POV Ayah Ahmad.
Jawaban tenang Shafwan membuatku semakin penasaran dengan pemuda ini. Dari keterangan Sonya dan hasil wawancara singkatku tadi, aku berkeyakinan bahwa pemuda ini adalah pemuda yang tepat. Good looking, berani bersikap, bertanggung jawab dan konon taat sama agama. Satu lagi, ia seorang guru. Guru, mungkin gajinya tak sebanyak pegawai BUMN, tapi dia akan berusaha menjaga integritas karena profesi kependidikannya. Kupikir itu sudah cukup layak untuk jadi imam anak gadisku.
“Mau melamar sekarang? Kamu yakin? Lalu orang tuamu?” tanyaku lagi. Mataku menelisik mencari tahu arah pembicaraannya. Aku berjalan mendekati Shafwan yang berdiri di samping ranjang Azkadina.
“Mereka insyaAllah setuju. Mungkin mereka dalam perjalanan kemari menjenguk Azkadina,” ujarnya.
“Oh ya? Bagus lah,” sahutku terkejut, ”Kalau gitu, sekalian akad nikah saja langsung. Gimana?” Aku menantang balik pemuda itu.
“Maksud Ayah?” Azkadina bertanya. Matanya membulat. Mata cantik itu, sudah lama aku tak melihat pesonanya beberapa tahun ini.
“Akad nikah secara agama saja dulu. Biar kalian sah secara agama. Nanti kalau sudah kembali ke Surabaya, kalian berdua mengurus surat-suratnya di KUA.” Aku menjawab dengan tenang. Kupikir tidak ada salahnya mempercepat pernikahan mereka. Tentu saja bila mereka sudah sama-sama yakin. Hubungan cinta yang belum halal hanya akan membawa dosa dan kemasiatan lebih besar.
“Ayah yakin?” tanya Sonya setengah gak percaya. Putriku yang pertama itu sekarang sudah sangat dewasa dalam menghadapi permasalahan hidup. Dulu, ia sama keras kepalanya dengan Azkadina.
“Sebentar, nikahnya sekarang? Di sini? Di rumah sakit ini?” Wajah Azkadina tak kalah bingung. Mulutnya melongo. Matanya saling melirik dengan Shafwan.
“Iya, Shafwan tinggal mencari mahar. Ayah carikan saksi pernikahan. Itu Zaka bisa. Dokter Yanto teman Ayah, juga bisa. Sonya yang syuting pake HP ya. Kalau perlu live streaming.”
“What? Ayah niat banget.” Seru Azkadina.
“Lho? Kamu gak niat ta Nduk? Atau kamu masih harus istikharah lagi? Kamu masih belum yakin dengan Shafwan?” Aku melesatkan pertanyaan retoris yang membuat bungsu-ku semakin melongo.
“Nduk, kamu bilang akan menerima Shafwan jika kembali. Dan Shafwan juga tadi bilang, akan menikahi Azkadina jika Azkadina memaafkannya. Tuh keduanya sudah mendapatkan kondisi yang layak untuk menikah bukan? Jadi kenapa harus ditunda?”
Tanpa ba-bi-bu aku melesatkan lagi panahku, kali ini langsung mengenai dua hati pemuda di depanku. Mereka butuh keyakinan lebih untuk melangkah.
“Wow! Kali ini, Ayah keren banget. Aku sepakat deh.” Ujar Sonya sambil mengacungkan kedua jempolnya.
“Ustaz Shafwan bagaimana?” Sonya berlanjut menatap Shafwan yang sedari tadi diam. Mungkin ia mencerna kalimatku.
“InsyaAllah, lebih cepat lebih baik. Saya bersedia.” Suara Shafwan mantap menjawab. Aku semakin yakin dengan pemuda ini. Dia tidak ada lagi keraguan di hatinya. Respons-nya juga tenang. Sepertinya aku tidak salah pilih menantu.
“Alhamdulillah. Azka? Kamu bagaimana? Mau menikah dengan Ustaz Shafwan?” tanyaku kepada Azkadina, memastikan keyakinannya.
Azkadina terdiam. Ia tampak memberi kode kepada Sonya untuk mendekat. Azkadina membisikkan sesuatu ke telinga Sonya.
Jantungku berdetak tak karuan. Kuatir, Azkadina menolak rencana dadakan ini. Apalagi menolak Shafwan. Bisa pecah perang lagi mereka. Tapi, apapun keputusan Azkadina, aku harus menghormatinya. Ia sudah dewasa.
Tak berapa lama, Sonya tertawa. Aku mengeryitkan dahi.
“Oalah yo… Mau bilang iya aja pakai malu-malu. Bisik-bisik segala.” Ujar Sonya.
“Dasar Azka! Biasanya juga blak-blakan.” Ibu menambahkan.
Azkadina menutup wajahnya yang kemerahan menahan malu. Sebagai Ayah, aku hanya geleng-geleng kepala melihat anak gadisku. Aku bersyukur, keyakinan Azkadina terhadap pilihan jodohnya sudah kuat.
“Baik, kita bergerak ya. Shafwan kamu persiapkan segala sesuatunya bersama orang tuamu.” Aku langsung mengomando semua anggota keluarga.
“Siap Om.” Ujar Shafwan.
Om? Next kamu panggil aku Ayah ya.
“Sonya dan Zaka, jangan pulang dulu ya sore ini. Besok pagi gimana? Bantu sebentar ya. Adikmu dipahesi dhisik ben gak pucet.”
“Siap Ayah.” Ujar Sonya dan Zaka serempak.
“Ayah mau menyampaikan rencana ini ke pihak rumah sakit. Ada dokter Yanto, teman Ayah di sini. Pasti bisa.”
“Ayah pede banget,” ujar Sonya.
“Iya lah. Toh selama tidak mengganggu pasien lain.”
Aku mengambil ponsel dan berusaha menghubungi seseorang yang kukenal baik, dokter Yanto. Ia sahabat sekaligus dokter yang merawatku selama ini.
“Oh ya Ayah lupa berpesan. Azkadina dan Shafwan, ada satu syarat yang terlewat,” telunjukku mengarah kepada mereka. Mataku mulai menatap kedua pasangan itu dengan tajam.
“Apa Ayah?” tanya Azkadina. Kedua alis matanya bertautan.
“Kalian tidak boleh berhubungan suami isteri dulu selama belum sah di KUA ya,” ujarku singkat.
Plasss…. Kedua wajah calon pengantin itu mendadak merah. Shafwan tersenyum dan menundukkan wajahnya dalam-dalam.
“Ayaaaaah….. apaan sih…? Vulgar banget!” Azkadina menutup kedua wajahnya dengan bantal. Sonya dan suaminya tertawa melihat kami.
***
Tak perlu menunggu banyak waktu, akad nikah itu pun siap dilaksanakan dalam hitungan jam. Sonya membelikan gamis putih dan kerudung dengan motif bunga kecil untuk dipakaikan Azkadina. Ia juga merias Azkadina dengan riasan sederhana. Setelah memakaikan pelembab, Sonya mengoleskan tipis-tipis BB Cream yang dibawanya setiap hari ke wajah Azkadina. Lalu memulasnya dengan bedak two way cake. Terakhir pulasan tipis lip tint warna soft pink di bibir Azkadina menambah aura segar wajah Azkadina.
Shafwan bergerak cepat menghubungi orang tuanya yang sedang dalam perjalanan menuju rumah sakit Mardi Waluyo Blitar. Sang Mama membeli banyak makanan kecil dan minuman untuk dinikmati dan dibagikan ke rumah sakit. Shafwan juga menyiapkan mahar berupa perhiasan kalung, anting serta cincin emas 5 gram yang dibelinya di toko emas dekat rumah sakit. Shafwan juga memesan rangkaian bunga melati untuk menghias kamar tempat akad nikah berlangsung.
Pukul 4 lebih tiga puluh menit, orang tua Shafwan sudah tiba di kamar Azkadina. Setelah bertanya kabar kepada Azkadina, Mama dan Papa Shafwan berkenalan dengan keluarga Azkadina. Suasana yang seharusnya kaku karena pertemuan perdana menjadi cair karena keluwesan Mama Sinta dalam bergaul.
“Saya senang sekali, Nak Shafwan dan keluarga melamar anak gadis saya. Azkadina ya seperti itu adanya. Baik buruknya Azkadina, tak lepas dari pengaruh kami, orang tuanya.” Sambut Ayah Ahmad kepada keluarga Shafwan.
“Azkadina gadis yang baik. Anak saya saja yang kemarin sempat keblinger hendak memilih yang lain. Alhamdulillah, hatinya sudah mantap menikah dengan Azkadina. Dan kami kaget sekali ketika lamaran ini digabungkan dengan akad nikah.” Ujar Ayah Shafwan.
“Beberapa malam ini, saya tahajud, memohon petunjuk untuk jodoh Azkadina. Kami bukan orang tua yang baik mungkin, tapi kami ingin yang terbaik untuk Azkadina. Sampai kemudian, Nak Shafwan datang. Kok bernyali sekali datang ke kandang macan. Hahaha…” jelas Ayah Ahmad berkelakar. Seisi ruangan tergelak mendengarnya. Tidak dengan Shafwan. Hatinya bergetar hebat. Tangannya dingin berkeringat.
“Saya pikir ini adalah jawaban dari doa-doa saya. Apalagi setelah saya interogasi selama sepuluh menit tadi. Nak Shafwan sangat tenang menjawab pertanyaan-pertanyaan saya. Visi misi pernikahannya juga disampaikan dalam satu kalimat yang lugas : membangun cinta sampai surga. Saya yakin, Nak Shafwan adalah imam yang tepat untuk Azkadina yang keras kepala seperti saya.” Lanjut Ayah Ahmad. Ia melirik putrinya yang mulai cemberut.
“Ide untuk menikahkan mereka secepat mungkin, adalah ide yang tepat. Walaupun mungkin harus di rumah sakit. Barangkali berkenan, nanti kita adakan resepsi di Surabaya.”
“Tentu saja kami berkenan. Konsep dan segala sesuatunya biar mereka yang langsung mengawal sesampai di Surabaya nanti.”
Mama Sinta dan Papa Abraham menganggukkan kepala.
“Mari kita mulai akad nikah. Tuh Shafwan sudah tegang dari tadi.” Ujar Ayah sambil menatap Shafwan yang menunduk sedari tadi.
Shafwan tersenyum meringis. Sesekali ia mengelap keringat dingin di dahinya. Begitu pula dengan Azkadina. Ada buncahan bahagia di hati dan pikirannya. Namun, ia merasakan ada sesuatu yang lain di hatinya. Sesuatu yang kurang nyaman bagi Azkadina. Ia menebak-nebak apa itu, tapi tak kunjung menemukan jawabannya. Azkadina berusaha mengabaikan firasat itu …