Menjelang ashar, Sekolah Islam Teladan Mulia ramai oleh para penjemput siswa. Sebagian besar penjemput memakai kendaraan roda empat, baik itu penjemput dari orang tua ataupun mobil antar jemput sekolah. Sebagian kecil memakai kendaraan roda dua yang didominasi ojek online.
Shafwan hendak menutup majelis belajarnya bersama dua puluh lima kelas 2C. Tiga belas siswa putra dan dua belas siswa putri duduk melingkar di lantai dengan tas dan perlengkapan masing-masing. Shafwan duduk di antara siswa putra dan siswa putri. Di hadapan Shafwan ada setumpuk buku penghubung yang sudah diisi dan siap dibagikan.
Pak Guru Shafwan, memulai doa dengan aba-aba. Lalu ia mengangkat kedua tangannya setinggi dada; bersiap berdoa. Semua siswa mengikuti posisi seperti yang dicontohkan Shafwan. Doa-pun dimulai dengan tertib. Satu dua siswa tampak saling menggoda dengan menyenggol lengan temannya. Shafwan menegur mereka setelah doa selesai ditunaikan. Siswa yang belum tertib diminta mengulangi doanya.
Selesai berdoa dan evaluasi kelas, satu per satu siswa meninggalkan kelas. Tak lupa mereka salim dan menyampaikan salam kepada pak guru Shafwan. Kemudian Shafwan menyampaikan satu kalimat pendek yang berbeda untuk masing-masing siswa.
“Toss dulu. Besok semangat lagi, ya!”
“Keren, hari ini Karina hebat, tidak menangis. Besok hebat lagi ya.”
“Toss, besok ngajinya lebih semangat ya.”
Beberapa orang tua yang sudah menunggu di depan kelas, melihat pemandangan unik itu dengan tersenyum. Melihat anak-anak mereka dekat dengan guru mereka. Tak terkecuali dengan Mama Farel dan adiknya. Istimewa hari ini karena mereka sendiri yang menjemput Farel. Biasanya Farel dijemput sopir.
Mata Azkadina fokus melihat pemuda yang bergelar Sarjana Pendidikan itu. Sesekali bulu matanya yang asli lentik sejak lahir bergerak-gerak melihat performance Shafwan di kelas. Tangannya bersedekap di dada.
Baru kali ini, aku lihat guru laki-laki sabar seperti Ustaz Shafwan. Selain sabar, dia juga akrab dengan siswa. Kreatif juga kelasnya. Gak ada aura jahat sama sekali. Apalagi wajahnya juga good looking banget. Cerahan gitu. Kira-kira sudah punya pacar belum ya?
Pikiran Azkadina semakin liar membayangkan Shafwan. Tak sadar ia tertawa sendiri.
“Hush, ketawa sendiri. Stress kamu?” tegur Sonya, mama Farel.
Azkadina memonyongkan bibirnya.
Setelah siswa sudah banyak yang pulang dan dijemput orang tuanya, Sonya berjalan memasuki kelas. Ia akan menemui Shafwan, untuk menyampaikan sesuatu. Shafwan menyambut Mama Farel di kelasnya, mempersilakan duduk di kursi yang disiapkan.
“Ustaz langsung saja nggih. Minggu besok ulang tahun Farel. Sebenarnya kami mau merayakan dengan ulang tahun di hotel dengan costplay Avengers kesukaannya. Namun kata Farel, lebih baik uangnya dipakai berbagi dengan anak-anak panti asuhan. Kata Ustaz Shafwan, dengan berbagi, Allah akan beri rizki lebih banya.” Sonya menjelaskan dengan hati-hati.
“Oh, inggih Bunda.”
“Saya sebagai orang tua, rasanya nyesss banget di hati. Adem mendengar jawaban Farel.”
“Alhamdulillah,” ucap Shafwan lirih. Matanya mulai membening mendengar penuturan Sonya, Mama Farel.
“Akhirnya kami mengubah konsep ulang tahun Farel. Kami mau mengadakan khataman bersama di rumah dengan mengundang anak-anak panti asuhan dekat rumah,” harap Sonya,“Oleh karena itu Ustaz, kami mau minta bantuan kepada Ustaz untuk memberikan tausiyah untuk anak-anak yang kami undang.”
“Saya? Tausiyah?”
“Iya. Ya nasihat apa gitu untuk anak-anak. Misalnya tentang salat atau tentang berbakti kepada orang tua. Monggo terserah Ustaz.”
“Oh begitu nggih. Ngapunten Bunda, apa tidak lebih baik mengundang yang lebih expert Bunda? Saya belum berpengalaman.” Shafwan merendah.
“Ini permintaan Farel. Kata Farel, ustaz Shafwan kalau bercerita itu lucu.”
Shafwan tertawa kecil mendengarnya.
“Saya hadir jam berapa ke sana?”
“Acaranya jam sembilan sampai jam sebelas siang. Ustaz bisa?”
“Insya Allah. Inggih Bunda. InsyaAllah saya minggu besok kosong. Tidak ada agenda.”
“Alhamdulillah. Terima kasih Ustaz. Farel pasti senang.“
“Setelah menyampaikan maksud dan tujuannya, Sonya, berpamitan. Ia pulang dengan Farel dan Azkadina. Farel melambaikan tangan kepada Shafwan lalu Shafwan membalasnya. Azkadina ikut-ikutan melambaikan tangan sembari tersenyum. Wajah Shafwan kikuk, ia salah tingkah.
***
“Minggu besok, ajak Renata jalan-jalan ya Shafwan.” Permintaan mama mengejutkan Shafwan. Hampir saja ia tersedak.
“Lagi? Kan sudah kemarin?”
“Iya sih. Tapi masa’ ya bertiga gitu sama adikmu. Kapan kalian bisa saling kenal dekat.”
“Kemarin kita sudah kenal kok,” celetuk Shafwan. Ia memotong lauk ayam goreng di piringnya lalu menyantapnya.
“Ya dekatnya kan belum, Shafwan. Mama ingin kamu bisa mengenal Renata lebih dekat. Makanya jalan-jalan lagi berdua besok Minggu.”
“Maaf, Ma. Minggu besok, Shafwan sudah ada agenda.” Shafwan menatap lembut Mamanya. Adik Shafwan, Namira, mengamati ekspresi kedua orang yang dikasihinya.
“Dengan siswamu?”
Shafwan mengangguk.
“Kamu selalu memikirkan masa depan muridmu. Tapi kapan kamu memikirkan masa depanmu?” tanya Mama dengan nada ketus.
Shafwan terdiam. Ia meletakkan sendok dan garpunya. Ia berhenti sejenak.
“Ma, besok itu, aku diundang untuk memberikan tausiyah di ulang tahun siswa. Aku sudah terlanjut meng-iya-kan. Acaranya sampai dhuhur.”
“Siangnya gimana? Makan siang berdua gitu gimana?”
“Makan siang di rumah aja gimana? Ngobrol di rumah saja. Di taman misalnya.” Usul Shafwan. Kali ini ia menyudahi sarapannya dengan segelas susu.
“Kenapa sih kamu gak mau nge-date berdua sama perempuan? Kamu masih trauma dengan gadis bernama Aida itu kah? Terus kapan kamu menikah, Shafwan?” Cecar Mama Shafwan. Debar jantungnya mulai cepat dan sering. Sudut matanya membening. Keringat dingin mulai bermunculan. Mama Shafwan meletakkan sendok garpu sekenanya.
Shafwan menghampiri kursi tempat Mamanya duduk. Ia memegang kedua tangan Mamanya seraya berlutut. Lalu Shafwan menyandarkan kepala ke pangkuan Mama Sinta.
“Maafkan jika aku membuat Mama sedih. Shafwan sekarang lebih berhati-hati dengan perempuan. Shafwan tidak mau salah mengambil keputusan lagi. Selain itu, berduaan dengan perempuan yang bukan mahramnya dilarang Allah. Mama nggak ingin ‘kan Shafwan melanggar perintah Allah?” Dengan hati-hati Shafwan menyampaikan maksud hatinya. Ia menatap lembut perempuan yang paling dikasihinya itu. Senyum Shafwan melelehkan hati Sinta, mamanya.
“Kamu anak pertama Mama. Mama kuatir dengan masa depanmu, Shafwan. Mama ingin kamu menikah.” Sinta membelai lembut punggung anak lelakinya.
“InsyaAllah Shafwan akan menikah, Ma. Bagaimanapun Shafwan umat Nabi Muhammad, sunnahnya menikah. Tapi dengan siapa dan kapan, Shafwan belum bisa memberikan banyak kepastian.”
“Renata anak baik, Shafwan. Ia cantik juga. Apakah ia tipe istri ideal untukmu?”
“Shafwan belum tahu, Ma. Shafwan baru mengenalnya. Kriteria jodoh Shafwan cuma satu, ia bisa menjadi madrasatul ula untuk anak-anak Shafwan. Menjadi madrasatul ula artinya ya akhlaknya baik, paham agama dan tentu saja menutup aurat.”
“Cuma satu, tapi sulit banget. Mau dapat di mana gadis seperti itu?”
“Insya Allah ada. Hanya belum dipertemukan Allah dengan Shafwan saja.”
“Kamu ajak ngobrol Renata ya. Kalau ada kecocokan, kalian bisa lanjut. Kalaupun tidak, Mama tidak memaksa. Barangkali kamu ada pilihan lain.” Terakhir, Sinta mengecup lembut kepala putra kesayangannya itu.
“Insya Allah, Ma. Doakan Shafwan terus ya, Ma.”
Kepala Shafwan kembali pening. Bukan sekali dua kali ia memikirkan menikah. Namun, masa lalu masih menghantui isi kepalanya. Ia seakan tak punya nyali untuk menikah.