Mentari telah tenggelam sempurna. Menyisakan langit malam dengan bintang yang berkilauan. Sabtu malam yang amat dinantikan Azkadina. Sejak siang, Azkadina heboh mencari outfit terbaik untuk menghadiri undangan makan malam keluarga Pramudya. Sonya membantu memilihkan baju sedangkan Queen, membantu memilihkan tas dan riasan.
Shafwan menawarkan diri menjemput Azkadina selepas maghrib. Namun, Azkadina menolak. Ia memilih berangkat diantarkan Queen, sahabatnya. Alasannya simpel. Setidaknya, bila bersama Queen, Azkadina bisa berlatih percakapan di dalam mobil. Kalau bersama Shafwan, tentunya hanya ada rasa kikuk dan tak bisa rileks.
Satpam keluarga Pramudya, membukakan pagar dan mobil yang ditumpangi Azkadina. Bak putri kerajaan, Azkadina turun dari mobil. Rok hitam bermotif bunga pink yang dikenakannya tak membuat Azkadina kesulitan keluar mobil. Ia sudah berlatih sejak sore tadi.
Di depan pintu rumah mewah, sudah berdiri dengan gagah, Shafwan dengan kaus abu-abu dan blazer hitamnya. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana hitam. Azkadina berhenti dan tersenyum pada Shafwan. Sejenak waktu berhenti berputar saat netra Shafwan melihat sosok cantik di depannya.
“Wow, tumben feminin banget. Pake rok lagi,” komen Shafwan. Senyumnya tipis di balik hatinya yang sedang bergemuruh.
Seperti biasa, Azkadina nyengir lalu berkata, “tapi cantik ‘kan?”.
Seakan tak mau kalah, Shafwan mendekatkan dirinya ke telinga Azkadina dan berbisik,“Tiada tanding.”
Cling! Seketika rona merah menghiasi pipi Azkadina. Belum selesai Azkadina menyembunyikan rasa malunya, Shafwan sudah berbalik dan berujar,”Ayo ketemu Mama dan Papaku.”
Pertemuan pertama Azkadina dan keluarga Pramudya berlangsung hangat. Rasa canggung dan kikuk Azkadina terbantu oleh keramahan Sinta Pramudya. Dokter spesialis kulit itu pandai membawakan suasana.
Papa Shafwan, Abraham Pramudya, menyambut Azkadina dengan datar. Tak banyak keramahan yang ditampilkan, namun senyum tipis tak lepas dari wajahnya. Lain lagi dengan adik Shafwan, Sherine usianya sebaya dengan Azkadina. Ia memang pendiam. Tak banyak bicara.
Azkadina banyak bercerita tentang pertemuannya dengan Shafwan. Bagaimana Shafwan berkunjung ke rumah kakaknya untuk observasi dan menangani masalah keponakannya. Kemudian insiden semangkuk mie panas juga diceritakan Azkadina. Undangan mengisi taujih di ulang tahun Farel yang membuat Azkadina takjub karena berhasil membuat anak-anak kecil itu larut dalam permainan. Bahkan perubahan sikap Farel dan orang tuanya dengan Shafwan sebagai perantaranya juga disampaikan dengan bersemangat. Sampai kemudian mereka dekat dan diskusi tentang banyak hal tentang Islam.
Beberapa cuplikan cerita sudah pernah didengar Sinta pada pertemuan sebelumnya, namun ia tak bosan mendengarnya lagi dari gadis manis yang sedang dekat dengan Shafwan itu. Ekspresi dan intonasi cerita yang disampaikan Azkadina menghipnotis semua anggota keluarga Pramudya. Bahkan Sherine yang pendiam itu akhirnya banyak bersuara.
“Jadi intinya Tante dan Om. Pak guru Shafwan, adalah guru yang hebat. Kalau saja ada pemilihan guru teladan, pasti saya akan pilih pak guru Shafwan.”
“Hush..Sudah-sudah. Emang kamu tuh pandai bercerita. Sekarang ceritakan tentang dirimu. Hayo..”
Azkadina terdiam. Ia tersenyum dan menenggak segelas air putih di depannya.
“Ya gantian dong. Sekarang Kak Shafwan yang ceritakan tentang Azkadina,” seru Sherine bersemangat.
Azkadina mengacungkan jempol. Ia merasa diselamatkan karena tak harus menceritakan dirinya. Tidak mungkin Azkadina menjelaskan hubungannya dengan Ayahnya yang sedang tak baik.
“Tuh. Coba ceritakan tentang Azkadina ke kami. Versi kamu, Shafwan. Nanti Azkadina yang menilai benar atau tidak.” Kali ini Sinta berada di pihak Azkadina. Shafwan merasa terpojok dan akhirnya menceritakan segala informasi tentang gadis di sebelahnya.
“Azkadina, dua bersaudara. Usia 23 tahun, sekarang sedang skripsi. Punya usaha bisnis baju distro dan amal usaha Rumah Belajar Ceria. Sudah kan?”
“Yeee… Kalau itu mah kita sudah tahu, Shafwan. Ada lagi?” Sahut Sinta dengan logat Sunda-nya.
Azkadina tersenyum penuh kemenangan. Sebaliknya Shafwan sedang berpikir keras, mencari banyak informasi tentang Azkadina.
“Easy going, tomboy, gaul, kritis, suka warna orens. Apa lagi ya?” sahut Shafwan,”Oh ya, ngeri lihat darah dan peralatan medis. Betul kan?”
Azkadina mengangguk dan berujar,”cuma segitu?” Matanya nakal melirik Shafwan.
“Skak Mat! Kamu kalah, Shafwan.” Kali ini, Abraham larut dalam permainan mereka.
Wajah Shafwan merah padam menahan malu. Kukira aku mengenalmu, ternyata tidak.
“Ya sudah, tandanya kalian harus banyak mengenal satu sama lain sebelum menginjak ke jenjang berikutnya. Apa bahasa yang pernah kamu bilang, Shafwan? Tafaruf?” Abraham menambahkan. Laki-laki tinggi berkulit putih dan berjambang tipis itu mengusap sisa makanan di bibirnya dengan tisu.
Shafwan dan Azkadina sejenak berpandangan lalu serentak berujar, “Taaruf.”
“Ciye kompak banget,” celetuk Sherine. Sinta tersenyum tipis dan menyudahi makan malamnya.
Makan malam dengan hidangan dan tamu istimewa itu berakhir pukul delapan malam. Sinta menanyakan apakah mereka akan pergi malam mingguan setelah ini. Mereka berdua kompak menjawab tidak. Setelah salat Isya, Shafwan memilih mengajak Azkadina menikmati halaman belakang yang dipenuhi bunga dan sepetak kolam ikan.
“Wah banyak bunga melati ya.”
“Tentu saja. Kami suka keharuman melati, dan mama menanamnya supaya kami bisa rileks menghirup baunya.”
“Pak guru suka melati?”
“Iya. Aku suka melati. Sama seperti namamu, bukan? Azkadina Jasmine Irawan.” Shafwan melirik gadis di sebelahnya.
“Rayuan gombal! Gak mempan ke aku.” Ujar Azkadina seraya memelototkan mata dan mengepalkan tangannya siap meninju Shafwan.
Shafwan tertawa melihat ekspresi tengil Azkadina. Mereka kemudian memilih duduk di kursi taman dekat kolam ikan. Azkadina duduk di kursi rotan panjang. Shafwan memilih duduk di kursi rotan pendek di samping Azkadina. Suara kecipak ikan koi yang sedang berenang berpadu dengan gelembung filter pompa air mewarnai keduanya.
“Azkadina…”
“Yep..” jawab Azkadina sekenanya.
“Jujur, aku malu tadi.”
“Malu kenapa? Harusnya aku yang malu.”
“Kamu bisa bercerita detil tentangku. Tapi aku tidak bisa detil bercerita tentangmu.”
“Terus?” Mata Azkadina mulai membulat melirik Shafwan.
“Betul kata Papa. Kita harus lebih saling mengenal.”
“Terus?”
“Aku ..” ujar Shafwan tertahan,”ingin mengenalmu lebih dalam.”
“Maksudnya?”
“Kita taaruf ya,” pinta Shafwan.
“Gimana itu maksudnya?”
“Kita bertemu untuk saling mengenal lebih jauh. Kamu bersama Mbak Sonya atau seseorang yang kamu anggap lebih dewasa. Aku akan mengajak guru mengajiku.”
“Lalu?”
“Kita akan saling terbuka bercerita tentang siapa kita.”
“Lalu selanjutnya?” Azkadina masih saja bertanya sesuatu yang sudah jelas.
“Kita sama-sama salat istikharah. Jika sama-sama sepakat, kita bisa melanjutkan dengan khitbah dan menikah.”
“Hah!? Secepat itu kah?”
Shafwan mengangguk. Dia tak kuat memandang gadis itu lama-lama. Dilemparnya pandangan matanya ke sekumpulan tanaman perdu berbunga putih di seberangnya.
“Ya jika sama-sama yakin lanjut, maka berlanjut. Jika salah satu tidak bersedia, entah karena alasan apapun, ya tidak bisa lanjut. Tidak perlu bertemu lagi.”
“Harus begitu?”
“Ya tidak harus sih. Tapi itu mungkin cara teraman untuk kita memperjelas status hubungan kita.”
“Maksudnya?”
“Serius dikit lah Azkadina,”gerutu Shafwan mulai kesal. Ia memegangi kepalanya yang mulai pening.
“Aku sudah serius dari tadi. Aku tidak tahu maksud pak guru.
Shafwan menarik nafas panjang lalu berkata,“Sesuatu terjadi di antara kita. Tanpa kita sadari, perasaan kasih sayang itu sudah terbit dan menguat. Terlepas dengan semua masa lalu kita bagaimana, segala hal terasa indah dan nyaman saat kita bersama. Benar bukan?”
Azkadina menunduk. Kali ini dia tak bisa lagi slengekan dan sok cuek. Kata-kata Shafwan seakan membuka semua tabir hatinya.
“Aku menghormatimu. Aku tidak mau mempermainkanmu dengan pacaran. Maka aku mengajakmu untuk taaruf, memperjelas status kita.”
“Apa aku layak?” gumam Azkadina. Suaranya mendadak serak tertahan.
“Pertanyaan yang sama untuk aku,” ujar Shafwan,”Maka tugas kita sekarang adalah memantaskan diri dan memohon kepada Allah, takdir terbaikNya.”
Kedua anak manusia itu tetunduk. Mereka tenggelam dalam pikiran masing-masing.
“Kamu bersedia?” tanya Shafwan kemudian.
“Bahkan jika Pak guru mengajakku menikah sekarang, aku mau.” Azkadina kembali menjawab sekenanya. Lalu meringis.
“Hush! Menikah bukan untuk di-buru-buru. Menikah untuk selamanya. Bukan sesaat. Maka setiap keputusan yang kita ambil harus melibatkan Allah.”
Azkadina mengangguk. Wajahnya tetap tertunduk. Ujung matanya mulai berair.
Tililit…tililit…
Suara ponsel Shafwan berbunyi. Ayah Abqory is calling.
“Dari Ayahnya Abqory. Aku angkat ya”
“Sekarang? Malam-malam begini wali murid menelfon? Biarin aja kenapa? Ganggu orang lagi romantis aja,” omel Azkadina.
“Hahaha.. Bisa aja kamu. Ini pasti mau bahas kejadian kemarin. Abqory memecahkan pot bunga sekolah saat bermain bola.”
“Kenapa gak besok aja sih?”
“Bentar aja kok. Kamu tunggu sini ya. Nanti aku antar pulang sama pak Manto.”
Azkadina mengangguk. Shafwan berdiri dan mencari spot supaya bisa menelfon lebih leluasa. Azkadina mulai menguap. Ia berusaha mengatasi rasa kantuknya dengan komat kamit berbicara dengan ikan koi di depannya.
Lima belas menit kemudian…
Shafwan selesai diskusi dengan Ayah Abqory dan kembali ke tempat duduk Azkadina. Betapa terkejut saat dia melihat Azkadina mlungker tertidur di kursi rotan dengan alas duduk empuk itu. Suara dengkuran halus Azkadina membuat Shafwan tersenyum geli.
Sejenak ia memandang wajah polos itu dengan penuh kasih sayang. Gadis yang telah membuat hatinya kebat-kebit tak beraturan itu. Gadis yang secara tipe, bukan tipe gadis impian Shafwan. Namun justru kehadirannya membuka hati Shafwan, melupakan masa lalu dan menata kembali mimpinya.
Shafwan tak tega membangunkan Azkadina. Ia mengambil sehelai selimut dan melingkarkan ke badan gadis itu.
Shafwan membanting badannya di kursi rotan sebelah Azkadina. Ia duduk dan berjaga di samping Azkadina. Namun akhirnya Shafwan terlelap.