Jatuh Cinta Padamu
Memesonanya kamu
Menyungging senyummu
Menghiasi raut wajahmu
Mendiamkan detak jantungku
Mataku jadi pencuri senyummu
Yang menghantam jantungku
Bingung tak menentu
Dengan kehadiranmu
Mungkinkah menerimaku
Kutakut kehilanganmu
Bila kau tahu perasaanku
Yang jatuh cinta padamu
Aku masih ingat tiap baris puisi Kahlil Gibran yang kubacakan saat menyatakan cinta kepada gadis itu. Gadis yang membuat malam-malamku tak jenak terpejam, hari-hariku tak jenak barang sekejap. Puisi ini benar-benar mewakili kegundahanku. Dalamnya perasaanku pada gadis paling cantik se-kampus.
Aida Rani namanya. Dia biasa dipanggil Rani.Tapi aku suka memanggilnya dengan Aida.
Kami berkenalan saat kami masih kuliah di kampus. Pertama kali melihat Aisyah di sebuah acara pengumpulan dana untuk bakti sosial antar fakultas. Aku perwakilan Fakultas Pendidikan Guru SD, sedangkan Aisyah dari Fakultas Bahasa dan Sastra. Aku terpesona kepada Aida saat dia menyenandungkan sebuah tembang berbahasa Jawa sebagai pengisi acara bakti sosial.
Tak banyak anak muda yang mau melestarikan budaya Jawa. Dan Aida adalah salah satu dari anak muda yang getol berkampanye pelestarian budaya Jawa. Setelah aku tanya, ternyata dia gadis asli Jawa Tengah, tepatnya Blora. Pantesan.
Akhirnya masa penantianku berakhir. Aida menerima cintaku, setelah dua bulan aku pedekate. Seperti pada umumnya, pasangan kekasih, kami jalan bareng. Nonton, makan siang, dan rutin berkunjung ke pantai Kenjeran. Kami senang menikmati deburan ombak dan semilir angin lalu membuat lirik lagu cinta atau sekadar menyanyikan sebuah lagu.
Masa-masa bersama Aida, penuh kenangan indah. Ibarat gembok dan kunci, kami sudah merasa cocok satu sama lain. Selera makan, musik favorit, bahkan genre buku bacaan kami pun sama. Buku fiksi horror. Kami juga cat lover. Kucingnya anggora, sedangkan kucingku ras Persia. Teman-teman menjuluki kami couple goal of the years.
Semilir angin berhembus lembut membuyarkan lamunanku. Aku dan Aida memilih tempat ini untuk bertukar cerita. Kami duduk bersisian di sebuah taman daerah Wiyung, Taman Mozaik Surabaya.
“Dulu kita begitu bahagia ya. Sempurna.” Ujar Aida. Kulitnya memerah sempurna saat tersenyum.
“Masa-masa itu sudah lewat. Kita sudah berada di jalur kita masing-masing.” Aku masih saja melipat kedua tanganku. Mataku tak lagi memandangnya.
“Tak bisakah kita mengenang lebih lama masa-masa indah itu?”
“Lembaran-lembaran indah itu sudah kau tutup dengan pernikahanmu. Sudah selesai.” Ujarku dingin. Aku tak mau terbawa suasana melankolisnya.
“Tapi ..” suara Aida tertahan,”aku ingin kembali kepadamu.”
Aku terdiam. Aku memandang sejenak wanita di sampingku. Suaranya terisak. Rasa lelakiku terbit. Rasa yang pernah ada dulu saat bersamanya.
“Apa yang membuatmu kembali?” tanyaku. Aku menatapnya tajam.
“Aku meninggalkan suamiku. Aku pergi dari rumah.”
“Sepertinya sudah menjadi hobimu ya. Meninggalkan laki-laki.”
“Shafwan..!” gertak Aida. Matanya semakin deras mengeluarkan butiran bening.
Aku semakin gusar. Di satu sisi, aku memiliki harga diri yang harus kupertahankan. Namun di sisi lain, aku mulai mengusir rasa cinta yang tiba-tiba hadir itu.
“Maafkan aku. Aku salah memilih pasangan. Suamiku berperangai kasar.”
“Itu pilihanmu bukan? Suami yang berpenghasilan besar.”
“Shafwan, lihat!”
Aisyah memperlihatkan bagian lengannya yang lebam juga bagian dahinya yang memar.
“Dia jahat kepadaku. Dia sering menyakitiku. Bahkan ketika aku melayaninya. “
“Sadomasokis?” tanyaku. Dahiku berkerut menatap bulatan mata sembab itu.
Aida mengangguk.
“Malang nian nasibku,” Aida terisak lagi,” Shafwan, apa kau tega melihatku begini? Dulu, kau panik sekali saat aku jatuh dari tangga kampus. Ingat?”
“Aida, andai saja aku tega, aku akan bilang itu bukan urusanku.” Aku berdiri. Mataku memandang jauh ke depan.
“Dulu kau meninggalkanku, mengkhianati janji kita untuk menikah setelah aku selesai kuliah profesi. Kau memilih menikah dengannya yang berpenghasilan jauh lebih besar dariku. Gaji seorang guru tak cukup untuk memenuhi rumah tangga yang kau impikan. Bukan begitu dulu kau pernah berucap?”
Aku berbalik badan, menghadap perempuan itu. Aku menatapnya tajam.
“Sekarang kau kembali, seakan semua yang kau tinggalkan dulu sudah tak berarti. Kau mengiba, meminta maaf seolah apa yang kau rasakan sekarang jauh lebih menyakitkan dari yang perbuat dulu?”
“Shafwan… maafkan aku..” Aida tertunduk. Ia menutup wajah dengan kedua tangannya.
“Aida… kau jahat. Kau tak perlu minta maaf,” hardikku.
Aisyah semakin deras tangisannya. Aku paling tak tega melihat perempuan menangis. Kuulurkan sapu tangan padanya.
“Aku akui aku depresi karenamu. Kau meninggalkan luka yang teramat lebar. Aku bahkan mengutuk diriku sendiri, kenapa aku bisa mencintaimu sedalam itu.”
“Shafwan…”
“Aku bodoh, mencintaimu sampai lupa segalanya. Saking bodohnya, sampai aku tak berani lagi jatuh cinta kepada perempuan.”
Suasana hening menyelimuti kami. Hanya deburan ombak yang mengacaukan bibir pantai.
“Dan sekarang kau kembali menawarkan cintamu yang dulu. Membuka lembaran baru yang telah kau bakar habis.” Suaraku menurun satu oktaf. Sudut mataku mulai membening. Aku tak mau terbawa perasaan ini.
Aku kembali duduk di sampingnya. Kami terdiam. Kami tenggelam dalam perasaan masing-masing. Isak tangisnya masih terdengar.
Semilir angin berhembus lembut. Beberapa burung kecil menyaksikan betapa kacaunya diriku. Perasaan yang bercampur aduk. Kecewa, marah, namun juga cinta yang teramat dalam itu kembali bersemi.
“Kau gadis impianku. Kau sempurna di mataku. Namun kau-lah yang menghancurkan mimpi-mimpiku, Aida… “ Susah payah aku membendung genangan air mata yang muncul di sudut mata.
Kami terdiam lagi dalam lamunan masing-masing. Aku berusaha menetralkan kembali emosi yang sempat memuncak tadi.
“Kata maaf, mungkin tidak bisa menghapus lukamu. Dan Allah sudah membalasnya kepadaku. Apa yang kurasakan bersama suamiku, adalah karma yang harus kujalani.” Lirih Aida berucap. Ia tak berani menatapku. Matanya masih tertunduk.
“Entahlah..”
“Ketika aku kembali ke kota ini, pertama dan satu-satunya yang kucari adalah dirimu. Aku kesulitan mencari tahu keberadaanmu. Nomor ponselmu sudah tidak bisa, akun medsosmu juga sudah tidak ada. Sampai akhirnya aku mengetahui dirimu mengajar di sekolah teladan mulia. Lalu aku bergegas menemuimu. “
“Ya. Sudah empat tahun aku mengajar di sekolah Teladan Mulia.”
“Kau suka mengajar di sana?” Aida mulai tersenyum lagi. Tangisnya sudah tak terdengar.
“Tentu saja.”
“Kau akan menjadi guru yang hebat di sana. Seperti impianmu dulu.”
“Terima kasih.” Aku tersenyum tipis.
“Kau tahu Shafwan?” Aida memanggilku,“Cinta sejati tak pernah berakhir. Semesta memisahkan kita, dan sekarang mempertemukan kembali.”
“Maksudnya?”
“Aku tidak akan melepasmu lagi. Aku akan mencintaimu dengan benar.” Aida menghapus sisa air matanya. Ia menatapku lembut.
Aku terpana mendengar kalimat Aida. Rasa yang sedari tadi kutepis, sekarang menguat. Bahkan mengkristal. Setelah berpisah dengan Aida bertahun-tahun dan sekarang kembali bersamanya adalah perasaan terbaik yang pernah ada.
Aku hanya tersenyum kepadanya. Aku tak menjawab. Pikiranku sibuk. Perasaanku lebih berisik. Gelora rasa ingin aku kembali kepada Aida, menyemai hari-hari indah seperti dulu. Namun aku juga menyayangi dan ingin menata masa depan bersama Azkadina.
Aida …
Azkadina …
Siapa yang kupilih?