“Kucing?” Naga membelalak melihat hewan berkaki empat itu menatapnya dari balik kandang. Bukan Naga tidak suka melihatnya, pemuda itu sebenarnya sangat menyukai kucing. Sayang, tubuhnya tidak mengizinkan. Dia akan langsung bersin-bersin seperti penderita sinusitis begitu menyentuh bulu hewan tersebut. Tidak masalah kalau hanya sekali dua kali, pasalnya, Naga tidak akan berhenti bersin hingga hari berganti.
“Cuma seminggu. Temen gue lagi pergi ke luar kota, jadi dititipin sementara.” Dara memberi alasan. Tidak mungkin dia mengatakan itu kucing miliknya. “Masa lo nggak kasihan sama dia?”
“Temen lo yang nggak kira-kira.” Naga menggerutu. “Apa dia nggak tahu kalau lo diusir dari kosan?” Pemuda itu mendecih.
Dara mengerucutkan bibir, apa mengungkit sesuatu memang kebiasaan Naga?
“Heran gue, bukannya lo punya pacar tajir, yang nganterin lo tadi. Kenapa bisa-bisanya nggak bayar kos sampai tiga bulan gitu, sih? Duit lo ke mana? Kerja sampai malam juga nggak bikin lo kaya. Boro-boro kaya, sekarang aja hidup lo numpang.”
Dara menyeringai. Sialan. Tahu begini, harusnya tadi dia menahan ejekannya. Mana dia tahu, selain cerewet dan tukang ngomel, pemuda di hadapannya juga seorang pendendam. “Lo tinggal bilang kalau Milky nggak boleh di sini. Nggak perlu bawa-bawa soal pacar. Lagian, gue nggak numpang. Bapak lo yang nawarin tempat.”
“Gue nggak bilang kalau Milky, yaelah, pake gue sebut lagi namanya. Maksud gue, dia,” Naga menunjuk kucing cokelat yang masih menatapnya dengan tatapan polos itu, “nggak boleh tinggal di sini. Tapi jangan suruh gue ngurusin.”
“Beneran?” Naga bisa melihat binar di mata Dara. Aduh, pemuda itu memalingkan wajah, berusaha menahan diri agar tidak luluh.
Dia masih kesal. Dara diantar seorang lelaki bermobil di depan matanya. Apa gadis itu tidak memikirkan perasaan Naga? Atau jangan-jangan Dara sengaja mau pamer? Naga sadar diri kok, sebenarnya, dia tidak punya modal apa-apa untuk memacari seseorang. Modal tampang saja zaman sekarang mana cukup. Kalau kalian para cowok punya tampang sekelas idol, pastikan juga dompet kalian sekelas mereka. Naga mendesah, kekesalannya belum juga hilang meski melihat wajah berseri-seri yang jarang diperlihatkan Dara padanya.
“Gue janji bakal ngurus dia sendiri. Dia nggak bakal nyusahin, tenang aja. Kandangnya bakal gue kunci terus.” Dara melanjutkan. “Dia nggak bakal ganggu lo.”
Naga mendengkus. “Pastikan juga dia jauh-jauh dari gue,” pesannya sebelum berlalu, masuk ke kamar.
Pemuda itu menghela napas panjang begitu berada di kamarnya. Kepalanya kemudian merunut hal-hal yang membuatnya kesal seharian ini. Mulai dari Ayu yang tiba-tiba bilang ada kuliah pagi dan tidak bisa bertemu Naga. Kemudian melihat Dara diantar seorang lelaki parlente dengan mobil, meski bukan keluaran terbaru, mobil itu tetap terlihat mahal di mata Naga. Lalu sekarang kucing.
Bagaimana mungkin dia tidak akan berdekatan dengan kucing itu kalau mereka akan berada di tempat yang sama setiap hari? Tempat sempit yang tidak memungkinkan untuk Naga menjauh. Apa Naga harus mengurung diri di kamar supaya jauh-jauh dari kucing itu?
Pemuda itu mendecak. Ada atau tidak ada kucing itu, dia tetap tidak bisa leluasa berada di rumah. Hanya ada dua kamar tidur di unit ini. Kalau Dara tidur bersama Ibu, artinya Naga harus rela tidur bersama Bapak. Daripada berdesakan bareng Bapak di atas ranjang kecil miliknya, akan lebih baik kalau Naga tidur di luar. Apartemen Choky mungkin bisa jadi tempat pelarian.
Naga mengemas beberapa pakaian dan memasukkannya ke dalam ransel. Namun, gerakannya tiba-tiba terhenti. “Gila apa gue mau nginep di tempat Choky. Gimana kalau tiba-tiba dia bawa pacarnya ke sana?” Naga menggeleng berulang kali. “Mending gue bersin-bersin terus di rumah daripada jadi obat nyamuknya si Choky.”
Pakaian yang sudah masuk ke dalam tas, Naga keluarkan lagi dan diletakkannya kembali ke dalam lemari. Pemuda itu kembali mendesah. Gara-gara kucing, gumamnya, kucing siapa yang repot siapa.
Pintu kamar diketuk pelan, kemudian kenopnya tertekan. Kepala Bapak menyembul ketika pintu terbuka sedikit. Lelaki paruh baya itu sudah membawa bantal dan sehelai sarung. “Udah mau tidur, Ga?”
Naga berdiri, mengambil rokoknya di nakas samping tempat tidur, kemudian beranjak mendekat ke pintu. “Belum. Naga mau keluar dulu bentar. Bapak tidur aja.”
“Ke mana?”
“Tempat Mas Sakti. Ada yang perlu Naga kerjain.” Oke, kebohongan itu mengalir begitu saja dari mulutnya. Naga tidak menyadari, tepatnya tidak peduli. Bapak tidak akan marah meski dia berkata hanya ingin merokok sambil main gim di warnet Mas Sakti.
“Tidur di rumah, jangan ngerepotin Sakti,” pesan Bapak sebelum Naga benar-benar keluar. “Punya duit?”
Naga mengernyit, tidak mengerti dengan pertanyaan bapaknya. Kemudian pemuda itu mengikuti pandangan Bapak. Ah, rokok. “Kemarin manggung bentar di kafe deket mall sana.”
“Boleh nggak, kalau Bapak minta kamu nabung dikit tiap dapat duit?” Melihat Naga menghela napas, Bapak buru-buru melanjutkan. “Bapak nggak ngelarang kamu ngerokok. Itu hakmu. Bapak cuma minta kamu nyisihin sedikit buat masa depanmu. Kita nggak pernah tahu apa yang akan terjadi besok. Bapak nggak tahu apa besok masih bisa bangun dan jualan kayak biasanya.”
Naga terkesiap. Saat melihat kilat sendu di mata Bapak, pemuda itu menelan ludah. Bapak, yang biasanya selalu optimis, kenapa tiba-tiba berkata seperti itu? Naga tahu dia sudah keterlaluan pada orang tuanya. Dia sudah dua puluh lima. Sudah jadi sarjana sejak empat tahun lalu, sedikit lebih cepat dari teman-teman seangkatannya. Selama empat tahun dia menganggur dan membiarkan ijazah dengan nilai di atas rata-rata itu hanya tertumpuk bersama berkas-berkas lain.
Bapak terkekeh saat melihat Naga terpaku di depan pintu. “Udah sana, ntar nggak kebagian komputer di tempat Sakti.”
Pemuda itu hanya berdeham, lalu keluar kamar. Setelah menutup pintu di belakangnya, Naga tak lekas beranjak. Dia justru menyandarkan punggungnya di pintu yang tertutup itu. Ini pertama kalinya Bapak meminta sesuatu darinya. Sejak kecil, Bapak dan Ibu selalu memberinya kebebasan. Mimpi, cita-cita, jurusan kuliah, semuanya adalah keinginan Naga sendiri. Bapak selalu menekankan padanya, lakukan apa pun karena kamu menyukainya. Dan itu yang Naga pegang hingga hari ini.
“Mau keluar?”
Naga terperanjat ketika mendengar suara perempuan yang berbeda dengan suara ibunya. Astaga, dia belum terbiasa melihat Dara berkeliaran di sekitarnya seperti ini.
“Maaf, karena gue, kalian jadi kesulitan.” Dara berkata-kata lagi.
Naga menunduk, lalu tersenyum saat mengangkat wajah dan menatap Dara. “Kami udah kesulitan sejak sebelum lo datang. Nggak perlu ngerasa bersalah. Lagian selama masih bisa makan, kami nggak keberatan kok nampung lo.” Pemuda itu terkekeh sebelum melanjutkan, “ya, asal tahu diri aja sih, lo.”
“Sialan.”
Tawa Naga menggema begitu mendengar sebuah umpatan keluar dari mulut gadis yang disukainya. “Di sini sehari aja udah bikin sifat asli lo keluar, ya,” sindirnya.
Dara hanya mendengkus sinis. Sudah hampir jam sepuluh malam, akan sangat mengganggu kalau dia meladeni Naga. Karena itu, setelah mendesis sambil mengancam Naga dengan mengacungkan kepalan tangan, Dara membuka pintu kamar di dekatnya.
“Kalau Ibu tanya, bilang gue tidur di tempat Mas Sakti,” pesan Naga sebelum gadis itu benar-benar masuk kamar.
Begitu Dara masuk dan pintu kamar tertutup, Naga kembali menghela napas. Siapa sebenarnya Dara? Ketika berpikir kembali, Naga memang tidak benar-benar mengenal gadis itu. Hm, ya, dia memang mengaku menyukainya. Namun, bukan berarti Naga sudah benar-benar mengenalnya. Perasaan sukanya pada Dara terjadi begitu saja. Naga hanya merasa seperti ada percikan listrik yang menghubungkan dirinya dengan gadis itu.
Lalu kini, Bapak mengaku mengenal orang tua Dara. Apa benar orang tua Dara memang teman Bapak? Atau... Naga menyeringai, kemudian mengibaskan tangan di atas kepala guna menepis pikiran buruk yang baru saja menghampiri.
“Ini kehidupan nyata. Nggak mungkin hidup gue bakal punya jalan cerita kayak sinetron azab yang sering ditonton Mpok Mumun itu. Gila aja kalau bener Bapak punya anak sebelum nikah sama Ibu.” Naga bergidik. “Nggak rela gue saudaraan sama Dara.”
Nggak ada notifnya
Comment on chapter TWICE