Blok 12-Gabriella
Semesta Gabriella
Gabriel memang luar biasa. Kejadian dengan Yuke kemarin makin menguatkan ikatan cinta gue ke dia. Tapi, kayaknya hal sebaliknya nggak begitu. Sikapnya ke gue masih dingin banget.
Siang ini gue datengin lagi kontrakannya. Dia mau siap-siap kerja. Keliatan dari seragam merah berlogo PO Jasa Mulia yang dia pakai. Dia buka pintu kontrakan dan menatap gue malas.
“Briel, sekali lagi makasih, ya, lo udah bantu Aini,” kata gue tulus.
“Nggak usah dibahas terus,” sahutnya acuh. Sikapnya persis Aldebaran di serial Ikatan Cinta pas awal-awal nikah sama Andin.
Gue menghela napas sabar. Kalo gue harus jadi Andin, gue siap asalkan Gabriel jadi Mas Al-nya. Ah, apaan sih, gue? Kebanyakan nonton opera sabun sama Mama.
“Lo baik banget, Briel. Kalo lo jahat, udah lo telantarin Yuke. Bisa aja lo lakuin itu, ‘kan?” puji gue halus.
Gabriel menatap gue tajam. Gue mundur satu langkah karena takut. Nggak pernah sebelumnya Gabriel natap gue kayak gitu. Kesalahan gue udah fatal banget.
“Itu bodoh namanya kalo sampai ada yang telantarin orang spesial kayak Yuke.”
“Sayangnya lebih banyak orang bodoh dan buta mata hati dibandingin orang berhati putih kayak lo, Briel.”
Ujaran gue hanya ditingkahi dengusan sinis Gabriel. Tanpa mempersilakan gue masuk, Gabriel berjalan ke teras sempit dan membanting pintu kontrakan.
“Mau kemana, Briel?” tanya gue bego.
“Kerjalah! Lo nggak liat gue pakai baju apa?”
Dia berlalu ninggalin gue gitu aja. Gue berlari kecil menjajari langkahnya. Gabriel keliatan risih gue buntutin. Sambil jalan, gue keluarin hp keluaran terbaru dan voucher belanja di Danish & Monalisa Square sebesar lima juta Rupiah. Gue ulurkan dua benda itu ke tangan Gabriel.
“Tolong terima ini. Ini nazar gue sama Benita kalo Yuke udah ketemu,” pinta gue rendah hati.
Menepis kasar dua benda itu, Gabriel berkata keras. “Lo belum puas hina gue? Waktu itu, lo tawarin operasi wajah. Sekarang lo bayar gue. Maaf, gue tolong Yuke bukan karena kemaruk pengen dapet GA.”
Kasar amat sikap Gabriel. Tenang, Gabriella, tenang. Jangan nangis. Pool bus Jasa Mulia tinggal sepelemparan batu lagi.
Ternyata Gabriel nggak langsung nyetir bus. Dia melapor dulu ke kantor setiba di sana. Gue liat dia dites antigen dan di-skrining bareng pengemudi lainnya. Dari percakapan mereka, gue tau kalo hari ini jatah Gabriel bawa bus kelas bisnis. Apa gue jadi penumpang busnya aja, ya? Kebetulan ini Hari Minggu. Gue nggak ada kuliah. Draf buku juga udah selesai, tinggal die-mailkan ke editor. Ah, enggak jadi. Gue punya ide lebih brilian ketimbang sekedar jadi penumpang bus. Gue melesat pergi dari pool Jasa Mulia.
Langkah gue terayun kembali ke kontrakan. Sejak dekat sama Gabriel, gue jadi rajin jalan kaki. Dan ternyata itu jadi olahraga favorit gue. Dengan jalan kaki, tubuh tinggi gue tetap langsing dan ideal. Gue tetap bisa menjaga tubuh proporsional tanpa susah-susah ikut program diet.
Berbekal sedikit tipuan dan uang sogokan, gue berhasil dapetin kunci cadangan kontrakan Gabriel. Gue juga bayarin uang kontrakan selama enam bulan. Bisa aja, sih, gue bayar sekalian buat setahun. Tapi, siapa tau aja Gabriel pengen pindah.
Kontrakan Gabriel gue ‘satroni’. Gue mulai menyensor barang-barang yang masih layak dan nggak layak. Hati gue miris liat kompor gas di dapur kecil yang hampir rusak. Gabriel nggak punya sofa. Cuma ada beberapa kursi plastik. Hmmm, kipas angin ini kayaknya perlu diganti. Apa gue ganti AC aja, ya? Masalah tambah daya listrik, gampang deh.
Tangan gue menyibak gorden berwarna cokelat tua yang menjadi sekat kamar Gabriel. Gue kaget liat ada kasur lipat tergelar di lantai. Dipan reyot di sana menguarkan bau kurang sedap. Sedetik berselang gue mengernyitkan hidung. Kasur yang melapisi dipan itu penuh berhias peta kepulauan alias ompol. So pasti pengukir peta itu bukan Gabriel. Benang konklusi mulai terangkai di kepala gue. Yuke ninggalin jejak waktu semalam bersama Gabriel. Karena belum sempat beberes, Gabriel terpaksa tidur di bawah pakai kasur lipat.
Mungkin ini hal kecil bagi kalian. Tapi buat gue, ini nambah nilai plus plus tentang Gabriel. Emang dasar dia punya hati yang baik. Merawat Yuke butuh kesabaran dan pengorbanan. Kalau Yuke nggak nyaman, bisa aja dia kabur lagi malam itu. Tangan dingin dan ketulusan Gabriel bisa dia rasakan. Dengan mata memanas, gue cuci seprai dan jemur kasur di luar.
Lagi asyik-asyiknya jemur kasur, gue liat tetangga Gabriel lewat. Dia ibu-ibu setengah baya berambut beruban. Tangan kanannya menenteng keranjang berisi kue basah. Mungkin dia penjual kue.
“Eleuh eleuh, aya neng geulis di kontrakan Gabriel!” Ibu-ibu itu berseru ke arah gue, senyumnya lebar.
“Neng siapanya Gabriel? Calonnya, ya?”
Senyum gue mekar. Apa gue udah pantas jadi calonnya Gabriel? Semangat gue bangkit. Gue harus perjuangin Gabriel.
“Mohon doanya aja, Bu.” Gue menjawab sopan.
“Siap atuh. Gabriel beruntung pisan. Oh ya, Neng namanya siapa?”
“Gabriella.”
Si ibu hampir melonjak saking senangnya. “Aduuuh, cocok euy. Gabriel jung Gabriella.”
Gue ketawa. Banyak yang bilang gitu. Kondektur, sesama sopir bus Jasa Mulia, sampai para penumpang juga sering bilang gue dan Gabriel cocok. Jika semesta memang menginginkan gue jadi milik Gabriel, maka nggak akan ada yang bisa pisahin kami.
Urusan di kontrakan selesai. Sebelum cabut, gue taruh hp give away dari gue ke meja. Tujuan gue selanjutnya adalah Danish & Monalisa Square.
**
Mall besar berlantai sebelas itu penuh sesak pas gue tiba. Maklum, ini akhir pekan. Setahun lebih terkurung di rumah, banyak orang mulai bosan dan nekat. Ke mall di Hari Minggu adalah bentuk kenekatan. Untunglah sebagian besar pengunjung masih patuh dengan protokol kesehatan. Masker mereka nggak turun. Sebelum masuk mall, suhu tubuh mereka diukur dan mereka cuci tangan.
Gue berkeliling lantai dasar, membeli berbagai barang kebutuhan rumah: sapu, tongkat pel, detergen, alat mandi, dan persediaan makanan. Troli yang gue dorong mulai menggunung. Sengaja gue beli barang kebutuhan rumah untuk waktu kira-kira setengah tahun. Gue bayar belanjaan ini pakai voucher pemberian Benita. Bukannya gue pelit atau nggak modal, gue pengen Gabriel dapat haknya.
Perburuan gue belum selesai. Setelah menitip belanjaan di bagian penitipan barang, gue naik ke lantai dua. Kali ini gue beli kompor, kasur baru, dan AC. Kalau barang-barang elektronik ini, gue bayar pakai uang pribadi gue. Seneng gue bisa belanjain Gabriel. Selesai transaksi pembelian barang elektronik dan perabot, gue naik lagi ke lantai berikutnya. Lantai tiga berisi gerai pakaian bermerk. Gue beliin beberapa potong pakaian pria keluaran Balenciaga. Saat berjalan ke meja kasir, gue berpapasan sama Erika-Fritz dan Yuke-Aini.
“Hai,” sapa kami berbarengan. Cuma Yuke yang tetap diam. Dia berdiri memegang erat tangan Aini. Sorot matanya kosong seperti biasa.
“Bisa kebetulan, ya, ketemu di sini.”
“Iya. Fritz lagi pengen beli baju katanya,” jelas Erika.
“Kalo gue memang sengaja beliin Yuke baju. Dia cocok pakai Balenciaga,” tukas Aini.
Gue agak khawatir. Memangnya Aini nggak takut bawa Yuke ke tempat umum? Mall ini ramai banget. Kalau Yuke kenapa-kenapa gimana? Gue putusin menelan rasa penasaran.
Kami berempat berjalan ke food court. Aini lagi telpon Benita. Kali aja ibu peri lagi di mall ini sama ortunya. Danish & Monalisa Square udah kayak rumah keduanya. Benar dugaan kami. Benita ada di sini. Dia langsung menyusul kami ke food court.
Sampai di tempat makan itu, beberapa anak kecil mengejek Yuke. Mereka meneriaki Yuke orang gila. Seorang remaja tanggung malah terang-terangan menabrak pundak Yuke dan berkata pada Aini.
“Mbak, pacarnya gila, ya? Kok dibawa ke mall, sih? Kalo dia ngamuk gimana?”
Kurang ajar. Gue liat Aini udah siap ngegampar tuh ABG.
“Lo nggak pernah sekolah, ya? Ngomong kasar kayak gitu! Berhenti ngatain pacar gue!” bentak Aini galak.
Whaaat? Aini mengklaim Yuke sebagai pacarnya? Beneran cinta mati tuh anak.
“Udah, udah, tenang. Tolong jangan berantem ya ....” Benita melerai, raut wajahnya ketakutan.
Sibuk menghadapi gen Z bermulut pedas itu, kami sampai lupa sama objek pembicaraan. Yuke menunduk lesu. Likuid bening siap terjun bebas dari mata sipitnya. Cuma Fritz yang peka. Dia rangkul Yuke, dia tepuk-tepuk punggungnya.
“Yuke, nggak usah dimasukkin ke hati omongan dia. Yuke itu istimewa ... jangan sedih, yaaa.” Fritz lembut membujuk. Duh, sikapnya teduh banget. Beruntung Erika punya tunangan kayak dia.
Ganjil, Erika terlihat nggak senang Fritz dekat-dekat Yuke. Dia merengut. Gue jauhin Erika dari mereka.
“Biarin Yuke ditenangin sama Fritz. Posesif amat sih,” bisik gue.
Erika mendelik keki. “Gue juga nggak bakal posesif kalo nggak ada alasannya.”
“Ya trus alasannya apa? Bilang dong.”
Kali ini Erika bungkam. Gue curiga ada yang disembunyikan. Tapi gue nggak ambil pusing. Tiap orang berhak punya rahasia.
Kami makan siang bersama. Saat menyantap beef teriyaki, gue ditodong Aini buat jujur tentang Gabriel. Gue gelisah. Haruskah kejujuran itu terkuak sekarang?
“Gimana kalo kita tunggu Marina? ‘Kan Magenta lagi nggak kumpul lengkap.” Gue berdalih.
Aini menyeringai. Dia buka aplikasi Whatsapp dan video call sama Marina.
“Woooy, ada berita yang lebih hits dari KRI Nanggala dan babi ngepet!” serunya ke layar. Ada-ada aja si Aini. Berita sedih dibilang berita hits.
“Apa tuh?” sambut Marina.
Sebagai jawaban, Aini mengangsurkan si apel tergigit miliknya ke tangan gue. Gue terima hp itu dengan resah.
“Hai Marina.” Gue menyapa basa-basi.
“Ada Gabriella juga? Lagi pada ngumpul, ya? Ada berita apa, sih?”
Aini menyikut rusuk gue. Gila, tuh anak serem juga kalo udah kepo. Gue kira setelah gue bela dia di depan kembarannya Yuke, sikapnya bakal lebih lunak.
“Ayo buruan,” desisnya.
“Gu ... gue mau jujur tentang Gabriel.”
Seisi meja kecuali Yuke menatap gue penuh perhatian. Keringat dingin membanyak di dahi gue.
**
Langit senja berwarna keunguan. Ia belum puas menumpahkan tangis hingga seisi kota basah kuyup. Hujan mengepung kota kembang sejak sore.
Di tengah dinginnya hujan, gue bersandar di balkon kamar. Lagi-lagi gue sendirian di rumah. Mama ada perjalanan bisnis ke Surabaya. Nekat juga dia ke luar kota sementara virus laknat masih menggila. Gue udah biasa ditinggal sendiri.
Tempias hujan nggak gue pedulikan. Baju terusan putih yang gue pakai sedikit terciprat air. Ingatan gue melayang ke pertemuan tadi siang di mall. Akhirnya Magenta tahu siapa Gabriel. Ketakutan gue keliru. Alih-alih ngetawain gue, mereka support gue penuh. Mereka malah salut sama gue yang banyak berubah ke arah lebih baik. Sama kayak cinta Yuke yang bikin Aini makin sabar, cinta Gabriel membuat gue bertumbuh jadi pribadi yang nggak suka pamer dan hedon lagi.
Ah, gue nyesel nggak jujur dari awal. Kerinduan gue ke Gabriel makin dalam. Dia udah pulang belum, ya? Apa dia udah liat sentuhan gue di kontrakannya?
Lamunan gue pecah oleh kelebatan sosok berbaju merah di luar pagar. Gue kerjapkan mata. Sosok itu masih ada. Gue nggak salah liat, ‘kan? Itu Gabriel, ‘kan?
Gue berlari turun. Gabriel bersandar ke pagar cokelat rumah gue, tangannya bersedekap. Tadi sebelum ke halaman, gue sempat ambil payung besar bermotif bunga. Gue mengembangkan payung itu, melindungi kepala pujaan hati gue dari air mata langit.
“Briel, masuk yuk,” ajak gue lembut.
Gabriel menoleh. Ekspresi wajahnya seolah dia sedang terhina.
“Ngapain lo kasih barang-barang itu ke gue? Ngapain lo bayarin uang kontrakan gue? Lo pikir gue nggak mampu bayar sendiri?” tuntutnya.
Gue nggak kaget dapet ledakan amarah. Tetes hujan menampar tubuh kami. Tapi gue mensyukuri hujan ini. Dengan begitu, air mata gue tersamarkan.
“Apa salahnya gue mau meringankan beban orang yang gue cintai?” desah gue.
“Lo udah menginjak harga diri gue, Gabriella Jagunab Aryaprabawa!” teriak Gabriel di depan muka gue.
Gue balas meneriakinya. “Silakan sakiti gue! Asal lo tau satu hal: kekasaran sama sekali bukan imej lo! Buat gue, lo nggak akan tergantikan, Gabriel Tambayong!”
Jeritan gue sukses bikin Gabriel membeku. Wajahnya kuyu. Pedih hati gue liat tangannya yang hitam berlumur oli, wajah letihnya, mata sayu karena kelelahan, dan tubuh kurusnya.
“Kenapa lo cinta sama gue?” Nada suara Gabriel menurun dua oktaf.
“Apa harus ada alasan untuk mencintai?”
Mahasiswa Manajemen Bisnis di depan gue itu mendesah letih. Pasti dia kewalahan ngobrol sama novelis.
“Ella,” panggilnya lembut, amat lembut.
“Ada seribu alasan buat lo ninggalin gue.”
“Tapi ada sejuta cinta di hati gue yang membuat gue tetap bertahan di sisi lo.”
Kami bersitatap dihalangi tirai hujan. Tubuh Gabriel gemetar kedinginan. Bibirnya membiru. Gue setengah menyeret dia masuk ke rumah. Jangan sampai pangeran gue sakit.
Dalam hati dirimu hanyalah satu
Dalam hati dirimu selalu kurindu
Dalam hati dirimulah yang tertinggi
Engkaulah cahaya
Sinari setiap langkahku
Gue bawa Gabriel ke ruang tamu. Cepat-cepat gue ambil beberapa baju mendiang Papa.
“Nih pakai ini, Briel. Nanti lo masuk angin kalo nggak ganti baju,” paksa gue menyodorkan kemeja sedikit kebesaran berwarna biru laut.
Gabriel menghilang sebentar ke kamar tamu. Gue wara-wiri ke dapur, bikinin dia coklat hangat. Biar tangan gue sendiri yang aduk minuman buat dia. Lumayan, persiapan sebelum dihalalin.
Setelah situasi lebih tenang, kami duduk diam di sofa ruang tamu. Gabriel mereguk minuman buatan gue. Kayaknya dia suka.
“Ella, kenapa lo paksa gue operasi wajah? Lo ngerasa kita kayak Beauty and The Beast, ya?” tanyanya sedih.
“Enggak, Briel. Gue juga nggak masalah wajah lo kayak gitu,” bantah gue.
“Trus kenapa?”
“Gue merasa, lo layak dapetin apa yang jadi milik lo. Orang baik kayak lo pantes dapat pertolongan dan cinta kasih, Briel.”
Takkan pernah hilang separuh nafasmu
Melodi terindah di laguku
Akan tetap ada hangatnya pelukmu
Di saat semua berubah
Kau tak tergantikan
Dalam hati dirimu hanyalah satu
Dalam hati dirimu selalu kurindu
Dalam hati dirimulah yang tertinggi
Engkaulah cahaya
Sinari setiap langkahku
“Tau dari mana lo kalo gue orang baik? Bisa aja gue jahat. Bisa aja gue deketin lo karena harta.”
Gue tersenyum manis. Satu tangan terulur, meremas lembut jemari Gabriel. Kali ini dia nggak nolak sentuhan gue.
“Kalo itu motif lo, udah dari dulu lo bisa lakuin itu. Berkali-kali kesempatan buat morotin gue, tapi lo malah pengen bayarin tiap kali kita jalan. Dan setahu gue, nggak ada orang baik yang sabar ngerawat Yuke sampai kasurnya diompolin.”
Cinta gue ke cowok berhati putih ini semakin dalam. Gue nggak akan lepasin dia. Gue akan berjuang buat dia. Karena dia terlalu baik untuk dilewatkan.
“Jadi, lo pengen gue operasi wajah bukan karena malu?” Ia mengkonfirmasi sekali lagi.
Gue mengangguk mantap. Sama sekali bukan itu.
Tubuh setinggi seratus tujuh puluh senti itu merosot dari sofa. Gue takut jangan-jangan dia mau pingsan. Tapi dia justru dekap gue. Rengkuhan hangatnya gue balas dengan senang hati.
“I love you, Gabriella.” Dia berujar, lembut mengecup kening gue.
Walaupun udah tau perasaan gue berbalas, tetap aja terasa spesial dengar pernyataan cinta itu darinya. Dia memang istimewa. Gabriel itu cinta pertama dan terakhir gue.
Takkan pernah hilang separuh nafasmu
Melodi terindah di laguku
Akan tetap ada hangatnya pelukmu
Di saat semua menjauh
Kau tak tergantikan
Bersinar menerangi jiwaku
Tak ada waktu, tak merindumu
Matahari duniaku (Mikha Tambayong-Tak Tergantikan).