Hana: Halo???
Hana: Halooo? Gue tahu lo sebenarnya baca pesan gue ini di pop-up DM, ya, Njing!
Hana: Woy! Bales, dong!
Lenna: Berisik banget, sih. Mau ngomong apa lo?
Hana: Lenna, Lenna. Omong-omong, makasih banget ya lo udah hancurin hidup gue. Followers gue turun drastis. Endorse sepi. Semua DM gue isinya teror dan hujatan atas perlakuan nyokap gue. Oke, Kali ini lo menang. Lo pasti ketawa puas kan ngeliat posisi gue dan nyokap gue yang terpuruk? Mungkin lo pikir apa yang terjadi pada kita ini adalah karma karena nyokap gue selingkuh sama bokap lo. Tapi, lo salah. Lo tetap salah memaknai perselingkungan nyokap gue dan bokap lo. Lo harus tahu bahwa yang menyebabkan perselingkungan ini adalah bokap lo sendiri. Bokap lo selama ini ngerasa nggak dihargai sama nyokap lo yang katanya gila itu.
Hana: *typing…”
Lenna: Woy! Anjing!
Lenna: Siapa yang gila??? Nyokap gue nggak gila! Jaga mulut lo ya, Hana!
Hana: Akhirnya, kepancing juga lo.
Hana: Gue tau karena nyokap gue cerita kalau itu bokap lo yang ngomong ke dia. Jadi, bukan salah gue kalau gue ngomong kayak gitu.
Lenna: Oke, kali ini terserah lo mau bertingkah kayak gimana. Lo juga lagi memetik karma dari apa yang nyokap lo lakuin yaitu korupsi. Ya kalau misalnya lo nggak terima atas ditahannya nyokap lo ya itu urusan lo. Gue bener-bener nggak ada urusan sama lo karena bukan gue yang nulis berita tentang nyokap lo di media gue. Jadi, semua ini terjadi gitu aja dan nggak ada sangkut pautnya sama gue. Mendingan lo cari PR aja yang bisa handle pencitraan lo.
Hana: Lo ga punya otak ya jadi orang. Siap-siap aja hidup lo ancur habis ini.
Aku tidak tahan lagi. Aku segera mem-block Instagram Hana.
*
Teman-teman kantorku segera mengetahui apa yang terjadi di malam penghujung pameran itu. Ternyata Aslan adalah calon kakak tiri Nirvana, ternyata ayahnya berniat menikahi Ezme, dan ternyata ayahnya mengenal Aksara dengan baik. Raut wajahku tidak pernah bisa menyembunyikan kegalauan itu. Apalagi dengan Maia.
“Kayaknya saya memang salah deh, Mbak,” ucapku pada Maia setelah jam kantor usai.
Dari sudut mataku, aku segera tau ia sedang memandangiku yang tengah memandangi jalanan. Perempuan itu masih terdiam dan tidak berhenti memandangiku. Aku tidak tahu dia sedang apa atau apa yang dia hendak cari dariku. Dia tidak akan menemukan apa pun kecuali penyesalan. Kurasa, saat ini dialah yang paling memahami perasaanku. Terlalu banyak informasi membuatku merasa penuh. Belum lagi aku lebih banyak berdiam di kantor daripada liputan ke tempat-tempat strategis. Selama ini aku mencoba untuk memperkecil kemungkinanku untuk berjumpa dengan Aslan.
Sadar atau tidak sadar, aku sudah bergantung kepada Maia sejak kami bekerja di kantor yang sama. Maia empat tahun lebih tua dariku, tidak berniat menikah, dan kalaupun dia menikah, syaratnya ia harus tinggal di Solo, di rumah almarhum neneknya dan menjalani slow living seperti yang ia idam-idamkan selama ini. Dia tidak berniat memiliki anak. Dia hanya ingin berkebun, kembali ke masa lalu tanpa hiruk-pikuk informasi yang kebablasan, dan menjalani akhir hayat dengan tenang dengan menulis kumpulan puisi.
Butuh waktu lama untuk kami agar bisa saling beradaptasi dengan satu sama lain. Sewaktu awal-awal kami bekerja, Maia lebih senang berbicara, keras kepala, gesit, dan senang berlari mengejar sesuatu. Sementara waktu itu, aku masih menjadi kaum mager yang harus diseret-seret dulu agar mau mencari berita, malas verifikasi, dan senang mengikuti arus. Kemudian Maia menularkan virus FOMO-nya padaku. Dia juga berperan besar dalam proses pendewasaanku sebagai seorang wartawan. Dia yang menjadikanku lebih berani, sangar, dan menyukai tantangan. Dia banyak membantuku selama menghadapi perasaan ataupun siklus hidup yang begitu asing. Entahlah. Dia seperti telah hidup di beragam masa dan memetik pengalaman begitu banyak dari apa saja yang telah berhasil dilaluinya.
“Kamu nggak salah,” sahutnya dengan sabar.
“Ucapan Mbak itu nggak membuktikan apa-apa,” kilahku dengan emosi yang kembali meradang.
“Kenapa kamu repot-repot harus mencari pembenaran orang lain atas pemikiranmu yang annoying itu?” balasnya penuh kesadisan. Tapi, aku tidak mampu membalasnya karena itu memang benar.
“Jika saya bisa maka saya akan melakukannya.”
“So? Kamu ingin melakukan apa selanjutnya? Mohon-mohon sama Aslan kalau dia pantasnya bersamamu? Nggak bisa gitu, Lenna.”
“Yang penting saya bahagia.”
“Egois, dong?”
“Orang-orang juga egois.”
“Kamu nggak bisa menyalahkan orang lain atas kisah cintamu yang menyedihkan itu,” ujarnya ketus. Kalimat itu terdengar menyedihkan, menyakitkan, sekaligus penuh kejujuran. Aku seperti tertampar.
“Berarti Nirvana memang lebih baik dari saya, ya?” tanyaku gemas. “Dua puluh tahun lalu dia mencelakakan orang lain, Mbak Mai. Dia memang masih kecil saat melakukan kesalahan itu tapi kelakukannya kayak setan. Dia merenggut sahabat saya. Terus sekarang saya harus mengalah lagi sama dia?”
“Kamu itu hanya kesepian,” tebaknya. “Itu sudah lama berlalu.”
“No!”
“Terus apa? Kamu kan yang suka sama Aslan? Memangnya Aslan pantas buat kamu?” sergahnya yang segera kutepis dengan satu helaan nafas berat. “Coba deh, pikirkan hal lain yang benar-benar kamu ingin lakukan.”
“Bunuh diri?” cetusku asal.
Dia mengerutkan dahinya. “Ngaco.”
“Bukan hanya gara-gara Aslan saja sekarang saya ngadat ya, Mbak. Saya hanya capai dengan semuanya. Too much happening.”
“Setiap orang juga capek, Len,” Maia sepertinya sudah lelah menanggapiku.
Wajah Aslan yang manis dan penuh petualangan itu kembali hadir di benakku dan sedikit memberi warna di antara kelamnya hari ini dan kemarin-kemarin. Wajahnya yang ramah sekaligus tegas dan dipenuhi oleh pengharapan itu sedikit memberikanku rasa bebas yang selama ini dimilikinya. “Saya nggak ngerti apa itu cinta. Persetan. Tapi, apa saya salah Mbak, jika saya berharap Aslan bersama saya? Tanpa Nirvana?”
“Aduuuh, Lenna! Percaya, deh. Kamu itu cantik. Banyak cowok yang diam-diam melirikmu. Jika kamu tahu pria itu bukan yang terbaik buatmu dan dia terlalu rumit buatmu, ya sudah! Berhentilah memikirkannya. Kecuali kamu ingin memastikan sendiri, maka kamu tanya langsung saja pada orangnya. Jangan bertanya pada orang lain. Oke?” Maia memegang punggung tanganku.
“Nirvana juga cantik.”
“Dasar bodoh,” celanya padaku dengan gelagat ingin menamparku.
Aku masih bergeming menatap guguran tabebuya itu. Mereka terlihat seperti bintang yang berjatuhan dari langit di sore hari.
***