Dara tidak biasa terbangun tengah malam. Namun, malam ini rasanya panas sekali. Ini bahkan belum tengah malam, Dara lalu mengingat-ingat. Berapa lama dia tertidur tadi? Ini hari ketiganya shift pagi. Minimarket tempatnya bekerja memberlakukan rolling shift setiap sebulan sekali. Jadi, selama sebulan ke depan dia hanya akan bekerja sampai pukul empat sore. Saat shift malam, Dara akan mencari pekerjaan sampingan untuk mengisi waktu pagi hingga sore harinya. Namun, saat shift pagi, gadis itu tidak bisa melakukan hal yang sama. Dia akan segera berangkat tidur setelah jam makan malam.
Hari ini Dara malah sudah tertidur sebelum jam makan malam. Pak Mahdi dan istrinya belum pulang dari warung. Naga? Aduh, jangan pernah menanyakan keberadaan pemuda itu pada Dara. Selain tidak peduli, Dara merasa Naga tidak pernah pulang. Pemuda itu akan keluar rumah bersama Dara, tetapi ketika gadis itu pulang, Naga belum juga kembali.
Saat melihat Bu Mahdi tidur pulas di sampingnya, Dara tersenyum. Beberapa hal dari ibu Naga membuatnya mengingat Mama. Rindu? Bukankah sudah jelas? Dara tidak pernah berada jauh dari ibunya selama ini.
Gadis itu bangkit dan beranjak keluar dari kamar. Mungkin duduk-duduk di taman rusun bisa membuatnya merasa segar. Pelan-pelan dia menutup kembali pintu di belakangnya, lalu sedikit terperanjat saat melihat Pak Mahdi tidur di sofa.
Dara mendesis. Naga gimana, sih, bapaknya dibiarin tidur di sofa gitu. Saat melihat pintu kamar Naga yang terbuka sedikit, Dara mengendap-endap ke kamar pemuda itu. Berniat membangunkannya agar Pak Mahdi bisa melanjutkan tidur di dalam kamar.
“Ga....” Dara berbisik sambil membuka pintu kamar lebih lebar. Gadis itu lalu terpaku di depan pintu yang masih dia pegangi kenopnya. Alih-alih menemukan Naga di dalam kamar, Dara justru melihat kertas-kertas yang berserakan di atas ranjang pemuda itu. Kemudian di sudut ruangan, sebuah kanvas berisi warna-warna random tergeletak begitu saja di lantai bersama beberapa kaleng cat. Dara memiringkan kepalanya untuk melihat cat-cat itu lebih saksama.
Akrilik? Fabric?
Gadis itu menggumam seraya mengangkat jenis cat yang dia gumamkan. Dahinya mengernyit. Sebuah pertanyaan terlintas di kepalanya saat melihat beberapa kaleng cat semprot juga ada di antara cat-cat itu. Naga melukis? Cowok kayak dia?
Mengabaikan segala penilaiannya tentang cowok seperti apa Naga itu, Dara memilih bangkit dan duduk di pinggiran ranjang. Sungguh, Dara hanya iseng saat melihat kertas-kertas yang berserakan di sana. Gadis itu tidak pernah berniat lancang, dia hanya ingin mengumpulkan berkas itu supaya tidak tercecer. Namun, siapa sangka dia akan menemukan sesuatu yang menarik perhatiannya.
Nama perusahaan dan alamat di amplop cokelat itu yang membuatnya tertarik. Saat menarik isinya, Dara membelalak. Gadis itu disambut dengan ijazah serta setumpuk sertifikat dan piagam beratasnamakan Sastra Nagara. Semuanya dari satu bidang; Seni Rupa. Kenapa dia masih nganggur kalau punya semua kualifikasi ini?
Sekeping VCD ikut jatuh saat Dara membalikkan amplop dan mengeluarkan semua isinya. VCD Presentasi, Dara menyimpulkan isinya dari judul yang tertulis di sampul kepingan itu. Gadis itu menimbang-nimbang, akan menyimpan benda itu atau tidak.
“Kalau gue balikin isinya kayak semula, Naga pasti nggak akan sadar ini hilang.” Rasa penasaran membuatnya nekat mengambil VCD itu dan menyembunyikan bersama barang miliknya yang lain. Setelah mengatur ranjang seperti semula, Dara buru-buru keluar dari kamar itu. Niatnya mencari udara segar belum hilang meski sempat terdistraksi.
Lantai satu rumah susun ini terdiri dari ruko-ruko yang tampaknya masih beraktifitas hingga malam hari. Beberapa warung kopi masih tampak ramai. Dara membalas senyum seorang lelaki yang tengah membuang isi asbak ke dalam tempat sampah di depan sebuah warnet. Hanya senyuman basa-basi. Lelaki itu juga belum tentu mengenalnya. Ah, siapa sih dia memangnya. Benar kata Naga, dia hanya numpang hidup di sini.
Dara tertegun saat melihat punggung yang familier di tengah taman. Naga. Bahkan pemuda itu masih mengenakan kaos yang sama dengan yang dipakainya siang tadi. Saat Dara mendekat, gadis itu mendengar denting gitar. Dia baru sadar, Naga tengah memangku sebuah gitar. Kepala pemuda itu menengadah, seolah chord yang akan dia mainkan tertulis di langit hitam. Dara ikut menengadah, kemudian tersenyum. Langit tidak benar-benar hitam ternyata.
“Gue pikir yang suka lihatin bintang tuh cuma cewek-cewek yang bucin sama drama Korea.” Dara mengempaskan tubuhnya tepat di samping Naga. Gadis itu terkekeh saat melihat ekspresi terkejut di wajah Naga. “Oh, iya. Gue lupa. Lo emang satu spesies sama cewek-cewek itu.”
“Paan, sih, lo. Dateng-dateng ngomong nggak jelas.” Pemuda itu sudah berhasil menguasai dirinya, kemudian kembali memainkan gitarnya.
“Ngapain lo malem-malem ngamen di bawah pohon randu? Emang Mbak Kuntinya mau kasih lo duit?”
Naga mendengkus, kemudian membalikkan badan dan menghadapkan punggunya pada Dara. “Gue nggak tahu lo ngapain ke sini. Tapi ini tempat umum. Urus aja urusan lo sendiri, jangan gangguin gue.”
“Sensi amat.” Dara terkekeh, mengabaikan nada sinis dalam ucapan Naga. “Baru ditolak sama CEO incaran lo?”
Pemuda di sampingnya itu berbalik dengan cepat, kemudian mendesis tepat di depan wajah Dara. “Gue nggak mau kasar sama cewek ya, Ra. Apalagi sama lo.”
“Semarah apa pun lo, gue tahu lo nggak akan main fisik.”
Naga membuka mulutnya, hendak membalas. Namun, hal itu urung dia lakukan. Sejujurnya, dia tidak mengerti ke mana arah pembicaraan Dara.
“Orang yang main fisik itu nggak tahu caranya pake otak. Elo bukan orang kayak gitu.” Dara menghela napas saat melihat Naga belum juga mengerti. “Kenapa lo nggak pernah gunain kemampuan otak lo buat hal yang lebih berguna? Daripada lo ngeband nggak jelas, main-main doang, dapet duit juga jarang. Lo punya kompetensi, kenapa nggak dipakai?”
Mata Naga memicing. “Lo masuk kamar gue.” Bukan pertanyaan, Naga menyimpulkan semuanya dalam satu pernyataan. “Sialan.” Pemuda itu melempar gitarnya kesal.
“Sorry. Gue nggak sengaja dan nggak bermaksud lancang. Gue cuma penasaran.” Dara tidak terusik dengan kemarahan Naga. Gadis itu tetap pada posisi duduknya, mempertahankan ekspresi datar di wajahnya. “Lo pernah ngelamar di Palette tiga tahun lalu. Kenapa nggak nyoba lagi kalau ditolak? Setahu gue....”
“Setahu lo, Palette selalu buka lowongan pekerjaan buat fresh graduate, bukan lulusan fosil kayak gue.” Naga nyaris menggeram, menahan emosinya.
“Ah.” Dara kehilangan kata-kata. Dia melupakan bagian itu. Haruskah dia bicara pada Dimas untuk mengubah peraturan itu? Tapi dia sudah memutuskan tidak akan ikut campur dengan urusan Palette. Akan sangat menyebalkan jika nanti Dimas meledeknya karena mengubah peraturan hanya demi seorang lelaki.
“Gue emang suka sama lo, Ra. Tapi bukan berarti lo berhak ikut campur dalam urusan pribadi gue. Kalau pun kita punya hubungan, katakanlah kita pacaran, lo juga nggak punya hak buat nilai hidup gue. Kecuali kita menikah, lo boleh sepuasnya ngatur gue.”
Dara mendengkus malas. “Gue cuma tanya, ya. Bukannya pengin nilai atau ngatur hidup lo. Geer amat lagian.”
Naga terkekeh. “Tanpa gue jawab, seharusnya lo udah tahu apa jawaban dari pertanyaan lo. Sebelum nanya, lo pasti udah nyari tahu soal Palette, kan? Orang kayak lo nggak mungkin nyerang orang lain tanpa senjata.”
Dara bangkit dari duduknya, kemudian berkacak pinggang. “Gue nggak nyerang, ya. Buat apa lagian.”
“Buat lo bandingin sama pacar sukses lo itu misalnya.”
Dara kesal sekali saat mendengar penekanan suara Naga pada frasa ‘pacar sukses lo’. Gadis itu mengentakkan kakinya seperti anak-anak yang tidak mendapatkan keinginannya. Naga tertawa melihat tingkah Dara itu.
Pemuda itu bangkit kemudian mendekat pada Dara. “Gue nggak keberatan kalau lo mau ngatur hidup gue. Lo tahu kan, apa syaratnya?”
“Lo!” Dara mengangkat tangannya dan menunjuk tepat di depan hidung Naga. Pemuda itu kembali terkekeh, lalu meraih tangan Dara.
“Jangan pakai alasan lo lebih tua kalau mau nolak. Tingkah lo sama sekali nggak nunjukin seseorang yang bentar lagi kepala tiga.” Naga mendecak sambil menggeleng-geleng. Tanpa menunggu Dara bereaksi, pemuda itu beranjak dari sana.
Dara ingin menjerit, tapi kemudian tersadar, dia akan menarik perhatian banyak orang. Mungkin bukan hanya orang-orang di lantai satu saja yang akan mendengar jeritannya nanti.
Nggak ada notifnya
Comment on chapter TWICE