Langit masih kelabu, meskipun sebulat jingga sudah mulai menyembul di Timur. Mungkin aku meninggalkan rumah terlalu cepat, seperti Luna yang memutuskan untuk tidak pulang ke rumah dan membaktikan diri untuk menghidupi kembali segalanya yang sudah mati. Pigura-pigura yang tergantung di dinding ruang tamu sudah jauh lebih kelabu sekarang. Senyuman bahagia kami terlihat semakin samar. Kenangan yang seharusnya pudar, kini semakin mengejar-ngejar. Aku kesepian.
Siulan burung-burung gereja dan suara gema mengaji dari toa masjid yang letaknya lumayan jauh mengiringiku pergi ke kantor. Beberapa kakek tua yang sedang menunggu ajal baru pulang salat subuh dari masjid. Beberapa orang baru pulang dari pasar sembari membawa muatan sayur yang kelebihan di atas motor. Mobil-mobil berbondong-bondong pergi dari timur ke barat dan sebaliknya. Pagi ini tidak ada liputan khusus yang memaksaku untuk pergi jauh melipir ke tempat-tempat asing. Biasanya aku akan membuka termos kecil berisi teh, duduk di salah satu kursi sepanjang Jalan Braga, dan melihat apa saja yang melintas.
Di dekat kantorku, tumbuh pohon tabebuya yang bunga kuningnya sedang bermekaran. Di waktu yang bersamaan, mereka berjatuhan terbawa angin dan hinggap di sepanjang jalan. Padahal mereka masih berwarna kuning cerah dan belum pantas untuk berguguran. Lantas mereka terinjak-injak atau bahkan terbang lagi semakin menjauh dari indungnya. Hal-hal kecil seperti ini sungguh menyiksa.
Aku duduk di kursi pinggir trotoar jalan yang lengang – dekat pohon tabebuya itu – sembari membuka kotak bekalku yang berisi roti isi daging sebelum berangkat kubuat dengan susah payah. Di seberang jalan, tidak sengaja kulihat seorang pria duduk tercenung. Pria itu tidak terlihat muda ataupun tua. Mungkin ia kepala tiga. Ia seperti memandangku dalam-dalam, tetapi tanpa berkedip. Aku terus memerhatikan dari sudut mata. Dia seperti sedang melamun begitu panjang. Pria itu seakan terus memandangku. Entah mengapa, pandangannya mengingatkanku kepada Mamaku sendiri. Dia senang melamun. Jika hatinya tersentuh, dia akan pura-pura tertawa. Aku tidak suka dengan sikapnya. Aku juga tidak selalu setuju dengan pilihan-pilihannya.
Mungkin di saat-saat tertentu seperti hari perayaan Hari Perempuan Internasional ataupun Hari Ibu, aku akan mengerti. Perasaan pengertian itu tumbuh hanya sementara dan akan kembali bias saat aku menapaki keheningan di hari-hari selanjutnya. Mungkin kelak jika aku memiliki anak perempuan, aku akan jauh lebih memahami mengapa ini begini dan itu begitu. Karena aku belum pernah merasakan tahap itu: tahap menjadi seorang perempuan dan seorang ibu yang memiliki anak gadis.
Selagi pria itu memandangku dari kejauhan, aku pun balik memandanginya dengan ketidakpastian. Topi hitam, kaos hitam dengan sablon gambar yang sulit terlihat, ditutupi kemeja kotak-kotak berwarna coklat kalau aku tidak salah pandang, celana jins gelap, dan sepatu boots kulit warna coklat tua. Hatiku meleleh. Ada bayang-bayang Aksara yang kulihat pada pria asing itu. Pria dewasa yang menentukan pilihan hidupnya secara mandiri tanpa ingin didikte oleh orang lain ataupun kehidupan.
Tiba-tiba dia berjalan menyebrangi jalan dan menghampiri.
Aku terkesiap dan mencoba untuk tetap tenang. Saat kulihat wajahnya, aku mendapati pria yang tidak asing. Pria yang membawaku kembali pada masa lalu. Ingatan itu kembali berputar-putar dan menciptakan sensasi udara yang pengap. Saat aku pulang sekolah, kelas dua SMP, seorang pria duduk di kursi teras sembari menyeruput kopi panas. Mama keluar rumah dengan tatapan yang tidak pernah kulihat sebelumnya. Terlalu sumringah.
“Adek, kenalin ini Om Aldric. Ayo salam dulu!”
Mataku memandang pria itu seperti dulu aku memandang pria yang duduk di teras rumah itu.
“Lenna? Benarkah itu kamu?” tanya pria itu hati-hati.
Aku menggelengkan kepala dan buru-buru aku bangkit. “Anda tidak kenal saya,” tegasku. Belum sempat dia berkata lagi, aku segera pergi meninggalkannya. Aku berlari menuju kantorku dan masuk ke dalamnya, berharap dia tidak mengejarku.
Aku enggan berjumpa dengannya: hantu kenangan Mamaku.
*
Aku tahu, pria itu bukanlah sesosok pria yang senang berlama-lama di bawah cahaya matahari. Dia lebih senang berdiam diri membaca buku di bawah sinar lampu lampion dan menata tanaman perdu di pot-pot kecil sepanjang ruangan. Aku juga tahu, dia adalah pria yang sangat bebas dan luas, yang mampu menjangkau dunia Mama yang tak terbatas itu.
Aku pernah menemukan bukti bahwa Mama dan pria itu benar-benar pernah saling mencintai begitu dalamnya.
Bandung, 12 April 1996
Mahaeswari, malam ini sungguh membingungkan. Dimulai dari Sabtu pagi yang begitu sepi hingga malam Minggu yang sunyi. Mahaeswari, hari ini aku merasa kehilanganmu. Mungkin seperti ini perasaanmu ketika aku tinggalkan. Haha. Malam ini aku ikut tertawa denganmu di Pangalengan. Jadi, jangan risau.
Aku ingin bercerita tentang sejarah sedikit, sekaligus bertanya. Apa aku mungkin menjadi Poseidon yang dapat mengitari seluruh samudra? Apa aku bisa seperti Hamlet sang Pangeran Denmark dalam buku karya Shakespeare yang pintar dan mencintai orang tuanya? Apa Hitler yang ingin menjadi seorang seniman dan akhirnya menjadi seorang pemimpin Partai Nazi dan Presiden Jerman dapat menjadi inspirasiku? Apakah ego akan inginnya status setiap orang sama rata (egaliter) akan menghancurkanku, sama halnya Karl Marx dengan Marxismenya dihancurkan oleh kaum kapitalis? Mahaeswari itulah yang terjadi padaku ketika Bandung telah larut malam.
Aku berkhayal akan seperti apa aku kelak. Seorang yang ambisius dan optimis? Saat Bandung larut malam, ketika itu kamu dapat melihatku dengan jelas. Mahaeswariku, lindungi aku dari diriku sendiri. Aku tahu kau sanggup. Aku akan selalu satu langkah di belakangmu. Untuk melindungimu ketika akan ada orang yang menusukmu. Untukmu, karena kau berada tetap di depanku, tolong halangi aku ketika memilih jalan yang salah. Setelah semua berjalan lancar, mari kita duduk berdua sambil makan popcorn dengan film-film yang menggairahkan. Agar pada saat itu kita yakin dan tanpa ragu sedikitpun. Kau milikku dan kumilikmu. Tentu dengan kita milik Tuhan kita. (22.14)
Love,
Aldric
Setelah membaca ulang rentetan kalimat penuh romantisme ala remaja itu, aku merasa terombang-ambing dalam kecemasan yang tak berujung. Lalu, kulihat kembali buku-buku usang milik Mama yang Luna curi dari perpustakaan mininya dan ia pendam rapat-rapat di dalam laci pribadi miliknya. Buku-buku itu memang sejak kecil telah habis kubaca. W.S Rendra, Chairil Anwar, Tuan Romansa, Larasati-nya Pram, Victor Hugo, Henry Fielding, dan masih beberapa lagi.
Aku jadi ingat, sewaktu aku berusia dua belas tahun, Mama ngotot ingin menemaniku sampai tertidur. Awalnya aku menolak, karena aku merasa sudah besar. Tidak pantas bagiku masih didongengi Mama sebelum tidur. Namun, Mama memaksaku dan ia bersikeras ingin menceritakanku sebuah cerita. Kali ini, dia berjanji akan menceritakan padaku kisah yang lain daripada yang lain. Kisah dengan akhir yang tragis. Aku pun mengizinkannya. Kala itu, cerita yang disampaikan Mama adalah Hamlet, karya tersohor Shakespeare. Anehnya, saat Ophelia gila dan mati, Mama malah menangis tersedu-sedu dan ngacir pergi meninggalkanku sendirian dengan tatapan kebingungan.
Kalau sudah begini, aku jadi membayangkan bagaimana rasanya memiliki mantan kekasih.
Aku jadi ingat saat pria itu tiba-tiba sudah duduk di kursi beranda rumah sambil menyulut rokoknya dengan api. Waktu itu aku duduk di kelas tiga SMP. Pupil matanya berwarna hitam tapi tampak bening, hidungnya cukup mancung untuk takaran orang Indonesia asli, serta rupanya yang mengingatkanku pada salah satu manekin dalam diorama di Museum Jogja Kembali. Dan lagi, mimik wajah serta caranya berpakaian seperti orang dulu: orang dari generasi lampau. Kemeja warna kelabu yang dimasukkan ke dalam celana corduroy coklat lusuh dengan ikat pinggang kulit yang kokoh. Dia tersenyum tipis kepadaku, “Halo, Lenna.”
Dan bagaimana pun juga, caranya memanggil namaku seperti orang yang telah lama akrab denganku. Bahkan ayahku saja tidak memanggilku dengan “cara” yang seperti itu. Aku juga tidak akan lupa bagaimana caranya dia memberi penekanan pada huruf “N” pada namaku. Orang-orang yang kukenal pun bahkan jarang melakukan itu saat memanggil namaku. Halo, Lenna. Suaranya terdengar akrab, hangat, sekaligus bergetar.
Aku menghampirinya dengan takut-takut, “Mana Mama?”
“Ibumu di dalam,” jawabnya dengan sopan. Aku memandangnya dengan ragu dan hendak masuk ke dalam. Namun, pria itu menahanku dengan pertanyaan selanjutnya. “Dibandingkan kakakmu, kamu lebih mirip dengan ibumu. Apa cita-citamu, Nak?”
Tanpa ba-bi-bu, aku langsung menjawab, “Ingin jadi superstar.”
Pria itu tertawa lunak, “Oh, iya? Jadi seorang bintang?”
“Bintang yang penuh berkah.”
“Kamu adalah bintang bagi Mamamu.”
Apakah ia begitu sangat hebat bagi Mama sampai-sampai Mama enggan melupakannya? Lantas, jika begitu, mengapa dulu Mama memilih untuk menikah dengan Papa dibandingkan dengan pria bernama Aldric itu? Ah, kepalaku jadi pening tidak berujung. Seberapa banyak pun aku bertanya-tanya hingga mati, aku tidak akan pernah mendapatkan jawaban pasti.
Setelah mencerna surat lusuh berwarna kekuningan yang kutemukan itu, aku mengambil buku A Little Princess karya Frances Hodgson Burnett dengan acak. Buku itu merupakan buku cerita klasik untuk anak-anak yang belum pernah kubaca. Halamannya belum terlalu lusuh, hanya saja terdapat bintik-bintik coklat di beberapa bagian halamannya. Setelah melihat sampulnya yang menggemaskan dan sedikit menghiburku, kemudian aku membukanya.
Jatuhlah sebuah kertas yang mendarat di atas jemari kaki kananku. Apalagi ini, batinku.
Tersungkur setelahnya pada setiap malamku. Apa yang kau katakan padaku sangat membebani pikiranku. Hal yang tidak ingin kala kau seakan membuatku untuk melupakan hal hal yang telah menjadi semangatku. Apapun itu kau tidak akan tahu seberapa besarnya kesungguhanku. Satu satunya hal yang ada di benakku saat itu adalah kau wanita yang kumau. Ada kalanya seorang lelaki melihat semua wanita itu biasa saja dan hanya melihat satu wanita yang di anggapnya cantik. Itulah saat ketika lelaki jatuh cinta.
Hari hari kulalui tanpa bisa tak memikirkanmu di benakku. Saat penat dikala senja, ku menyendiri. Kupuji dirimu dari setiap kalimat kalimat yang kutulis. Aku sangat terheran karena ini kali pertamaku merasakan hal seperti ini kepada anak hawa. Jika seperti ini, kau mau meyuruhku melupakanmu seberapa keraspun tak akan berguna. Belakangan ini aku lebih suka menyendiri sambil mendengarkan lagu lagu yang membuat gelapku tenang.
Sejujur apapun seorang lelaki yang bisa dibilang baru mendekati wanita, wanita tak akan mudah mempercayainya. Aku hanya berusaha saja dan berdoa agar kau bisa mengerti semuanya dan dapat menerimaku apapun hitam dan putihku. Karena memang kaulah wanita yang benar benar aku mau. Pertama kalinya aku sangat sangat menginginkan wanita adalah kepadamu.
Aku menghempaskan kertas itu dengan kasar ke atas meja. Penyangkalan itu terus berputar-putar seperti tidak pernah berujung. Kemudian aku menyadari satu hal, bahwa perjumpaan kami di dekat kantorku adalah kebetulan. Tadi, sebelum dia mengucapkan sesuatu, aku terlanjur menghindarinya. Ada kata yang tidak kunjung terucap. Ada kata yang tidak ingin didengar.
***