancingannya.
“Oke Paklek,” ini saatnya gua bersinar.
Paklek Rian selalu mengingatkan gua untuk tidak buru-buru dalam menariknya, jangan selalu di lawan, tapi kalau dia udah ngelawan dan menarik dengan kuat jangan terlalu dilawan karena takutnya benangnya putus. Seperti hubungan yah, hmmm.
Dan gua pun mengikuti seluruh petunjuk paklek, memang sedikit lebih lama dari pertarunagn paklek tadi, tapi gua berhasil membawa si ikan ke permukaan! Kak Shinta pun menyerok ikan tadi dengan jaring. Dan setelah di lihat ikan nila yang gua tangkep sedikit lebih besar dari yang pertama tadi. LUAR BIASAH.
Sensasi saat melakukan tarik menarik dengan si ikan bener-bener menyenangkan, buat nagih. Apalagi saat kita berhasil ngebuat si ikan muncul ke permukaan, beeeh mantap.
Dan setelah ikan kedua tadi kami pun berhasil mengangkat lima ikan lainnya dari kolam. Tapi seluruh ikan-ikan tadi ga ada yang dari hasil lemparan gua, pasti dari lemparan Paklek, atau Tante Shinta. Apakah gua di kutuk?
“Udah mau jam setengah 4 nih, pulang kita lagi?” tanya paklek Rian ke kami.
“Iya udah sore, yuk lah pulang,” jawab Tante Shinta.
“Ehh tunggu Paklek, adek mau lempar sekali lagi, abis itu kalau ga dapet baru deh kita pulang.” Gua ga bakal lega kalau blom ada satupun ikan yang gua angkat dari lemparan ini.
Paklek Rian yang melihat betapa membaranya api di dada ponakannya pun mengiyakan, dan memberikan waktu 15 menit buat gua. Gua mengambil pelet lagi untuk di letakan di ujung kail pancingan gua.
“Oke yang ini pasti dapet ikan, huftt huaa huftt hua.” Itu di sebelah suara gua ngembus pelet, dengan harapan, humbusan itu dapat menghipnotis ikan-ikan dan memakan umpan yang gua lempar. Maklum bocah, fantasi nya masih sangat liar.
Dan gua langsung melemparkan benang pancing gua ke arah kiri kolam, kenapa gua tidak membidik tengah kolam lu tanya? Karena dari tadi gua lempar ke arah tengah, dan ga ada satupun ikan yang makan umpan gua, jadi untuk yang terakhir kalinya, gua bakal nyoba peruntungan gua di pinggir kolam. Masih di aer yak, bukan di darat. Ada-ada aja dah lu.
Dan benar saja, ga sampe 1 menit gua lempar, ternyata ada ikan yang memakan umpan gua. Gua langsung menarik benang pancing gua dengan sangat gentle, gua menarik dengan cara yang sama seperti saat gua mengangkat ikan-ikan yang sudah berhasil gua angkat. Tapi ntah kenapa ikan kali ini agak berbeda, yang biasanya memang ngasih perlawan tapi ga seberat yang ini.
“Lek, kok ikan yang ini agak berat ya?” tanya gua.
“Hah masa, Ki? Mungkin ikan patin itu.” Mendengar itu, gua makin semangat nariknya. Karena, dari tadi ga ada satupun ikan patin yang memakan umpan kami.
“Berat, Dek? Bisa Adek?” tanya Tante Shinta.
“Bisa kok Tante, dari tadi kan bisa.” Tapi gua ga sadar kalau dari tadi gua narik itu benang, tapi ikannya masih di daerah yang sama dari yang awal. Ga mendekat ke arah gua sedikit pun.
“Ki, coba paklek aja yang narik,” kata paklek sambil mengambil alat pancing gua, gua pun menyerahkannya dengan pasrah, karena gua tau kalau yang narik tetap gua, bisa-bisa gua nyebur ke tu kolam. Sumpah tarikan itu ikan berat banget.
Paklek pun mulai menarik ulur pancingannya, tapi sepertinya emang ikan kali ini lebih berat dan besar dari pada ikan-ikan sebelumnya. Yah mana tau itu ikan udah lebih senior dari ikan-ikan tadi, jadi dia tau gimana meng-handle para pemancing.
“Wah gede tu, Om.” Tiba-tiba ada seorang anak-anak yang lebih tua dari gua datang ke belakang kami. Ternyata doi adalah anak dari si pemilik kolam pancing, dan dia bertugas untuk membantu para pemancing yang kesulitan. Seperti melepaskan kail yang mungkin tertancap di ikan, atau menyerok ikan kalau ikan nya sedikit bandel, dan semacamnya.
“Iya ya, Dik?” tanya paklek ke anak tadi.
“Iya Om, kalau mau Om sambil jalan kelilingi kolam aja Om, jadi ikannya capek ngikutin Om.”
“Ohh gitu ya? Yaudah, yok Ki bawa serokannya.” Gua, paklek, dan si anak ‘ahli memancing’ pun mulai berjalan agar ikannya capek. Samar-samar gua bisa ngeliat punggung ikan yang sedang ditarik oleh paklik di permukaan air.
“Ohhh patin tu, Om,” kata si anak ‘ahli memancing’.
“Patin emang sesusah ini ya biasanya?”
“Seharusnya di kolam yang ini udah ga ada patin Om, seharusnya patin udah di pindahin ke kolam yang itu,” sambil menunjuk kolam satu lagi yang memang sedikit lebih besar dari kolam yang ini.
“Lah terus ini kok ada patin?”
“Mungkin ngumpet kali ya kemarin, jadi ga ikut kepisah.”
“Tapi emang patin sesusah ini nangkepnya?” tanya paklik sambil tetap menarik-ulur si ikan.
“Engga Om, ini pasti gede, tapi kalau udah di angkat ga boleh di balikin ya Om.” Dan ternyata gua baru sadar bahwa kami akan membayar ikan yang kami angkat ini berdasarkan beratnya, jadi semakin berat total ikan yang sudah kita angkat akan semakin mahal pula harga yang harus dibayarkan.
“Iya ga papa, kalau idup bisa di taro di kolam belakang, ya kan Ki?”
“Iya Lek.” Tanpa kami sadari kami sudah sampai lagi di tempat duduk kami di awal, tapi kami tetep melanjutkan perjalanan kami mengelilingi kolam.
Dan saat di tengah lap kedua, paklek merasa tarikan si ikan sudah jauh melemah, jadi kami berhenti di sana dan mulai menarik lebih kuat lagi, dan dengan beberapa kali tarikan kami pun berhasil melihat ikannya dengan lebih jelas, ikan itu berwarna hitam, tidak begitu panjang tapi ikannya besar banget, lebar banget.
Kami menggiring ikan tadi ke arah tempat duduk kami, dan akan mengangkatnya di sana. Dan ikan itumemang kelihatan banget udah pasrah karena kelelahan mungkin, terlihat keringat di kening di ikan membasahi seluruh tubuhnya.
“Dah kita angkat sekarang ya, yok Ki serok.”
“Oke Lek.” Gua pun memasukan serok kebagian bawah perut ikan, tapi saat gua mencoba mengangkat itu serok, gua langsung gagal karena ikannya berat banget. Akhirnya gua di bantu sama Tante Shinta dan anak ‘ahli memancing’, saat berhasil mengangkatnya ke daratan baru lah terlihat ikan yang sudah lebih dari 15 menit kami hadapi.
Ikannya besar banget coy, segede gua waktu lahir kali, fix ini mah preman di kalangan ikan, warnanya hitam mengkilap, kumis yang menjutai dengan sangarnya, serta beberapa codet dekat alisnya. Setelah berhasil mengangkat ikan patin itu, kami semua merasa lega, dan si anak ‘ahli memancing’ tadi langsung meletakan ikan tadi ke dalam ember yang kami bawa. Tapi ga muat, dia pun memanggil seseorang dari dalam rumahnya.
“Waduh Mas saya aja ga tau loh kalau ada ikan segitu gedenya di sini,” kata seorang om om yang muncul dari dalam rumah si anak ‘ahli memancing’, yang ternyata adalah bapaknya anak itu sekaligus pemilik kolam pancing ini.
“Iya nih Pak, cape banget ngelawannya,” jawab paklek Rian.
“Kita timbang sekarang aja ya?” tanya om ‘bapak dari anak ahli memancing’.
“Iya sekalian sama ikan yang lain aja,” kata paklek.
Jujur gua lupa berapa berat si ikan patin itu ataupun berapa total dari berat ikan kami pada saat itu, yang pasti saat membayar seluruh ikan-ikan itu paklek dan si om ‘bapak dari anak ahli memancing’ ketawa-ketawa sendiri.
Total ada 4 pelastik ikan yang kami dapatkan hari itu, setiap ikan yang berhasil di tangkap, akan di masukan ke sebuah plastic bening yang di isi dengan oksigen dan air. Berhubung kami datang menggunakan Vespa, jadi mau ga mau kami menelfon ke rumah, untuk minta di jemput dengan mobil. Gua langsung pulang menggunakan mobil, sedangkan paklik Rian mengantarkan kak Shinta pulang.
Saat sampai di rumah, nyokap gua kaget banget dengan seluruh hasil tangkapan kami, dan meminta tolong kepada orang yang kerja di rumah buat meletakkan seluruh ikan-ikan tadi ke dalam kolam kami, kami baru pindah ke rumah baru pada saat itu, dan di belakang ada 2 buah kolam ikan yang masih sepi, cuma ada ikan-ikan mas kecil di dalamnya.
Saat kami memasukkan ikan ikan-ikan yang kami tangkan tadi, tidak ada masalah sama sekali, kecuali untuk ikan patin. Bagian punggung ikan patin muncul di permukaan, dan bagian perutnya sudah tersert di dasar kolam, padahal itu kolam itungannya udah tinggi permukannya.
“Kayanya yang patin ga bisa \ tinggal di kolam Dek,” kata paklek yang tiba-tiba muncl.
“Lah terus mau di lepas, Lek?” tanya gua sedih, mengingat seberapa susah kami melawan ikan itu.
“Ya ga di lepas lah, mahal itu.”
“Lah jadi di apain, Lek?” pastinya kalian tau dong ikan itu akan di apain? Yak benar!!!
Malamnya kami pesta ikan, yah ga bisa di bilang pesta juga sih, karena ikan yang di makan hanya 1. For your information, pada saat itu orang tinggal di rumah gua ada 8 orang, dan si patin cukup unuk kami. god bless you, patin.
Singkat cerita, minggu depannya paklek mengajak gua untuk pergi memancing lagi, tapi kali ini kami pergi dengan mobil pickup milik dia, karena dia PD bakal dapet banyak. Namun sayang, gua harus pergi bareng bonyok pada hari itu. Jadi dia pergi berdua dengan Tante Shinta.
Saat mereka pulang dari memancing, ternyata mereka cuma bawa dua ekor ikan.
“Ternyata hoki nya ada di Risky eh,” kata paklek ke nyokap gua. KEBAYANG DONG SEBERAPA BESAR PALA GUA SAAT ITU?
Minggu depannya lagi, paklek mengajak gua buat pergi memancing lagi, dan gua pun mengiyakannya. Saat sampai di sana ternyata si paklik sudah akrab dengan om ‘BDAAM’.
“Kita liat ya, bener ga hokinya di kamu,” heh nantangin ni om-om.
Dan benar saja, walaupun ga berhasil mengangkat ikan gede lagi, tapi kami berhasil menangkap dua ikan nila, tiga patin, satu mas dan dua perunggu. Lah berasa atlet gua.
“Wah memang hokinya di kamu ya Dek,” kata si om ‘BDAAM’.
“Hehe yap.” yap…? YAP APAAN SIH???
Setelah hari itu, sampai gua masuk kelas 3 SD, paklek lumayan rutin mengajak gua memancing. Dan selama masa memancing itu, kami berhasil mengangkat 3 ekor ikan yang besarnya hampir sama dengan ikan raksasa tadi.
Sampai akhirnya, paklek Rian dan tante Shinta menikah, dan mereka pindah dari pekanbaru, gua udah mulai jarang banget buat pergi mancing lagi. Dan sekarang, memancing di laut adalah hal yang ada di dalam bucket list gua.
Ps: gua baru sadar saat selesai menulis chapter ini, nama oom ‘bapak dari anak ahli memancing’ itu om Ricky. Berhubung saya capek, jadi saya mager untuk nge-scroll ke atas, jadi gua ga ubah nama doi.
Atas pengertiannya, saya ucapkan peace, love and gawol.