Read More >>"> Lenna in Chaos (Hari-hari Bersama Aslan) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Lenna in Chaos
MENU 0
About Us  

Sudah dua bulan terakhir ini, di hari yang sama – Kamis – aku pergi menghabiskan petang dengan cara yang sama: duduk di trotoar seberang Gedung Sate sembari melihat deretan orang berpakaian hitam-hitam yang berteduh di bawah payung hitam.

Dulu, aku pernah berjumpa denganmu di tempat ini setelah dia pergi selama sepuluh hari untuk mendaki Gunung Tambora dan jalan-jalan di Bima. Waktu itu, kita sama-sama excited dan saling berpelukan dengan erat. Tentu saja dengan kondisi dirimu yang terlihat lelah dan kulitmu terlihat jauh lebih gelap. Lalu mengalirlah cerita itu. Cerita tentang acara festival yang dihadiri olehmu untuk memperingati meletusnya Gunung Tambora 203 tahun lalu. Kamu mendaki gunung selama empat hari dengan peserta sebanyak kurang lebih dua ratus orang yang dibagi ke dalam beberapa regu pendakian. Di Lereng Kaldera, kamu dan teman-temanmu berhasil membentangkan bendera merah putih selebar 203 meter. Tidak hanya itu, kamu juga bercerita jika kamu mengunjungi makam para raja Bima, mengunjungi Kesultanan Bima, melihat-lihat kampung adat, dan jalan-jalan di pantai bagus.

Aku bisa merasakan gerakanmu, kamu mengacak-acak poniku seraya melanjutkan kisahmu, “Acara ditutup dengan melihat proses sangrai kopi khas masyarakat Desa Kawinda To’i dan menyaksikan pertunjukan musik khas Bima. Menyanangkan bisa berjumpa denganmu lagi, Lenna Sayang.”

Aku segera menepis bayang-bayang itu.

Di seberang sana, sekumpulan orang berpakaian hitam-hitam tengah melakukan aksi kamisan. Mereka berjajar secara memagar sembari berteduh di bawah payung hitam yang mereka genggam. 

Ada perasaan hampa yang menggerogoti rongga di dalam dadaku saat melihat pemandangan itu. Sudah pasti itu perihal orang-orang yang hilang dan tidak pernah kembali. Tapi hal lainnya yang tiba-tiba menyeruak itu adalah soal keluargaku. Keluargaku yang sengaja saling menghilangkan diri dan tidak pernah ada maksud untuk saling kembali.

Luna, kakakku satu-satunya, sudah bersikap keras kepadaku sejak kami masih anak-anak. Perempuan itu tidak pernah menatapku dengan ramah. Dia pernah menyandungku saat aku hendak berlari menaiki tangga. Lantas aku terjatuh dan keningku membentur sudut tangga yang tajam hingga harus mendapat delapan jahitan. Mama dan Papa panik, sementara di antara mata kunang-kunang, aku melihatnya menyeringai puas. Tidak hanya itu, dia menuduhku sebagai pencuri saat aku mendapatkan uang hasil lomba menulis. Lantas dia membentur-benturkan kepalaku ke dinding kamar mandi, menyiram seluruh badanku dengan air bak yang dingin saat jam dua pagi, dan membakar buku diari usangku di loteng.

Di saat-saat itu, Papa sedang terpuruk. Dia hanya tenggelam dalam alunan musik country dan menatap layar komputer bututnya dengan tatapan sayu. Dulu, Papa sering memaksakan kehendaknya kepada kami terkait hal apa pun. Setiap kami berbuka puasa, kami harus menghabiskan makanan-makanan yang nyaris basi. Ia menaruhnya di atas piring dan menatap kami tajam. Jika kami menyisakannya, maka Papa akan menyindir dan berkata dengan nada keras kepada kami. Selain sekelebat contoh itu, aku pernah pulang jam tujuh malam sehabis bermain petak umpat di taman komplek bersama anak-anak sebayaku. Papa meneriakiku “anak jalang”. Perlakuan Papa kepadaku dan Luna tak ada bedanya. Itu membuat kami rentan. Kemudian kami merespon hal itu dengan cara berbeda. Luna melawan, sementara aku menghindar.

Sementara itu, sewaktu kecil Mama sedang meraih masa emas yang mengagumkan. Buku-buku cerita anak yang ditulisnya laku keras. Mama sering pergi meninggalkan kota untuk bergabung di acara-acara amal dan muncul di tempat-tempat nyaman. Mama juga sering membawaku pergi naik kereta dan menyaksikan bayang-bayang cahaya matahari yang hendak terbenam mengukir lorong kereta dengan caranya yang indah.

Sekarang aku memandang semua itu dengan perasaan serbakurang. Aku ingin menerima yang lebih daripada itu. Aku ingin menerima hal-hal layak yang seharusnya aku dapatkan sebagai seorang anak gadis bungsu. Aku ingin dicintai.

“Kamu melamun, ya?” komentar seseorang yang membuatku terkesiap. Seorang pria yang sudah pernah kutemui sebelumnya. Wartawan media sebelah yang sering dibilang kuno oleh orang lain. Dia menyunggingkan senyum kecil, “Mikirin apa?”

“Eh, kita ketemu lagi,” aku terkesiap saat melihat wajah itu. Wajah teduh itu. Dia nampak senang saat aku menyebut namanya dengan jernih. “Sering datang ke Kamisan?” tanyaku.

Dia menatapku takjub. “Saya datang kemari kalau senggang.”

“Aku juga.”

“Oh, iya?”      

Aku kembali menatap jejeran orang berpayung hitam itu meskipun dari sudut mataku, aku bisa menangkap matanya tengah memandangku. Tapi, aku tak mau berprasangka apa-apa karena kami lagi-lagi hanya orang asing yang tidak sengaja bertemu.

Matanya begitu coklat. Aku bisa merasakan “keanehan” yang sering orang-orang sebutkan tentang dirinya. Dia memakai arloji merek mahal asal Swedia. Hal itu lumayan menimbulkan pandangan yang bertentangan terhadapnya. Dia pasti anak orang kaya. Aku menatapnya lagi dan kemudian perasaan aneh segera mengalir di dalam diriku. Ada perasaan akrab yang membuatku kembali lagi menoleh padanya. Berkali-kali.

“Sudah cukup lama kita nggak berjumpa sejak Festival Kampung Kota. Kamu lagi sibuk di kantor?”

“Hmm, lumayan,” sahutku. “Kamu sendiri?”

“Lumayan.  Saya banyak meliput ke daerah terpencil. Biasalah. Di daerah itu orang-orang masih terlampau ajaib. Saya lagi tertarik dengan penganut kepercayaan dan bagaimana akhirnya mereka perlahan-lahan mulai mengekspos kepercayaan itu di tengah-tengah masyarakat umum.”

“Wow. Kamu membahas hal semacam itu lagi. Benar ternyata kata teman-temanku. Kamu itu unik,” sahutku. “Nggak banyak lho orang yang seberani kamu dan mengangkat topik-topik aneh di media mainstream. Nyaris nggak ada,” ujarku. Lagi-lagi aku menyebut kata “aneh” padanya.

“Sebenarnya, soal penganut kepercayaan itu bukan hal yang asing untuk saya, Lenna. Saya punya seorang kolega dan dia mengalami waktu-waktu sulit saat ayahnya yang merupakan penganut kepercayaan meninggal dunia. Tapi di luar hal itu, untuk menjangkau lapisan masyarakat yang beragam, kita harus menggunakan pendekatan yang berbeda. Salah satunya ya horor, ritual, legenda, kepercayaan,” terangnya. “Memangnya, topik apa yang menarik perhatianmu?”

“Lingkungan? Politik?” sahutku tidak yakin. Aku hanya meniru ketertarikan Aksara. “Dan perempuan. Karena aku perempuan.”

Dia mangut-mangut. “Jadi kamu seorang feminis. Liberal?” dia seperti menilai penampilanku.

Aku menggeleng. “Nggak tahu. Aku menciptakan definisiku sendiri soal feminis. Kelak, teoriku ini akan menjadi teori feminisme Lenna,” sahutku diakhiri dengan tawa kecil.

Pria itu terkekeh. “Jangan neko-neko.”

Aku menggeleng. “Soalnya aku punya mimpi kalau kasus KDRT dan nikah muda di dunia ini musnah.”

“Percaya nggak kalau mimpi itu akan segera terwujud?” sahutnya kemudian.

“Kamu cenayang, ya?” tebakku asal, tidak ingin berdebat secara serius.

“Mungkin. Aku kan sering ketemu dukun.”

“Memangnya kalau kamu sering ketemu dukun terus kamu ikutan jadi dukun?”

“Nggak juga, sih,” dia terkekeh.

Ketika gelap sudah tergantikan dengan cahaya lampu kota yang bertebaran, kami tidak berhenti berbagi. Kami pindah dan melipir ke sebuah warung kopi. Dia membawaku ke sebuah warung kopi di Jalan Banda yang pemiliknya adalah sepasang kakek dan nenek yang sudah senja. Mereka memutarkan lagu-lagu 80-an dari tape radio dan tanpa sadar perbincangan kami terasa menyenangkan diiringi dengan irama musik disko.

 

*

 

Semenjak pertemuan kami di Aksi Kamisan itu, kami mulai sering berjumpa kembali di beberapa kesempatan tanpa di sengaja. Entah itu di konferensi pers Pak Gubernur, program sosialisasi pemerintah kota, kasus pembunuhan seorang perempuan muda yang mayatnya dijumpai di kos-kosan, ataupun kasus bunuh diri remaja yang depresi akibat dilecehkan oleh gurunya sendiri.

Entah mengapa, aku selalu merasa tertarik jika melihat dia berada di sekitarku, seperti hari ini. Peristiwa pohon tumbang sehabis hujan deras disertai angin kencang membawa kami menuju jalan R.E Martadinata. Dia mamandangku dengan kendur, hangat, dan senyum. Ada perasaan akrab saat kami saling bersebelahan sembari mencatat keterangan dari narasumber penting kami. Mungkin dia menyadarinya hal itu juga. Aku dapat mengetahuinya dari umpan balik yang dia lakukan atas segala tanda-tanda verbal dan nonverbalku. Sudut matanya terlalu jujur. Humornya hanya sebatas lelucon Graham Coxon saat bernyanyi dan dia memeragakannya di saat-saat lelah.

Meskipun Aslan sering dilabeli aneh olehku karena ketertarikannya pada topik liputan yang nyeleneh, nyatanya dia menaruh perhatian dan dedikasi yang tinggi pada peristiwa-peristiwa penting lainnya yang bersinggungan dengan dunia kami. Hal itu terlihat dari bagaimana caranya memandang sekitar, menyoroti lensa kamera, mencatat di buku catatan kecil, dan berada di garis terdepan, sebelum akhirnya kami menghabiskan penghujung sore di tempat-tempat umum. Berdua.

“Pacarmu nggak akan marah kalau kamu sering-sering ketemu aku?” singgungku sekali lagi yang merujuk kepada Nirvana.     

Dia terkekeh lalu menggeleng. “Kalau kamu sendiri?”

“Sebentar,” sergahku. “Gelengan kepalamu itu maksudnya apa? Kamu memang nggak punya pacar atau memang pacarmu nggak akan marah kalau kamu ketemu perempuan asing kayak aku?”

Dia menggeleng. “Dua-duanya.”

“Oh, jadi kamu jomblo,” tebakku. “Kalau Nirvana?”

Dia mengerutkan kening saat aku menyebut nama perempuan itu lagi. Bahkan aku sendiri bingung mengapa aku bertanya padanya dengan begitu lancang. Apakah dia dapat mendengar nada konfrontatif dalam ucapanku barusan?

Ingatanku kembali pada keduanya yang saling berpelukan di antara reruntuhan rumah dan pemandangan sore yang menyebabkan keheningan di antara kami bertiga. Mereka berpelukan dengan erat. Pria itu menerimanya dengan lapang dada. Si perempuan seakan menyombongkan kenyamanan itu secara terang-terangan di hadapanku.

Dia hanya menggeleng. Tidak memberiku kesempatan ataupun petunjuk untuk memahaminya lebih jauh.

Ada hening yang membungkus kami selama beberapa detik.

“Ada apa?” tanyanya kemudian, mengalah.

“Nggak ada apa-apa.”

“Gelagatmu memunjukkan kalau ada sesuatu yang terjadi antara kamu dan Nirvana,” tebaknya begitu saja. Setelah dia menyebut nama perempuan itu, seketika hal itu membuatku ingin memberontak. Dia masih menatapku dan menunggu jawabanku, “Sepertinya perempuan itu senang bersaing dengan satu sama lain, ya?” tebaknya lagi.

Aku menggeleng lalu terkekeh, “Itu bukan seperti yang kamu pikirkan. Sama sekali bukan,” tolakku dengan nada yang halus.

“Terus apa yang terjadi?”

“Nggak ada.”

“Saya kenal Nirvana, lho. Kamu bisa cerita ke saya kalau kamu pengen.”

Aku menggeleng. “Ah, nggak. Terima kasih,” tolakku dan menyebutkan namanya di akhir dengan perasaan gusar. “Aku sama Nirvana itu nggak saling kenal lagi. Kami hanya beberapa kali nggak sengaja bertemu. Bisa dihitung pakai jari.”

“Gelagatmu itu bohong, tahu nggak? Saya bisa baca,” komentarnya mulai sinis.

“Tapi waktu di festival kamu akrab banget sama Nirvana.”

“Kelihatannya gitu, ya?”

“Loh, kok nanya balik?”

Dia malah makin terlihat kebingungan.

“Oke-oke. Mungkin benar, kamu sama dia nggak ada hubungan apa-apa.”

Akhirnya aku memutuskan untuk mengakhiri percakapan konyol ini, meskipun keputusan itu terlihat bodoh dan naif. Aku tidak ingin pria ini mengetahui bahwa ada hubungan kebencian menahun yang terjadi di antara kami. Aku juga tidak ingin percakapan soal gadis itu membunuh kami. “Kayaknya orang-orang seperti kita akan sulit menemukan jodoh, ya, Aslan. Kecuali kalau dari dunia yang sama. Dunia yang membebaskan kita. Cinta yang nggak akan pernah membelenggu kita.”

Dia menghembuskan asap rokoknya ke udara dan mengibas-ngibaskannya agar asap itu tidak hinggap di wajahku. Wajahnya diliputi ketenangan. Entah mengapa, dalam hati aku terus membandingkan bagaimana dirinya bersikap dengan bagaimana kamu bersikap, meskipun hal itu tidak sepantasnya aku lakukan. Kamu dan dia adalah dua tipe laki-laki yang berbeda. Seharusnya mereka tidak berada pada sandingan yang sama.

“Pacarku nggak tau ke mana. Hilang,” ujarku berterus terang.

“Hilang?” ulangnya kemudian. “Maksudmu dia direbut perempuan lain dan kabur darimu. Begitu?” Aku tersenyum kecut dan menggeleng. Belum sempat menjawab, pria itu segera berbicara lagi, “Sudahlah. Lupakan. Kamu nggak boleh mengingat hal-hal sedih. Saya rasa ini bukan waktu yang tepat.”

“Kalau kamu sendiri, kalau ada tawaran pekerjaan besar yang mengharuskanmu pergi jauh dan kelak akan berguna pada karirmu, apa kamu akan mengambil tawaran itu?”

“Kamu takut ditinggalkan, ya.”

Ketangkap basah.

“Len, pria itu sudah kodratnya ingin berpetualang. Ingin pergi jauh. Ingin bersikap gila dan liar. Ketika gairah itu menggebu-gebu, nggak akan ada satu orang pun yang dapat menghentikan itu. Bahkan pacarnya sendiri. Bahkan ibunya sendiri.”

“Oh, begitu ya…,”

Dia kemudian menghela nafas dan mulai bercerita tentang Pangeran Hamlet dan gairahnya untuk balas dendam. Dia tidak langsung begitu saja memaparkan bagaimana suasana kastil kerajaan dan kemunculan arwah ayah Hamlet yang bergentayangan. Namun, dia terlebih dahulu memuji Shakespeare dan menceritakan bahwa sastrawan legenda itu mempunyai kamus sendiri saking kata-katanya sulit dimengerti. Awalnya aku tidak menyadari cerita apa itu. Sampai akhirnya aku mulai paham, Hamlet adalah kisah Shakespeare yang selalu Mama dambakan dari Aldric.

Aku mengetahui hal itu karena aku pernah membaca surat itu secara tidak sengaja. Ditujukan oleh Aldric untuk Mama, Mahaeswari. Surat itu kuberi judul “Ketika Bandung Telah Larut Malam”. Aldric kepingin jadi Hamlet dan Mama kagum dengan kegigihannya.

 

*

 

Ada sebentang lajur kendaraan di antara perempatan Dago tepat di bawah jalan layang hingga hiruk pikuk terminal angkot di Dago Atas yang membuatku merasa sangat dicintai. Di antara bentangan itu, aku dapat merasakan berbagai jenis kasih sayang. Aku tidak ragu menyusurinya bolak-balik dan menciptakan sensasi tersendiri yang aneh. Pemain skateboard di trotoar yang sepi, pengendara motor disabilitas, penjual bunga jalanan, dan jalan yang dibuka tutup di jam-jam tertentu. Segala percakapanku dan Aksara ada di sana.

Meskipun jalanan itu begitu lurus, setidaknya ia menanjak. Jalanan itu tidak pernah berbohong dan tidak pernah menampakan kegelapan, meskipun aku menyusurinya di malam hari dengan kepala setengah mabuk dan kehilangan arah. Pohon dan kedai-kedai di kanan-kirinya tetap sama sepanjang waktu. Jalanan itu membuatku mengaku bahwa aku belum mampu melupakan segalanya yang terjadi. Soal Aksara, tentu saja. Tapi, yang lebih daripada itu adalah persoalan keluargaku sendiri yang hancur lebur. Tidak ada yang kupercayai seutuhnya. Aku tidak ingin bertengger di sisi Mama yang rentan dan diam-diam menaruh hati pada masa lalu. Aku juga tidak ingin mengemis kepada Papa, si dokter gila kerja sekaligus politikus partai licik, yang pernah gagal dan kini diam-diam selingkuh dengan anggota dewan.

Ini semua adalah bom waktu.

Ada perasaan yang tenang saat aku kembali menyusuri jalanannya untuk yang kesekian kali. Ketenangan yang hampa. Rasanya kosong. Meskipun aku kerap kali mendengar suara-suara tawa kami di masa lalu. Kami menyanyikan lagu The Adams dan Aksara menyorakiku saat aku salah lirik. Ada bait-bait puisi yang kutinggalkan pada setiap inci jalanan aspal yang kelabu. Saat aku menyusurinya, beberapa orang mengamatiku dengan bisu.

 

*

 

“Ibuku tinggal di Pangalengan,” sahutku ketika kami dalam detik-detik rentan untuk berpisah. “Kita bisa mengunjunginya kalau kamu bersedia. Sudah lama aku nggak datang ke sana hanya sekadar untuk memastikannya baik-baik saja.”

Aslan menatapku sejenak dan kembali memandang sekitar kami dengan takzim. “Memangnya ibumu nggak main medsos? Kalian kan bisa saling chatting atau video call?”

Aku menggeleng. “Ibuku sedang menjalani detoks dari media sosial yang beracun. Dokternya bilang dia harus tenang dan menghindari keriuhan. Media sosial dan ponsel sering kali membuatnya merasa cemas berlebihan. Mama akan banyak berpikir dan fear of missing out.”

“Memangnya apa yang terjadi kepada ibumu?” tanya pria itu lagi.

“Mama baik-baik saja. Hanya saja dia butuh beberapa saat untuk menyayangi dirinya sendiri. Dia nggak gila. Dia hanya kurang sehat saja. Banyak masalah. Dia melarikan diri dan enggan kembali karena nggak ada umpannya.”

“Kapan dia akan kembali?”

Aku menggeleng ragu.

“Kenapa?”

“Sepertinya dia nggak akan kembali.”

“Papamu?”

“Jangan tanya.”

“Oke,” sahutnya terdengar seperti gumaman. “Tapi kita bisa mengunjunginya ke sana. Hanya kalau kamu bersedia. Saya bisa antar.”

“Baiklah,” sahutku menerima tawaran itu dengan senang hati. “Kapan-kapan. Kalau ada libur akhir pekan yang panjang.”

“Hei,” Aslan memanggilku lagi. “Kamu percaya nggak kalau setelah hari ini berakhir, hidupmu akan jauh lebih bermakna dan dipenuhi tantangan. Kamu harus siap.”

“Tau dari mana?”

“Tau aja. Saya kan kepingin jadi cenayang.”

Kemudian secercah cahaya yang terang muncul dari tikungan. Aku menatap cahaya putih dari kendaraan roda empat itu. Cahaya itu begitu menyilaukan sampai-sampai aku merasa seperti orang buta. Di antara pendar cahaya itu, aku merasakan udara jauh menjadi lebih sejuk. Seketika ada ilham yang muncul saat cahaya itu kembali menghilang di tikungan selanjutnya.

“Hei, gimana kalau akhir pekan ini kamu rehat dulu? Bersama saya? Mari kita pergi ke tempat ibumu. Sementara kamu menginap di sana, saya akan membuka tenda dan mengejar sunrise di Cukul. Gimana?”

Tanpa sadar, aku tersenyum.

 

***

 

Tags: twm23

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Seiko
506      386     1     
Romance
Jika tiba-tiba di dunia ini hanya tersisa Kak Tyas sebagai teman manusiaku yang menghuni bumi, aku akan lebih memilih untuk mati saat itu juga. Punya senior di kantor, harusnya bisa jadi teman sepekerjaan yang menyenangkan. Bisa berbagi keluh kesah, berbagi pengalaman, memberi wejangan, juga sekadar jadi teman yang asyik untuk bergosip ria—jika dia perempuan. Ya, harusnya memang begitu. ...
Pacarku Arwah Gentayangan
4733      1525     0     
Mystery
Aras terlonjak dari tidur ketika melihat seorang gadis duduk di kursi meja belajar sambil tersenyum menatapnya. Bagaimana bisa orang yang telah meninggal kini duduk manis dan menyapa? Aras bahkan sudah mengucek mata berkali-kali, bisa jadi dia hanya berhalusinasi sebab merindukan pacarnya yang sudah tiada. Namun, makhluk itu nyata. Senja, pacarnya kembali. Gadis itu bahkan berdiri di depannya,...
Story of April
1767      724     0     
Romance
Aku pernah merasakan rindu pada seseorang hanya dengan mendengar sebait lirik lagu. Mungkin bagi sebagian orang itu biasa. Bagi sebagian orang masa lalu itu harus dilupakan. Namun, bagi ku, hingga detik di mana aku bahagia pun, aku ingin kau tetap hadir walau hanya sebagai kenangan…
Negeri Tanpa Ayah
10809      2192     0     
Inspirational
Negeri Tanpa Ayah merupakan novel inspirasi karya Hadis Mevlana. Konflik novel ini dimulai dari sebuah keluarga di Sengkang dengan sosok ayah yang memiliki watak keras dan kerap melakukan kekerasan secara fisik dan verbal terutama kepada anak lelakinya bernama Wellang. Sebuah momentum kelulusan sekolah membuat Wellang memutuskan untuk meninggalkan rumah. Dia memilih kuliah di luar kota untuk meng...
REGAN
8284      2723     4     
Romance
"Ketika Cinta Mengubah Segalanya." Tampan, kaya, adalah hal yang menarik dari seorang Regan dan menjadikannya seorang playboy. Selama bersekolah di Ganesha High School semuanya terkendali dengan baik, hingga akhirnya datang seorang gadis berwajah pucat, bak seorang mayat hidup, mengalihkan dunianya. Berniat ingin mempermalukan gadis itu, lama kelamaan Regan malah semakin penasaran. Hingga s...
Luka atau bahagia?
3829      1202     4     
Romance
trauma itu sangatlah melekat di diriku, ku pikir setelah rumah pertama itu hancur dia akan menjadi rumah keduaku untuk kembali merangkai serpihan kaca yang sejak kecil sudah bertaburan,nyatanya semua hanyalah haluan mimpi yang di mana aku akan terbangun,dan mendapati tidak ada kesembuhan sama sekali. dia bukan kehancuran pertama ku,tapi dia adalah kelanjutan dari kisah kehancuran dan trauma yang...
Palette
4542      1746     6     
Romance
Naga baru saja ditolak untuk kedua kalinya oleh Mbak Kasir minimarket dekat rumahnya, Dara. Di saat dia masih berusaha menata hati, sebelum mengejar Dara lagi, Naga justru mendapat kejutan. Pagi-pagi, saat baru bangun, dia malah bertemu Dara di rumahnya. Lebih mengejutkan lagi, gadis itu akan tinggal di sana bersamanya, mulai sekarang!
Different World
743      396     0     
Fantasy
Melody, seorang gadis biasa yang terdampar di dunia yang tak dikenalnya. Berkutat dengan segala peraturan baru yang mengikat membuat kesehariannya penuh dengan tanda tanya. Hal yang paling diinginkannya setelah terdampar adalah kembali ke dunianya. Namun, ditengah usaha untuk kembali ia menguak rahasia antar dunia.
Potongan kertas
781      383     3     
Fan Fiction
"Apa sih perasaan ha?!" "Banyak lah. Perasaan terhadap diri sendiri, terhadap orang tua, terhadap orang, termasuk terhadap lo Nayya." Sejak saat itu, Dhala tidak pernah dan tidak ingin membuka hati untuk siapapun. Katanya sih, susah muve on, hha, memang, gegayaan sekali dia seperti anak muda. Memang anak muda, lebih tepatnya remaja yang terus dikejar untuk dewasa, tanpa adanya perhatian or...
Hello, Kapten!
1136      604     1     
Romance
Desa Yambe adalah desa terpencil di lereng Gunung Yambe yang merupakan zona merah di daerah perbatasan negara. Di Desa Yambe, Edel pada akhirnya bertemu dengan pria yang sejak lama ia incar, yang tidak lain adalah Komandan Pos Yambe, Kapten Adit. Perjuangan Edel dalam penugasan ini tidak hanya soal melindungi masyarakat dari kelompok separatis bersenjata, tetapi juga menarik hati Kapten Adit yan...