Hari besar itu akhirnya tiba.
Naga datang ke kantor Palette setengah jam sebelum waktu yang dijanjikan Dimas. Sambil menunggu Dimas dan Dara menyelesaikan rapat evaluasi, Naga memilih untuk melihat-lihat ke bagian produksi.
Kelebihan Palette, selain branding-nya yang unik, mereka juga memproduksi sendiri sepatu-sepatu yang dijual di pasaran. Di bagian belakang kantor, terdapat semacam pabrik dengan skala kecil yang berisi puluhan pekerja. Suara mesin bubut tumpang tindih dengan bunyi ‘tok-tok’ yang berasal dari bagian pemasangan sol. Customer yang beruntung bisa berkunjung ke pabrik kecil ini, akan mendapatkan pengalaman membeli sepatu yang berbeda.
Pembelian langsung di store yang ada di depan kantor Palette, akan mendapat fasilitas melihat pembuatan sepatu pesanan secara langsung. Pembeli akan diukur dan diberikan pilihan bahan yang diinginkan. Kemudian, pembeli juga dipersilakan untuk memilih desain dan model sepatu yang dipesan. Sayang, pesanan tidak bisa ditunggu hingga selesai pada hari yang sama. Namun, Naga rasa, semua pembeli pasti akan memaklumi hal itu. Bukan hanya seorang yang ingin membeli sepatu Palette secara langsung.
Puas melihat-lihat pabrik produksi, Naga kembali ke kantor. Bertepatan dengan itu, Dimas dan Dara baru saja keluar dari ruang rapat. Dara melambai heboh begitu melihat Naga.
“Wah, aura lo beda banget pakai setelan kayak gini sama pake seragam biru merah,” komentar Naga yang langsung mendapat gaplokan dari Dara.
“Lo baru sampe?” Dimas memastikan, karena tadi dia sempat melihat Naga baru masuk ke kantor.
Naga menggeleng. “Udah dari setengah jam lalu. Gue ke belakang dulu tadi, lihat-lihat proses produksi.”
“Udah siap, kan?” Dara menggamit lengan Naga, membuat pemuda itu mengerling pada Dimas dan merasa besar kepala. “Ayo kita presentasikan ide cemerlang lo!”
Naga bohong jika mengatakan dirinya tidak gugup. Pemuda itu gugup sekali. Tangannya terasa dingin... dan panas sekaligus. Keringatnya menetes di punggung dan dada, padahal dia berada di ruangan berpendingin. Naga belum pernah merasakan kegugupan seperti ini sebelumnya. Bahkan, saat sidang skripsi, dia tidak merasa setakut ini. Apa ya, Naga kesulitan mendefinisikan perasaannya saat ini. Pemuda itu gugup, gelisah, dan takut.
Dara menepuk pundak Naga, mengembalikan kepercayaan diri yang hendak terbang meninggalkan raga. Perempuan itu meyakinkan Naga, ini adalah jembatan paling mulus yang akan membawanya ke masa depan cerah. Setelah mengembuskan napas panjang, Naga memulai presentasinya. Selain Pak Wirawan, Dara, dan Dimas, Naga tidak mengenal orang-orang yang ada di dalam ruangan tersebut. Jadi, jalan terbaik untuk meluruhkan rasa gugupnya adalah dengan tidak melihat mereka semua dan fokus saja pada Dara atau Dimas.
**
Presentasi yang memakan waktu nyaris tiga puluh menit itu berjalan lancar, setidaknya menurut Naga seperti itu. Pemuda itu masih gugup. Tangannya juga masih gemetaran, bahkan hingga di akhir presentasi. Namun, senyumnya terulas lebar. Dia lega, tentu saja. Apa pun hasilnya, dia akan menerima hal itu dengan lapang dada. Dia tidak akan memaksakan diri lagi kali ini. Jika memang belum berhasil meraih hati pada dewan direksi, Naga akan menganggap hari ini sebagai sebuah pengalaman berharga yang akan terus dia kenang.
Pak Wirawan dan segenap dewan direksi membutuhkan beberapa belas menit tambahan untuk berdiskusi. Naga diminta menunggu di luar ruang rapat. Kali ini, Naga sendirian. Tidak ada siapa pun yang menjadi support system-nya. Di titik ini, Naga sadar. Dia memang tidak bisa selalu mengandalkan orang lain untuk terus mendukung dirinya. Yang harus dia andalkan mulai saat ini hanyalah dirinya sendiri.
Yang pertama kali keluar dari ruang rapat adalah Dara. Perempuan itu langsung memeluk Naga dengan senyum lebar di wajahnya. Tanpa banyak kata, Dara mengajak Naga untuk masuk kembali ke ruang rapat.
“Saudara Naga, kami sudah berdiskusi dan mengambil keputusan terkait dengan presentasi yang baru saja Saudara sajikan. Kami memutuskan untuk menerima aplikasi Saudara. Selamat bekerja. Saya pribadi sangat menantikan ide-ide lain yang jauh lebih fresh dari ini.”
Naga merasa kakinya lemas. Kalimat Pak Wirawan membuatnya ingin menangis. Sampai semua orang di dalam ruangan itu keluar, Naga masih membeku di tempatnya.
“Saya ingin bicara secara pribadi sama kamu.” Pak Wirawan merangkul Naga dan mengajaknya keluar dari ruangan. “Gimana kabar Bapak?”
Tentu saja Naga tahu itu pertanyaan basa-basi. Namun, Naga tetap menjawabnya dengan sopan. “Baik, Pak. Perkembangannya cukup signifikan ke arah yang lebih baik. Terima kasih atas semua bantuan Pak Wirawan selama ini.”
“Sudah jadi kewajiban saya buat bantu Pak Mahdi. Beliau adalah orang kepercayaan saya. Selama bekerja, beliau nggak pernah bikin kesalahan yang membuat saya marah. Beliau adalah orang paling jujur dan apa adanya yang pernah saya kenal. Karena itu, saya juga yakin kamu adalah orang yang sama seperti bapakmu.”
“Saya nggak sebaik Bapak, tapi saya bisa pastikan kalau saya juga orang yang jujur.” Pak Wirawan terkekeh menanggapi sedikit kesombongan yang dilontarkan Naga.
“Jadi, Naga, saya pengin minta satu hal dari kamu.” Nada suara Pak Wirawan berubah menjadi lebih serius. “Saya pengin kamu desainkan satu gaun pengantin lukis, seperti yang kamu sampaikan dalam presentasi tadi.”
Naga mengernyit. “Apa ini tes lanjutan, Pak?”
Pak Wirawan menggeleng. “Oh, enggak, enggak. Ini nggak ada hubungannya sama pekerjaan, tapi ada hubungannya sama pemilik perusahaan.”
“Saya... kurang mengerti.”
Pak Wirawan tersenyum tipis. Senyum yang mengingatkan Naga pada senyum Bapak. “Saya pengin kamu bikinin gaun pengantin buat Dara.”
Naga membelalak. INI BERITA BESAR! “Kapan Dara mau nikah, Pak? Sama Dimas, kan? Saya kayaknya nggak setuju kalau Dara nikah sama orang lain selain Dimas.”
Senyum di bibir Pak Wirawan berubah menjadi kekehan. “Tenang aja, Dara akan menikah sama Dimas. Bagaimana pun, mereka saling mencintai. Untuk waktunya, masih lama. Tapi saya minta kamu persiapkan segalanya mulai sekarang. Untuk bayaran, jangan khawatir, saya akan membayarkan pesanan ini di luar gaji kamu sebagai karyawan Palette.”
Naga menanggapi kami terakhir itu dengan senyum. “Saya nggak perlu dibayar untuk ini, Pak. Sebuah gaun pengantin nggak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan semua dukungan dan bantuan yang Dara berikan pada saya sampai hari ini. Saya cuma mau Dara bahagia bersama dengan orang yang dia cintai.”
Nggak ada notifnya
Comment on chapter TWICE