Blok 16-Aini
Semesta Aini
Langit senja seperti sehelai kain yang luntur warnanya. Awan keunguan bagai gerumbul kapas yang keluar dari bungkusnya. Senja di minggu pertama bulan mulia.
Ruang makan Istana Villa semarak. Penyebab pertama tentu karena kedatangan nyonya villa alias Irene. Nyokap gue itu ambil cuti panjang. Dia nggak bakal terbang selama puasa dan Lebaran. Manusia-manusia kecil pemicu keramaian di Istana Villa siapa lagi kalo bukan keponakan gue. Hari ini, keluarga gue berkumpul lengkap. Kedua kakak gue datang membawa empat anaknya. Yups, masing-masing dari mereka punya empat anak! Mereka melanggar prinsip KB yaitu dua anak cukup. Buat mereka, empat anak baru cukup.
Delapan keponakan gue jarak usianya nggak terlalu jauh. Paling tua udah kelas dua SD, paling kecil sekitar dua tahun. Kebayang, ‘kan, gimana ramainya Istana Villa kalo kami sekeluarga lagi ngumpul?
Jangan tanya gue nama keponakan gue satu per satu. Gue nggak ada waktu buat mengingatnya. Biar gampang, gue sebut mereka Nomor Satu sampai Nomor Delapan. Paling memusingkan adalah saat hari ulang tahun mereka. Dalam sebulan, ada dua-tiga keponakan gue yang ultah. Harus keluar duit banyak gue buat kasih kado.
Tapi, petang ini agak beda. Gue yang biasanya cuek sama keponakan, mulai dekat sama mereka. Gue ajak main Nomor Satu sampai Nomor Delapan bergantian. Nggak ada teriakan marah setelah Nomor Lima ngobrak-abrik kamar gue. Untung semua barang penting udah gue amankan. Bentar lagi rumah gue udah kayak kena serangan taifun. Tadi gue sempet curcol ke anak Magenta. Apa kalo gue punya anak gue masih bisa produktif nulis? Mereka yakinin gue kalo itu bukan masalah.
Tapi pertanyaannya, apa di masa depan gue bakal punya anak? Sedangkan satu-satunya lelaki yang pengen gue ajak hidup bersama punya kondisi istimewa. Tidakkah beban kami akan bertambah kalau ada buah hati hadir di antara kami? Aini, Aini, mikirnya kejauhan.
Sikap baik gue ke para keponakan diawasi sama Irene. Dari kejauhan, gue bisa liat senyum manisnya. Dia senang dengan perubahan positif dalam diri gue.
“Pasti ini karena laki-laki tampan yang kamu rawat di paviliun itu,” tebak Irene tepat sasaran.
Selama acara buka puasa bersama, Yuke gue ungsikan ke paviliun Istana Villa. Alasannya sederhana: demi melindungi dia. Gue nggak mau dia jadi bulan-bulanan kakak dan keponakan gue. Udah terlalu banyak dia menderita.
“Kenapa sembunyiin Yuke, Sayang?” Irene merendahkan suaranya saat kami mulai menyantap hidangan penutup berupa es krim coklat.
Susah payah gue menelan es krim. “Buat melindungi dia, Ma. Aku nggak mau dia dihina lagi. Udah cukup Papa aja yang hina dia.”
Perkataan gue menuai tatapan tajam Irene ke arah Rasdi. Si kepala keluarga tak gentar ditatap begitu oleh istrinya. Perhatian kami teralih oleh ulah si Nomor Enam dan Nomor Delapan. Mereka dengan sengaja menumpahkan es krim ke lantai. Alhasil keramik mahal yang melapisi lantai ruang makan lengket sekali.
Biasanya gue misuh-misuh. Kali ini gue diem. Irene makin heran bercampur senang mengamati kedewasaan gue.
“Putri Mama udah dewasa,” ucapnya bangga di antara kekacauan kecil itu.
Cepat-cepat gue abisin es krim. Entah kenapa, gue takut ninggalin Yuke sendirian terlalu lama. Setelah gelas es krim bersih tak bersisa, gue lari ke paviliun.
**
Istana Villa terbagi dalam empat bangunan. Rumah utama khusus ditempati gue sekeluarga. Waktu kakak-kakak gue belum nikah, rumah utama selalu hiruk-pikuk. Sekarang hanya gue, Irene, dan Rasdi yang menempatinya. Bangunan kedua disewakan untuk wisatawan. Fasilitasnya lengkap mulai dari spa, karaoke, room service, laundry, hingga sarana olahraga. Bangunan ketiga berbentuk pondok-pondok kecil yang memanjang. Itu hunian untuk pegawai Istana Villa. Dan bangunan terakhir adalah paviliun. Boleh dibilang, paviliun itu rumah cadangan. Tempat pelarian kalau villa lagi ramai-ramainya. Puluhan cabang Istana Villa punya konsep pembagian bangunan kayak gitu. So, kami sekeluarga masih punya tempat di villa kami sendiri walau villa lagi disewa orang lain.
Yuke ada di paviliun. Gue suruh salah satu karyawan villa buat jaga dia. Pikiran gue gelisah. Gue percepat langkah. Tampak kilauan lampu di teras paviliun.
“Yuke, Yuke,” panggil gue.
Hening. Paviliun dibekap sunyi. Gue cari Yuke di semua ruangan. Nggak ada. Pegawai gue pun raib. Apa telah terjadi sesuatu?
Satu-satunya ruangan yang belum gue cek adalah kamar mandi. Gue tarik handel pintu, menyiapkan hati atas segala kemungkinan. Pintu mengayun terbuka, dan ....
“Astaghfirullah al-azhim!” pekik gue histeris.
Yuke jatuh di kamar mandi. Punggungnya membentur pinggiran bathtub. Bagian belakang kaus polo putihnya ternoda darah. Gue takut, takut banget tulangnya patah atau retak.
Mendengar kehadiran gue, Yuke merentangkan lengan. Tubuhnya lunglai di pelukan gue. Kayaknya dia susah berdiri. Air mata gue luruh. Shit, gue jadi gampang rapuh sejak kenal Yuke.
“Mana yang sakit, Yuke? Bilang sama Aini ... k-kita ke rumah sakit, ya.” Patah-patah gue berkata.
Mungkin Yuke sangat kesakitan sampai dia tak bisa bicara. Susah payah gue papah dia keluar kamar mandi. Gue mensyukuri tubuh jangkung nan atletis milik gue. Tinggi Yuke seratus tujuh puluh tiga senti, dan tinggi gue seratus tujuh puluh dua senti. Masih kuat gue buat bawa dia.
Teriakan gue ternyata didengar Irene dan karyawan villa. Mereka berhambur ke serambi paviliun. Langsung aja tuh karyawan villa gue omelin. Sebel banget karena dia nggak becus jagain Yuke.
“Maaf, Non Aini. Tadi saya makan dulu ... lapar abisnya,” cicit si pegawai ketakutan.
“’Kan makannya bisa di paviliun! Liat, Yuke jatuh di kamar mandi!” protes gue kesal.
Irene menengahi. Dia kasihan liat Yuke yang pucat pasi dan karyawannya yang bertampang ketakutan. Masih menggerutu sebal, gue memacu mobil ke rumah sakit.
Nggak henti-hentinya gue menahan air mata sepanjang perjalanan. Kepala Yuke tersandar di bahu gue. Dari bibirnya terdengar rintihan berulang. Ya, Allah, gue pengen nangis. Good job, Yuke. Dia udah bikin sisi perempuan gue bangkit sepenuhnya.
Kami tiba di rumah sakit tepat saat azan Isya mengudara. Syukurlah dokter siaga penuh di UGD. Ternyata nggak semua nakes ikut salat Tarawih. Yuke segera mendapat penanganan.
Sambil menunggu Yuke diobati, iseng gue buka grup. Ada kabar terbaru dari Gabriella.
Gabriella Jagunab Aryaprabawa:
Gengs, kalo gue ngilang bentar, artinya gue lagi temenin Gabriel operasi. Doain, ya, biar operasinya berhasil.
Senyum tipis memulas wajah gue. Hati gue melantunkan doa tulus untuk itu. Gabriella sayang banget sama Gabriel. Gue bukan satu-satunya Magenta yang antusias dengar kabar bahagia ini. Erika, Marina, dan Benita nggak kalah hepi.
Malam ini, rumah sakit tak terlalu ramai. Kedua kalinya gue bawa Yuke ke rumah sakit. Miris hati gue. Kenapa mutiara hati gue itu sering berurusan sama rumah sakit?
Di sudut, gue liat dua orang yang familiar. Loh, itu ‘kan si Miss Fake. Cewek di sebelahnya mungkin adiknya. Gue melengos. Enggan berurusan dengan mantan temen baik Marina. Ekor mata gue nangkep tangan kiri Rahmania yang melengkung karena patah tulang. Bulu kuduk gue meremang. Apa di dalam sana Yuke juga mengalami hal yang sama?
Ketakutan gue salah. Kata dokter yang keluar nemuin gue seperempat jam kemudian, kondisinya nggak separah itu. Yuke hanya syok dan terluka. Mungkin gue terlalu panik sampai langsung bawa dia ke UGD alih-alih obatin lukanya di rumah.
Senyum itu, ah senyum yang begitu ikhlas dilemparkan Yuke buat gue. Hitam pandangan matanya, tapi ia tahu kedatangan gue dari bunyi langkah sepatu. Gue peluk dia. Gue ciumi rambutnya yang wangi. Rambut pendek Yuke menguarkan wangi yang gue suka.
Lengan Yuke melingkari pinggang gue. Sambil mempererat pelukan, dia nyanyi.
Kau teduhkan jiwaku
Kau menghapus lelahku
Saat diri ku terjatuh
Dalam jenuh hati
Ku tak lagi sendiri
Kau telah lengkapi aku
Tiada lagi yang kuinginkan
Hanya kau kekasihku
Cintamu seindah pagi
Menerangi gelisah hati ini
Cintamu telah menangkan
Ruang hatiku semuanya untukmu (Mikha Tambayong-Seindah Pagi).
Trenyuh batin gue. Sekali lagi gue kecup ubun-ubunnya. Yuke permata hati gue, harta gue yang paling berharga. Nggak ada satu pun yang bisa pisahin gue dari dia. Gue cinta setengah mati sama cowok tampan ini.
“Kita pulang, yuk,” ajak gue perlahan.
Yuke menurut. Kami berjalan menuju loket administrasi. Dalam perjalanan, kami melewati unit pulmonologi. Gue liat ada Tante Yvonne dan suaminya, Dokter Kamal. Dokter Kamal satu dari segelintir dokter spesialis paru yang berjuang selama setahun lebih untuk memerangi virus keparat. Kabarnya, Dokter Kamal ditunjuk BNPB untuk jadi ketua tim pengembangan terapi plasma konvalesen untuk pasien Covid-19. Selain karena kepakaran dan kecerdasannya, penunjukan Dokter Kamal juga karena pengalaman dengan anaknya sendiri. Anak tunggalnya yang hingga kini belum juga bangun dari tidur panjang.
Gue rada bingung. Mau nyapa apa enggak, ya? Gue nggak kenal-kenal amat sama mereka. Yuke yang lebih kenal. Dulu, dia adik jadi-jadiannya Zakaria. Ragu, gue sentuh bahu Yuke dan berbisik.
“Yuke, itu ada Tante Yvonne sama Dokter Kamal.”
Tatapan itu masih kosong. Mungkin aja dia nggak ingat. Hmmm, depresi memang telah merenggut banyak hal.
Kami hampir melewati mereka begitu saja. Namun, ujaran Dokter Kamal menyurutkan langkah.
“Tak ada gunanya lagi, Yvonne. Kita hanya akan membuatnya kesakitan.”
Tante Yvonne tersedu. “Aku tak mau kehilangan anakku, Kamal.”
“Anak kita. Dan tak ada orang tua yang mau anaknya meninggal sebelum mereka sendiri berpulang.” Dokter Kamal memotong dengan nada frustrasi.
Sunyi. Gue menarik lengan Yuke ke balik pot tanaman, tak ingin ketahuan kalau kami mencuri dengar. Isakan Tante Yvonne makin menjadi.
“Kita terus mengevaluasi kondisinya setiap hari. Tidak ada perkembangan. Kurasa dia akan semakin tersiksa bila begini terus.” Dokter Kamal mengembuskan napasnya kasar.
“Mencabut alat-alat penunjang hidupnya adalah pilihan terbaik.”
Gue bagai tersambar petir mendengarnya. Yuke terhuyung persis orang kebanyakan menenggak cocktail beralkohol. Gue yakin dia nggak sepenuhnya paham ucapan Dokter Kamal. Hatinyalah yang menuntun dia untuk meraba keadaan.
“Kita tunggu sampai Lebaran. Kumohon ... se-setidaknya, ini akan jadi hari raya terakhirnya hidup di dunia.”
Merinding gue. Tangan Yuke dinginnya ngalahin baja beku. Dadanya naik-turun menahan gejolak kesedihan. Nggak, ini nggak mungkin!
**
Prang! Pyar!
Istana Villa gempar pagi ini. Yuke kembali mengamuk dan histeris. Jiwanya tertekan luar biasa. Keadaan Yuke memang sulit diprediksi. Percakapan di rumah sakit yang tak sengaja kami dengar jadi trigger untuknya.
Pajangan kristal hancur jadi serpihan. Raut wajah Yuke amat terluka saat melempar barang demi barang. Dengan berani, gue mendekat ke arahnya. Tak peduli di tangannya ada piala kristal yang siap dipecahkan.
“Yuke, tenang, ya. Apa yang kamu takutkan nggak akan terjadi. Ki-kita berdoa untuk Zakaria Hyung, ya,” bujuk gue setengah terisak. Kurang dari 24 jam, gue udah menumpahkan air mata.
“Yuke mau Hyung! Yuke mau Hyung! Yuke mau ikut sama Hyung!”
Gelegar suara Yuke membuat panik seisi villa. Rasdi marah besar. Irene menangis bersama gue. Rasa takut mencengkeram hati. Sekarang gue tau siapa Hyung yang dia maksud waktu itu. Bukan Yune, tapi Zakaria. Ikatan cinta Yuke dan Zakaria lebih kuat tinimbang dengan Yune, teman satu rahimnya.
Gue nggak bisa. Nggak bisa liat Yuke terluka kayak gini. Apa yang bisa gue lakukan? Dokter sehandal Dokter Kamal aja udah nyerah.
“Hentikan, anak gila! Hentikaaan! Kamu mau menghancurkan rumah?” geram Rasdi.
Dia melompat maju. Merebut paksa piala kristal dari tangannya. Tanpa belas kasihan, dipelintirnya tangan Yuke.
“Papa, jangaaan!” teriak gue kalut.
Rasdi memutar tumit. Wajahnya amat berang.
“Terus! Terus aja kamu bela anak gila ini! Dia pembawa sial! Gara-gara dia, omset Istana Villa makin turun!”
Dada gue hampir meledak rasanya. Yuke bukan pembawa sial. Justru dialah pemberi cahaya terang di hidup gue. Dia bikin hati gue hangat. Secepat kilat gue bawa Yuke ke paviliun. Berusaha mengabaikan pedihnya kepala gue karena Yuke baru aja jambak rambut gue.
Saat melintasi halaman depan, masih bisa gue dengar jeritan kemarahan Irene. Bonyok gue pada akhirnya berantem. Irene nyalahin Rasdi, Rasdi nyalahin gue dan Yuke. Gue nggak tahan, nggak tahan banget.
Dengan sangat terpaksa, gue suntikkan obat penenang ke lengan Yuke. Tubuh tinggi langsing itu rebah ke sofa. Saat ini gue butuh pikiran jernih untuk melihat situasi. Dengan Yuke berteriak-teriak dan mengamuk, gue nggak bakal bisa mikir.
Gue mondar-mandir di paviliun. Sesekali gue buka foto Yuke dan Zakaria di sosial media. Andai nggak ada Sabila, mungkin sepasang kakak-beradik beda ortu itu masih bersama. Zakaria bisa menjaga Yuke dengan baik. Dia juga yang berperan besar mengeluarkan Yuke dari panti. Zakaria adalah support system yang sangat positif untuk Yuke di awal kebutaannya. Mungkin kalian heran karena pria berkulit hitam manis yang nggak ada tampang-tampang Koreanya bisa dipanggil Hyung. Namun, itulah ikatan cinta. Ikatan cinta sebagai saudara tanpa ikatan darah. Yuke bahkan pernah kasih nama Korea buat Zakaria: Park Yong-In yang berarti langit biru. Nama Korea itu didapat dari nama Indonesia dan tanggal lahir. Gue sendiri nggak tau gimana caranya.
Tangan gue berhenti scrolling. Sebuah foto menampakkan Yuke, Zakaria, dan Benita berangkulan. Port Dickson menjadi latar belakangnya. Ini pasti saat mereka lagi liburan ke Malaysia. Benita udah tau belum, ya?
“Ben, gawat!” Gue setengah berteriak saat meneleponnya.
“Gawat kenapa, Aini?” balasnya lembut.
“Dokter Kamal mau cabut alat medis di tubuh Zakaria setelah Lebaran.”
Gue menjauhkan ponsel, takut pekak mendengar suara tangisan. Benar saja. Dua detik berikutnya, tangis Benita pecah.