Read More >>"> When Magenta Write Their Destiny (Blok 11: Aini) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - When Magenta Write Their Destiny
MENU
About Us  

Blok 11-Aini

Semesta Aini

Rasdi Trunajaya. Orang itu nggak pantas dipanggil Papa. Bahkan kata ‘bokap’ masih terlalu bagus untuknya. Udah terlalu banyak abu kekecewaan yang dia raupkan ke muka gue. Sekarang gue benci banget sama dia.

Pertama, Rasdi udah bikin bahtera keluarga gue nyaris karam. Kedua, dia sering nyebut Yuke anak gila. Dan ketiga, ini yang terparah, Rasdi udah bikin Yuke kabur dari Istana Villa. Gue nyesel banget ninggalin dia sendirian waktu itu. Harusnya gue bawa aja dia meeting sama gue.

Pagi-pagi banget gue udah dikontak sama produser. Tuh orang bawel minta ketemu gue. Produser itu memang ada proyek baru bareng gue. Rencananya dia mau bikin film pendek bertema pendidikan dari sinopsis yang gue tulis. Gue nulis sinopsis satu halaman aja dibayar satu setengah juta. Nah, dia percayain gue lagi buat garap skenarionya. Ini orang memang rada konservatif. Jaman digital dan pandemi gini, dia ngotot ketemuan buat brainstorming. Bahas konsep cerita film bisa berjam-jam kalo kalian mau tau. Tapi mau gimana lagi? Gue nggak bisa nolak.

Sebelum pergi, gue ke kamar Yuke. Dia lagi mainin rubik pemberian gue. Denger langkah kaki gue, dia langsung berdiri. Gue taruh semangkuk bubur ayam, segelas besar air putih, dan obat-obatan yang harus dia minum. Gue sempet siapin ini semua sebelum ke kamarnya.

“Yuke, Aini pergi dulu, ya. Yuke di sini dulu sama Om Rasdi, papanya Aini. Nggak apa-apa, ‘kan?” pamit gue.

Anehnya, dia tampak murung. Sepintas gue menangkap pancaran ketakutan di matanya pas gue nyebut nama Rasdi. Ada apa, ya?

“Kenapa? Kamu nggak suka sama Om Rasdi?” tebak gue sekenanya.

Di luar dugaan, Yuke peluk gue. Badannya dingin banget. Firasat gue nggak enak. Gue jadi ragu mau ninggalin dia sendirian. Terbit asumsi di benak gue kalo Rasdi pernah bersikap buruk sama Yuke tanpa sepengetahuan gue. HP gue bunyi berkali-kali. Produser itu neror gue di WA. Pasti karena gue nggak dateng-dateng.

“Aku beneran harus pergi sekarang. Bentar aja kok. Ntar aku balik lagi,” kata gue berat. Perlahan gue lepas pelukannya. Duh, gue tambah nggak tega liat muka sedihnya. Gue langsung ngacir ke lantai bawah.

Di ruang tamu, gue liat Rasdi lagi ngopi sambil baca koran pagi. Gue langsung minta dia buat jagain Yuke selama gue pergi. Rasdi tampak keberatan.

“Cuma pastiin dia makan dan minum obat, Pa. Dia nggak boleh telat minum antidepresan dan anxiolitiknya,” pinta gue. Sebenernya gengsi banget gue memohon-mohon kayak gini. Serasa bukan Aini banget. Gue lakuin ini demi Yuke.

Sejak tragedi bom gereja itu, Yuke diharuskan minum antidepresan dan anxiolitik atau obat anticemas. Obat-obatan itu bukannya tanpa efek samping. Beberapa kali gue liat Yuke muntah. Dia juga pernah ngeluh kepalanya pusing.

“Kamu lupa syarat pertama? Anak gila itu bukan tanggung jawab Papa,” sanggah Rasdi geram.

Gue mengentakkan kaki ke lantai. Berapa kali gue harus bilang kalo hati gue sakit tiap kali dengar hinaan untuk Yuke? Setelah strategi memohon-mohon nggak berhasil, gue telpon nyokap. Cuma dia yang bisa mengendalikan Rasdi. Berhasil, Rasdi mau jagain Yuke selama gue nggak ada.

Gue pergi ke tempat meeting dengan perasaan nggak tentu arah. Selama brainstorming, gue malah mikirin Yuke. Produser dan tim penulis sampai bete karena gue nggak konsen. Selesai pertemuan, gue meluncur kembali ke villa.

Orang pertama yang gue cari sekembalinya ke Istana Villa adalah Yuke. Betapa kaget gue karena Yuke nggak gue temukan dimana pun. Dia nggak ada di kamarnya. Gue cari ke halaman, paviliun, pondokan pegawai Istana Villa, kolam renang, dan berkeliling tiap ruangan di Istana Villa. Nihil. Fix, Yuke menghilang. Gue temui Rasdi di ruang kerja. Dia duduk santai sambil mengepulkan asap rokok di kursi putarnya.

“Pa, Yuke kemana?” tagih gue.

“Tadi masih di kamarnya sewaktu Papa ke atas,” jawabnya santai masih dengan asap bergulung di sekeliling bibirnya.

“Tapi dia nggak ada, Pa! Dia juga nggak ada di halaman, kolam, dan paviliun!” seru gue frustrasi.

Rasdi menanggalkan sikap santainya. Dia terlihat kesal.

“Kalau soal itu, mana Papa tau? Papa bukan perawat orang gila. Masih banyak urusan yang harus Papa la ....”

“Pa, Yuke hilang! Yuke kabur ninggalin kita! Pasti ada sesuatu yang Papa perbuat sama dia sampai dia kabur gini!”

Ketika Rasdi nggak juga ngaku, gue lari ke CCTV. Gue jadi nyesel karena bolehin ART ue cuti seminggu. Kalo dia ada, mungkin Yuke bisa lebih terurus selama gue nggak ada.

Gue putar rekaman CCTV di kamar Yuke. Tiap kamar di Istana Villa memang dipasangi CCTV. Tujuannya biar aktivitas pengunjung villa bisa diawasi. Gue kaget pas liat rekaman CCTV setengah jam lalu. Rasdi bujuk Yuke makan dan minum obat. Yuke menolak. Dalam kemarahan, Rasdi pukul tangan Yuke. Pisau-pisau tajam menusuk hati gue. Makin pedih pas liat Yuke kabur bawa tongkat putihnya begitu Rasdi pergi.

Gue rasanya mau teriak. Tapi nggak tau harus melampiaskannya ke siapa. Pikiran gue berputar cepat. Gue harus cari Yuke sekarang juga. Setelah menyambar kunci mobil di nakas, gue lari ke garasi.

Waktu menstarter mesin mobil, gue teringat Magenta. Cuma mereka yang bisa memahami gue. Langsung gue ambil hp dan chat mereka di grup. Responnya luar biasa. Belum lima menit setelah pesan gue terkirim, Magenta langsung nyusun rencana buat bantu gue cari Yuke. Mereka memang sahabat-sahabat terbaik.

Gabriella Jagunab Aryaprabawa:

Aini, lo tenang, ya. Lo tungguin kita. Ayo kita cari Yuke sama-sama. Sekarang kita kumpul dulu di satu titik, oke?

Baca pesan Gabriella di WAG, hati gue sedikit adem. Ini anak sultan tumben nenangin gue. Biasanya, ‘kan dia ngajak ribut mulu. Tiap kejadian memang ada hikmahnya.

Kami mutusin kumpul di gerbang Narcissa Regency. Gue langsung memacu mobil ke sana. Nggak lama, Magenta berkumpul dalam formasi lengkap. Kami masing-masing bawa mobil. Erika ditemenin Fritz dan Marina sama Om Calvin. Gue, Benita, dan Gabriella jadi single fighter.

“Aini, kapan terakhir kali kamu liat Yuke? Coba cerita, Sayang,” bujuk Om Calvin.

Gue gigit bibir. Rasanya nggak sanggup buat cerita ini. Tapi Magenta butuh info sebelum mulai bergerak.

“Aku ... aku terakhir kali ketemu Yuke tadi pagi, Om. Aku tinggalin dia di Istana Villa karena ada meeting sama produser. Yuke kutinggal sama Papa. Pas pulang, Yuke udah nggak ada. Aku liat Yuke kabur sambil bawa tongkat dari CCTV.”

Magenta syok denger penuturan gue. Fritz menegang. Dia juga peduli sama Yuke. Om Calvin lebih khawatir lagi. Yuke itu anak mendiang sahabatnya.

“Oke. Kita cari dia sama-sama. Coba pikirin tempat-tempat yang kemungkinan bakal didatangi Yuke.” Gabriella mengusulkan.

“Tunggu, tunggu.” Erika menyela, raut wajahnya tampak tidak enak.

Sorry to say, Yuke, ‘kan nggak bisa liat. Ditambah lagi dia ... dia depresi. Gimana dia bisa tahu tempat yang mau dia tuju?”

Kami serempak terdiam. Erika benar. Bukan begitu strategi mencari Yuke.

“Gini aja.” Fritz angkat bicara.

“Kayaknya bakal susah kalo kita berlima cari tanpa dukungan dari luar. Kita bikin postingan di medsos. Siapa yang followers-nya banyak?”

Tatapannya jatuh pada Benita dan Gabriella. Mereka anak Magenta paling hits karena pengikutnya mencapai ribuan. Benita terkenal karena modeling dan musik. Sedangkan Gabriella dikenal melalui tarian penanya. Kalo penulis skenario kayak gue? Yah, penikmat film lebih kenal aktornya timbang penulis skenarionya.

“Kita buat postingan tentang Yuke. Usahain viral. Makin banyak orang tau, makin cepat Yuke ditemukan.”

Ide brilian. Saatnya memanfaatkan kekuatan sosial media.

“Baik. Kalau gitu, saya juga akan minta staf saya untuk mem-blow up postingan tentang Yuke.” Om Calvin memberi dukungan.

Gabriella mulai mengotak-atik ponselnya. Gue intip sekilas. Olala, dia bikin postingan tentang Yuke sekalian kasih give away. Dasar anak sultan. Dia bakal kasih hadiah smartphone keluaran terbaru kalau ada yang berhasil menemukan Yuke. Benita, si ibu peri yang kalem, nggak mau kalah. Dia janjiin voucher belanja lima juta di mallnya kalo ada yang berhasil ketemu dan bawa Yuke pulang. Setelah posting di sosial media, kami berpencar mencari Yuke.

Ada yang aneh sebelum gue nutup pintu mobil. Samar gue dengar Benita ngomong sendiri di dalam mobilnya. Mobil dia sama gue parkir sebelahan.

“Iya, Kak, kita cari Yuke sekarang. Kakak jangan khawatir, ya. Yuke pasti ketemu.”

Benita lagi ngomong sama siapa, ya? Dia, ‘kan sendirian perginya. Apa dia lagi telpon? Kayaknya nggak ada hp atau headset di dekat situ. Ah, bomat. Gue harus fokus cari Yuke.

Gue berkeliling kota cari dia. Tiap kali tiba di tempat ramai, gue turun dan nanya orang-orang sambil tunjukkin foto Yuke. Sejauh ini, pencarian gue belum menemukan titik terang. Gue menghentikan mobil di sebuah pusat pertokoan. Dengan ponsel tergenggam di tangan, gue mulai berjalan menyusuri pedestrian dan menanyai orang yang berlalu-lalang.

“Mbak, liat laki-laki ini nggak? Orangnya tinggi, putih, matanya sipit, ganteng ....” Entah udah berapa kali gue nanya kayak gini.

“Maaf, nggak liat.”

Kuping gue sampai alergi dengar jawaban model gitu. Ayolah, tolong, kasih gue petunjuk.

Gue naik ke mobil dengan pikiran gundah. Kemana lagi gue harus cari Yuke? Langit memerah, matahari segera tertidur. Gue mulai mikir negatif. Gimana kalo Yuke kenapa-napa? Gimana kalo nanti malam dia kedinginan, kelaparan, atau ... sakit yang lebih parah? Tengkuk gue meremang. Nggak, Yuke akan baik-baik aja. Allah ada bersama orang spesial kayak dia.

Azan Maghrib mengudara. Gue berhenti di masjid terdekat dan menunaikan salat. Sehabis salat, gue berdoa khusyuk banget biar Tuhan segera kembaliin Yuke. Belum pernah gue berdoa sambil netes air mata kayak gini. Waktu Rasdi sama Irene mau cerai aja, gue nggak seterpukul ini dalam berdoa.

Pencarian terus berlanjut. Belum ada progres dari Magenta. Kami berkomunikasi via grup selama pencarian. Gue berputar-putar di penjuru kota. Tetap nihil pencarian gue. Usaha memviralkan postingan juga belum berhasil. Unggahan kami memang viral, tapi belum ada yang tau keberadaan Yuke.

Pukul tujuh malam, gue baru ingat sesuatu: Tante Laras. Dia ibu kandung Yuke. Dia berhak tau tentang anaknya. Gue sampaikan niat mengunjungi Kediaman Tandiono. Anak Magenta kompak nggak setuju. Ada Yune di sana. Mereka takut gue dirisak sama dia.

Benita Rorimpandey:

Aku temenin kamu, ya. Kita ke sana sama-sama.

Pesan Benita kayak menghipnotis gue. Cewek itu memang luar biasa. Dengan untaian kata di grup aja, dia udah menyalurkan energi positif ke hati. Kata-katanya selalu meneduhkan.

Jiwa solider Magenta kembali bangkit. Erika, Marina, dan Gabriella ikut nemenin gue. Berlima kami menuju Kediaman Tandiono.

Kedatangan kami disambut Mirna. Asisten rumah tangga itu membawa kami ke kamar utama. Gue bertanya takut-takut.

“Yune kemana, ya, Mbak Mir?”

“Koh Yune ada di atas, Non. Mau dipanggilin juga?” tawarnya ramah.

“Jangan, nggak usah.”

Suram adalah kesan pertama yang gue tangkap dari kamar utama. Untuk apa segala kemewahan bila berbalut kesuraman? Kamar utama itu disejukkan pendingin udara. Lantainya berlapis permadani tebal dan mahal. TV 52 inchi, sofa Chesterlief, lampu gantung kuning keemasan, dan kamar mandi dengan jaccuzi tidak memudarkan kemuraman. Gue liat Tante Laras duduk di depan piano putih. Tatapan matanya hampa, sehampa tatapan Yuke.

Gue langkahkan kaki memasuki kamar utama. Anak Magenta nggak ada yang berani masuk. Pintu kamar dibiarkan terbuka karena kami takut terjadi sesuatu yang nggak diinginkan.

“Malam, Tante.” Gue menyapa, membungkuk dan mencium tangan Tante Laras.

Wanita berambut sewarna mahoni itu menengadah. Gue senang karena dia balas uluran tangan gue. Samar-samar, gue liat lengkungan tipis di bibirnya. Tante Laras senyum ke gue!

“Saya Aini, te ....”

Sesaat gue dilanda kebingungan. Yuke siapanya gue, ya? Terlalu biasa untuk disebut teman. Sahabat gue jelas bukan. Cuma Magenta yang berhak menyandang gelar itu. Pacar? Yuke dengan kondisinya sekarang, mana ngerti kata itu?

“Saya mau bilang sama Tante. Yuke kabur dari rumah saya. Saya ... saya minta maaf.”

Detik berikutnya, gue menggelosor di lantai. Gue bersimpuh di kaki Tante Laras. Ya, Allah, gue nggak kuat liat wajahnya. Kulit putih, senyum tipis, dan wajah lembut nan polos itu, terlalu mirip sama Yuke. Sambil bersimpuh di depannya, gue terisak.

“Maaf, saya gagal jaga anak Tante. Tapi Tante harus tahu satu hal: saya sangat mencintai anak Tante. Saya mau merawatnya di sisa hidup saya.”

Cairan bening berebutan keluar dari mata gue. Sungguh, ini kali pertama gue nangis karena cowok. Sebelumnya ogah banget gue mewek. Gue sempurna tersedu di depan Tante Laras.

Hening. Keheningan yang amat menyakitkan berdering di kamar ini. Mata Tante Laras menumpahkan air. Tangannya yang masih gue pegang bergetar hebat. Isak memilukan terdengar dari luar kamar, berbarengan dengan tangis gue. Magenta mulai menitikkan air mata. Mula-mula Benita, si ratu cengeng nan melankolis. Disusul Erika yang pemalu dan minderan. Marina sesenggukan. Gabriella, anak sultan yang biasanya songong dan tukang ngeledek, jatuhin air mata juga. Tante Laras menangis tanpa suara.

“Maafin Aini, Tante. Maafin Aini. Aini janji akan segera temukan Yuke.” Gue berkata patah-patah setelah tangis gue terkontrol.

Udah,cukup. Gue bisa jadi lemah kalo lama-lama di sini. Gue pamit ke Tante Laras dan berlalu bersama Magenta.

Rencana kami menghindari Yune gagal total. Di ruang depan, dia berkacak pinggang menanti kami. Gue tarik napas panjang. Bakal ada perang dunia ketiga.

“Lo apain Yuke? Kenapa dia bisa sampai ilang?” hardik Yune.

“Bukan urusan lo!” sahut Marina sengit. Gue udah nggak punya tenaga buat meladeni dia.

“Lo memang nggak tau diri, ya! Masih nuduh Aini sementara lo nyia-nyiain Yuke setelah dia depresi! Aini tuh baik, nggak kayak lo!”

Dalam keadaan normal ,mungkin gue bakal heran. Pujian itu terucap dari mulut si anak sultan. Gabriella yang suka bilang gue komersial, materialistis, dan egois, bisa juga bela gue. Oh, gue terharu.

“Berhenti nyalahin Aini, pecundang bangsat! Kemana aja lo selama kembaran lo tertekan?” umpat Erika. Bisa dipastikan Erika bakal dijahit mulutnya kalo makian itu sampai terdengar Om Peter, Opa Willy, dan Tante Rosie.

Hanya Benita yang diam. Namun, tatapan matanya seakan ingin menelan Yune bulat-bulat. Gabriella menggamit lengan gue.

“Yuk, cabut. Nggak guna kita ladenin looser kayak dia,” ketusnya.

Kami melenggang ke halaman. Om Calvin dan Fritz setia menunggu. Mereka terlihat resah.

“Aini, mending kita makan malem dulu sebelum lanjut cari Yuke,” usul Fritz yang langsung gue pelototin.

“Enak lo, ya, masih bisa makan! Sementara kita nggak tau Yuke udah makan atau kelaparan entah dimana!” tolak gue pedas.

“Gue sama takutnya mikirin keadaan Yuke. Tapi, gimana kita mau lanjutin pencarian kalo kita sakit?” Fritz berkeras. Kali ini gue akui dia benar.

Kami menuju depot masakan Tionghoa, tempat makan terdekat dari situ. Cuma setengah porsi udang saus merah yang bisa gue telan. Pikiran gue terlalu penuh tentang Yuke. Dia udah makan belum, ya? Apa dia kelaparan di tempatnya yang sekarang? Gimana dia bakal lewatin malam ini?

“Habisin makanannya, Sayang. Yuke pasti juga nggak mau kamu sakit.” Om Calvin sabar membujuk, menyodorkan sesendok penuh makanan. Gue liat kerlingan Marina yang cemburu. Ah, dia paling nggak suka kalo perhatian ayahnya terbagi.

“Makasih, Om.” Gue tersenyum terpaksa dan menghabiskan makanan.

Kami meneruskan pencarian. Kali ini kami nggak berpencar. Lima mobil mewah punya anak Magenta udah kayak konvoi di jalan protokol.

Sambil nyetir, gue putar lagu-lagu favorit Yuke: Kuingin Selamanya, Apalah Arti Cinta, dan beberapa lagu lainnya. Kenangan demi kenangan bersama Yuke berjejalan di kepala. Dia pernah dorong gue sampai jatuh ke kolam renang. Lengan gue pernah dipukul pakai tongkat. Tapi dia juga yang bikin gue mengerti arti bersyukur. Senyumnya yang ikhlas, tatapannya yang polos, kisah hidupnya yang penuh liku dan derita, semua itu bermakna banget buat gue.

**    

“Pemirsa, sesosok mayat pemuda ditemukan di Sungai Cikapundung. Mayat itu memiliki ciri-ciri tinggi seratus tujuh puluh tiga senti, berkulit putih, dan bermata sipit.”

Siaran berita pagi itu bikin gue hampir mati tersedak sereal. Ini hari kedua sejak Yuke kabur. Anak Magenta ikut panik. Tanpa menghabiskan sarapan, kami meluncur ke lokasi.

Semalam anak Magenta nginep di Istana Villa. Mereka nggak bisa tinggalin gue sendirian. Pagi ini kami berencana lapor polisi. Udah lebih dari 24 jam Yuke hilang. Belum sempat niat terlaksana, udah ada berita yang bikin dada bagai terhantam truk tangki.

Kami lari marathon ke kamar jenazah sesampai di rumah sakit. Polisi dan tim medis mempersilakan gue membuka kain putih yang menutupi jasad. Satu, dua, tiga ....

“Alhamdulillah,” bisik gue parau. Rasanya gue mau sujud syukur saat itu juga.

“Gimana?” Gabriella yang berdiri tepat di belakang punggung gue, berjingkat untuk melihat lebih jelas.

“Bukan dia.”

Kami memutuskan segera ke kantor polisi. Waktu kami jalan ke pelataran parkir rumah sakit, hp Gabriella bunyi. Ekspresi wajahnya sulit ditebak.

“Eh, Gabriel telpon,” katanya.

“Siapa?”

“Nanti gue cerita.”

Gabriella menjawab panggilan. Gue mengisyaratkan supaya dia loudspeaker, takutnya ada kabar penting. Gabriella menurut.

“Ella, gue baca postingan lo di IG.” Suara Gabriel terdengar jelas dan jernih.

“Oh ya? Trus trus gimana? Lo tau sesuatu?” tanya Gabriella semangat.

“Semalem gue ketemu cowok yang mirip banget sama yang di foto itu. Dia tidur di teras pool Jasa Mulia. Karena kasihan, gue bawa dia ke kontrakan. Mukanya pucat banget, Ella. Gue aja sampai izin kerja biar bisa jagain dia.”

Hati gue mencelos. Gimana ceritanya Yuke sampai bisa nyasar ke pool bus Jasa Mulia? Ah, itu nggak penting. Langsung aja kami berlima tancap gas ke kontrakan Gabriel.

“Gabriella, Gabriel itu siapa?” Gue sempat menanyai Gabriella sebelum masuk mobil.

“Iya, namanya mirip lo. Saudara lo, ya?” terka Erika penasaran.

“Dia ... well, dia tulang rusuk gue.”

Tulang rusuk? Norak amat nih bocah. Dasar novelis. Bahasanya ketinggian.

Sempit banget gang menuju kontrakan Gabriel. Terpaksa kami parkir di luar trus jalan kaki ke sana. Berdebar dada gue sepanjang jalan. Gimana keadaan Yuke? Saat itulah kesadaran menyerbu otak gue.

Sebuah kesadaran kalau gue cinta Yuke. Ya, gue sangat mencintai Yuke. Gue akan merawatnya, nggak peduli dia berkebutuhan khusus atau sakit jiwa. Gue cinta Yuke, selamanya.

Apakah ikatan cinta gue dan Yuke udah terjalin kuat? Yang jelas, begitu menapakkan kaki di kontrakan satu kamar itu, Yuke langsung tau ada gue di situ. Terdengar dari gumamannya yang lirih.

“Aini ... Aini ... Yuke mau Aini.”

“Sini, sini. Ayo, pelan-pelan jalannya. Awas ada meja.”

Cowok item manis yang gue perkirakan itu Gabriel, menuntun Yuke keluar kamar. Gue mau pingsan. Rasanya kayak udah nggak liat Yuke bertahun-tahun.

Gue menghambur ke pelukannya. Pegangan tangan Gabriel yang melingkar di tangan putihnya gue jauhkan. Cuma gue yang boleh peluk dia.

“Aini ... Aini.” Yuke sebut nama gue berulang kali. Matanya basah.

Detik itu juga, gue ikut nangis. Kami berpelukan. Kami bertangisan. Yuke membasahi baju gue dengan air mata dan ingusnya. Dari bibirnya, terucap senandung.

Kita bertemu di persimpangan

Tanpa pernah kita rencanakan

Lalu jalan beriringan

Berjanji tak akan meninggalkan

Kini mengapa

Menujumu kuperlu peta

Dan seketika

Ku tak tau arah pulang

Dengan suara bergetar, gue ikut nyanyi sama dia. Sepenuh hati, setulus hati hanya untuk dia.

Kuingin mesin waktu

Mengantarkanku ke arahmu yang dulu

Tak ingin pergi dulu

Sekali saja jangan kau jauh

Kurindu masa lalu

Sungguh, gue mencintainya. Gue nggak mau jauh dari Yuke. Gue rindu saat-saat bersamanya. Cinta gue hanya untuk pemuda pucat dalam pelukan gue ini. Nggak ada yang bisa memiliki hati gue selain Yuke. Aini untuk Yuke, Yuke untuk Aini.

“Uhuk ... uhuk ....”

Pelukan sedikit merenggang. Yuke terbungkuk seolah akan muntah. Dia terbatuk lalu muntah di baju gue. Bukannya marah atau jijik, gue malah tertawa sambil menangis. Nggak apa-apa dia kotorin baju gue sesukanya. Asalkan dia terus ada di samping gue.

Di kanan-kiri gue, Magenta trenyuh. Mata Gabriella sembap. Dia menyurukkan tubuh ke pelukan Gabriel. Samar gue liat Benita bisik-bisik entah ke siapa.

“Kakak, itu liat Yuke di dekat kita ... dia ditemukan orang yang tepat.”

Erika menatap langit-langit, menggumamkan nama Tuhan. Marina mengulum senyum. Dia bahagia dan terharu.

“Aini, lo harus ganti baju. Gue bawa baju ganti di mobil.” Gabriella menawari. Sejak Yuke kabur, ini anak jadi baik banget ke gue. Sama sekali nggak jail atau mau merisak.

Gue menggeleng. “Nggak usah. Gue pengen rasain kenangan tentang Yuke di baju ini. Sesuatu yang bermakna, yang nggak akan gue lupain.”

“Baju penuh muntahan gitu apanya yang bermakna?”

Ucapan ragu Erika nggak gue gubris. Dia nggak bakal ngerti. Sesuatu kayak gini sulit dijelaskan dengan setumpuk kata.

Pintu kontrakan diketuk halus. Gabriel bergerak gesit membukanya. Fritz dan Om Calvin berdiri tegak di mulut pintu. Mata sipit mereka melebar tak percaya melihat gue dan Yuke berpelukan, basah terkena muntahan. Loh, kenapa mereka bisa tau, ya?

“Gue sama Erika yang share loc,” jelas Marina melihat tatapan bengong gue.

“Alhamdulillah Yuke sudah ditemukan.” Om Calvin luar biasa lega.

Fritz mendekati Yuke, berniat ikut memeluknya juga. Tapi segera didorong jauh-jauh sama Erika. Posesif juga ya dia. Mentang-mentang baru tunangan.

Gue baru sadar. Kayaknya ini kali pertama Magenta kumpul bareng sama laki-laki spesial di hidup mereka. Gue punya Yuke, Erika sama tunangannya, Marina sama ayahnya, Gabriella dari tadi nempel mulu sama Gabriel. Etapi ada Benita. Cuma sendirian dia. Kasian dia, gagal move on dari Zakaria. Gue liatin Benita dari tadi bisik-bisik ke sebelah kiri, tangannya menggenggam udara kosong. Apa dia udah mulai nggak waras karena kegagalan cinta?

 

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Campus Love Story
6383      1597     1     
Romance
Dua anak remaja, yang tiap hari bertengkar tanpa alasan hingga dipanggil sebagai pasangan drama. Awal sebab Henan yang mempermasalahkan cara Gina makan bubur ayam, beranjak menjadi lebih sering bertemu karena boneka koleksi kesukaannya yang hilang ada pada gadis itu. Berangkat ke kampus bersama sebagai bentuk terima kasih, malah merambat menjadi ingin menjalin kasih. Lantas, semulus apa perjal...
Are We Friends?
3210      988     0     
Inspirational
Dinda hidup dengan tenang tanpa gangguan. Dia berjalan mengikuti ke mana pun arus menyeretnya. Tidak! Lebih tepatnya, dia mengikuti ke mana pun Ryo, sahabat karibnya, membawanya. Namun, ketenangan itu terusik ketika Levi, seseorang yang tidak dia kenal sama sekali hadir dan berkata akan membuat Dinda mengingat Levi sampai ke titik paling kecil. Bukan hanya Levi membuat Dinda bingung, cowok it...
I'm not the main character afterall!
1040      544     0     
Fantasy
Setelah terlahir kembali ke kota Feurst, Anna sama sekali tidak memiliki ingatan kehidupannya yang lama. Dia selama ini hanya didampingi Yinni, asisten dewa. Setelah Yinni berkata Anna bukanlah tokoh utama dalam cerita novel "Fanatizing you", Anna mencoba bersenang-senang dengan hidupnya tanpa memikirkan masalah apa-apa. Masalah muncul ketika kedua tokoh utama sering sekali terlibat dengan diri...
Reminisensi
0      0     0     
Fan Fiction
Tentang berteman dengan rasa kecewa, mengenang kisah-kisah dimasa lampau dan merayakan patah hati bersama. Mereka, dua insan manusia yang dipertemukan semesta, namun bukan untuk bersama melainkan untuk sekedar mengenalkan berbagai rasa dalam hidup.
Project Pemeran Pembantu
4423      1423     0     
Humor
Project Pemeran Pembantu adalah kumpulan kisah nyata yang menimpa penulis, ntah kenapa ada saja kejadian aneh nan ajaib yang terjadi kepadanya dan orang-orang yang ada di sekitarnya. Dalam kumpulan cerita ini, penulis menyadari sesuatu hal yang hilang di hidupnya, apakah itu?
LABIL (Plin-plan)
7357      1394     14     
Romance
Apa arti kata pacaran?
Lazy Boy
5265      1368     0     
Romance
Kinan merutuki nasibnya akibat dieliminasi oleh sekolah dari perwakilan olimpiade sains. Ini semua akibat kesalahan yang dilakukannya di tahun lalu. Ah, Kinan jadi gagal mendapatkan beasiswa kuliah di luar negeri! Padahal kalau dia berhasil membawa pulang medali emas, dia bisa meraih impiannya kuliah gratis di luar negeri melalui program Russelia GTC (Goes to Campus). Namun di saat keputusasaa...
Ineffable class
373      241     12     
Mystery
Seluruh penghuni kelas XII IPS E rata-rata tidak waras. Di mana ketua bucin menjadi wakil ketua dan ketua kelas sendiri adalah musuhnya guru BK. Dari 15 siswa separuhnya kerapkali hilang saat jam pelajaran, 5 lainnya tidur, sisanya pura-pura menyimak guru. 15 kepribadian berbeda yang jarang akur ini, harus bersatu mencari wali kelas dikabarkan menghilang selama seminggu. Gawatnya, tuduhan tidak...
Asmara Mahawira (Volume 1): Putri yang Terbuang
5622      1069     1     
Romance
A novel from Momoy Tuanku Mahawira, orang yang sangat dingin dan cuek. Padahal, aku ini pelayannya yang sangat setia. Tuanku itu orang yang sangat gemar memanah, termasuk juga memanah hatiku. Di suatu malam, Tuan Mahawira datang ke kamarku ketika mataku sedikit lagi terpejam. "Temani aku tidur malam ini," bisiknya di telingaku. Aku terkejut bukan main. Kenapa Tuan Mahawira meng...
Lullaby Untuk Lisa
4072      1354     0     
Romance
Pepatah mengatakan kalau ayah adalah cinta pertama bagi anak perempuannya. Tetapi, tidak untuk Lisa. Dulu sekali ia mengidolakan ayahnya. Baginya, mimpi ayahnya adalah mimpinya juga. Namun, tiba-tiba saja ayahnya pergi meninggalkan rumah. Sejak saat itu, ia menganggap mimpinya itu hanyalah khayalan di siang bolong. Omong kosong. Baginya, kepergiannya bukan hanya menciptakan luka tapi sekalig...