Dara meminta Dimas untuk menunggunya di mobil. “Aku mau ngobrol bentar sama Naga.” Tentu saja itu bukan alasan yang dibuat-buat. Dara masih merasa permintaan maafnya pada Naga tempo hari kurang proper dan menyisakan sedikit rasa mengganjal di hatinya. Karena itu, begitu ada kesempatan, gadis itu tidak akan menyia-nyiakannya.
Naga terkekeh melihat interaksi mesra yang ditunjukkan Dara dan Dimas. Pemuda itu menyesap minumannya sebelum berseloroh, “wah, hati gue....”
“Maaf.” Ucapan Dara yang tiba-tiba membuat Naga nyaris menyemburkan minuman yang belum dia telan seluruhnya.
“Lo minta maaf setelah gue lihat adegan yang kata lo ‘nggak banget’ itu? Wah, lo emang nggak punya belas kasihan, Ra.”
“Bukan.” Dara berdeham, kemudian memajukan duduknya hingga lebih rapat dengan meja. “Gue bukan minta maaf buat itu. Tapi buat yang kemarin-kemarin.”
Naga mengernyit. “Yang kemarin-kemarin... maksud lo?”
“Gue nggak pernah berniat bohong sama lo, apalagi sampai nyakitin hati lo, soal identitas gue yang sebenarnya.” Sebuah helaan napas panjang keluar dari hidung gadis itu. “Gue nggak pernah nyangka bakal terlibat sejauh ini sama lo.”
Dara menggigit bibirnya, merasa terintimidasi saat pemuda di hadapannya menyandarkan punggung sambil bersedekap. “Jadi, tinggal di rumah gue nggak termasuk dalam rencana kabur lo, ya?”
Gadis itu menggeleng. “Selama dalam pelarian, gue selalu menghindari ketemu atau berinteraksi sama orang yang kenal gue atau pun yang kenal sama orang tua gue. Pak Mahdi jelas masuk ke dalam kriteria orang yang seharusnya gue hindari. Tapi malam itu gue udah nggak bisa mikir. Bokap gue ngirim orang buat beresin barang-barang gue di kosan. Gue kabur gitu aja sebelum ketahuan kan, eh, di depan gang malah ketemu sama Pak Mahdi baru pulang dari warung.”
“Bapak tahu lo kabur dari rumah?”
Dara mengangguk. “Gue terpaksa cerita semuanya. Gue nggak bisa bohong sama Pak Mahdi, orang yang kenal gue dengan baik dari kecil.”
“Oke, kalau gitu masuk akal.”
“Apanya?”
“Bapak gue bukan tipe orang yang impulsif bantuin orang. Apalagi kalau sebatas kenal karena lo anak temennya. Kalau pun Bapak mau bantuin, itu bukan dengan bawa lo pulang ke rumah ini. Mungkin aja Bapak bakal bantuin lo nego sama ibu kos lo, kalau misalnya lo beralasan diusir dari kosan kayak yang Bapak bilang dulu itu.”
Senyum Dara melebar. “Jadi, sebenernya lo udah curiga ya, dari awal?”
Sambil menggeleng, Naga terkekeh. “Nggak juga, sih. Gue bodo amat aja awalnya. Mulai curiga waktu lo nyuruh-nyuruh gue ngelamar lagi di Palette.”
“Maaf, ya, karena Palette udah bikin lo ngerasa nggak dihargai.” Dara menunduk. Perasaan bersalah itu kembali menyergap. Bayangan dirinya yang sangat antusias dan menyukai ide dari Bintang, kemudian dirinya yang memutuskan untuk membawahi langsung proses pengerjaan proyek tie dye kanvas itu, semuanya berkelindan menciptakan memori yang sejujurnya tidak ingin Dara kenang.
Dulu, mana pernah dia membayangkan ada orang lain yang kehilangan semangat mencapai mimpi hanya karena sebuah ide? Dara yang dulu, sama seperti Mas Gun dan Dimas, menganggap tidak ada ide yang benar-benar orisinal di dunia ini. Semua ide hanyalah modifikasi dari ide-ide yang sudah lebih dulu ada. Namun, begitu melihat langsung betapa kehilangan ide itu bisa berpengaruh besar terhadap jalan hidup seseorang, Dara jadi tahu.
Semua ide berharga, terlepas dia asli atau pun modifikasi. Dan selayaknya barang berharga, ide yang bagaimana pun bentuknya berhak mendapatkan perlakuan yang sama terkait hak ciptanya. Tanpa sadar, Naga dan kehidupannya mengajarkan banyak hal yang memang selama ini Dara cari. Ilmu yang tidak akan pernah dia dapatkan di jenjang sekolah setinggi apa pun. Ilmu kehidupan yang membuatnya bisa lebih menghargai orang lain.
Mendengar permintaan maaf Dara yang mengatasnamakan Palette, Naga kemudian menggeleng. “Palette nggak salah, kok. Kalau aja waktu itu gue punya keberanian buat protes, pasti perusahaan mau dengerin, kan? Gue yang harusnya berusaha lebih keras buat ngejaga ide gue, minta Bintang ngaku ke Palette gitu, misalnya.”
Dara sudah mendengar perihal Bintang yang malah menghilang setelah mengakui kesalahannya pada Naga. Gadis itu masih tak habis pikir, apa susahnya mengatakan ide itu bukan miliknya, toh pada akhirnya Bintang memilih untuk tidak menerima kontrak yang ditawarkan oleh Palette.
“Lo tahu apa yang bikin lo beda dari cewek-cewek kebanyakan?”
“Seriously, Ga? Tiba-tiba lo nanya kayak gitu?” Melihat senyum di wajah Naga, mau tidak mau Dara ikut tersenyum. Gadis itu lalu mencondongkan tubuhnya hingga lebih dekat dengan Naga. “Oke, bilang apa yang bikin gue beda sama Ayu.”
Naga mengernyit. “Kok jadi ke Ayu?”
“Ya terus, maksud lo beda sama cewek kebanyakan tuh siapa? Ayu bukan termasuk cewek kebanyakan emangnya?”
“Gue tuh, selama ini, ngerasanya udah kenal banget sama lo. Ternyata kita emang nggak sedekat itu, ya?”
Dara tertawa. “Lo kan deketnya sama Ayu, Ga, bukan sama gue.”
Pemuda itu berdecak. “Ayu lagi....”
“Lo tuh beneran nggak nyadar apa pura-pura aja, sih?” Dara memundurkan tubuhnya, bersandar dengan santai sambil mengamati ekspresi Naga. “Lo sebenernya tahu kan kalau Ayu suka sama lo?”
Sekali lagi dahi Naga berkerut tipis. “Nggak usah ngarang lo. Gue sama Ayu cuma sahabatan. Gue nggak punya perasaan apa-apa ke dia dan gitu juga Ayu. Cewek sempurna kayak dia nggak mungkin mau sama cowok kayak gue.”
“Sumpah ya, Ga, rasanya tuh gue pengin banget ngeremes mulut lo yang suka sembarangan kalau ngomong. Emangnya lo cowok kayak apa? Di mata gue, lo punya kualifikasi yang bagus sebagai cowok, yah, kecuali insecure lo yang keterlaluan itu. Terus nih, dari mana lo tahu Ayu nggak mungkin suka sama lo? Emang lo udah pernah nanya langsung?”
“Itu....”
“Nggak bisa jawab kan, lo!” Dara beranjak dari duduknya, meraih tas yang tadi dia geletakkan begitu saja di lantai. “Udah ah, cabut gue. Kasihan Dimas udah nungguin. Lo bisa pulang sendiri, kan?”
Naga hanya berdeham untuk menjawab pertanyaan terakhir Dara. Lelaki itu menandaskan minumannya sebelum akhirnya ikut beranjak.
“Mulai besok, gue bakal bantuin lo bikin presentasi. Jangan sampai lo kasih presentasi kayak yang pernah lo bikin dulu itu!”
Naga tertawa. Mereka berpisah setelah Naga menyempatkan diri untuk menyapa Dimas. Dara menatap punggung pemuda itu hingga betul-betul tak terlihat lagi. Seharusnya tadi dia bertanya, Naga pulang dengan bus atau kendaraan lain. Dara mengibaskan tangan, Naga bukan anak-anak yang harus dia khawatirkan seperti itu.
“Mau sampai kapan kamu lihatin dia kayak gitu?” tegur Dimas sambil melongokkan kepalanya melewati jendela mobil.
“Kenapa? Masa sama Naga aja kamu cemburu?”
“Oh, justru dia satu-satunya rival yang harus kuwaspadai. Dia punya potensi buat bikin kamu oleng dari aku soalnya.”
Dara melongo, kemudian tertawa tanpa suara. Ada sesuatu yang menyengat pipinya saat mendengar pernyataan cemburu yang secara tak langsung diucapkan Dimas barusan. Sengatan hangat yang menjalar hingga ke dalam hati. Jangankan kalian, Dara sendiri juga tidak tahu sejak kapan tepatnya perasaannya pada Dimas bertumbuh hingga sebesar ini.
Nggak ada notifnya
Comment on chapter TWICE