“Jadi, menurut ustaz Shafwan, Farel anak nakal.” Mata tajam Sonya menyeruak di antara tatapannya ke Shafwan dan Humaira.
“Maaf Bunda, saya tidak pernah mengatakan begitu. Yang saya sampaikan tadi adalah hasil observasi kami.,”sanggah Shafwan halus.
“Ya kan tadi ustad bilang bahwa Farel juga punya potensi fisik untuk memukul. Begitu kan? Itu kan artinya Farel yang nakal.”
“Ngapunten. Saya sampaikan sekali lagi nggih supaya tidak salah paham.” Shafwan menarik nafas panjang, mencoba meluruskan situasi. “
“Dari hasil observasi kemarin, didapatkan beberapa data. Pertama Farel dan Faiq bermain gulat seperti yang mereka tonton di acara Mixed Martial Art. Mereka melakukan itu di halaman belakang. Pada saat kejadian, banyak yang melihat dan membenarkan.” Shafwan membetulkan letak kacamatanya. Sonya masih mendengarkan dengan seksama lelaki muda di depannya. Sedangkan Humaira, mencatat segala sesuatu yang menjadi obyek perhatiannya.
“Kemudian menurut penuturan mereka, Farel kalah lalu mendorong Faiq sampai jatuh. Kemudian Faiq membalasnya dengan menepuk punggungnya.”
“Tuh kan benar. Farel dipukul.”
“Bukan dipukul. Tapi ditepuk.”
“Sama saja Tadz. Lagian mengapa selama istirahat Ustaz tidak mengawasi anak saya? Kan kapan hari Farel juga di-bully sama Faiq. Kenapa sampai terulang lagi?” sesal Sonya masih dengan nafas memburu. Kali ini ia mengubah posisi duduknya. Kepalanya ditegakkan di hadapan guru anaknya.
“Sebenarnya, setelah kejadian pertengkaran Farel dan Faiq kapan hari, saya sudah menyampaikan kepada semua siswa untuk tidak bermain gulat-gulatan lagi. Saya sampaikan juga bahaya dan resiko permainan itu.”
“Saya sempat mengawasi selama beberapa hari permainan yang dilakukan anak-anak. Tapi kemarin Farel dan Faiq janjian main gulat di halaman belakang. Siswa kelas 2 yang melihat, diancam untuk tidak melaporkan ke saya. Katanya nanti dipukul Farel. Data ini kemarin diperoleh Ustazah Humaira saat observasi dan wawancara kepada siswa di kelas 2.”
“Jadi Farel yang salah? Faiq yang benar? Baru kali ini saya temukan korban malah jadi pesakitan,” cibir Sonya. Darahnya mulai mendidih.
“Mohon tidak menyimpulkan begitu. Kami datang kemari bukan untuk menghakimi siapa yang salah dan siapa yang benar. Kami ingin berdiskusi lebih lanjut tentang Farel.”
Tak lama kemudian, tampak batang hidung Farel menyembul dari tirai biru menghampiri Shafwan.”
“Ustaz. Assalamualaikum,” sapa Farel memperlihatkan sebaris giginya yang putih.
“Wa alaikum salam. Halo Mas Farel. Bagaimana kabarnya?” balas Shafwan ramah.
“Baik,” balas Farel,” Ustaz ayo ke kamarku. Aku mau Ustaz lihat kamarku.”
“Wah Mas Farel punya kamar sendiri? Hebat ya sudah mandiri.”
“Ayo Taz.”
Kedua tangan Farel menggeret tangan kiri Shafwan.
“Sebentar, izin Mama dulu. Boleh apa tidak..” ujar Shafwan sambil melihat ekspresi Sonya.
“Boleh Ustaz. Silakan.” Di balik senyum Sonya, tampak bola mata Sonya bergerak ke atas dan ke bawah.
“Ustazah Humaira mungkin bisa menjelaskan kepada Bunda terkait hasil tes grafis Mas Farel.”
“Baik Ustaz.” Humaira membuka map biru plastik yang berisi hasil catatan observasi dan tes grafis Farel. Ia mendekatkan badan ke arah Sonya, hendak menjelaskan isinya.
Sementara itu, Shafwan berdiri dan mengikuti ajakan Farel. Mereka berdua menuju ruang keluarga yang ada di balik tirai biru. Mata elang Shafwan menyapu seluruh penjuru ruangan. Pandangannya tertuju pada sebuah benda yang tergantung di dekat pintu halaman samping.
“Wah, Mas Farel punya sansak. Buat apa ini?”
“Ya buat mukul-mukul Us.”
“Oh ya. Kenapa kok dipukul?” tanya Shafwan penasaran.
“Ya kalau aku suka marah, aku pukul-pukul sansak.”
“Hm begitu ya. Selain sansak, apa lagi yang biasa dipukul?”
“Guling Us. Bantal juga.”
“Oh ya. Kalau sama teman?” Shafwan semakin penasaran dan kepo. Ia membungkukkan badannya. Menyamakan posisi badan dengan si kecil Farel.
“Ya pernah Us. Dulu pas kelas satu.”
“Oh, kelas satu di sekolah sebelumnya ya.”
“Iya Us.”
“Kenapa memukul teman?” Mata Shafwan menyisir halus ekspresi wajah Farel.
“Ya nggak tahu. Pokoknya aku suka memukul aja,” jawab Farel polos. Shafwan terdiam sejenak dan seakan menemukan akar permasalahannya.
“Menurut Ustaz, sebaiknya yang dipukul sansak saja ya. Bukan teman. Kasian kan kalau temannya kesakitan.”
Farel mengangguk.
“Eh mana kamarmu?” tanya Shafwan kemudian.
“Di atas Us. Ayo naik.”
Mereka berdua menaiki tangga menuju kamar Farel. Lagi, mata elang Shafwan menyapu pandangan sekelilingnya. Ada tiga kamar tidur, satu dapur serta satu ruang makan. Ada pula perpustakaan mini di sudut ruangan.
Tidak ada sesuatu yang perlu ditanyakan.
Ketika Shafwan hendak melangkahkan kaki menuju kamar Farel, seorang gadis berambut ombre bergelombang berjalan dengan cepat dengan membawa semangkuk mie panas. Matanya yang fokus melihat mangkuk di tangan, membuat mata sang gadis tak awas melihat arah depan.
Brukkk….. Pyarr…….
Gadis itu menabrak Shafwan. Badannya tersungkur di atas lantai. Semangkuk mie panas tumpah mengenai tangan dan baju Shafwan.
“Haa ...”
“Astaghfirullah…” pekik Shafwan tertahan menyadari bajunya terkena kuah mie panas.
Wajah gadis itu pucat. Ia mulai panik melihat ekspresi pria di depannya mendesis kepanasan.
“Maaf. Waduh. Maaf….”pekik sang gadis,”Saya tidak sengaja.”
“Tante Azka … kasian ustazku kepanasan,” ujar si kecil Farel, mendekati Shafwan.
“Iya aduh bagaimana ini. Sebentar aku ambilkan kain lap dulu,” sahut Azkadina. Ia berlari mengambil kain lap dari dapur. Dengan tergopoh ia membersihkan sisa-sisa mie di lengan baju Shafwan dengan kikuk.
“Maafkan saya. Sekali lagi maaf. Saya ceroboh.”
“Tak apa. Sini lap nya. Saya bersihkan sendiri saja,” ucap Shafwan. Ia menerima lap itu dan membersihkan bajunya.
“Kamu pasti kepanasan. Aduh bagaimana ini. Mbak Sonya pasti marah sama aku.”
Azkadina memegang kepalanya kebingungan. Shafwan tersenyum melihat ekspresi gadis di depannya.
“Azka…ada apa ini?” tetiba Sonya sudah berada di lantai dua.
“Mbak…aku…” Wajah pucat Azkadina menyiratkan sesuatu yang sudah dipahami Sonya.
“Please deh …Maaf ya Ustaz. Ini adik saya. “
“Inggih Bunda.”
“Ustaz saya pinjami baju ya. Baju Ustaz kotor begitu,”tawar Sonya melihat baju Shafwan kotor.
“Sampun Bunda mboten menopo.” Shafwan berusaha menolak tawaran itu.
“Jangan Taz. Pasti Ustaz tidak nyaman itu,”kilah Sonya,”Azka, bukankah kamu punya stok kaus couple jualanmu. Boleh kamu pinjamkan?”
“Eh kaus distro itu? Yang putih dan ada gambar sarangheyo itu?”
“Ya yang itu. Daripada Ustaz pakai bajunya Papa Farel. Malah gak sopan itu.”
“Eh iya deh. Sebentar.”
Tak lama kemudian Azkadina membawa bungkusan plastik berisi kaus cotton combed 30s warna putih lengan pendek dengan gambar jemari tangan yang membentuk iconic sarangheyo. Ia memberikan kaus itu kepada Shafwan. Agak ragu-ragu, Shafwan menerima kaus pemberian Azkadina. Namun melihat dirinya yang kacau balau, apa boleh buat.
Begitu keluar dari kamar mandi, penampilan Shafwan berubah. Awalnya ia rapi mengenakan kemeja lengan panjang warna coklat, sekarang ia memakai kaus sarangheyo milik Azkadina.
Sejenak Azkadina takjub melihat perubahan penampilan itu. Kaus putih itu begitu hidup tatkala dipakai Shafwan yang berkulit putih. Ia melompat kegirangan tanpa mengucapkan sepatah kata. Farel dan Sonya berpandangan melihat sikap Azkadina.
Ternyata kaus Saragheyo-ku sudah menemukan jodohnya. Cakep banget dipakai Ustaz Shafwan.
“Maaf, apa ada yang salah?” tanya Shafwan kikuk.
“Tidak ada yang salah. Ustaz kelihatan lebih muda memakai kaus itu.” Ujar Sonya tersenyum.
“Cakep lagi.”
Shafwan tersenyum mendengar ekspresi spontan dari gadis di depannya. Senyum lesung pipit Shafwan yang menawan berpadu mata sedang berkacamata, sempat membuat hati Azkadina ambyar. Senyum yang tepat sasaran mengenai pusat hatinya. Senyum yang membuat Azkadina melayang sesaat. Lalu ia tersadar ketika sebuah tepukan ringan mengenai tangannya.
“Tante, sadar. Jangan senyum-senyum sendiri,” ujar Farel meringis.