Read More >>"> Lenna in Chaos (Katanya, Aku Harus Percaya) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Lenna in Chaos
MENU 0
About Us  

Di akhir pekan, kami memulai perjalanan pertama kami berdua sejauh kurang lebih lima puluh kilometer dari titik awal kami berjumpa. Aku lumayan terharu oleh semangatnya hari ini. Dia membawa perlengkapan kemah, persediaan makanan untuk dirinya, dan beberapa buku untuk dibaca sepanjang akhir pekan. Dia menceritakan tentang sejarah mobil offroad yang kini kami tumpangi. Bahwa itu ternyata adalah mobil ayahnya yang sering merambah daerah pegunungan untuk menguji adrenalin bersama kawan-kawan di komunitasnya.

“Kira-kira, gimana reaksi ibumu kalau melihat saya berkunjung ke sana?” tanyanya kemudian.

“Mama nggak gila,” sergahku sekali lagi dengan penuh penekanan. “Aku bilang begitu karena aku nggak ingin kamu salah paham. Mama hanya merasa tertekan jika ia diingatkan pada segala hal yang menyangkut masalah keluarga kami. Kamu bayangkan saja, papaku yang jahanam dan kakakku yang kabur dari rumah dengan pacar gelapnya. Bisa dibilang, aku adalah satu-satunya harapan Mama untuk sembuh dan percaya lagi kalau dunia ini layak untuk dihidupi olehnya.”

Dia nampak seperti orang tertegun. “Sebelumnya, maaf, saya nggak bermaksud menyinggungmu dan saya nggak bilang kalau ibumu gila,” ralatnya dengan sopan.

It’s ok.”

Hening untuk beberapa saat.

“Kalau nanti Mamaku menganggap kamu adalah pacarku, plis nggak usah kaget. Mama ingin agar aku cepat-cepat move on dari mantanku yang hilang itu. Aku cuman pengen kamu bersiap saja dan bertingkah sewajarnya.”

“Oke.”

Aku tertawa kecil. “Makasih.”

“Serius, nih. Kamu nggak ingin membicarakan tentang mantanmu itu dengan saya?”

“Mungkin lain kali,” sanggahku dengan nada rendah sembari menatapnya sejenak. “Aku nggak ingin menghancurkan mood-ku sendiri. Sekarang aku hanya ingin menikmati perjalanan. Dengan kamu.”

Kulihat sekilas dia tersenyum kecil.

“Kalau keluargamu sendiri gimana? Aku belum dengar sedikitpun tentang mereka,” sahutku. “Kalau kamu nggak keberatan, kamu bisa ceritakan tentang keluargamu kepadaku.”

“Agak rumit.”

“Aku akan mencoba memahaminya.”

Dia terdiam sebentar, seperti sedang menyusun kata-kata.

“Sewaktu saya baru dilahirkan, ibu saya meninggal dunia,” mulainya sembari pandangannya fokus menatap jalanan. “Beberapa bulan setelah kepergian ibu kandung saya, ayah kemudian menikahi seorang kawan lamanya yang memiliki anak laki-laki yang usianya satu tahun di atas saya. Saya dan kakak tiri saya lumayan akrab dan menghabiskan masa kecil dengan cara-cara menyenangkan yang patut. Namun, sewaktu saya masih SMP, ibu tiri saya pergi ke New Castle untuk sekolah master dan membawa kakak tiri saya. Saya nggak tahu apa yang terjadi antara ayah dengan ibu tiri saya itu. Mereka lost contact.”

“Jadi, kamu nggak pernah berjumpa lagi sama kakak tirimu itu?”

Dia menggeleng.

“Dulu ayah saya anggota Partha, komunitas pecinta alam,” ujarnya. Deg. “Angkatan tua, sekitar tahun 80-an,” lanjutnya. “Jadi, memang hobinya jalan-jalan, naik gunung, dan dia memang agak meng-influence saya untuk menjadi liar.”

Jantungku malah berdebar kencang. Wajah Ambu kemudian kembali menggelayuti benakku. Lalu muncul wajah Wulan, seluruh alat kemah yang bertumpuk di rumahnya, Aksara yang berpamitan untuk mendaki gunung Tambora, dan segalanya yang sudah terenggut dariku.

“Berarti ayahmu kenal Ezme Barkenbosch?” tanyaku kemudian.

Pria itu kemudian menoleh kepadaku sesaat dan menatapku lekat-lekat seperti hendak memakanku hidup-hidup.

 

*

 

Setelah membahas sedikit mengenai lukisan Ezme, kami berhenti bicara. Lebih tepatnya kami sama-sama menahan diri mengenai apa yang baru saja terjadi. Mungkin dia juga bertanya-tanya dalam hati tentang apa saja yang aku ketahui dan aku sembunyikan darinya.

Aku juga sibuk memecahkan teka-teki ini. Apakah perkenalan antara ayahnya dan Ezme yang membuatnya akrab dengan Nirvana? Mungkin saja mereka menjalin hubungan yang tidak aku ketahui dan Aslan mencoba menyembunyikannya dariku. Sangat mungkin.

 

*

 

Udara dingin itu menyambut kami dengan dingin.

Sudah kuduga, Mama pasti kegirangan saat aku datang membawa seorang pria baru. Kesenangan yang berlebihan itu membuatku dan Aslan sama-sama kikuk. Tapi, beberapa kali Aslan melirikku dan memandang Mama dengan tenang, seakan kami benar-benar sepasang kekasih baru yang sedang berbunga-bunga.

“Jadi, kamu jurnalis juga, Nak? Syukurlah. Kalau begitu kalian dapat jauh saling mengerti satu sama lain. Lenna ini keras kepala, lho. Semoga kamu tahan menghadapinya, ya.”

“Mama…,” leraiku.

“Sewaktu kecil saya pernah membaca buku cerita yang Tante tulis,” Aslan kemudian membelokkan percakapan dengan mulus. “Saya masih ingat karakter Miki, Bernard, dan Lily yang berpetualang menyusuri kastil berhantu di Pulau Medina.”

Mama nampak semakin senang dan menyukai Aslan.

“Jadi kamu tinggal di mana, Aslan?”

“Di daerah Margahayu, Tante.”

“Berapa bersaudara?”

“Saya anak unggal.”

“Kasihan Lenna. Dia kangen kakaknya. Ya, kan, Len?” Mama pura-pura mencariku.

“Mimpi,” balasku singkat.

Mama tertawa canggung lalu bilang pada Aslan, “Dari kecil, Lenna dan kakaknya, Luna, nggak pernah akur. Tante juga heran.”

“Biasanya begitu, Tante. Rasanya kayak ada persaingan antara kakak beradik yang sama-sama perempuan. Apalagi usianya tidak berbeda jauh,” komentar Aslan sambil terkekeh-kekeh melirikku.

“Kayaknya gitu, ya…,” Mama berjalan ke dapur untuk mengeluarkan beberapa kudapan.

Kemudian aku memutuskan duduk di beranda samping rumah dan menatap tanaman stroberi yang Mama tanam selama beberapa bulan terakhir. Kulihat kembang bokor begitu biru. Beberapa anak berlarian menuju masjid untuk mengaji bersama Ibu Guru Fatima. Sementara itu, dari sini, aku masih bisa mendengar mereka bercakap-cakap riang.

Selagi aku pasrah karena Mama membongkar sifat jelekku kepada pria itu, kudengar Aslan malah memujiku. Samar-samar kudengar, “Lenna itu mandiri, Tante. Dia tahu apa yang dia inginkan.”

 

*

 

Aslan pamit pukul lima sore untuk naik ke kebun teh dan akan mendirikan tenda di sana sendirian demi mengejar sunrise besok pagi di Sunrise Point Cukul. Saat dia menenteng perlengkapan kemah, saat itulah aku rasa dia sudah sangat lihai dengan urusan pergunungan. Aku juga baru tahu jika dia senang solo camping sejak SMA.

Hatiku meleleh. Sumpah, dia mirip banget sama kamu, Aksara.

Seperti tidak tersentuh angin dan kabut, Mama tetap tenang di atas kursi sofanya sembari membaca Doctor Zhivago-nya Boris Pasternak. Tanpa kusadari, ia sudah menciptakan jarak denganku semenjak Aslan pergi. Aku sendiri masih bergelut dengan lamunanku di depan layarku yang kosong. Entah mengapa, aku merasa ketakutan untuk menulis sesuatu di tengah-tengah suasana yang sunyi ini. Aku bahkan dapat mendengar serangga tengah malam saling bersahutan, seperti menggiring bayang-bayang kelam kepadaku.

“Gimana Papamu?” tanya perempuan itu memecah keheningan. “Apa dia masih bertahan bersama Kamila?”

Aku menatapnya terdiam dan diliputi keraguan. Tidak menggeleng ataupun mengangguk. Mungkin dia tidak perlu mendapatkan jawabanku. Terkadang manusia bertanya sesuatu yang kelak jawabannya akan sangat menyakiti dirinya sendiri.

“Aldric,” gumamku. Mama kemudian menoleh kepadaku, seperti menunggu. “Sepertinya aku berjumpa dengannya kembali.”

“Benarkah?” Mama memandangiku dengan sepasang mata yang bulat. “Mama sudah nggak pernah melihatnya lagi semenjak delapan tahun yang lalu.”

Aku membuang muka dan menatap langit-langit yang usang. “Setidaknya Mama harus menata hidup Mama kembali. Jika Aldric adalah laki-laki yang Mama inginkan, aku nggak akan ngelarang.”

“Kenapa?”

“Asalkan Mama memulai hubungan itu kembali secara baik-baik.”

“Anak memang tidak akan pernah sanggup melarang orang tuanya,” balasnya kemudian dan pura-pura menenggelamkan diri ke dalam buku bacaannya kembali.

“Ya, memang seorang anak nggak akan pernah sanggup melarang orang tuanya. Tapi, si anak itu akan menyaksikan keburukan-keburukannya dengan berat hati sepanjang hidupnya.”

“Walau begitu pun, Papamu akan selalu jadi Papamu,” racaunya. Entah mengapa tiba-tiba percakapan soal Mama ini malah merujuk kepada Papa.

“Aku nggak membicarakan soal Papa. Ini soal Mama.”

“Kamu harus tetap menghormati Papamu.”

Aku segera menolak anggapan itu. “Dia bukan Papaku. Papaku nggak akan selingkuh sama anggota dewan dan nggak akan mengorbankan seluruh hidup yang dia punya hanya untuk perempuan arogan, licik, hedonis macam dia,” aku bahkan enggan menyebut nama Kamila dengan terang-terangan.

“Tapi gimana pun juga dia tetap Papamu, Len.”

Aku menatap diri Mama lekat-lekat. “Stop berpihak kepadanya!”

“Lenna…,”

“Berhenti mengatakan itu untuk mempengaruhi cara pandangku terhadap Papa, Ma. Aku sudah menyaksikan semuanya. Se-mu-a-nya. Aku tinggal di Bandung. Aku uring-uringan di sana. Saat aku akan pergi ke kantor, meja tengah selalu dipenuhi wine yang tumpah-tumpah ke lantai. Semua orang di lingkungan kerjaku membicarakan betapa buruknya kinerja wanita itu. Aku muak, Ma!”

“Bukan begitu…,”

“Mama nggak perlu melindungi Papa lagi di hadapanku.”

“Tapi gimana pun juga dia tetap Papamu,” ulangnya lagi dengan lirih.

“Aldric,” bisikku sembari menghela nafas berat. “Aku menawarkannya kepada Mama. Aku nggak bisa melihat Mama sendirian di gubuk ini selamanya. Aku nggak bisa menyaksikan satu-satunya orang yang sangat aku cintai menderita sendirian di sini. Mama sangat mencintainya, kan?”

“Berhenti mendikte apa yang harus Mama lakukan, Len…”

“Suatu saat Mama akan menyadari bahwa yang kukatakan hari ini adalah sesuatu yang benar untuk Mama,” gumamku sembari bangkit. Kemudian Mama seperti membisu saat melihatku mengenakan jaket dan pergi. Padahal malam sudah hampir berada di puncak kepala.

 

*

 

Langit begitu gelap. Di atas sana, aku dapat melihat utas bintang yang menunjukkan arah. Dadaku penuh sesak. Mereka berjejalan dan berpacu.

Tidak ada cahaya bintang yang memantul di atas permukaan danau di tengah kebun teh itu. Setelah menyusuri jalan setapak berbatu di antara kebun teh sendirian, aku mendapati Aslan sedang tercenung di depan api unggun yang nyaris padam. Di belakangnya, tenda itu berdiri dengan kokoh. Saat mendengar langkahku yang mendekat, dia menoleh dan bangkit. Namun, aku lebih dulu meraih tubuhnya dan tenggelam di dalamnya dengan segumpal perasaan yang tidak menentu.

“Lenna? Kenapa ke sini sendirian? Aku kan bisa menjemputmu?”

“Kenapa aku harus menanggung dosa kedua orang tuaku yang terlalu berat?”

“Kamu nggak apa-apa?”

Aku hanya mampu menggeleng kepala keras-keras.

 

*

 

Esoknya, kami pamit pada Mama untuk bekerja lagi dengan perasaan canggung yang luar biasa. Beliau terlihat kontras dengan cahaya matahari. Wajahnya memancarkan paradoks. Saat aku menutup pintu, cahaya yang memancar dari tubuhnya kemudian meredup dan perlahan-lahan mati.

Kembali lagi kepada orang tuaku, fakta mengejutkan lain yang datang dari mereka adalah Mama sangat mengidolakan Jan Jacob Slauerhoff, seorang sastrawan Belanda yang rupawan. Mama sangat tergila-gila dengan karyanya, Het verboden rijk (The Forbidden Kingdom). Agak mengejutkan memang, karena notabene Mama sangat menyukai segala hal yang berbau dongeng tapi malah menyukai prosa yang berisi kritik sejarah. Sementara itu, Papa sangat kagum dengan Sanusi Pane, seorang sastrawan Indonesia yang banyak menciptakan naskah drama dan juga puisi. Dan ingatanku pada pria bernama Aldric itu samar-samar mengingatkanku pada potret Sanusi Pane semasa muda: seperti seorang pujangga.

Pada akhirnya yang terbersit di benakku pada pagi hari yang terang benderang ini adalah: aku tidak harus berdamai dengan yang bersangkutan, tapi yang lebih penting adalah aku harus berdamai dengan semua perasaan ini.

Jika aku disodori melodrama keluarga bahagia, aku juga sangat menginginkannya. Aku sangat ingin bersikap jujur atas segala perasaanku dan aktivitasku di dunia luar sana kepada orang tuaku. Menceritakannya tanpa ada rasa takut. Menceritakannya tanpa merasa cemas. Aku ingin mereka berdua tahu bahwa di dunia pekerjaanku, aku mengalami banyak kesulitan.

Bahkan tanpa sadar, rasa ini sudah terpendam begitu lama sampai-sampai aku enggan mengoreknya kembali. Rasa itu sudah menjadi borok kering yang pernah sangat parah. Bahkan menahan rasa sakitnya, obat jenis apapun tak akan mempan. Luka sejenis yang kumiliki itu hanyalah dapat disembuhkan oleh si pembuat luka itu sendiri. Tapi, aku tahu, berharap terlalu berlebihan itu tidak baik. Mungkin, si pembuat luka tidak menyadari telah meninggalkan luka itu di hati orang yang enggan terluka. Serta tak ada pilihan lain untuk menghindarinya, luka itu tiba-tiba tertanam dan semakin hari semakin sakit.

Aku adalah gadis kecil di tengah-tengah dunia yang luas ini. Dan aku adalah kebalikan dari dongeng ibuku: penuh luka di sana-sini. Semakin menyedihkan rasanya jika perasaan yang muncul ini diawali dengan penyangkalan. Tapi, semakin menyedihkannya lagi perasaan itu terus tumbuh membesar sehingga aku kesulitan membendungnya. Ah, aku ingin bebas; terlepas dan melepaskan seluruh perasaan yang membungkusku.

Aku harap aku bisa melupakan semua luka-luka ini. Luka-luka yang terbentuk bukan karenaku, tapi karena orang lain yang tak disengaja atau pura-pura tak disengaja. Aku ingin berdamai dengan realita pahit ini dan hidup berdampingan dengannya. Barangkali, mungkin tidak hari ini. Mungkin besok, esoknya lagi, atau barangkali esoknya lagi.

“Len, hidup tuh, ya, gini. Nggak ada yang sempurna.”

“Kenapa kalau nggak sempurna tapi mesti nyakitin?”

Aslan seperti mampu mendengar lamunanku sepanjang jalan pulang. Dia menggenggam punggung tanganku, “Semuanya akan segera baik-baik saja. Klasik, sih. Tapi kamu harus memercayainya.”

 

***

 

Tags: twm23

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
THE YOUTH CRIME
3897      1172     0     
Action
Remaja, fase peralihan dari anak-anak menuju dewasa dengan dua ciri khusus, agresif dan kompetitif. Seperti halnya musim peralihan yang kerap menghantui bumi dengan cuaca buruk tak menentu, remaja juga demikian. Semakin majunya teknologi dan informasi, semakin terbelakang pula logika manusia jika tak mampu mengambil langkah tegas, 'berubah.' Aksi kenakalan telah menjadi magnet ketertarika...
Project Pemeran Pembantu
4635      1473     0     
Humor
Project Pemeran Pembantu adalah kumpulan kisah nyata yang menimpa penulis, ntah kenapa ada saja kejadian aneh nan ajaib yang terjadi kepadanya dan orang-orang yang ada di sekitarnya. Dalam kumpulan cerita ini, penulis menyadari sesuatu hal yang hilang di hidupnya, apakah itu?
Selepas patah
149      126     0     
True Story
Tentang Gya si gadis introver yang dunianya tiba-tiba berubah menjadi seperti warna pelangi saat sosok cowok tiba-tiba mejadi lebih perhatian padanya. Cowok itu adalah teman sebangkunya yang selalu tidur pada jam pelajaran berlangsung. "Ketika orang lain menggapmu tidak mampu tetapi, kamu harus tetap yakin bahwa dirimu mampu. Jika tidak apa bedanya kamu dengan orang-orang yang mengatakan kamu...
After Feeling
4840      1697     1     
Romance
Kanaya stres berat. Kehidupannya kacau gara-gara utang mantan ayah tirinya dan pinjaman online. Suatu malam, dia memutuskan untuk bunuh diri. Uang yang baru saja ia pinjam malah lenyap karena sebuah aplikasi penipuan. Saat dia sibuk berkutat dengan pikirannya, seorang pemuda misterius, Vincent Agnito tiba-tiba muncul, terlebih dia menggenggam sebilah pisau di tangannya lalu berkata ingin membunuh...
Gray November
3055      1149     16     
Romance
Dorothea dan Marjorie tidak pernah menyangka status 'teman sekadar kenal' saat mereka berada di SMA berubah seratus delapan puluh derajat di masa sekarang. Keduanya kini menjadi pelatih tari di suatu sanggar yang sama. Marjorie, perempuan yang menolak pengakuan sahabatnya di SMA, Joshua, sedangkan Dorothea adalah perempuan yang langsung menerima Joshua sebagai kekasih saat acara kelulusan berlang...
Manuskrip Tanda Tanya
4435      1461     1     
Romance
Setelah berhasil menerbitkan karya terbaru dari Bara Adiguna yang melejit di pasaran, Katya merasa dirinya berada di atas angin; kebanggaan tersendiri yang mampu membawa kesuksesan seorang pengarang melalui karya yang diasuh sedemikian rupa agar menjadi sempurna. Sayangnya, rasa gembira itu mendadak berubah menjadi serba salah ketika Bu Maya menugaskan Katya untuk mengurus tulisan pengarang t...
(Un)Dead
629      343     0     
Fan Fiction
"Wanita itu tidak mati biarpun ususnya terburai dan pria tadi一yang tubuhnya dilalap api一juga seperti itu," tukas Taehyung. Jungkook mengangguk setuju. "Mereka seperti tidak mereka sakit. Dan anehnya lagi, kenapa mereka mencoba menyerang kita?" "Oh ya ampun," kata Taehyung, seperti baru menyadari sesuatu. "Kalau dugaanku benar, maka kita sedang dalam bahaya besar." "...
Lily
1418      688     4     
Romance
Apa kita harus percaya pada kesetiaan? Gumam Lily saat memandang papan nama bunga yang ada didepannya. Tertulis disana Bunga Lily biru melambangkan kesetiaan, kepercayaan, dan kepatuhan. Lily hanya mematung memandang dalam bunga biru yang ada didepannya tersebut.
Aku Biru dan Kamu Abu
647      375     2     
Romance
Pertemuanku dengan Abu seperti takdir. Kehadiran lelaki bersifat hangat itu benar-benar memberikan pengaruh yang besar dalam hidupku. Dia adalah teman curhat yang baik. Dia juga suka sekali membuat pipiku bersemu merah. Namun, kenapa aku tidak boleh mencintainya? Bukannya Abu juga mencintai Biru?
Segitiga Bermuda
5012      1597     1     
Romance
Orang-orang bilang tahta tertinggi sakit hati dalam sebuah hubungan adalah cinta yang bertepuk sebelah tangan. Jika mengalaminya dengan teman sendiri maka dikenal dengan istilah Friendzone. Namun, Kinan tidak relate dengan hal itu. Karena yang dia alami saat ini adalah hubungan Kakak-Adik Zone. Kinan mencintai Sultan, Kakak angkatnya sendiri. Parah sekali bukan? Awalnya semua berjalan norm...