Perseteruan antara Farel dan Faiq memasuki tahapan yang meresahkan. Setelah sebelumnya, Shafwan berhasil menenangkan emosi ibu Farel, maka sekarang gantian Ibu Faiq yang berang. Pasalnya Farel kedapatan menendang Faiq hingga kakinya memar.
Ibu Faiq meradang melihat putranya kesakitan. Ia berencana melabrak ibu Farel ketika bertemu di sekolah. Namun Shafwan berhasil menenangkan emosi Ibu Faiq.
Apa jadinya jika para orang tua ikutan bertengkar…
Faiq dibawa ke rumah sakit terdekat oleh petugas kesehatan Unit Kesehatan Sekolah. Semua biaya pengobatan Faiq ditanggung asuransi sekolah.
Farel dan Faiq ibarat partner in crime. Mereka selalu bermain bersama, berbagi makanan bersama, namun beberapa kali keduanya terlibat perselisihan. Salah satu pasti menangis bahkan tantrum. Shafwan jadi gemas dengan ulah mereka.
Dalam sepekan ke depan, Shafwan berbagi tugas dengan Humaira untuk melakukan konseling terjadwal pada Farel dan Faiq. Shafwan juga melakukan kunjungan rumah atau home visit untuk memberikan arahan kepada kedua orang tua Farel dan Faiq.
“Farel begini karena Faiq. Saya tahu benar, Farel anak baik. Dia tidak akan memukul temannya sebelum dipukul. Jadi saya tidak mau disalahkan,” tukas Sonya tanpa ba-bi-bu.
“Iya Bunda. Mohon tidak menyimpulkan pihak siapa yang salah dan benar. Kedua ananda tidak salah, karena sedang dalam proses belajar. Mereka belajar berkomunikasi dengan sesama teman. Mereka juga sedang belajar mengendalikan diri mereka. Jadi wajar jika terjadi konflik.”
“Jadi wajar ya jika terjadi bulliying di sekolah? Gimana sih Ustaz.” Sonya kembali gusar dengan pernyataan guru si Farel itu.
“Itu kesimpulan Bunda, bukan saya.” Tegas Farel meluruskan. Ia membetulkan letak kacamatanya.
“Bunda, baik Farel dan Faiq perlu bantuan kita, untuk lebih baik. Khusus ananda Farel, saya membutuhkan bantuan dari Mama dan Papanya. Boleh saya tahu, Papa Farel ke mana?”
“Eh, Papa Farel sedang ke luar kota,” jawab Sonya singkat.
“Oh baik. Jadi begini … “ Shafwan mengeluarkan buku catatannya.
“Dari pengamatan kami, ada beberapa hal yang membuat Farel kerap kali beradu fisik. Yang pertama adanya sansak di rumah sebagai alat bantu memukul. Sebenarnya tidak ada masalah dengan sansak-nya. Namun ananda memaknai bahwa memukul itu biasa bahkan ketika diarahkan kepada teman. Dari pengakuan ananda, Farel pernah memukul temannya saat kelas satu di sekolah lama.”
Sonya tak berkutik mendengar penjelasan Shafwan. Ia ingin membela diri tapi bingung mulai dari mana.
“Maka dari itu, mohon untuk sansak, disimpan dulu. Ananda tidak diizinkan memukul sansak dulu sampai pemahamannya tentang memukul bisa lebih baik.”
“Tapi itu kami gunakan untuk becanda saja Taz. Bukan mengajari Farel memukul.” Sony mencoba berkilah. Wajahnya mulai memucat.
“Tentu saja. Tapi persepsi yang diterima si anak akan berbeda. Maka dari itu perlu diluruskan dengan cara berkisah. Nah ini masuk arahan kedua. Saya bawakan dua buku. Monggo bisa disempatkan, untuk berkisah. Terutama Papa Farel. Ananda mengaku jika sering rindu dengan Papanya. Ingin cerita banyak tapi Papa sering tidak di rumah.”
Sonya menarik nafas panjang. Ia terdiam sejenak.
“Lalu tontonan MMA. Farel sering melihat itu bersama papanya. Sekali lagi, mungkin itu hiburan, namun persepsi yang diterima si anak berbeda dengan yang kita pahami. Dan itu stimulus kuat untuk beradu fisik.”
“Tapi…” potong Sonya.
“Mohon bisa dihentikan. Dan diganti tayangan sesuai usianya. Begitu pula dengan permainan game online. Bisa selektif lagi. Tidak yang berbau kekerasan.” Tegas Shafwan dengan tatapan tajam.
“Sebentar Ustaz,” kilah Sonya,”Jika semua kami yang harus lakukan, apa dong yang dilakukan oleh sekolah? Atau jangan-jangan hanya Farel saja yang dievaluasi, orang tua Faiq bagaimana?”
“Bunda…tentu saja kami juga melakukan evaluasi. Kami juga melakukan intervensi baik yang sifatnya individu maupun klasikal. Untuk Faiq juga kami observasi personal. Orang tua ananda juga kami beri arahan. Semuanya cara kami upayakan.”
“Nanti jika terjadi lagi bagaimana? Berapa persen keberhasilannya?”
“Saya pribadi tidak bisa menjamin untuk tidak terulang. Namun setidaknya kita sudah melakukan tindakan preventif. Kalaupun terulang lagi, semoga tidak, resiko akan lebih kecil dan tentu saja akan ada evaluasi lagi.”
Sonya terdiam. Begitu pula dengan Shafwan. Keheningan menyelimuti mereka.
“Terus terang, saya sering was-was jika Farel berada di sekolah. Saya kuatir terjadi sesuatu yang buruk kepada Farel. Saya paling tidak bisa melihat Farel sakit apalagi terluka. Ustaz tahu kan jika Farel itu kami dapatkan dengan segala daya upaya setelah sepuluh tahun menikah.”
“Inggih Bunda. Saya belum menikah, apalagi memiliki anak. Namun saya berusaha memahami apa yang Bunda alami. Bahkan mungkin tidak bisa.”
Shafwan membetulkan tempat duduknya.
“Setidaknya izinkan saya menyampaikan satu ayat, semoga Bunda tidak keberatan.”
“Tentu saja tidak Ustaz.”
“Dalam Surat Al Munafiqun ayat 9 disampaikan bahwa : Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi.”
“Maksudnya Ustaz?” Alis mata Sonya bertautan. Ia tak bisa memahami maksud yang disampikan Shafwan.
”Harapannya dengan hadirnya anak, kita tidak lalai mengingat Allah. Tetap balance. Tidak berat sebelah dalam melakukan sesuatu terhadap anak. Bahkan di surat At Taghabun ayat 15 Allah menyebutkan bahwa anak adalah ujian.”
“Tapi Ustaz tidak di posisi kami, makanya bisa bilang begitu.”
“Inggih Bunda. Leres. Mungkin jika saya di posisi Bunda juga akan berpikiran hal yang sama. Namun bukankah kita bisa sama-sama belajar dan saling mengingatkan.” Shafwan menjelaskan dengan berhati-hati.
Seorang kyai berceramah tentang kematian, bukan berarti sang kyai pernah mengalami kematian dulu baru bisa ceramah,” lanjutnya.
Butiran bening, terbit di sudut mata Sonya. Hatinya menghangat mendengar penuturan ustaz muda guru dari anaknya itu. Disekanya mata berair itu dengan tisu lalu meminum seteguk air di depannya.
Shafwan hanya bisa menunduk melihat ekspresi wanita di depannya. Sejenak lalu ia meledak dengan emosinya, namun sekarang ia tersedu. Sungguh, wanita itu unik.
Seutas senyum tipis dan sepasang mata membulat memandang laki-laki muda yang telah membuka hati Sonya. Sepasang mata yang melihat dari balik lantai dua rumah besar milik Zakaria Abimanyu.
Terbersit rasa kagum di hati gadis itu. Dengan penuturan tegas dan namun tetap santun, pemuda bernama Shafwan itu berhasil melembutkan kekerasan hati kakaknya yang seperti batu.
“Ustaz Shafwaaan…..” teriak Farel dari atas lantai dua ketika melihat keberadaan gurunya.
Shafwan mendongakkan kepala menuju sumber suara. Kedua mata Shafwan melihat keberadaan Farel lalu ia menatap gadis di sebelah Farel yang tak lain adalah Azkadina, tantenya. Mata kecil Shafwan membulat maksimal. Sekian detik tatapan mereka bersirobok. Bertabrakan serasa gempa bumi melanda kedua hati itu.
“Ustaaaaz….. ayo main sama aku.” Teriakan Farel membuyarkan tatapan itu. Azkadina tersadar dan ia mundur beberapa langkah dan setengah berlari menuju ruang santai. Ia menjatuhkan badannya ke sofa coklat muda. Badannya serasa ringan. Dan tetiba bunga-bunga bermekaran di hatinya.