Loading...
Logo TinLit
Read Story - Palette
MENU
About Us  

Jika ada hari sial, Dara percaya pagi ini adalah hari sialnya. Siapa sangka bocah tengil yang mengejar-ngejarnya setahun belakangan ini adalah anak Pak Mahdi? Kalau tidak harus bersembunyi, Dara pasti langsung keluar dari rumah itu tadi. Sayang sekali, dia masih membutuhkan bantuan Pak Mahdi, setidaknya hingga sebulan ke depan.

Sehabis sarapan bersama, Naga bersikeras mengantarnya ke tempat kerja. Bocah keras kepala itu tidak menerima alasan apa pun, padahal tempat kerja Dara hanya berjarak 200 meteran saja dari rusun. Jalan kaki pun paling lama hanya sepuluh menit. Lagi pula, Naga akan mengantarnya dengan apa? Jalan kaki juga kan, ujungnya?

“Lo nggak punya kerjaan lain selain ngintilin gue?” Dara nyaris tidak bisa mengontrol volume suaranya ketika menegur Naga yang berjalan lambat di belakangnya. Heran, sudah dua kali ditolak, bagaimana bisa pemuda itu masih memiliki kepercayaan diri setinggi langit begitu?

“Gue mau ke halte depan, kok. Pede amat ngira gue ikutin.” Naga terkikik.

“Kalau mau bohong tuh kreatif dikit, dong. Semua orang juga tahu kalau halte ada di sebelah sana.” Dara berbalik dan menunjuk arah yang berlawanan dengan tujuannya.

“Ya emang gue nggak boleh beli sesuatu dulu di minimarket?”

“Nggak boleh. Nama lo udah gue masukin blacklist.”

Dara dapat melihat seringai di bibir pemuda itu. “Oh, kerjaan lu ganti sekarang? Udah bukan kasir lagi? Naik pangkat jadi manajer?”

Gadis itu menghela napas. Percuma memang. Dia hanya akan menghabiskan tenaga karena berdebat dengan Naga. Sudah sejak lama dia sadar tidak akan bisa menandingi kemampuan debat pemuda yang tersenyum-senyum di belakangnya itu. Sebagai seorang lelaki, Naga memiliki kemampuan bicara yang luar biasa. Emak-Emak PMS aja kalah. Mulut kecilnya sangat bertolak belakang dengan jumlah kata yang keluar dari sana setiap harinya.

Begitu sampai di tempat kerja, Dara memilih menyapa beberapa rekan kerjanya dan mengabaikan Naga yang mulai berkeliling di dalam minimarket. Tuhan, bahkan beberapa bagian dari rak display masih berantakan dan tampak sedang diatur oleh salah seorang pegawai. Naga bertingkah seolah dia seorang supervisor yang tengah mengawasi anak buahnya. Dara kembali menghela napas. Sabar, perintahnya pada diri sendiri, mari bertahan sebentar lagi.

Dara bersyukur Naga tidak nekat menungguinya hingga jam istirahat siang. Jadi dia bisa leluasa menyelinap ke kafe seberang tanpa diikuti seperti tahanan rumah. Dia harus bertemu seseorang. Karena waktu istirahatnya tidak banyak dan harus bergantian dengan rekannya, Dara memilih bertemu di daerah dekat tempat kerjanya.

“Aku nggak bisa lama,” ujar gadis itu sambil terengah. Orang yang ingin dia temui rupanya sudah menunggu. Bagus, berarti dia tak perlu membuang waktu lebih lama. Dara setengah berlari tadi demi memangkas waktu.

Lelaki di hadapannya terlihat tenang. Dia menyodorkan sebotol air mineral dingin ke hadapan Dara. Tak ada waktu untuk menolak, Dara segera meminum air itu hingga nyaris tandas. Lelaki di hadapannya terkekeh.

“Nggak usah ketawa. Apa aku kelihatan kayak pelawak?” sergah Dara sinis. Sebelum gadis itu mengusap mulutnya dengan punggung tangan, lelaki tadi sudah menempelkan selembar tisu dengan sigap ke mulut Dara. “Makasih.”

“Kenapa nggak mau dijemput, sih?”

“Aku nggak mau ngerepotin.” Dara lantas mengeluarkan sebuah kartu dari dompetnya, kemudian meletakkan kartu itu di meja dan menyorongkannya ke arah lelaki di hadapannya. “Kamu tahu aku nggak butuh itu kan, Dim?”

Lelaki itu, Dimas, berdecak ketika melihat kartu yang disodorkan Dara. “Kapan kamu mau pulang?”

“Kapan kamu mau tutup mulut soal keberadaanku?” Dara justru membalikkan pertanyaan Dimas.

“Aku nggak pernah ngasih tahu soal kamu ke siapa pun. Kalau akhirnya kamu ketahuan, itu bukan salahku. Kamu tahu orang tuamu punya banyak mata.”

“Karena itulah aku nggak jauh-jauh dari kamu. Kamu mata mereka. Kalau aku ketahuan, artinya apa?”

Dimas tertawa. “Aku nggak tahu apa lagi yang kamu cari, Ra. Aku udah pernah bilang bakal selalu dukung kamu meski impian kamu bukan Palette.”

“Palette itu punya Papa....”

“Kamu tahu banget alasan papamu bikin Palette. Jangan menyangkal,” sergah Dimas saat melihat Dara membuka mulut. “Aku nggak pernah maksa kamu buat menikah secepatnya. Tapi kamu keterlaluan akhir-akhir ini. Nggak ada mimpi yang mudah, Ra. Aku tahu. Karena itu kubiarkan kamu mencarinya sendiri.”

Dara menunduk, memainkan gantungan bulu di dompetnya. Gadis itu sudah kehilangan selera makannya bahkan ketika melihat seporsi pasta diletakkan di hadapannya. Dimas selalu benar, Dara tahu itu. Lelaki itu sudah terlalu sabar menghadapinya. Seharusnya dia tidak menyia-nyiakannya seperti yang selalu dikatakan Mama. Apalagi jika melihat Naga, seharusnya Dara bersyukur sudah memiliki Dimas.

Hanya saja, pikiran tentang pernikahan masih sangat jauh dari kepalanya. Dara sudah terlalu banyak melihat perempuan yang kehilangan mimpinya setelah menikah. Sebut saja Mama. Wanita itu sangat ingin menjadi seorang desainer pakaian, tetapi begitu menikah, Mama harus meletakkan mimpinya dan mengurus Papa serta Dara.

Dara tidak ingin seperti itu. Dia tidak akan menyerahkan mimpinya pada pernikahan. Meski sampai sekarang dia tidak benar-benar tahu apa mimpinya, apa yang sebenarnya sangat ingin dia lakukan, toh Dara tetap menikmati kebebasannya setahun belakangan. Selama 29 tahun hidupnya, Dara belum pernah memutuskan sendiri apa yang akan dimakannya hari ini, baju apa yang harus dia pakai, bahkan dia tidak pernah tahu rasanya berpanas-panasan di dalam bus.

“Makan, nanti kuantar balik.” Dimas menginterupsi lamunan Dara. “Kamu yakin mau tinggal sama Pak Mahdi? Nggak mau nempatin apartemenku aja?”

Dara mengangguk sambil menyuapkan satu gulungan besar pasta. “Sebulan,” ucapnya setelah menelan makanannya, “Aku nggak akan minta tambahan waktu lagi setelah itu.”

Dimas menghela napas. “Terakhir kali kamu bilang sebulan, berubah jadi enam bulan. Apa kali ini juga bakal kayak gitu lagi?”

Gadis di hadapannya tersedak, lalu terkekeh pelan. Sebelum menjawab, Dara meneguk air di botolnya. “Kali ini nggak akan molor. Janji.”

“Jangan pindah tanpa ngasih tahu aku. Langsung telepon kalau ada apa-apa, hm?”

Dara hanya mengangguk, lalu menghabiskan makanannya pelan-pelan.

“Oiya, aku lupa bilang. Besok aku harus ke Bandung, tiga hari. Nggak apa-apa kalau Milky ikut kamu?”

“Eh? Aduh, aku belum bilang ke Pak Mahdi kalau mau bawa Milky. Gimana, dong?”

“Yah, aku udah bawa sekalian kandangnya tadi.”

Dara menggaruk kepalanya. “Ya udah deh, kayaknya nggak apa-apa kalau dikandangin.”

Pembicaraan mereka berakhir bersamaan dengan jam istirahat Dara yang sudah selesai. Begitu saja memang. Berbicara dengan Dimas selalu menyenangkan. Meski berdebat, mereka selalu bisa mengakhiri perdebatan itu tanpa saling marah atau merasa kecewa. Dimas, entah bagaimana, selalu menemukan solusi bagi kegelisahan yang Dara rasakan. Gadis itu juga menemukan kenyamanan ketika bersama Dimas. Tentu tidak selalu, karena ada kalanya Dara merasa Dimas terlalu membosankan.

Dimas mengantar Dara dengan mobil hingga tiba di depan minimarket, sementara lelaki itu akan menemui Pak Mahdi untuk menitipkan Milky. Dara bilang, mungkin Pak Mahdi dan istrinya masih di warung mereka. Jadi Dimas berencana akan langsung ke terminal begitu menurunkan Dara.

“Yah, mainnya sama yang bermobil. Pantesan nggak tertarik sama pengangguran.”

Dara menoleh ke arah suara. Naga, bersama temannya, menyindir Dara tepat setelah mobil Dimas pergi dari sana. Pemuda itu tengah merokok sambil menikmati kopi cup yang diseduh di dalam minimarket.

“Ya kalau udah tahu pengangguran, kerja dong makanya,” balas Dara. “Belum kerja aja sok-sokan ngajakin cewek pacaran. Emangnya cewek mana yang mau diajakin nongkrong ngopi di teras minimarket?”

Tak perlu menoleh untuk tahu ekspresi Naga. Dara hanya cukup mengabaikan dan melanjutkan pekerjaannya. Sesekali, anak manja macam Naga memang perlu ‘dipukul’ agar melihat kenyataan.

Dari counter kasir, Dara dapat melihat Naga menyundut sisa rokoknya di asbak, kemudian beranjak dan mengajak temannya pergi. Gadis itu tersenyum lebar. Dia kini tahu apa yang harus dilakukan selama sisa waktu yang dijanjikannya pada Dimas tadi. Meski ini bukan menyangkut mimpinya, setidaknya dia harus membalas kebaikan Pak Mahdi selama ini.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (2)
  • idhafebriana90

    Nggak ada notifnya

    Comment on chapter TWICE
  • vanilla_hara

    Ini kalau nge-like muncul notif gak, sih? Biar Naga tahu gitu aku datang. 🤣

    Comment on chapter TWICE
Similar Tags
Titip Salam
3949      1499     15     
Romance
Apa kamu pernah mendapat ucapan titip salam dari temanmu untuk teman lainnya? Kalau pernah, nasibmu hampir sama seperti Javitri. Mahasiswi Jurusan Teknik Elektro yang merasa salah jurusan karena sebenarnya jurusan itu adalah pilihan sang papa. Javitri yang mudah bergaul dengan orang di sekelilingnya, membuat dia sering kerepotan karena mendapat banyak titipan untuk teman kosnya. Masalahnya, m...
Bullying
574      353     4     
Inspirational
Bullying ... kata ini bukan lagi sesuatu yang asing di telinga kita. Setiap orang berusaha menghindari kata-kata ini. Tapi tahukah kalian, hampir seluruh anak pernah mengalami bullying, bahkan lebih miris itu dilakukan oleh orang tuanya sendiri. Aurel Ferdiansyah, adalah seorang gadis yang cantik dan pintar. Itu yang tampak diluaran. Namun, di dalamnya ia adalah gadis rapuh yang terhempas angi...
Ada Cinta Dalam Sepotong Kue
6966      2045     1     
Inspirational
Ada begitu banyak hal yang seharusnya tidak terjadi kalau saja Nana tidak membuka kotak pandora sialan itu. Mungkin dia akan terus hidup bahagia berdua saja dengan Bundanya tercinta. Mungkin dia akan bekerja di toko roti impian bersama chef pastri idolanya. Dan mungkin, dia akan berakhir di pelaminan dengan pujaan yang diam-diam dia kagumi? Semua hanya mungkin! Masalahnya, semua sudah terlamba...
Ibu Mengajariku Tersenyum
2976      1186     1     
Inspirational
Jaya Amanah Putra adalah seorang psikolog berbakat yang bekerja di RSIA Purnama. Dia direkomendasikan oleh Bayu, dokter spesialis genetika medis sekaligus sahabatnya sejak SMA. Lingkungan kerjanya pun sangat ramah, termasuk Pak Atma sang petugas lab yang begitu perhatian. Sesungguhnya, Jaya mempelajari psikologi untuk mendapatkan kembali suara ibunya, Puspa, yang senantiasa diam sejak hamil Jay...
I am Home
557      389     5     
Short Story
Akankah cinta sejati menemukan jalan pulangnya?
Merayakan Apa Adanya
488      351     8     
Inspirational
Raya, si kurus yang pintar menyanyi, merasa lebih nyaman menyembunyikan kelebihannya. Padahal suaranya tak kalah keren dari penyanyi remaja jaman sekarang. Tuntutan demi tuntutan hidup terus mendorong dan memojokannya. Hingga dia berpikir, masih ada waktukah untuk dia merayakan sesuatu? Dengan menyanyi tanpa interupsi, sederhana dan apa adanya.
Dapit Bacem and the Untold Story of MU
8505      2291     0     
Humor
David Bastion remaja blasteran bule Betawi siswa SMK di Jakarta pinggiran David pengin ikut turnamen sepak bola U18 Dia masuk SSB Marunda United MU Pemain MU antara lain ada Christiano Michiels dari Kp Tugu To Ming Se yang berjiwa bisnis Zidan yang anak seorang Habib Strikernya adalah Maryadi alias May pencetak gol terbanyak dalam turnamen sepak bola antar waria Pelatih Tim MU adalah Coach ...
Bee And Friends 2
3133      1062     0     
Fantasy
Kehidupan Bee masih saja seperti sebelumnya dan masih cupu seperti dulu. Melakukan aktivitas sehari-harinya dengan monoton yang membosankan namun hatinya masih dilanda berkabung. Dalam kesehariannya, masalah yang muncul, ketiga teman imajinasinya selalu menemani dan menghiburnya.
Cinta Pertama Bikin Dilema
5235      1434     3     
Romance
Bagaimana jadinya kalau cinta pertamamu adalah sahabatmu sendiri? Diperjuangkan atau ... diikhlaskan dengan kata "sahabatan" saja? Inilah yang dirasakan oleh Ravi. Ravi menyukai salah satu anggota K'DER yang sudah menjadi sahabatnya sejak SMP. Sepulangnya Ravi dari Yogyakarta, dia harus dihadapkan dengan situasi yang tidak mendukung sama sekali. Termasuk kenyataan tentang ayahnya. "Jangan ...
Are We Friends?
4167      1257     0     
Inspirational
Dinda hidup dengan tenang tanpa gangguan. Dia berjalan mengikuti ke mana pun arus menyeretnya. Tidak! Lebih tepatnya, dia mengikuti ke mana pun Ryo, sahabat karibnya, membawanya. Namun, ketenangan itu terusik ketika Levi, seseorang yang tidak dia kenal sama sekali hadir dan berkata akan membuat Dinda mengingat Levi sampai ke titik paling kecil. Bukan hanya Levi membuat Dinda bingung, cowok it...