Dalam sekejap, kebersamaan Shafwan dengan Aida kembali terjalin. Keduanya kerap berkirim pesan singkat maupun stiker Whatsapp dan link lagu favorit di Youtube. Foto-foto masa lalu mereka berdua juga sering dikirim oleh Aida.
Shafwan juga sering mengantarkan Aida membeli kebutuhan pribadi dan menemaninya makan malam. Aida yang hidup sendiri di kota Surabaya, seakan mendapatkan tambatan hatinya kembali. Menemukan tempat bersandar yang telah ia tinggalkan dulu.
Tililit…tililit…
Notifikasi chat Shawfan berbunyi.
[Aida] Bisa bantu aku lihat rumah kontrakan?
[Shafwan] Buat siapa?
[Aida] Aku. Siapa lagi.
[Shafwan]Mau pindah tempat tinggal?
[Aida] Yup. Nanti sore bisa?
[Shafwan] Boleh
[Aida] See you handsome
Shafwan tersenyum membaca semua chat dari Aida. Rasa bahagia di masa lalu menyeruak dalam hatinya ketika bertemu dan berinteraksi dengan Aida.
Sore harinya ia menemani perempuan melankolis itu melihat rumah kontrakan yang ada di jalan Menganti. Aida kurang suka dengan rumah itu karena dinding rumahnya berjamur, banyak coretan yang belum dihapus juga halaman rumah yang belum tertata rapi.
“Kita cari rumah yang lain ya. Sepertinya yang di daerah jalan Karangan itu ada yang bagus.”
“Besok saja. Aku akan mengantarmu pulang. Aku ada kondangan menikah nanti malam.”
“Oh ya siapa?”
“Teman sesama guru.”
“Aku ikut boleh?”
Shafwan menggeleng.
“Kenapa? Apa kau malu bersamaku?”
“Bukan begitu.”
“Kalau begitu aku tunggu di mobil saja. Setelah kondangan kita cari rumah lagi.”
“Apa harus sekarang?”
“Iya harus sekarang. Keburu diambil orang. Shafwan, apa kamu tega membiarkanku tinggal di kos-kosan tiga kali empat meter persegi? Banyak nyamuk dan gerah. Aku ingin segera pindah. As soon as possible.”
“Baiklah. Tapi janji, nanti kau tetap di dalam mobil. Sepakat?”
Aida mengangguk.
***
Gedung Juang, terletak di jalan Mayjen Sungkono dipilih oleh Humaira untuk menyelenggarakan resepsi pernikahannya bersama Hanif. Gedung yang diresmikan oleh Presiden Soeharto ini disulap menjadi venue pernikahan yang serba putih. Dua penjor janur kuning melengkung menjadi tanda adanya pernikahan di gedung ini. Kemudian pintu masuk juga dihiasi bunga-bunga sintetis putih. Berjajar berhadapan di lantai bunga-bunga putih
Shafwan memasuki ruangan lantai dua itu sendiri. Dengan kemeja batik berwarna dasar hitam dan motif kecoklatan, Shafwan melangkah gagah dengan sepatu hitam mengkilap. Ia tidak mengikutkan Aida, Shafwan meninggalkan Aida di mobil sesuai kesepakatan. Langkah Shafwan beberapa kali terhenti karena antrian tamu yang mengular.
“Halo pak guru. Sendirian?” Tetiba, suara Azkadina menegurnya dari belakang.
“Eh, Azkadina… Kamu? Di sini?” Mata Shafwan berbinar memandang gadis cantik ber-pashmina merah marun dan batik hitam merah.
“Iya. Ternyata Ibuku adalah teman lama dari ibu Ustazah Humaira. Beliau mengundang Ibu dan Ibu mengajakku. Dan aku bertemu Pak guru sekarang. Mbulet kan?” Mata jenaka Azkadina menghiasi wajah cantiknya.
Shafwan menganggukkan kepala. Azkadina mengenalkan Ibunya kepada Shafwan. Shafwan menyapa dan menanyakan kabar Ibu Azkadina. Mereka berbasa basi sejenak. Ibu Azkadina tersenyum melirik Azkadina, dan memberi kode jempol kepadanya.
Sejenak wajah Shafwan tersirat senyum bahagia, tapi dalam hatinya ada perasaan tak menentu bertemu gadis bernama Azkadina ini. Aura wajah Shafwan tak secerah biasanya saat bertemu Azkadina. Ia tak mengenali apa yang bergemuruh di hatinya.
Mereka melanjutkan kembali antrian bersalaman dengan kedua mempelai.
“Pak guru, wajahnya kok agak murung gitu? Pasti karena sudah lama gak ketemu aku ya?” goda Azkadina dengan senyum tengilnya.
“Ge Er. Kamu sendiri, kenapa kok ceria banget malam ini?”
“Ya karena sainganku berkurang satu,” jawab Azkadina slengekan.
“What? Humaira sainganmu?”
“Iya dong. Hehehe…”
Shafwan menepuk jidatnya. Ia pun berbisik, “Humaira bukan sainganmu. Kami berteman saja.”
“Iya aku percaya.” Azkadina mengerlingkan matanya ke arah Shafwan. Pulasan make up Azkadina tampak sempurna dengan raut wajah manis senyum Azkadina.
Shafwan menikmati momen kerlingan cantik itu, namun fikirannya segera berubah kusut. Ia memikirkan perempuan di masa lalu yang tengah menunggunya di dalam mobil.
Tak berapa lama, mereka sampai juga naik ke panggung pelaminan. Keduanya mengucapkan doa selamat pernikahan kepada Humaira dan Hanif.
Humaira memeluk Azkadina seraya berbisik, “Semoga kamu dan Ustaz Shafwan yang berikutnya berjodoh ya.”
“Aamiin…aamiin ya Allah…” ujar Azkadina keras-keras. Shafwan memberikan isyarat kepada Azkadina untuk memperkecil suaranya, namun sudah terlambat. Suara melengking Azkadina terdengar keluarga pengantin dan kru studio foto.
Humaira memberikan potongan bunga melati kepada Shafwan dan memintanya memberikan bunga itu kepada Azkadina. Shafwan berlutut dan memberikan kepada Azkadina yang sedang memerah malu wajahnya. Ia menerima bunga itu sambil setengah melompat. Hampir saja Azkadina menginjak gaun pengantin Humaira kalau saja Shafwan tak menarik tangannya.
Mereka bertiga turun dari panggung dan menikmati hidangan yang disediakan. Shafwan bertemu dengan sesama rekan guru, salah satunya Huda, sahabatnya.
“Kalau memang sudah yakin, ndang disegerakan. Keburu dia diambil orang atau kamu yang berubah pikiran.” Ujar Huda.
Kalimat Huda mengubah raut wajahnya. Hatinya seakan teriris mendengar kalimat atau kamu yang berubah pikiran.
Dua hari ini, Shafwan menikmati hari-hari bahagia bersama Aida padahal dia sedang berproses taaruf bersama Azkadina.
Apakah aku telah berubah pikiran?
“Pak guru, kenapa murung lagi?” tanya Azkadina.
Shafwan tersenyum. Ia memandang Azkadina dengan perasaan campur aduk. Ia menyayangi gadis ini namun juga merasa bersalah. Azkadina mengajak Shafwan ke tempat duduk yang lebih sepi.
“Pak guru, bagaimana hasil istikharah-nya?” tanya Azkadina lagi.
“Azkadina maunya bagaimana?” tanya balik Shafwan. Ia melirik gadis berwajah oval di sampingnya itu.
“Itu bukan jawaban,” ujar Azkadina,”Pak guru masih ragu-ragu sepertinya ya?”
Shafwan menatap gadis itu lagi. Ia tak mampu menjawab setiap pertanyaannya. Azkadina masih menantikan jawaban muncul dari diri Shafwan.
“Aku mungkin tidak cukup baik untuk pak guru. Gak papa. Aku ikhlas jika pak guru tidak melanjutkan proses kita.”
“Tidak bukan itu. Azkadina gadis yang baik. Aku ragu dengan diriku sendiri.”
“Maksudnya?”
“Aku ragu-ragu, apa bisa membahagiakan Azkadina. Atau tidak.”
Ganti, Azkadina yang terdiam. Keheningan menyapa mereka. Di tengah keramaian hiruk pikuk tamu undangan yang menikmati hidangan dan musik pengantar pernikahan.
Mengalun indah Menjaga Hati-nya Yovie dan Nuno sedang dilagukan oleh pengisi acara. Keduanya menikmati lirik lagu yang relate dengan suasana saat itu.
Biarkan aku menjaga perasaan ini, oh
Menjaga segenap cinta yang telah kau beri
Engkau pergi, aku takkan pergi
Kau menjauh, aku takkan jauh
Sebenarnya diriku masih mengharapkanmu, oh, oh-oh
“Aku pamit dulu.” Shafwan meninggalkan Azkadina yang masih terpaku di tempat duduknya.
Azkadina memandang punggung Shafwan yang menjauh darinya. Ada dorongan dalam dirinya untuk mengikuti kepergian Shafwan. Perlahan ia berdiri dan meninggalkan kursi yang didudukinya. Netranya berfokus mengikuti langkah Shafwan. Beberapa kali Azkadina harus terhenti karena bertabrakan dengan petugas catering.
Kaki Azkadina sudah sampai ke luar gedung. Ia celingukan melihat ke kanan kiri, mencari keberadaan Shafwan. Namun ia tak melihat sosok tinggi besar itu.
Hampir saja Azkadina berteriak kegirangan ketika melihat mobil yang dikendarai Shafwan bergerak keluar dari tempat parkir.
Kegirangan itu berbalik terkejut, saat melihat bayangan perempuan dari balik kaca mobil Shafwan. Perempuan berkerudung dengan pipi chubby dan berkacamata.
“Itu siapa?” gumam Azkadina mematung.