Naga benci mengatakan semua yang terjadi hari ini adalah keberuntungan. Pemuda itu lebih suka menyebut kebetulan itu sebagai takdir. Ayu, yang biasanya lebih suka naik kendaraan umum atau taksi online, hari ini membawa mobilnya saat janjian dengan Naga dan Choky. Jadi, begitu menerima telepon dari Ibu, Naga bisa segera meminjam mobil Ayu untuk membawa bapaknya ke rumah sakit.
Saat sampai di rumah, keadaan Bapak membuat hati Naga hancur. Pagi tadi Bapak memang mengeluh sedikit pusing, karenanya Ibu mengalah dan memilih untuk tidak berjualan lagi hari ini. Tidak ada yang menyangka Bapak akan mengalami hal ini saat siang hari.
Naga mondar-mandir di depan pintu ruang ICU. Sesekali matanya melirik ke arah sang ibu yang saat ini tengah dipeluk oleh Ayu. Ibunya sudah tidak menangis, sedikit lebih tenang dibanding saat Naga baru datang tadi. Pemuda itu menghela napas. Bapak.... Ini sudah hampir dua jam sejak Bapak masuk ke ruangan.
Tidak berapa lama, pintu ruangan itu terbuka, menampilkan seorang dokter laki-laki paruh baya yang tengah tersenyum tenang. Mengabaikan senyum di wajah dokter tersebut, Naga buru-buru menubruknya dengan berbagai pertanyaan.
“Gimana keadaan Bapak saya, Dok? Apa ada yang serius? Enggak kan, Dok? Cuma shock aja, kan?”
Choky menarik tubuh Naga agar menjauh sedikit dari dokter tersebut. Pemuda itu juga menggumamkan kata maaf yang disambut senyuman oleh sang dokter.
Dokter itu lalu menemui Ibu lebih dulu, menggenggam tangannya, lalu memberi kekuatan dari senyumnya yang menenangkan. “Ibu, Bapak nggak apa-apa. Setelah ini, kalau sudah stabil keadaannya, bisa dipindahkan ke kamar rawat. Silakan kalau mau ditemani, ya, tapi jangan diajak ngobrol dulu. Biar istirahat yang banyak.”
Naga tidak bisa mendengar jawaban ibunya. Dia hanya mengikuti langkah sang dokter ketika diberi kode untuk mengikuti lelaki tersebut. Naga, didampingi Choky, mengikuti dokter tersebut hingga ke ruangannya. Pemuda itu tidak pernah siap dengan apa pun yang akan dia dengar hari ini. Namun, jika bukan dirinya yang harus mendengarkan penjelasan dokter, siapa lagi memangnya?
“Begini, Mas. Sesuai hasil tes awal, Pak Mahdi mengalami NSTEMI, atau serangan jantung ringan. Kami masih harus memantau keadaannya hingga dua puluh empat jam ke depan untuk mengetahui seberapa besar risikonya di masa depan. Yang perlu Mas berdua pahami, penyakit kardiovaskular ini tidak bisa sembuh. Kita hanya bisa memberi terapi untuk mengurangi tingkat risikonya, tidak bisa menyembuhkan secara total.”
Naga menelan ludah, kemudian menoleh pada Choky yang ternyata juga tengah menatapnya. Sahabatnya itu menepuk pundaknya pelan, berusaha menyalurkan kekuatan. Sayangnya, saat ini, Naga merasa seluruh persendiannya lenyap. Tubuhnya terasa ringan sesaat setelah mendengar penjelasan singkat dari dokter. Jangan tanya apa dia betulan mengerti dengan penjelasan itu atau tidak. Naga merasa separuh jiwanya tidak berada di sini.
“Jangan terlalu khawatir. Yang paling penting adalah pengaturan pola makan dan pola hidup. Itu yang tidak bisa dilakukan pasien seorang diri, butuh dukungan dari keluarga. Biasanya, kami akan memberikan edukasi pada keluarga pasien lebih dulu sebelum membacakan diagnosa pada pasien. Banyak pasien penyakit jantung yang bertahan melebihi perkiraan dari dokter. Tergantung bagaimana Mas dan Ibu membantu Bapak pulih nanti.”
“Kira-kira....” Naga merasa suaranya tercekat, nyaris lesap di kerongkongan. “Menurut dokter, Bapak saya bisa bertahan sampai kapan?”
Dokter itu tersenyum. “Dokter bukan Tuhan, Mas. Diagnosa dan persentase hidup bukan sesuatu yang harus pasien khawatirkan. Kalau melihat hasil pemeriksaan awal ini, Pak Mahdi punya persentase hidup yang besar. Seperti yang saya katakan tadi di awal, perlakuan Mas dan Ibu sangat memengaruhi persentase itu.”
“Bisa nggak, Dok, kalau Ibu saya nggak perlu dikasih tahu soal ini? Takutnya nanti malah shock dan ikutan sakit.”
“Nggak bisa, Mas. Ibu justru harus menjadi orang yang paling tahu soal ini. Nantinya, beliau yang akan merawat Bapak di rumah. Kan nggak mungkin Mas yang ngerawat Bapak, sementara Ibu nyari nafkah.”
Kalimat terakhir itu telak menohok dada Naga. Pemuda itu langsung kehilangan kata-kata, bahkan untuk sekadar berpamitan dengan dokter saja, Choky yang harus mewakilinya. Jika tadi separuh jiwanya tidak ada di sini, sekarang Naga merasa raganya hanya raga kosong tanpa jiwa.
**
“Gue harus gimana sekarang?”
Saat ini, Naga, Choky, dan Ayu duduk di bangku panjang di kantin rumah sakit, meninggalkan Ibu yang bersikeras menemani Bapak seorang diri. Di meja di hadapan ketiganya, ada tiga gelas yang masing-masing berisi cairan berwarna merah kehitaman dengan batu es yang dipecah tak beraturan. Tak ada satu pun di antara mereka yang menyentuh gelas-gelas itu. Ketiganya fokus memikirkan satu hal yang sama, apa yang harus mereka lakukan setelah semua ini?
“Gue nggak mungkin ninggalin Ibu sendirian buat ngerawat Bapak. Gue juga nggak mungkin biarin Ibu cari duit sendiri. Kalian kan tahu, biaya perawatan terapi jantung itu nggak murah.”
“Oke, coba kita breakdown peluang dan kemungkinan yang bisa lo ambil dari dua opsi kerjaan yang kita bahas tadi.” Choky akhirnya mengambil kesempatan untuk memimpin diskusi kecil ini. “Lo diem dulu, Yu. Taruh dulu sentimen lo sama Palette. Kita kudu nyari solusi yang beneran solutif sekarang. Apa yang terjadi di masa lalu, nggak mungkin kita ubah. Kalau misalnya Palette adalah pilihan terbaik buat Naga, ya kita kudu siap lupain yang dulu pernah mereka lakuin ke Naga dan mulai lembaran baru.”
Ayu terdiam. Gadis itu juga sudah tidak memiliki keinginan untuk mempertahankan egonya. Masa depan Naga dan keluarganya jauh lebih penting saat ini ketimbang memberi makan ego yang tidak bisa diajak move on.
“Pertama, misalnya lo ambil tawaran buat Nokturnal. Kita masih harus rekaman, bikin album, jualan yang belum tentu bakal laku. Belum lagi kalau harus tur. Lo siap ninggalin orang tua lo buat tur ke luar kota?”
Naga menggeleng. “Nggak mungkin gue bakal punya hati buat ninggalin mereka sekarang ini.”
“Opsi kedua, Palette. Ini sebenernya tergantung perusahaan sih, ya. Gue kan juga nggak tahu nantinya lo bakal ditaruh di divisi apa, job desk-nya gimana. Kalau lo bisa pastiin itu sekarang, mungkin bakal lebih mudah buat milih Palette untuk saat ini. Selain itu, kestabilan penghasilan lo juga lebih terjamin di masa depan kalau lo milih nerima tawaran dari Palette.”
“Mungkin nggak ya, kalau gue nanya sama Dara soal ini?”
“Kenapa harus nanya sama Mbak-Mbak itu? Emangnya dia yang punya Palette?” sergah Ayu. Nada suaranya terdengar begitu kesal. Ayu tidak merasa perlu untuk menyembunyikan kekesalan itu.
“Ya siapa tahu emang dia yang punya Palette,” sahut Choky yang segera saja membuat Naga menatapnya heran. “Selama ini kan kalian nggak pernah beneran kenal sama dia. Pikir aja, logikanya, gimana mungkin dia bisa kenal dekat sama CEO Palette sampai bisa bikin tuh CEO bujukin Naga kalau Mbak Dara bukan siapa-siapa?”
Naga menggeleng demi menepis teori Choky itu merasuk ke dalam kepalanya. Memang di dunia ini tidak ada hal yang tidak mungkin, tapi rasanya cukup aneh kalau Dara benar-benar pemilik Palette.
Pemuda itu terkaget-kaget saat ponselnya berdering dan menampilkan nama Dara di sana. Naga masih belum terbiasa melihat nama itu dalam deretan nama di kontaknya. Kalau bukan karena Dimas yang memintanya, mungkin Dara tidak akan pernah mau membagi nomornya pada Naga.
“Gue kira, setelah keluar dari rumah gue, lo nggak bakal inget lagi sama gue,” sahut Naga begitu panggilan tersambung. “Kenapa? Gue belum bisa ngasih jawaban kalau lo mau nanya soal yang kemarin.”
“Nope. Bukan soal itu. Kalau itu sih, just take your time. Gue nggak akan maksa lagi.” Ada jeda sebentar sebelum Dara kembali bersuara. “Barusan gue ke rumah lo, mau ngambil beberapa barang yang masih ketinggalan. Tapi rumah lo dikunci. Mas Sakti bilang, Pak Mahdi jatuh di kamar mandi. Bener?”
Tanpa sadar, Naga mengangguk.
“Ga? Bener?”
“Iya. Sekarang masih di ICU buat pemeriksaan lanjutan.”
“Oke. Japri-in RS-nya, gue langsung ke sana.”
Nggak ada notifnya
Comment on chapter TWICE