Read More >>"> When Magenta Write Their Destiny (Blok 6: Gabriella) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - When Magenta Write Their Destiny
MENU
About Us  

Semesta Gabriella

“Brieeeel ...!”

“Ella ...!”

Gue sama Gabriel udah kayak pasangan di film India aja. Kedua kaki jenjang gue berlari ke arahnya. Lengan gue terentang. Gabriel peluk gue erat banget. Kaki gue bertumpu dengan kakinya, trus kami menari berputar kayak orang lagi nari Piroutes.

Pool bus Jasa Mulia lengang malam ini. Pegawai PO berseragam merah lalu-lalang di sepanjang pelataran pool yang dilapisi paving block. Para pedagang makanan bersiap menutup lapaknya. Belasan batang lampu di penjuru pool membuat gue bisa menatap wajah pujaan hati lebih jelas.

Gabriel keliatan capek banget. Ya iyalah, dia baru selesai kerja. Kalian kira bawa bus segampang bawa mobil biasa? Sebenernya gue pengen banget Gabriel mundur dari pekerjaannya yang sekarang. Tapi gue belum berani bilang karena gue belum jadi siapa-siapa buat dia.

Yups, selama setahun ini gue HTS-an sama Gabriel. Terserah deh mau dibilang apa hubungan kami. Friend zone, kakak adik zone (tapi gue sama dia, ‘kan seumuran), atau driver zone. Satu hal yang pasti: gue bahagia sama dia. Di dekatnya, gue tenang. Dialah sumber kekuatan gue. Gabriel, Mama, dan Magenta adalah tiga hal paling berarti dalam hidup gue.

Okelah kami cuma HTS-an. Tapi karena dialah gue nolak cinta belasan cowok. Kunci hati gue udah ada di tangan Gabriel. Cuma dia yang boleh panggil gue Ella, panggilan masa kecil yang pengen gue hindari.

“Makan, yuk. Ke Carnivor ya,” ajak gue riang.

“Boleh. Gue traktir.”

Sesaat gue diam. Ini nih, yang masih jadi dilema buat gue. Gabriel tuh orangnya gengsian. Mungkin karena dia cowok kali ya. Tiap kali kami jalan, dia selalu ngotot pengen traktir. Padahal gue tau penghasilannya nggak seberapa. Segede-gedenya gaji sopir bus, masih lebih kaya pemilik PO busnya. Sebesar-besarnya upah Gabriel, masih lebih banyak uang bulanan gue.

“Oke,” balas gue akhirnya. Nantilah gue pikirin cara biar gue aja yang bayar.

Gabriel raih tangan gue. Huaaa, Mama, gue ngefly. Narkoba aja lewat. Ups ... maksudnya, Gabriel adalah candu gue. Kami berjalan meninggalkan pool. Di jalan raya, kami menyetop angkot berbadan putih-merah muda rute Caringin-Dago. Sejak dekat sama Gabriel, gue udah terbiasa banget naik-turun bus dan angkot. Mobil kesayangan gue udah berdebu kali di garasi saking jarangnya dipakai. Gue bahkan lebih milih naik angkot atau bus kota ketimbang ojek daring.

Angkot melaju kencang melintasi ruas jalan Padjadjaran. Melewati sebuah panti sosial khusus orang-orang yang bermasalah dengan penglihatan. Liat plang nama panti itu, hati gue seberat batu. Gue jadi ingat Yuke. Teman sekelas gue yang membanggakan.

“Hey, ngelamun?”

Suara lembut Gabriel mengoyak tirai lamunan. Gue menoleh ke arahnya. Dia lagi genggam tangan gue.

“Takut, ya? Sopirnya ngebut banget memang,” tukasnya.

“Bukan, Briel. Gue lagi ingat seseorang.”

Alis Gabriel terangkat. “Siapa? Mantan lo?”

Kesal, gue mencubit pinggangnya. “Iiih, nggaklah. Gue berprinsip buanglah mantan pada tempatnya.”

Gabriel tertawa. Sopir yang tengah mengemudi menoleh sekilas ke tempat duduk kami.

“Trus ingat siapa, Ella?” selidiknya setelah tawanya hilang.

“Inget temen sekelas gue. Namanya Yuke. Dia kehilangan penglihatan karena Ulkus Kornea. Lo tau panti yang tadi kita lewati? Nah, dia pernah tinggal di situ.”

Bibir Gabriel membulat membentuk huruf O tanpa suara. Angkot yang kami tumpangi berbelok tajam ke jalan Pasirkaliki. Gabriel jadi penasaran dan bertanya tentang Yuke. Gue ceritain aja sedikit tentang dia. Plus keadaannya yang sekarang. Dan keheranan gue karena Aini punya panggilan jiwa yang segitu kuatnya buat mengurus anak pemilik PT Larasati Healthcare itu.

“Ya bagus, dong. Tandanya Aini itu aslinya baik. Nggak se-money oriented yang lo pikir.” Gabriel menanggapi dengan bijaksana.

Hmmm, benar juga ya. Kenapa gue malah curiga? Harusnya, ‘kan gue support.

Tanpa terasa, kami tiba di daerah Dago. Kawasan elite di kota kembang. Cafe, apartemen, dan rumah-rumah di sini identik dengan citra kemewahan.

“Btw, lo tau nggak kenapa kawasan ini namanya Dago?” Gabriel melemparkan pertanyaan absurd.

Gue angkat bahu. Memang dasar warga durhaka. Gue lahir di sini, besar di sini, tapi asal-usul nama daerah di Bandung aja gue nggak tau. Ketidaktahuan gue berbuah sentilan Gabriel di hidung gue.

“Payah,” ledeknya. Matanya membesar nakal.

Deg

Jantung gue berdentang kayak elastik besar yang dilentingkan. Gabriel menawan banget kalo lagi senyum kayak gitu. Terlepas dari wajahnya yang terbakar kehitaman. Huaaa, makin cinta gue sama cowok memesona di sebelah gue ini.

“Jadi, dulunya itu Dago area perkebunan yang luas. Tepatnya di masa penjajahan Belanda. Tiap minggu, para petani menjual hasil kebun mereka ke pasar. Tapi di sini sering jadi tempat para perampok waktu itu. Petani, ‘kan bukan pegulat. Mana sanggup melawan perampok? Jadilah mereka ngadagoan atau nunggu di sini sampai kawanan perampok lewat. Makanya daerah ini dikasih nama Dago,” tutur Gabriel panjang lebar. Binar antusias terpancar di matanya. Senang karena bisa jelasin hal yang belum pernah gue tahu.

“Sesederhana itu? Gue kirain ada apa gitu, ini daerah dinamain Dago.”

“Yups. Memang sesimple itu.”

Angkot berdecit di Jalan Riau. Kami melompat turun. Gue dan Gabriel adu cepat mengulurkan lembaran ribuan ke tangan sopir angkot. Hap, gue lebih cepet. Gabriel merengut. Dia mengantongi lagi uangnya. Gue tersenyum penuh kemenangan. Kayaknya gue mesti kayak gini lagi deh nanti.

**   

Seorang pramusaji tersenyum manis menyambut kami. Dia mengantar kami ke meja bertuliskan ‘reserved’. Ah, gue kalah cepat. Gabriel udah reservasi duluan.

Carnivor itu resto kesayangan gue. Suasananya yang romantis, dinding batu coral, sofa empuk, dan lampu kekuningan yang menebarkan cahaya lembut bikin betah lama-lama. Apa lagi makanannya enak banget.

Gue membolak-balik buku menu. Sebenernya gue udah tau sih mau pesan apa. Cuma mau menghindar aja, biar nggak liat muka manyunnya si Gabriel. Dia cemberut terus sejak turun dari angkot.

“Ella.” Gabriel menyenggol tangan gue.

Buku menu jatuh. Memang salah gue karena pegangannya longgar. Gue mendongak menatapnya.

Tiap-tiap kata yang kau ucap

Kuurai, yakini, dan kusimak

Apa pun itu dari pikirmu

Kau bawa bahagia ke dekatku

“Udahlah, Brieeel. Lo mau protes soal bayar angkot, ‘kan? Gue nggak nerima protes!” sergah gue nggak sabar.

“Bukaaan, bukan soal itu. Gue mau curhat.”

Sontak gue mengembalikan pandang ke arahnya. Curhat? Sebuah kata yang sangat langka terlontar dari bibirnya. Biasanya gue yang nyerocos ceritain masalah hidup. Yah, walau masalah hidup gue nggak jauh-jauh dari tugas kuliah dan bingung mau milih baju apa, Channel atau Burberry.

“Curhat apa, Briel?” tanya gue lembut.

Namun sebelum dia membuka mulutnya untuk bicara, gue angkat tangan memanggil pelayan. Gue sebutin semua pesanan gue. Tiga porsi tenderloin steak, tiga porsi calamari fritti, dan tiga porsi salmon pizza. Minumnya gue pesan tiga gelas oreo milkshake dan dua botol air mineral. Gabriel terbelalak dengar pesanan gue.

“Buset, cantik-cantik perut karung juga, ya,” komentarnya.

Gue terkikik geli. “Enggaklah. Ini bukan buat gue semuanya. Tapi buat lo. Gue tau, kali, lo butuh asupan energi sehabis kerja. Oh ya, tadi lo mau curhat apa?”

Kau buatku lupa tentang waktu

Kapan pun itu di wahanamu

Di harummu aku hanyut

Di hangatmu aku larut

Ingin dekat-dekat

Gabriel menghela napas dan mulai bicara.

“Lo tau, ‘kan? Tahun ini mudik Lebaran dilarang sama pemerintah. Biar rantai penyebaran virus nggak makin parah. Gue sendiri juga heran kenapa larangan kayak gini masih ada. Padahal program vaksinasi jalan terus. Lo tau apa artinya ini? Gue nggak bakal dapet bonus tahunan. Padahal musim Lebaran tuh bagus banget buat sopir bus kayak gue kumpulin uang.”

Miris gue dengar curhatannya. Tau nggak, gue jadi merasa egois. Cuma mikirin diri sendiri atau kesenangan pribadi. Padahal di luar sana, banyak orang kerja banting tulang untuk memperjuangkan hidup yang keras. Gue pegang tangannya erat. Andai bisa, gue mau kok transfer sebagian jatah bulanan gue ke dia. Tapi gue takut dia bakal tersinggung.

“Gimana kalo lo ganti kerjaan aja? Driver ojek atau taksi online misalnya?” saran gue.

Sesaat gue optimis Gabriel bakal setuju. Betapa herannya gue karena dia menggelengkan kepala. Katanya, nggak segampang itu dia ninggalin kerjaannya yang sekarang. PO Jasa Mulia udah terlalu baik sama dia. Selama pandemi, walaupun terus merugi, PO Jasa Mulia tetap kasih gaji penuh buat dia.

Sampai di sini gue nggak berani mendesak lebih jauh. Gue kasih kebebasan buat dia memilih. Otak gue berputar, cari cara buat meringankan beban dia. Mungkin gue bisa bayar kontrakannya atau bayar UKT-nya diam-diam. Bisa juga gue transfer jatah ke rekening dia tapi bukan atas nama gue. Saat ini gue cuma bilang.

“Yah, ambil aja segi positifnya. Lebaran nanti lo bakal punya waktu luang. Lo bisa berbahagia di hari raya tanpa kelelahan. Ntar gue temenin lo pas Lebaran.”

Dekat di pelukmu

Duhai sayang

Denganmu tenang

Hanya kau yang mampu

Melengkapiku

Duhai sayang

Denganmu tenang

Hanya kau yang mampu

Buat penuh hatiku (Yura Yunita-Duhai Sayang).

Tiba-tiba Gabriel tarik tubuh gue ke pelukannya. Pelukan kedua malam ini. Dia belai rambut gue yang tergerai rapi. Gue hirup aroma tubuhnya dalam-dalam. Harum pewangi pakaian bercampur sedikit oli. Gue suka wangi ini. Gabriel memang nggak pernah pakai parfum. Dia lebih suka mengandalkan sabun atau pewangi baju.

“Makasih, ya, udah bikin gue tenang,” bisiknya.

Badan gue bergetar. Sungai darah di sekujur tubuh gue mengalir amat deras. Sentuhannya, senyumnya, suaranya bikin gue ketagihan. Gabriel adalah candu.

Pesanan kami datang. Saat itulah gue bangkit berdiri dan pamit ke toilet. Sebenernya gue modus aja, sih. Bukannya ke toilet, gue memutar ke meja kasir dan bayar bill. Penerangan di resto yang remang-remang menyamarkan sosok gue. Pas gue mau balik ke meja, mata gue bertabrakan dengan sosok perempuan yang gue kenal. Perempuan itu berambut pendek, berkacamata, dan berkulit gelap. Dia pegang hp di satu tangan dan tangan lainnya menyuapkan potongan daging panggang.

Cepat-cepat gue balik ke meja. Ucapan Gabriel yang mau ajak gue ngobrol gue cuekin. Gue ambil si apel tergigit dari tas dan mulai ngetik pesan di WAG.

Magenta

Gabriella Jagunab Aryaprabawa:

Oiii, gue liat si Miss Fake di Carnivor.

Marina Wan Kandouw

Ngapain tuh orang?

Aini Trunajaya:

Katanya mantan sahabat. Kok masih ditanyain? Jangan-jangan lo haters rasa stalker, ya?

Erika Wiguna:

Iya tuh si Marina, heran gue. Kan dia udah di-kick dari circle lo.

Benita Rorimpandey

Aku pikir nggak ada salahnya kasih kesempatan kedua buat Rahmania.

Gabriel baca rentetan pesan di grup Magenta. Raut wajahnya keliatan nggak senang.

“Kenapa, sih, sesama perempuan saling menyakiti?” Pertanyaannya mengusik gue.

Gue taruh hp di sebelah piring steak. Tangan gue bergerak memotong daging lezat dengan kematangan medium itu.

“Dia duluan yang ngecewain sahabat gue. Yah, sebenernya gue nggak kenal-kenal amat sama si Miss Fake,” tutur gue, mulai memakan steak.

Kedua alis Gabriel menukik. “Kenapa juga harus kasih panggilan jelek ke orang?”

“Ya karena dia layak dapetinnya.”

Satu tangan Gabriel mengelus-elus dagunya. Ia sepertinya sedang mengingat penggalan obrolan tadi.

“Mungkin Benita benar.”

“Benar apa?”

“Ya benar. Kasih kesempatan kedua nggak ada salahnya.”

Gue mendengus. Marina bukan orang kayak gitu. Dia nggak gampang memaafkan dan melupakan.

“Cie, ngedukung Benita. Naksir, yaaa? Anaknya cantik banget, loh. Lembut, dewasa, anggun. Cocok sama lo,” goda gue. Padahal jauh di dalam hati gue ada yang sakit. Mana gue rela Gabriel akhirnya sama Benita?

Tawa Gabriel kembali lepas. Diacaknya rambut gue.

“Ella ... Ella, siapa juga cewek yang mau sama gue? Udah miskin, jelek, item pula,” ejeknya pada diri sendiri.

“Memangnya item itu jelek? Kulit gelap nggak selalu jelek, Briel. Kalo nggak ada yang mau sama lo, gue apa kabar selama setahun ini?”

Ucapan gue menohok hati Gabriel. Dia tertunduk, keliatan salah tingkah. Yang terjadi beberapa menit setelahnya adalah kami makan dalam diam.

“Bentar gue bayar dulu,” kata Gabriel pelan begitu kami selesai makan.

Gue menatap punggungnya yang menjauh. Mau nggak mau gue nahan senyum. Biar aja dia tau sendiri. Nggak berapa lama, dia kembali ke meja dengan muka kusut.

“Kok udah lo bayar? ‘Kan gue bilang gu ....”

Secepat kilat gue taruh telunjuk di bibirnya. Tatapan gue kayaknya berhasil menghipnotis dia. Gue nggak terima protes. Lembut tapi tegas, gue gandeng tangannya ke luar resto.

Gabriel antar gue pulang seperti biasa. Mengantar yang dimaksud adalah dia nemenin gue pulang naik angkot. Nanti di depan Narcissa Regency, dia turun dan anterin gue sampai depan rumah. Sepanjang perjalanan dari gerbang ke rumah, gue curi pandang ke arahnya. Omongan Gabriel yang menjelekkan diri sendiri terus terngiang. Hal ini mengganggu pikiran gue. Ada yang pengen gue tanyain dari dulu sama dia.

Pagar cokelat rumah mewah bertingkat dua itu kian dekat. Dua dari empat mobil di selasar rumah gue terparkir rapi. Langkah Gabriel terhenti. Kami udah sampai.

“Gue balik ya,” pamitnya. Lembut membelai rambut gue. Hal yang selalu dia lakukan sebelum berpisah.

“Briel, tunggu.”

Terdorong niat impulsif, gue pegang tangannya. Dia mengurungkan niat untuk pergi. Gue tarik napas dalam-dalam dan memberanikan diri bertanya.

“Apa ... apa yang terjadi sama wajah lo? It-itu bukan wajah asli lo, ‘kan?”

Gue panas dingin pas tanyain itu. Sungguh, gue takut dia marah. Rasa penasaran sulit tertahankan. Gue berdiri kaku kayak patung batu, siap menerima ledakan amarah.

Bukan amarah yang gue dapat melainkan senyum pahit. Sejurus kemudian Gabriel keluarkan hpnya. Mengutak-atik file foto sebentar, lalu dia kasihin hpnya ke gue. Gue menerima ponsel Android itu dengan bingung.

Di layar, nampak foto seorang pemuda. Wajahnya sangat tampan dengan kulit putih bersih, rambut belah pinggir, hidung tinggi, dan dagu lancip. Gue suka mukanya yang bersih. Sekali lihat saja, gue tau ini bukan foto editan.

“Ini siapa, Briel?” tanya gue polos.

“Nah, lo nggak ngenalin, ‘kan? Lo pasti nggak percaya kalo gue bilang itu gue,” tunjuk Gabriel ke arah foto itu diselingi tawa hambar.

Gue tertegun sejenak. Pandangan gue berpindah-pindah dari foto ke wajah Gabriel. Beda banget.

“Lo tau tentang kebakaran pabrik Arthamulia tiga tahun lalu?”

Kotak ingatan gue terbuka. Kejadian itu memakan banyak korban jiwa, mulai dari buruh hingga pemilik pabrik. Arthamulia adalah pabrik besar penghasil makanan ringan. Jaringan distribusinya ke seluruh Indonesia sampai macanegara. Pabrik itu kabarnya dimiliki pengusaha asal Minahasa tapi gue nggak tau siapa namanya. Cuma nama keluarganya yang gue inget: Tambayong.

“Pabrik itu punya ortu gue. Pas kejadian itu, gue sama ortu lagi di pabrik. Mama-Papa meninggal dan gue berhasil selamat. Tapi ... muka gue kena luka bakar yang sangat parah. Aset keluarga gue habis buat bayar utang perusahaan dan santunan untuk keluarga pekerja pabrik.”

Tengkuk gue merinding. Refleks gue merapatkan tubuh ke Gabriel. Rasa takut menggelenyar di dada. Ternyata kisah hidup Gabriel setragis itu.

“Maaf, gue nggak bermaksud ....” Patah-patah gue meminta maaf.

It’s ok. Udah lama berlalu. Gue juga udah ikhlas.”

Sebesar apa jiwa Gabriel? Rasa cinta gue makin menguat. Gue semakin yakin kalau dialah orangnya. Orang yang tepat buat jadi teman hidup gue selamanya. Gue harus lakuin sesuatu buat dia.

Betapa terkejut Gabriel saat gue mengalungkan lengan ke lehernya. Dia terhuyung hampir jatuh. Sambil menatap matanya lurus-lurus, gue berujar.

“Briel, izinin gue bantu lo. Gue pengen bawa lo operasi. Kita cari dokter bedah terbaik. Kita akan kembalikan wajah lo. Lo mau, ‘kan?”

Gue harap kesungguhan gue bakal meluluhkan hatinya. Terbayang di benak gue kalau dia akan senang terima tawaran gue. Pasti dia pengen ganteng lagi. Sayang banget muka seganteng itu harus rusak karena si jago merah laknat.

Angan gue buyar saat dia lepas pelukan gue dengan kasar. Api menari-nari di netranya. Tangannya mengepal kuat. Rahangnya mengeras. Gelagatnya seolah dia pengen menelan gue hidup-hidup.

“Tawaran yang menggiurkan,” desahnya sarkas.

“L-lo mau?” Gue bertanya penuh harap walau harapan di hati mulai berguguran.

“Enggak usah, makasih. Gue nyaman dengan muka gue yang sekarang.”

Dingin, nada suaranya sedingin freezer. Gue membeku. Dengan kemurkaan yang ditahan, Gabriel melanjutkan.

“Lo pikir lo bisa jadiin gue apa yang lo mau dengan uang? Lo pikir lo bisa membeli dan mengatur hidup orang miskin kayak gue?”

“Nggak, Briel. Maksud gue bukan gitu. Gue ....”

“Gabriel Tambayong udah jatuh miskin. Ketampanannya hilang. Tapi bukan berarti dia nggak punya harga diri!”

Nada suara Gabriel meninggi. Amarahnya meletup. Gue menoleh kanan-kiri, takut ada ART atau Mama dengar perselisihan kami.

Napas Gabriel memburu. Dia jelas kecewa karena gue kasih penawaran bodoh. Pastilah sekarang dia mikir macam-macam ke gue.

“Asal lo tau, ya, Thalita Gabriella Jagunab Aryaprabawa! Hidup gue nggak bisa lo beli sama uang! Gue sadar kok, gaji gue nggak ada apa-apanya dibanding uang jajan lo tiap bulan! Ada tembok tinggi di hadapan kita! Lo malu, ‘kan, jalan sama orang jelek kayak gue? Fix, ini pertemuan kita yang terakhir!”

“Nooo!” pekik gue, mencengkeram erat pergelangan tangan Gabriel.

“Gue nggak pernah malu jalan sama lo, Briel. Gue lakuin itu karena ... karena gue cinta sama lo!”

Berhasil. Gue berhasil meneriakkan tiga kata magis itu di depan wajahnya. Gerakan Gabriel terhenti. Murka di wajahnya berangsur lenyap tergantikan kesedihan amat sangat. Dan ... gue berani sumpah kalo rasa cinta gue terbalas. Keliatan banget dari sendu matanya.

“Makasih udah cinta gue. Bodoh kalo gue bilang nggak ada rasa sama lo. Lo terlalu sempurna buat gue. Tapi gue nggak bisa bareng sama cewek yang nggak mau terima gue apa adanya.”

Setelah berkata begitu, Gabriel menyentak lepas tangannya dari pegangan gue. Dia berjalan pergi. Gue merosot di bawah pagar, terisak pilu.

**    

Hujan lebat bersorak-sorai mengguyur kota. Gue membawa laptop ke ruang tamu dan mengempaskan pantat di sofa. Mata gue merah. Untung Mama lagi nggak ada di rumah. Jadinya gue nggak perlu kasih alibi.

Perlahan gue buka laptop. Kalau Sam Smith bisa bikin lagu pas dia galau, gue juga lebih produktif nulis dalam keadaan sedih. Gue mulai nulis bab pertama buat novel terbaru gue. Sesekali gue lirik hp, berharap Gabriel kontak gue. Dia nggak bisa dihubungi sejak semalam. Obrolan seru di grup Magenta juga nggak gue gubris.

Gue menulis dan terus menulis. Berharap hujan yang mengguyur deras pagi ini menyapu bersih sampah otak gue. Novel ini akan gue persembahkan buat Gabriel. Setelah rampung, anak Magenta yang bakal jadi pembaca pertama.

Hmmm, anak Magenta pasti bingung karena gue ghosting dari semalam. Cek grup bentar ah. Gue kaget baca pesan teratas.

Aini Trunajaya:

Kayaknya Yuke bakal keluar dari kuliah. Atau mungkin cuti. Keadaan psikisnya parah banget.

 

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Secangkir Kopi dan Seteguk Kepahitan
527      291     4     
Romance
Tugas, satu kata yang membuatku dekat dengan kopi. Mau tak mau aku harus bergadang semalaman demi menyelesaikan tugas yang bejibun itu. Demi hasil yang maksimal tak tanggung-tanggung Pak Suharjo memberikan ratusan soal dengan puluhan point yang membuatku keriting. Tapi tugas ini tak selamanya buatku bosan, karenanya aku bisa bertemu si dia di perpustakaan. Namanya Raihan, yang membuatku selalu...
Pieces of Word
2329      816     4     
Inspirational
Hanya serangkaian kata yang terhubung karena dibunuh waktu dan kesendirian berkepanjangan. I hope you like it, guys! 😊🤗
My Doctor My Soulmate
74      65     1     
Romance
Fazillah Humaira seorang perawat yang bekerja disalah satu rumah sakit di kawasan Jakarta Selatan. Fazillah atau akrab disapa Zilla merupakan seorang anak dari Kyai di Pondok Pesantren yang ada di Purwakarta. Zilla bertugas diruang operasi dan mengharuskan dirinya bertemu oleh salah satu dokter tampan yang ia kagumi. Sayangnya dokter tersebut sudah memiliki calon. Berhasilkan Fazillah menaklukkan...
Let's See!!
1680      790     1     
Romance
"Kalau sepuluh tahun kedepan kita masih jomblo, kita nikah aja!" kata Oji. "Hah?" Ara menatap sahabat kentalnya itu sedikit kaget. Cowok yang baru putus cinta ini kenapa sih? "Nikah? lo sama gue?" tanya Ara kemudian. Oji mengangguk mantap. "Yap. Lo sama gue menikah."
Tuan Landak dan Nona Kura-Kura
2534      853     1     
Romance
Frans Putra Mandala, terancam menjadi single seumur hidupnya! Menjadi pria tampan dan mapan tidak menjamin kisah percintaan yang sukses! Frans contohnya, pria itu harus rela ditinggal kabur oleh pengantinnya di hari pernikahannya! Lalu, tiba-tiba muncul seorang bocah polos yang mengatakan bahwa Frans terkena kutukan! Bagaimana Frans yang tidak percaya hal mistis akan mematahkan kutukan it...
Anything For You
3034      1223     4     
Humor
Pacar boleh cantik! Tapi kalau nyebelin, suka bikin susah, terus seenaknya! Mana betah coba? Tapi, semua ini Gue lakukan demi dia. Demi gadis yang sangat manis. Gue tahu bersamanya sulit dan mengesalkan, tapi akan lebih menderita lagi jika tidak bersamanya. "Edgar!!! Beliin susu." "Susu apa?' "Susu beruang!" "Tapi, kan kamu alergi susu sayang." &...
Little Spoiler
929      572     0     
Romance
hanya dengan tatapannya saja, dia tahu apa yang kupikirkan. tanpa kubicarakan dia tahu apa yang kuinginkan. yah, bukankah itu yang namanya "sahabat", katanya. dia tidak pernah menyembunyikan apapun dariku, rahasianya, cinta pertamanya, masalah pribadinya bahkan ukuran kaos kakinya sekalipun. dia tidak pernah menyembunyikan sesuatu dariku, tapi aku yang menyembunyikan sesuatu dariny...
The Spark Between Us
6899      2494     2     
Romance
Tika terlanjur patah hati untuk kembali merasakan percikan jatuh cinta Tapi ultimatum Ibunda untuk segera menikah membuatnya tidak bisa berlamalama menata hatinya yang sedang patah Akankah Tika kembali merasakan percikan cinta pada lelaki yang disodorkan oleh Sang Ibunda atau pada seorang duda yang sepaket dengan dua boneka orientalnya
KSATRIA DAN PERI BIRU
141      118     0     
Fantasy
Aku masih berlari. Dan masih akan terus berlari untuk meninggalkan tempat ini. Tempat ini bukan duniaku. Mereka menyebutnya Whiteland. Aku berbeda dengan para siswa. Mereka tak mengenal lelah menghadapi rintangan, selalu patuh pada perintah alam semesta. Tapi tidak denganku. Lalu bagaimana bisa aku menghadapi Rick? Seorang ksatria tangguh yang tidak terkalahkan. Seorang pria yang tiba-tiba ...
Dapit Bacem and the Untold Story of MU
6405      1968     0     
Humor
David Bastion remaja blasteran bule Betawi siswa SMK di Jakarta pinggiran David pengin ikut turnamen sepak bola U18 Dia masuk SSB Marunda United MU Pemain MU antara lain ada Christiano Michiels dari Kp Tugu To Ming Se yang berjiwa bisnis Zidan yang anak seorang Habib Strikernya adalah Maryadi alias May pencetak gol terbanyak dalam turnamen sepak bola antar waria Pelatih Tim MU adalah Coach ...