“Ma, aku tadi dipukul temanku di sekolah.” Si kecil Farel menyampaikan sesuatu yang membuat Sonya menghentikan aktivitas scrolling beranda Instagram-nya.
“Lagi? Sama siapa?” Sonya mengubah posisi duduknya. Ia menatap wajah anaknya. Dahinya berkerut, kedua alisnya hampir bertautan.
“Faiq,” jawab Farel polos.
“Kok bisa?” Kedua alis Sonya bertautan.
“Ya gitu.” Jawab Farel singkat.
“Ustadzmu gimana?”
“Gak tahu.”
“Kok bisa? Kamu gak bilang Ustaz-mu?”
Farel menggeleng
“Ini sudah yang ketiga kalinya kamu dipukul,” gerutu Sonya,”Mana yang sakit?”
Farel menunjuk punggungnya. Sonya membuka baju Farel. Dan meneliti punggung putranya. Wajahnya semakin memerah.
“Keterlaluan!”
Sonya mendatangi sang suami yang sedang mengetik di depan laptop.
“Pa, coba lihat. Keterlaluan ini!”
“Ada apa Ma?” jawab laki-laki yang bernama Zaka itu. Ia membalikkan badan menuju sumber suara istrinya.
“Kasihan anakmu jadi korban bulliying temannya. Udah berkali-kali dipukul sama temannya si Faiq. Lihat tuh lebam semua punggungnya. Ustaz-nya kok gak cerita sama sekali ya tadi pas ketemu. Keterlaluan ini Pa. Mau jadi apa dia kalau terus-terusan jadi sansak tinju temannya. Aku gak terima kayak gini.” Tukas Sonya panjang lebar.
“Trus, mau pindah sekolah lagi?” laki-laki yang dipanggil Papa Zaka itu mendelik ke arah istrinya.
“Ya gak lah. Coba Papa cek sendiri. Punggungnya membiru. Itu pasti pakai benda keras saat memukul. Dari mana si Faiq itu dapat benda keras coba?”
Zaka memeriksa punggung putra kesayangannya. Ia melihat ada dua bulatan kecil tak beraturan berdiameter sekitar 5 milimeter dengan warna biru muda di punggung sebelah kanan. Selain itu tidak ada luka-luka yang mengkhawatirkan.
Sonya mencari kotak obat di kamar sebelah. Tangannya gemetar membayangkan rasa sakit yang diderita anaknya.
“Kamu main sama siapa saja tadi?” tanya Papa Zaka.
“Ya banyak. Sama Faiq sama Rian, sama Edo.”
“Main apa sama mereka?”
“Ya banyak Pa. Main bola juga.”
“Bertengkar sama mereka?”
Farel menggeleng. Tak lama kemudian, Sonya mendekat membawa sekotak obat-obatan.
“Mana yang lebam-lebam tadi? Sini Mama obatin. Keterlaluan si Faiq itu. Mama mau nelfon Ustadzmu. Siapa namanya? Ustadz Shafwan? Mama mau Faiq dihukum skorsing!”
Farel diam.
“Mama yang tenang. Cari dulu akar permasalahannya.” Anjur Zaka.
“Gimana bisa tenang Pa. Anak kita satu-satunya, lebam-lebam dipukuli temannya. Ibu mana yang bisa menerima perlakuan buruk pada anaknya,” sanggah Sonya. Matanya kembali melotot.
“Ma, sabar ya. Ingat, Farel sudah pindah sekolah. Jangan sampai terulang lagi peristiwa di sekolah sebelumnya.”
“Sabar…sabar…enak Papa tinggal ngomong. Lihat tuh pasti sakit badannya si Farel.”
“Lebamnya gak yang parah kok. Tuh anaknya sudah lompat-lompat. Gak pa-pa kan.”
Sonya melengos mendengar jawaban enteng suaminya. Segera ia mengambil ponsel di meja dan menghubungi seseorang yang dianggap bertanggung jawab. Ustadz Shafwan.
Zaka hanya menggelengkan kepala melihat sikap istrinya. Ia bergegas menutup laptop dan mengambil kunci mobil. Fortuner hitam itu segera melesat menuju suatu tempat.
***
Shafwan namanya. Pria tiga puluh tahun itu sudah menjadi guru sejak usia dua puluh lima. Ia menyelesaikan Pendidikan Guru Sekolah Dasar di sebuah kampus negeri selama 4 tahun kemudian berlanjut Pendidikan Profesi Guru selama 2 tahun. Kecintaannya kepada dunia anak-anak menjadikannya memilih menjadi guru SD.
Baginya, profesi guru adalah profesi paling efektif dalam mengubah peradaban negerinya. Mereka yang sekarang masih kecil kelak akan menjadi generasi penerus dan Shafwan ingin memberikan bekal terbaik. Bekal keimanan dan keterampilan belajar.
Orang tua Shafwan, menghendaki putranya bekerja menjadi dokter, mengingat kecerdasan Shafwan sudah tampak sejak masih kecil. Selain itu, Ayah Shafwan juga seorang dokter spesialis kulit di sebuah rumah sakit daerah. Namun, Shafwan memilih jalur lain, profesi guru sesuai idealismenya.
Pengaduan ibu Farel semalam, membuat hati Shafwan tidak tenang. Ia terus memikirkan kalimat tajam yang dilontarkan Ibu Farel melalui voice call aplikasi berlogo bulat hijau itu.
Sebagai guru, seharusnya Ustaz tahu apa saja yang terjadi di kelas. Ini sudah yang ketiga kalinya, Farel menjadi sasaran bulliying. Ustaz tahu tidak, bagaimana perasaan saya sebagai orang tua yang sudah hampir sepuluh tahun menanti kelahiran bayi sampai akhirnya Farel lahir dengan bantuan bayi tabung. Dan sekarang, anak saya dipukuli sampai lebam-lebam.
Shafwan merasa, hari itu di kelas tidak ada pertikaian berarti. Paling hanya rebutan pensil lalu selesai dengan meminta maaf. Itu pun terjadi pada siswa lain. Bukan pada Farel.
Kemarinnya juga tidak ada laporan dari siswa lain jika ada pertengkaran. Lalu dimana dan kapan peristiwa pemukulan itu terjadi. Shafwan benar-benar tidak habis pikir.
Untuk menemukan titik terang, Shafwan melakukan banyak hal terkait kasus bulliying di kelasnya. Yang pertama ia lakukan adalah melakukan dialog dengan Farel, Faiq dan Zaki serta Rian dan Edo. Kelima anak ini termasuk siswa dengan modalitas belajar kinestetik. Tidak mudah untuk duduk diam dan aktif belajar dengan bergerak. Kelima anak ini juga sering bermain bersama-sama. Shafwan mengajak dialog mereka berlima secara terpisah. Menggali apa saja yang mereka lakukan selama sehari kemarin.
Untuk melengkapi data, Shafwan juga dibantu observasi siswa oleh guru Bimbingan Konseling, Ustazah Humaira. Ustazah Humaira mencatat temuan-temuan selama observasi dan mencoba melakukan survey terkait pertemanan kepada dua puluh siswa di kelas dua.
Data dari Shafwan dan Ustazah Humaira dikomparasikan dan didiskusikan. Hasil yang didapatkan cukup mencengangkan. Jauh berbeda dengan yang disampaikan oleh Mama Farel.
“Ustaz, sebaiknya Ustaz Shafwan melakukan home visit. Menyampaikan temuan-temuan yang kita dapatkan hari ini kepada orang tu Farel. Sekaligus kita akan mengamati bagaimana kondisi rumah Farel.”
“Ya Ustazah benar. Rencana saya akan ke rumah Farel besok sore. Ustazah apa ikut juga? Barangkali bisa membantu observasi kondisi rumah Farel.”
“Saya? Ikut?” Mendadak kedua pipi Humaira seperti memakai blush on. Cepat-cepat ia mengembalikan ke posisi normal.
Tidak lucu jika Shafwan mengetahuinya. Batin Humaira.
“Iya. Ikut ya. Bantu saya meng-observasi kondisi rumahnya. Memperkecil subyektivitas.”
“Rumahnya di mana?”
“Daerah Gayungsari.”
“Wah jauh ya. Naik apa kita?”
“Motor aja lah. Biar cepat.”
“Apa motor? Boncengan?” Mata bulat Humaira semakin membulat cantik sempurna. Hati Shafwan yang melihatnya sempat berdesir halus. Lalu cepat-cepat ia mengalihkan pandangannya.
“Tentu tidak Ustazah. Kita naik motor masing-masing. Gimana? Sepertinya keberatan ya?”
“Ah tidak. Baik. Saya bersedia.” Ucap Humaira mantap. Ganti, hati Humaira yang kebat kebit.
Andai saja itu jawaban dari sebuah lamaran. Humaira menepis pikiran liarnya.
Shafwan tersenyum. Lesung pipit di pipi Shafwan menambah pesona indah wajahnya.
“Terima kasih. Nanti saya hubungi lagi. Apa saja yang kita siapkan. Permisi.” Ucap Shafwan lalu meninggalkan ruang guru menuju kelasnya.