Blok 2-Gabriella
Semesta Gabriella
“Thalita Gabriella Jagunab Aryaprabawa, would you be mine?”
Secarik kain merah yang dari tadi nutup mata gue dilepas. Gue kerjapkan mata, sedikit terkesan liat taman kompleks disulap jadi padang bunga mawar putih. Sudut-sudut taman dipasangi balon berbentuk hati. Pepohonan yang awalnya berdaun hijau kini dipenuhi foto-foto gue dalam berbagai pose. Ada foto gue waktu masih pakai seragam putih merah, foto pas Popsila (program MOS ala SMA Loyola sekolah almamater gue), foto setelah peluncuran buku pertama gue, bahkan foto liburan di Paris pun ada. Gue heran dari mana nih cowok dapet semuanya. Apa dia stalker gue ya?
Gue terdiam lama. Pandangan gue berpindah dari rimbunan pohon berisi foto gue ke arah meja bundar di tengah taman. Meja bertaplak linen putih itu dipenuhi hidangan favorit gue. Ada steak wagyu, puding cokelat, pizza, spaghetti aglio olio, dan seabrek makanan lezat lainnya. Buset, Laurel mau nembak cewek apa kasih makan orang sekampung sih? Persis di belakang meja perjamuan itu, terlihat sekelompok pemain musik dengan propertinya masing-masing: biola, baby piano, drum kecil, dan gitar akustik.
“Gimana, Gabriella? Mau nggak jadi pacar gue?” tanya Laurel sekali lagi. Dia masih berlutut di depan gue.
Saking asyiknya liatin dekorasi taman, gue sampai lupa. Gue nunduk natap cowok ganteng berwajah kebule-bulean itu.
“Hmmm ... gimana, ya?” Gue pura-pura pasang tampang berpikir. Raut muka serius plus jari telunjuk yang diusapkan ke dagu.
Tetiba Laurel bangkit. Gue kaget. Apa dia berubah pikiran karena kelamaan nunggu jawaban gue? Ternyata tidak, ferguso. Laurel berjalan ke meja hidangan trus bawa piring steak ke hadapan gue.
“Kalo lo terima, lo potong steak ini trus suapin gue. Tapi kalo lo nolak, lo potong steak ini dan lo makan sendiri,” titahnya.
Hening. Taman kompleks malam ini sunyi sekali. Bahkan, hewan-hewan malam yang biasanya ribut di sini seakan dibisukan. Gue ambil pisau dan garpu yang disodorkan Laurel. Setelah itu, gue potong steak dan gue suap potongan itu ke mulut gue. Laurel membelalak.
“Sorry Rel, gue nggak bisa,” kata gue menyesal.
“T-tapi kenapa, Ella?”
Shit, ngapain sih pakai panggilan masa kecil gue? Udah lama gue lupain panggilan itu. Mentang-mentang dia sobat masa kecil gue.
“Gue nggak suka sama lo.” Gue mengaku dengan jujur.
“Apa gue kurang baik? Kurang kaya? Kurang ganteng? Lo, ‘kan gitu. Biasanya nyari cowok yang lebih tajir dari lo.”
Rombongan pemusik yang setia menemani dari tadi menatap iba ke arah tuan mereka. Gue jadi mikir. Mereka dibayar nggak, ya, kalo hasil akhirnya kayak gini? Dari tadi, ‘kan mereka belum main.
“Pokoknya gue nggak bisa, Rel. Sorry ... tolong hargai keputusan gue.”
Laurel mengentakkan kaki ke rumput dengan frustrasi. Duh, kasihan dia. Gue jadi merasa bersalah. Tapi mau gimana? Gue udah terlanjur kasihin hati gue ke orang lain.
“Boleh gue tau alesannya? Please ....” Laurel memelas, raut mukanya nunjukkin kalo dia patah hati banget.
“Gue udah suka sama orang lain.”
Wajah Laurel berubah horor. Gue mundur satu langkah. Takut nih bocah bakal ngamuk gegara keinginannya nggak kesampaian.
“Kasih tau gue siapa cowok yang udah ngerebut hati lo. Apa dia selevel sama kita?” Laurel berucap gitu sambil merapatkan gerahamnya. Kedua tangan terlipat di depan perut.
Gue menelan saliva. Huaaa, Mama, gue belum siap kasih tau siapa pemilik hati gue sekarang. Gue takuuut.
“Pada waktunya lo bakal tau, Rel. Tapi nggak sekarang.”
Setelah berkata begitu, gue berbalik. Mengayun langkah meninggalkan taman.
Selangkah demi selangkah gue berjalan menuju rumah. Netra sipit gue terhujam ke langit kelam. Mungkin ini ilusi gue atau gimana, tapi samar-samar gue liat langit malam melukiskan seraut wajah yang gue sayangi banget. Wajah yang udah bikin hati gue teraduk-aduk.
“Gabriel ....”
**
Imej cewek sempurna melekat dalam diri gue. Gue cantik, pinter, kaya, dan berprestasi. Enam buku gue udah terbit di penerbit mayor dengan nama besar. Sejumlah penghargaan di dunia kepenulisan udah pernah gue raih. Dari SD sampai SMA, gue nggak pernah absen dari jajaran tiga besar. Pas semester satu kemarin, IP gue 3,95. Gue anak tunggal. Almarhum bokap gue punya perusahaan properti yang sukses. PT Kamajaya Real Property tbk, perusahaan punya mendiang Papa, yang membangun Narcissa Regency. Kompleks perumahan tempat tinggal gue dan Magenta. Nyokap sibuk urus bisnis butiknya. Kelak kedua bisnis itu bakal jatuh ke tangan gue kalo udah waktunya.
Kejadian Laurel nembak gue itu bukan baru sekali-dua kali gue alami, tapi udah nggak terhitung banyaknya. Wajar dong kalo banyak cogan plus tajir antre buat dapetin gue. Tapi semuanya gue tolak. Hati gue udah terlanjur nyangkut ke hati orang lain. Seseorang yang sangat spesial.
Pasti kalian kira cowok pujaan hati gue super ganteng atau anak konglomerat. Nggak, guys. Jauh dari itu. Dulu gue memang picky. Maunya jalan sama cowok berkantong tebal. Gabriella yang sekarang udah berubah seratus delapan puluh derajat.
Sebuah kejadian setahun lalu mengubah gue. Waktu itu beberapa bulan setelah kelulusan SMA. Gue sama anak Magenta hepi banget karena di tahun kami nggak ada UN. Terima kasih buat Mas Menteri yang udah batalin UN karena pandemi.
Niatnya gue pengen ziarah ke makam Papa. Udah lama gue nggak ke sana. Gue mutusin ke sana sendirian. Mama terlalu sibuk jadi nggak bisa temenin. Anak-anak Magenta waktu itu masih parno banget buat keluar rumah. Padahal pemerintah udah mulai menggaungkan masa normal baru.
Rencana itu nggak berjalan mulus. Sopir yang biasa anter gue minta cuti karena istrinya lahiran. Parahnya, mobil kesayangan gue harus masuk bengkel. Sementara mobil-mobil lainnya dipake semua. Entah dipinjemlah, atau dibawa Mama ke butik. Terpaksa deh gue naik transportasi umum.
Jarak Collina Cemetery tempat Papa dimakamkan sekitar 91 km dari rumah. Cuma ada satu moda transportasi umum kalo mau ke sana: bus Jasa Mulia. Jadilah gue pesan ojek online buat dianterin ke pool bus itu.
Sampai di pool, deretan bus berwarna putih dengan garis merah melintang di atasnya berjajar rapi. Orang-orang bermasker dan berbaju tebal lalu-lalang. Sejumlah pedagang makanan menggelar lapaknya di tepi halaman pool merangkap kantor Jasa Mulia Group. Seorang kondektur berseragam merah dan bermasker tiga lapis deketin gue.
“Mau kemana, Ci?” tanyanya ramah.
“Mana bus yang paling mahal dan paling nyaman?” tanya gue pongah.
“Oh yang itu, Ci. Bus super eksekutif. Tapi dia baru datang. Mungkin berangkatnya masih lama, ‘kan terjadwal.” Si kondektur menunjuk ke arah bus besar yang baru saja meluncur masuk ke halaman pool.
Refleks gue tepok jidat. Iya sih, busnya bagus dan mahal. Tapi berangkatnya entah kapan, cuy. Gue pengen cepet sampai di makam Papa.
“Kalo yang mau berangkat sekarang mana?”
“Ayo ikut saya, Ci. Saya sama teman saya mau berangkat.”
Teman? Pasti yang dia maksud supirnya. Gile, sebanyak apa armada Bus Jasa Mulia? Gue pun jalan mengikuti si kondektur ke sebuah bus bertuliskan Ekonomi. Baca tulisannya aja gue udah bayangin macem-macem.
Hmmm, ternyata nggak seburuk yang gue pikirin pas naik ke dalam bus. Livery bus cukup nyaman. Bangkunya terbuat dari kain yang empuk banget berwarna merah. Tiap tempat duduk dipasangi AC yang bisa dibuka-tutup sesuai keinginan. Kursi bus berbentuk reclining seat yang bisa diatur sesukanya. Di atas masing-masing bangku, ada kabin yang mirip kabin di pesawat buat menaruh tas. Namanya boleh bus ekonomi. Namun, di dalamnya ada TV! Gue berdoa dalam hati biar musik yang diputar bukan dangdut.
Gue ambil tempat duduk paling depan. Tas gue letakkan di spasi kosong sebelah gue. Karena ini masa adaptasi kebiasaan baru, protokol kesehatan jaga jarak tetap diberlakukan. Tiap tempat duduk yang harusnya diisi dua orang cukup satu orang saja. Syukur deh, gue nggak perlu sebangku sama orang yang nggak dikenal.
Persis di hadapan gue adalah bangku pengemudi. Baru tiga menit mendaratkan pantat di jok mobil yang nyaman banget, si sopir udah naik. Bus tancap gas meninggalkan pool. Gue iseng noleh ke belakang. Ah, keren. Bus ini tetap berangkat peduli amat mau penuh atau kosong sekalipun. Buktinya, bus tetap melaju walau penumpang hanya lima orang. Cakep banget nih PO Jasa Mulia. Loh, kenapa gue jadi muji angkutan umum, ya? Biasanya gue, ‘kan anti banget.
Bus meluncur kencang di sepanjang ruas jalan protokol. Tertib berhenti di lampu merah dan mengikuti peraturan lalu lintas dengan baik. Sesekali bus berhenti di pusat perbelanjaan atau pool lain untuk menjemput penumpang. Namanya bus ekonomi, so pasti kedatangan pedagang asongan tiap kali berhenti. Para pedagang itu berlompatan masuk sambil menawarkan makanan kecil dan perkakas. Idih, ada yang nggak sopan. Masa ada penjual nawarin pisau cukur sambil ngelempar tuh barang ke pangkuan tiap penumpang. Gue pengen misuh-misuh pas kena lempar pisau cukur.
“Memangnya gue udah ganti kelamin jadi cowok sampai butuh pisau cukur segala?” omel gue.
Samar gue dengar suara tawa tertahan dari bangku pengemudi. Wah, ngajak ribut tuh sopir. Dia ngetawain gue! Pasti dia liatin muka cantik gue yang ditekuk sampai tujuh abis dilemparin pisau cukur.
“Nggak biasa naik bis ya, Mbak?”
Gue tersentak. Apa barusan? Sopir bus ini ngajak gue ngobrol? Tumben gue dipanggil Mbak. Biasanya orang-orang manggil gue Ci.
“Iyalah. Gue, ‘kan biasa naik mobil pribadi!” ketus gue.
“Ow ... kemana mobilnya?” Si sopir manggut-manggut sambil nanya pertanyaan lanjutan.
“Kepo! Udah, nyetir yang bener aja lo!”
Percakapan terhenti. Bus terseok-seok menjelang gerbang tol. Tangan si sopir SKSD nyentuh tombol TV. Yes, doa gue terkabul. Playlistnya keren punya.
Dulu aku terluka
Saat kau tinggalkanku
Masih segar ingatku
Air mata untukmu
Sekarang ku berbeda
Aku setegar karang
Tak apa salah cinta
Agar kubelajar
Gue bersenandung mengikuti lagu. Enak banget lagunya. Perjalanan jadi makin hangat. Berasa kayak lagi naik mobil pribadi.
Terima kasih masa lalu
Kamu ajarku bahagia
Juga mengajarkan
Luka yang tak terlupakan
Kamu membuatku berbeda
Bahagia bukan karnamu
Tapi karena aku sayang aku
Suara siapa itu? Merdu banget. Ada yang ikutan nyanyi bareng gue. OMG, ternyata sopir itu! Ada bakat terpendam nih.
Sekarang ku berbeda
Aku setegar karang
Tak apa salah cinta
Agar kubelajar
Terima kasih masalalu
Kamu ajarku bahagia
Juga mengajarkan
Luka yang tak terlupakan (luka yang tak terlupakan)
Kamu membuatku berbeda
Bahagia bukan karnamu
Tapi karena aku sayang aku (Chintya Gabriella-Aku Sayang Aku).
Lama-lama gue penasaran. Siapa sih sopir ini? Dia beda dari kebanyakan sopir bus yang sering diceritain orang-orang. Gue ngintip ah.
Perlahan gue bungkukkan badan ke depan. Mata gue yang udah sipit jadi kian sipit gegara liatin cowok berseragam merah yang lagi nyetir. Gue intipin muka di balik masker itu.
Sedetik. Tiga detik. Lima detik. Astaga, mukanya item kayak abis kebakar. Rambut si sopir agak ikal. Hidungnya bangir. Tatapan matanya tajam tapi meneduhkan. Btw, mukanya kenapa ya? Gue penasaran, kaget, sekaligus ... agak berempati.
Buru-buru gue menegakkan tubuh. Takut ketahuan gue. Gue coba nikmatin sisa perjalanan meski hati gue nggak keruan.
Bus menderu menyusuri jalan bebas hambatan. Awalnya gue senang karena sopirnya ngebut. Jelang kilometer 97, gue waswas. Kok busnya oleng ke kanan-kiri, ya? Apa bannya bocor? Gue lirik Mas sopir. Dia ngantuk. Gawat, gue belum mau mati.
Tangan gue terjulur. Perlahan gue tepuk pundak si sopir sambil tanya.
“Mas, ngantuk, ya?”
Dia menatap gue terkejut. Kayaknya dia malu deh ketahuan ngantuk.
“I-iya, Mbak. Semalem saya nonton film. Lupa kalau pagi ini harus kerja lagi.”
Bibir gue membulat membentuk huruf O. Gue buka tas, berharap menemukan camilan atau apa pun yang bisa menghilangkan kantuk. Ternyata nggak ada. Ya kali, gue ngilangin ngantuknya mas sopir pakai alat kosmetik.
Bus menepi di rest area. Siklus yang sama terulang lagi. Pedagang asongan berbondong-bondong memasuki bus. Gue cegat pedagang tahu isi.
“Mas, beli tahunya.” Gue berkata sambil nyodorin tiga lembaran uang merah.
“Berapa?”
“Semuanya.”
Reaksinya bisa ditebak. Penjaja tahu isi tersenyum lebar. Jarang-jarang, ‘kan dagangannya diborong sekaligus. Sama cewek cakep lagi.
“Kembaliannya nggak ada, Ci. Saya baru mulai jualan,” tukasnya bersalah.
“Nggak usah. Lebihannya simpen aja. Oh ya, saya minta cabainya ya. Yang banyak.”
Ternyata gerak-gerik gue diperhatiin sama sopir ngantuk. Gue bangkit dan berjalan menghampiri bangku pengemudi. Beberapa potong tahu isi gue masukkin cabai. Gue sodorin ke mas sopir.
“Nih Mas, biar nggak ngantuk.” Gue kasihin itu tahu isi sambil senyum ramah.
Sopir itu tampak ragu. Memangnya dia pikir gue bakal ngeracunin dia? Ogah, lagian apa untungnya buat gue? Akhirnya dia makan juga tahu isi pemberian gue.
Semenit. Dua menit. Tiga menit. Wajahnya berubah merah padam. Bibirnya memerah kayak orang habis makan sirih pinang. Matanya menghamburkan likuid bening. Dia kepedasan sampai memukul-mukul dasbor.
Bodoh, gue lupa. Harusnya gue sekalian beli air minum tadi. Beruntung sedetik berikutnya kondektur bawain air mineral dalam gelas kemasan.
“Gimana, Mas? Udah nggak ngantuk?” tanya gue dengan nada minta maaf. Gue siap disemprot kalo dia marah.
“Udah, Mbak. Makasih ya. Makasih banget.”
Hati gue berangsur lega. Syukur deh dia nggak ngambek. Gue belum mau masuk kuburan soalnya.
Perjalanan kembali dilanjutkan. Kali ini bus lebih stabil karena pengemudinya udah lebih segeran. Berulang kali dia berterima kasih ke gue. Berkat tahu isi super pedas dan kepedulian seorang penumpang cantik, dia nggak ngantuk lagi.
“Udah Mas, sampai capek gue bilang sama-sama.” Gue mencoba berkelakar.
Mas sopir tertawa. “Iya, oke. Oh ya, kita belum kenalan. Nama Mbak siapa?”
Berani juga nih sopir ngajak gue kenalan. Ngakrab abis. Tapi kita memang kayaknya hampir seumuran sih. Mungkin dia lebih tua dikit.
“Gabriella. Jangan panggil gue Mbak lagi dong,” sahut gue.
Mata si sopir melebar. Apa nama gue kebagusan ya sampai dia kayak gitu?
“Nama kita hampir sama. Gue Gabriel.”
Hati gue mencelos. Coba gue cek tanggal. Bukan April Mop. Kebetulan apa pula ini? Driver bus namanya bagus amat.
Gue pandangi Gabriel lekat. Setitik rasa simpati menetes di hati. Kasihan juga ya, anak muda kayak dia udah harus kerja keras banting tulang. Gue jadi bersyukur sama keadaan gue. Mau makan enak, semua udah tersedia. Mau beli apa, mau jalan kemana, mau kuliah dimana pun, semuanya bisa terpenuhi. Kalau Gabriel? Belum tentu dia kayak gue.
“Kenapa, Gabriella? Liatin gue kayak gitu?” selidik Gabriel.
“Well, lo hebat. Lo mandiri dan pekerja keras. Gue salut sama lo,” puji gue.
Wajah Gabriel berubah mendung. Apa gue salah ngomong ya?
“Kalo nggak kepaksa, gue juga nggak mau kerja jadi sopir bus. Tapi ini satu-satunya cara biar gue bisa kuliah. Gue ikut kelas karyawan, kuliah jarak jauh. Gaji di PO Jasa Mulia lumayan banget,” tuturnya.
Dada gue meletup dengan kebanggaan. Aneh, Gabriel bukan siapa-siapa tapi gue banggaaa banget sama dia.
**
Perkenalan dengan Gabriel mengubah titik balik hidup gue. Pada awalnya gue nggak ngeh sama perubahan gue sendiri. Justru anak-anak Magenta yang notice. Kata Benita, gue nggak sesombong dulu. Selamat tinggal pamer mobil mewah atau kalung berlian. Erika bilang kalau gue lebih perhatian sama orang duafa. Sejak ketemu Gabriel, gue rutin menyantuni duafa tiap minggu.
“Anak Sultan kok naik bis?” ledek Marina malam itu pas gue ke rumahnya buat pinjam buku Morfologi Bahasa Indonesia.
“Yeee, biarin. Gue, ‘kan cinta lingkungan. Makanya gue naik kendaraan umum biar mengurangi polusi dan kemacetan. Memangnya lo, princess manja. Kemana-mana dianter Om Calvin mulu.” Gue berkilah sambil julurin lidah.
Marina bangkit dari tempat tidur. Dia lempar bantal ke muka gue. Gue ambil bantal sutra lain trus lempar ke dia. Alhasil kami perang bantal. Sampai sekarang anak Magenta belum tahu kedekatan gue sama Gabriel. Gue takut diledekin. Lagian gue sama Gabriel masih HTS-an. Demi bisa deket sama dia, gue bela-belain naik bus pas jadwal ritase dia buat ziarah ke makam Papa. Gue juga sering nemenin dia di luar jam kerja. Pernah juga gue gantiin temen kondekturnya, semacam jadi asisten dia selama perjalanan. Gue yang narik ongkos bus, kasih tiket ke penumpang, sampai bawain dia makanan. Gue seneng lakuin itu semua. Selama dekat Gabriel, gue akan selalu bahagia.
Hmmm, kalo dipikir-pikir, cuma Aini yang belum komen perubahan gue. Memang dasarnya tuh anak cuek setengah mati. Sibuk sama proyek nulis yang bejibun dan selalu mentingin kepentingan komersial. Heran gue sama tuh anak. Kapan berubahnya?
Dor! Dor!
Sayup-sayup gue dengar suara ledakan. Samar, jauh, tapi terasa menggetarkan dada. Gue sontak berhenti kejar-kejaran sama Marina. Princessnya Ayah Calvin itu pun surut langkah, mukanya memias.
“I-itu suara apa, Gabriella?” gagapnya, persis tokoh Gilberto di telenovela Amigos X Siempre.
Gue angkat bahu. Firasat buruk mulai berkelebatan.