Aku memercayai satu hal, bahwa Bandung adalah tuan rumah yang bijaksana. Ada perasaan mati rasa yang semakin menggunung. Perasaan itu menggerogotiku tanpa ampun namun aku hanya mampu menyandarkan diriku pada sudut-sudut kota dan cahaya lampu kota saat petang turun. Seisi kota memelukku dalam keheningan yang menahun. Aku berharap masih dapat merasakan sesuatu. Tapi tetap saja, aku tidak mampu merasakan apa-apa.
Terkadang ada beberapa bagian pekerjaanku yang membosankan. Menunggu balasan narasumber, menyalin beberapa transkrip wawancara, menyusun kata demi kata dan kalimat demi kalimat, serta berharap sesuatu yang besar terjadi. Akhir-akhir ini aku kebanyakan meliput kegiatan seni di Pusat Kebudayaan. Beberapa kolega di perusahaan mengajakku makan siang sambil mendengarkan mereka memaparkan rencana perusahaan mereka ke depan. Dalam lubuk hati, aku tau mereka berusaha untuk memikatku agar kelak aku mau meliput mereka.
“Lenna!” Maia dan Yuka tiba-tiba menyeret kursi mereka dan duduk di hadapanku.
Sekarang masih pukul 14.25 saat mereka berdua kembali dari Gedung Rumentang Siang. Keadaan kantor sangat sepi dan kantuk sudah terlanjur menguasai kedua mata saya sejak satu jam yang lalu. Aku mengadahkan kepala dan melihat mereka dengan tatapan malas, “Hmm?”
“Hei. Apa kamu bisa menggantikan saya untuk mewawancarai Pak Shaheer minggu depan? Ternyata di hari yang sama, saya harus pergi mendatangi kantor bupati. Saya takut nggak terkejar,” Maia menatapku dengan setengah memohon.
Aku menaikkan alis, “Siapa Pak Shaheer?”
“Oh, dia itu dosen ilmu sejarah dan pendiri Komunitas Bandung Tempo Doeloe. Tadinya saya ingin mewawancarainya dalam rangka ulang tahun Bandung tanggal 25 September mendatang. Mas Sultan minta dibuatkan artikel lengkap tentang hal itu. Kalau kamu bersedia, saya akan kirim kontaknya, ya. Saya juga sudah buatkan daftar pertanyaannya jadi kamu tinggal….,”
Refleks, aku menaikkan sebelah alis. “Tunggu. Tadi kamu bilang Shaheer? Shaheer siapa nama lengkapnya?”
“Shaheer Ali Nugraha.”
Aku segera menyembunyikan rasa keterkejutanku dengan berpaling menatap pekerjaan di hadapanku dengan wajah serius yang dibuat-buat. Untung saja baik Maia maupun Yuka tidak menangkap gelagat itu.
“Lenna kamu bersedia, kan?” Maia segera menyidik-nyidik air mukaku, namun aku masih memilih untuk tidak menggubris.
Yuka segera membuka mulutnya, “Lenna, kalau kamu marah pada saya gara-gara insiden di depan Gedung PTUN itu, ya, maafin saya, dong. Saya sama sekali nggak bermaksud apa-apa. Lagi pula, kamu sendiri yang malah pergi ninggalin saya. Makanya saya itu khawatir…,”
“Memangnya apa yang terjadi?” Maia malah balik bertanya.
“Berantem dia sama Nirvana,” jawab Yuka.
“Ah, yang benar? Kalian kenapa, Len? Jangan bilang ini soal cinta segitiga?” balas Maia tanpa ampun.
“Sudahlah. Baik. Tolong berikan saja alamatnya, ya, Mbak Mai,” potongku dengan sinis.
Keduanya hanya saling bertatapan dan mengangkat bahu. Mereka segera kembali ke meja masing-masing dan sibuk bergulat dengan deadline. Sementara itu, aku kembali teringat kejadian yang telah terjadi sangat lama. Seragam biru putih, siput, langit, tanah, ayunan, darah, dan sisa-sisa kenangan masa kecil yang selama ini telah menjadi duri di dalam hatiku.
*
Saat tiba di depan rumah Ambu, Wulan tersenyum patah padaku dan menggandengku masuk ke dalam. Hari itu, hujan turun dengan deras, menyisakan sisa-sisa kabut tipis di setiap inci halaman dan beranda rumahnya. Perempuan itu memintaku untuk duduk saat ia menyambar tungku dan menuangkan air panas dari ceret. Kemudian ia menghidangkan dua cangkir teh panas untuk kami berdua, seperti biasa.
“Gimana pekerjaan Kak Lenna?” tanya Wulan kemudian. Aku mengamati perutnya. Belum ada perubahan yang berarti. “Kantung matanya hitam banget. Kak Lenna pasti jarang tidur.”
“Capek. Rumit. Ya, begitulah.”
“Hei, apa ada yang terjadi?” tanyanya kemudian. Aku hanya tersenyum lalu menggeleng. Aku tidak ingin membuatnya khawatir. “Gimana kabar cowok yang menolongmu waktu demo dulu? Masih sering ketemu, kan?”
“Masih.”
“Gimana-gimana?” wajahnya begitu semangat ingin tahu kelanjutannya.
“Kadang-kadang, sih. Nggak ada waktu yang teratur bagi kami untuk ketemu. Ini tentang pekerjaan. Tapi kurasa kami lagi nggak sedang baik-baik saja.”
“Kak Lenna masih kepikiran Aksara?” cetusnya.
Aku memandangnya dengan tatapan lembut, “Hmm, masih. Tapi, nggak tahu kenapa nama itu semakin terdengar asing. Kayaknya dunia ingin aku benar-benar melupakannya.”
“Bagus, dong?”
“Mungkin. Aku sendiri lagi nggak punya pendirian apa-apa. Biarin sajalah dunia yang membawaku kemana saja yang dia mau.”
Wulan kemudian memintaku untuk menyeruput teh buatannya pelan-pelan. Rasanya hangat dan sedikit mengobati lidah dan tenggorokan yang kelu. Suara guruh dan hujan semakin menyatu di luar. Ada aroma tanah yang masuk menyusup melalui celah jendela yang terbuka. Tanaman-tanaman mawar yang tumbuh di taman samping rumah terlihat merunduk lesu. Aku izin menjenguk Ambu sebentar saja. Wulan mengizinkan.
Setelah mengetuk pelan pintu kamarnya di sudut lorong, kemudian aku masuk. Ambu masih terbaring. “Mbu, ini Lenna. Akhir-akhir ini hujan terus, ya, Mbu,” gumamku.
Seratus persen aku yakin Ambu bisa merasakan keberadaanku. Kemudian aku menciumi punggung tangannya. Memeluknya. Mencium kedua pipinya. Aku hanya ingin Ambu tau, bahwa setidaknya aku sangat ingin membuat Ambu sangat bahagia sekali lagi saja.
*
Aku tiba di rumah pukul satu malam, di saat hujan baru saja berhenti, kabut mengisi seluruh kota, dan suhu udara di bawah rata-rata. Aku masih selamat dari gamparan sunyi kota yang sudah jatuh lelap. Aku juga masih selamat dari hantu-hantu kenangan yang bergentayangan di sudut kota. Gelap. Halaman rumahku gelap.
Di sofa ruang keluarga, aku mendapati seorang wanita menangis tersedu-sedu di antara remang cahaya. Botol wine, gelas pecah di atas lantai, dan Kamila.
Aku tidak tau apakah aku harus terus melenggang di hadapannya tanpa menoleh atau sebaliknya, bertanya mengenai apa yang baru saja terjadi kepadanya. Namun, aneh rasanya mendapati seorang wanita asing di dalam rumah selarut ini.
“Lenna,” gumamnya.
Aku menghentikan langkah tanpa enggan menoleh.
“Saya mencintai Papamu. Sungguh.”
Sesaat, aku teringat Mama. Mungkin Mama sekarang sedang terbalut selimut di atas ranjang kapuknya yang tidak begitu empuk sembari melamuni nasib sisa hidupnya yang tidak menentu. Melihat gelas pecah yang berserakan di atas lantai itu memperingatiku. Apa yang sudah dirusak, tidak akan kembali menjadi utuh.
Mengerikan. Akhir-akhir ini malam berlalu dengan sangat mengerikan.
***