12 Desember.
Matahari Kamis pagi belum juga membumbung setinggi dada, namun udara sekitar semakin menyengat kulit. Karena hari ini adalah hari yang besar bagi kami, maka kami berempat diminta oleh Mas Sultan untuk turun ke lapangan pagi-pagi sekali. Aksi penggusuran yang akan dilakukan oleh Satpol PP itu bocor. Tim kami tidak boleh sampai kecolongan momen.
Maia dan Yuka akan memantau keadaan di sekitar gedung PTUN. Sementara itu, aku dan Ian akan langsung menuju lokasi sengketa. Massa di lokasi sengketa lebih banyak dibandingkan dengan di PTUN. Kehadiran kendaraan alat berat di sekitar lokasi sengketalah yang memicu kerumunan besar masyarakat sekitar. Tak hanya itu, bahkan para aparat sudah disediakan untuk berjaga-jaga dan mengamankan keadaan bila diperlukan. Banyak mahasiswa juga turut mengawal detik-detik yang menegangkan ini.
Kulihat dari kejauhan, Nirvana berdiri di depan sana dengan gelagat berani. Rambutnya dikucir kuda serta mengenakan topi, mengenakan kaos hitam polos yang ditutupi jaket parasut warna kecoklatan, celana jins ketat hitam, serta sepatu boots warna hitam pudar. Figurnya mengingatkanku pada warna-warna di lukisan ibunya, kejingga-jinggaan. Ada kobaran api dari dalam dirinya yang berusaha sekuat tenaga untuk tetap menyala. Sembari memegang toa, dia menyuarakan kebebasan dan keadilan.
“Ada baterai kamera di tas kamu. Nitip, ya,” ujar Ian di sebelahku.
“Oke.”
“Kamu sudah pintar baca tanda-tanda belum?”
“Hah? Maksudnya?”
Ian tidak menggubris dan sudah lebih dulu maju untuk memotret. Sementara itu, aku masih enggan beranjak dari rindangnya bawah pohon akasia yang bertubuh kurus kering. Dialah satu-satunya peneduh di sini dan aku hanya memasang mata tanpa berbuat apa-apa. Sungguh, aku adalah orang yang paling egois lantaran mereka semua berpanas-panasan langsung di bawah terik matahari pagi yang rasanya sudah seperti neraka itu.
Sekarang masih pukul 08.32. Akan ada luka tertoreh kembali. Segera.
*
09.03
Mereka mulai memasuki rumah warga, mengeluarkan seisi rumah, menutup mulut, dan mengabaikan tangisan anak-anak yang akan kehilangan tempat pulang mereka setelah bermain.
*
09.21
Mereka menerjang dan memukuli siapa saja yang mencoba untuk menghalangi pekerjaan mereka. Mereka ingin segera menyudahi beberapa kehidupan dan segalanya.
*
Semakin lama, semakin banyak orang-orang yang datang memadati lokasi ini. Kerumunan yang asalnya hanya beberapa puluh orang dan renggang, kini semakin padat dan lebar bahkan hingga memadati jalan raya di sekitar lokasi. Beberapa perbincangan hangatku dengan rekan-rekan sejawat menyadarkanku kembali pada peristiwa-peristiwa menyedihkan lain yang melibatkan “si kuat” dan “si lemah”. Seperti kasus penutupan Gang Apandi oleh pemilik lahan yang memblokade akses keluar masuk warga setempat.
Tidak lama, Ian datang padaku dan membisiki sesuatu yang mengejutkan. Aku menatapnya setengah percaya tak percaya namun aku tidak pernah tidak memercayainya. Seketika badanku menggigil memikirkannya.
Tanpa pertanda dan tanpa gelagat, tiba-tiba kekacauan yang parah terlintas di benakku dan itu terasa kian nyata.
Ian memintaku untuk berjalan mengikutinya dengan cepat menuju tempat yang jauh dari kerumunan dan jauh lebih aman. Tidak berapa lama, di antara kerumunan besar itu, perlahan-lahan kulihat suatu gejolak yang baru. Seperti gejolak amarah dan kebencian yang luar biasa. Seperti bom waktu, di hitungan yang tepat apa yang kulihat kemudian meledak.
*
Pada 11.42, cahaya matahari berusaha membakar apa saja. Eskavator sudah mulai bergerak dan menghancurkan apa saja yang dia inginkan. Yang dapat kudengar hanyalah suara jeritan.
Alat berat mulai dinyalakan dan berjalan menuju rumah-rumah dan puing-puing yang tersisa. Gejolak yang diiringi dengan kepedihan dan kekecewaan yang menahun itu pun akhirnya menyebar luas dan memberikan euforia yang menyakitkan. Dinding yang dipenuhi graffiti dan potret-potret kenangan warga setempat pun hancur diiringi dengan teriakan-teriakan yang terlampau sunyi. Beberapa ibu dan anak menangis sembari meratapi nasib mereka yang menyedihkan. Beberapa pria memilih untuk menerjang blokade. Seketika keadaan menjadi tak terkendali dan ricuh. Suara tembakan mulai terdengar. Gas air mata pun mengotori udara yang tak berdosa.
Dari kejauhan, aku melihat Nirvana sedang beradu mulut dengan beberapa petugas. Aku tidak tahu pasti apa yang dia perdebatkan. Yang jelas, dia berdiri di sana sendirian tanpa ada teman sepihak yang menemani. Matanya menyipit serta menahan pedih akibat gas air mata yang sembarang dilemparkan. Seketika naluriku memaksa untuk berbuat sesuatu. Naluri yang bertentangan itu bahkan terdengar jauh lebih gila dari apa yang kupikirkan.
“Aku harus pergi,” kataku pada Ian.
“Pergi ke mana, Len? Di sana terlalu kacau. Kamu nggak akan kuat!”
Aku tidak menghiraukan Ian dan pergi berlari menerjang kerumunan yang semakin membabi buta. Beberapa orang sudah menghalauku untuk tidak mendekat namun aku tetap ngotot untuk maju ke depan sana.
Nirvana masih ada di sana. Perempuan sinting itu bahkan tidak menyadari bahwa dia sudah terjebak. Aku segera menghalau seorang preman yang bergelagat untuk menghadangku dan segera menarik Nirvana dari kerumunan itu.
“Apaan, sih?!” Nirvana malah meneriakiku tepat di depan daun telinga.
“Kamu gila, ya?!” balasku setengah berteriak.
“Lenna?!”
Aku menarik badannya sekali lagi untuk pergi namun dia menghindariku.
“You will never made it. Lihat! Itu semua sudah hancur!” bentakku.
Di antara kepulan asap beracun yang mengelilingi kami, aku dapat melihat kedua matanya sudah bersimbah air mata. Wajahnya terlihat menyedihkan sekaligus menakutkan. Ada sesuatu yang meledak di dalam dirinya dan itu membuatku sedikit gentar. Tapi aku tak peduli. Dia sedang menatapku dengan bahu yang naik turun serta kilatan amarah yang terlanjur menguasainya.
“Tinggalin aku sendiri. Oke? Ini urusanku. Bukan urusanmu,” balasnya di telingaku.
Aku menggeleng tidak setuju. “Nggak. Kamu nggak boleh seperti ini sendirian!” sergahku seraya hendak menarik lengannya untuk pergi menjauh.
Dia segera menepisku. “Lenna,” dia menatapku dengan tajam. “Bukankah ini semua yang kau inginkan? Bad news is good news?”
Aku tertegun. “Apa katamu?” aku menggeleng tidak percaya.
“Pergi.”
“Tidak.”
“Pergi!”
Aku merangkul bahunya dengan kasar dan hendak membawanya pergi menghindari tempat senyawa beracun yang semakin parah itu. Perempuan itu malah membuang lenganku dan mendorong badanku dengan keras. Kukira aku lebih kuat darinya, namun dugaanku salah. Aku malah terjatuh menimpa aspal yang sudah dipenuhi kerikil sementara kulihat punggung Nirvana berjalan pergi – menembus segala batas yang ada.
*
Aksi ricuh di lokasi sengketa penggusuran sudah berakhir sejak sepuluh menit yang lalu. Alat berat sudah sepenuhnya merubuhkan puing-puing yang menjadi saksi bisu sebuah perjuangan para warganya. Kerumunan massa sudah bubar dan banyak di antara pihak “si lemah” sudah menyerah pada kehidupan yang jahat ini. Entah mengapa, hatiku diam-diam merasakan perih setelah menyaksikan realita kehidupan yang tersodor di hadapanku hari ini.
Sabtu siang setelah hujan. Sebuah hari yang akan selalu kukenang.
Orang-orang seperti kami harus memandang segala sesuatu dari beragam sudut pandang. Hal itulah yang sering membuatku menempatkan diri sebagai orang ketiga serba tahu. Terkadang, ada hal-hal yang luput dari perhatian sehingga tak jarang kami melakukan kesalahan. Meski aku bertindak sebagai seorang wartawan yang terbiasa dengan arus informasi yang deras, aku juga agak setuju dengan “Stop Membaca Berita”-nya Rolf Dobelli. Buku itu seakan-akan mengampanyekan hidup tenang dan bahagia tanpa membaca berita. Banyak hal kontradiktif yang terjadi dan hidup itu perkara memilih.
Udara di sekitarku terasa panas dan menggigit. Saat aku sedang mengoleskan kelopak bawah kedua mataku dengan odol, aku tak sengaja melihat Nirvana dan Aslan sedang berpelukan erat. Kemudian aku memandang mereka. Lama sekali.
“Len?” Ian mendekatiku perlahan.
“Saya ngerasa ditipu, Yan,” gumamku pelan lalu pergi.
***