“Maaf, jika aku harus mengajakmu bertemu seperti ini.” Mata gadis berambut lurus itu menunduk, sesekali matanya terpejam lama. Ia menghembuskan nafas perlahan, seolah bersiap mengeluarkan bara api yang terpendam.
“It’s ok. Apa yang ingin kau sampaikan padaku, Renata?” Mata Shafwan juga tak kalah gelisah. Namun rasa penasaran yang sekarang mendominasi pikirannya.
“Aku tahu. Orang tua kita ingin menjodohkan kita. Dengan beragam cara yang mereka lakukan.” Renata berhenti sejenak. Ia meneguk cairan hangat berwarna coklat kental di hadapannya.
“Aku juga tahu. Kita berdua tidak berkenan dengan perjodohan ini. Aku…masih mencintai Reynold, cowok yang aku putuskan dua bulan lalu. Aku ingin kembali kepada Reynold. Hubungan kami terlalu indah jika harus putus begitu saja.”
Shafwan terkejut dengan keterusterangan gadis manis di depannya ini. Dia masih meraba ke mana arah pembicaraan ini bermuara. Diteguknya air mineral dingin di tangannya. Sesekali pula ia mengetukkkan jari di atas meja.
“Lagipula tentu saja, aku bukan gadis tipe-mu bukan? Aku tidak berhijab. Setidaknya belum untuk saat ini,” Renata menatap Shafwan dengan tersenyum. Gigi kelincinya berbaris rapi menambah kesan imut di wajahnya.
Pernyataan Renata bagaikan anak panah yang langsung mengenai jantung Shafwan. Renata benar-benar gadis yang lugas dalam berbicara.
“Masya Allah. Kau gadis pemberani, Renata. Jujur, sebenarnya aku juga ingin menyampaikan hal ini. Tapi aku urungkan. Aku kuatir akan membuatmu sedih.”
“Hahaha…. Aku tidak selemah itu, Shafwan. See? Aku yang memulai dulu membicarakan ini.”
“Jujur, aku sedikit lega. Sebelum ini, aku dalam posisi serba salah. Kamu gadis yang baik. Berhak mendapatkan yang terbaik. Memutuskan ataupun melanjutkan perjodohan ini hanya akan membuatmu terluka.”
“Maksudnya?” Kedua alis tebal Renata bertautan.
“Jika memutuskan perjodohan, aku kuatir kau kecewa, sedih karena aku menolakmu. Namun jika aku melanjutkan perjodohan ini, aku kuatir tidak bisa membahagiakanmu sebagai seorang istri. Dalam benakku masih ada orang lain.”
“Hahaha aku sudah menduganya. Seorang laki-laki usia 30 belum menikah, kalau gak dia penyuka sesama jenis ya gagal move on.”
“Hush. Naudzubillahamindzalik. Aku masih normal, Renata.” Mata Shafwan mendelik mendengar lelucon Renata.
“Hehehe maaf. Just kidding.”
“Kita dalam posisi yang hampir sama. Belum bisa sepenuhnya move on dengan seseorang. Aku tidak bisa menolak keinginan Mama. Namun di sisi lain, aku juga belum menemukan gadis yang tepat untuk kujadikan istri.”
“Baiklah. Kalau begitu, kita punya tugas masing-masing untuk menyampaikan ke orang tua kita. Gimana?”
“Aku sepakat. Kita harus menyampaikan kepada mereka bahwa Shafwan dan Renata cukup berteman saja. Tidak berlanjut ke jenjang lebih tinggi. Deal?”
“Deal! Shafwan, aku jadi penasaran, dengan kisah masa lalumu. Seperti apakah gadis yang sudah membuat pak guru Shafwan seperti ini.”
“Itu bukan urusanmu.”
“Sialan kau. Hahaha….”
“Semoga kita segera dipertemukan jodoh terbaik masing-masing.”
*****
Sonya dan suaminya berangkat ke tanah suci untuk melaksanakan ibadah umroh. Ia menyerahkan urusan pengasuhan Farel kepada Azkadina. Selama kurang lebih 15 hari, Azkadina tinggal di rumah besar Sonya bersama asisten rumah tangga, Mbak Sumaryam. Ibu Sonya dan Azkadina juga sementara tinggal di rumah Sonya. Menemani Azkadina dan cucunya.
Untuk antar jemput Farel ke sekolah juga Azkadina yang melakukannya. Sebelum berangkat ke kampus, ia harus mengantarkan Farel ke sekolahnya. Begitu pula dengan penjemputan, Azkadina meluangkan waktu sejenak untuk menjemput Farel di tengah kesibukannya.
Jarum jam sudah menunjukkan pukul empat sore. Motor Azkadina sudah berhenti di halaman parkir sekolah. Ia bergegas mempercepat langkahnya menuju ruang kelas Farel. Sesampai kelas, Azkadina celingukan. Sosok gembul berambut keriting itu tidak tampak batang hidungnya. Hanya ada Shafwan di kelas sedang mengetik sesuatu.
“Ustaz, saya mau jemput Farel. Di mana dia?”
“Farel? Tadi dia main di halaman. Apa tidak ada?”
“Kalau ada saya gak bakal tanya ke Ustaz,” sergah Azkadina.
Shafwan melangkahkan kaki menuju halaman belakang. Ia tidak menjumpai Farel bahkan tasnya juga tidak ada. Shafwan bertanya kepada siswa kelas 5 yang bermain bola. Mereka juga tidak melihat Farel.
“Gawat! Kalau sampai Farel hilang gimana! Mampus aku!”
“Mari kita cari di halaman dan gedung depan. Siapa tahu ia bermain di sana.”
Mata elang Shafwan menelisik satu persatu siswa yang masih belum dijemput di halaman depan. Tak dijumpainya sosok Farel. Shafwan juga bersuara melalui intercom sekolah, mencari Farel.
“Masa’ Farel hilang? Sekolah harus bertanggung jawab jika ada siswanya hilang.”
“Mbak jangan bicara sembarangan. Farel tidak hilang. Kita akan mencarinya. Mbak Azka kenapa baru jemput? Ini sudah jam empat sore. Sudah lewat dua jam dari jam penjemputan.” Suara Shafwan terbawa emosi mendengar serangan dari perempuan di depannya. Mata elangnya ganti menatap Azkadina.
“Saya tadi masih di kampus. Kita mau cari di mana?”
“Ayo ikut saya! Kita cari bersama!” Ajak Shafwan.
Azkadina mengikuti langkah Shafwan. Perasaannya kacau. Ia sudah membayangkan hal-hal buruk terkait Farel. Keringat dingin sudah membasahi rambut dan bajunya. Kedua tangannya gemetaran. Melihat gadis di depannya sedang cemas, Shafwan menurunkan tekanan tatapan dan suaranya.
“Kita berdoa, semoga Farel ada di sekitar sini.”
Azkadina mengangguk. Sejenak kecemasannya menurun mendengar kalimat dari Shafwan.
Tetiba, sosok gembul berambut keriting tampak dari kejauhan sedang makan bakso di warung sebelah sekolah.
“Farel! Kamu di sini?”
“Tante Azka… Ustaz…”
“Kamu ke mana saja?! Tante hampir mati mencarimu di sekolah,” berang Azkadina. Nafasnya masih tersengal dan matanya memerah melotot ke arah Farel.
“Aku lapar. Tante lama sekali jemput Farel. Aku diajak Faiq makan bakso.”
“Lho? Ada Faiq juga ya,” seru Shafwan.
Farel mengangguk. Faiq tersenyum kepada Shafwan.
“Ayo, kita pulang!” ajak Azkadina dengan wajah memerah.
“Tante Azkadina, tenang. Biar Farel dan Faiq menyelesaikan makannya.” Shafwan menatap lembut gadis berhidung mancung di depannya itu.
Emosi Azkadina luruh seketika. Ia tak lagi marah. Lima menit kemudian, Farel dan Faiq sudah selesai menyelesaikan makan bakso. Shafwan mengajak keduanya kembali ke sekolah.
Dengan bijak, Shafwan menasihati Farel dan Faiq untuk meminta izin bila hendak ke luar sekolah. Mereka juga diminta untuk menunggu dengan tenang di halaman sekolah. Farel dan Faiq mengangguk. Farel dan Faiq juga meminta maaf kepada Shafwan dan Azkadina karena sudah membuat mereka khawatir.
“Mbak Azkadina, besok lagi, jika terlambat menjemput Farel, bisa menyampaikan ke saya ya. Biar saya bisa mengondisikan Farel untuk bersabar menunggu. Sesampai rumah, Farel jangan dimarahi. Kasihan dia sedang jauh dari orang tuanya. ”
Tanpa pikir panjang, Azkadina mengangguk. Matanya berbinar; menatap pemuda tegap di depannya itu dengan takjub. Senyuman manis yang terselip di bibir Azkadina membuat pemuda itu pun menundukkan pandangannya.
Semilir angin sore berhembus. Namun kali ini tidak hanya menyentuh kulit tapi juga jiwa. Entahlah, setiap melihat Shafwan, hati Azkadina menjadi sejuk.