Loading...
Logo TinLit
Read Story - Lenna in Chaos
MENU
About Us  

“Gimana, Len? Kamu sudah mewawancarai perempuan itu?” Mas Sultan kembali muncul di jam-jam rawan. Pertanyaannya itu sontak saja membuat ketiga rekanku menatapku dengan tatapan membunuh.

Aku langsung ciut. “B-belum, Mas.”

“Mau kapan kalau begitu?” todongnya lagi.

Yuka segera menyahut, “Besok, Mas. Besok saya akan mewawancarai Nirvana.”

Mas Sultan menyetujui dan segera berlalu masuk ke ruangannya. Sementara itu, aku langsung ngomel dalam hati dan mengutuk pria menyebalkan itu. Aku berharap Maia dan Ian akan membelaku. Tapi mereka malah semakin menganggapku sebagai anak bawang di kantor ini. Rasa-rasanya, tatapan mereka semakin meremehkanku.

 

*

 

Matahari sudah bersinar keemasan, menciptakan pendar-pendar yang menghangatkan mata. Ini adalah saat yang tepat untuk berdiam diri dalam sunyi, menapaki kehidupan, dan menyambangi sekitar dengan penuh keheningan.

Aku, Maia, dan Yuka tiba di daerah penggusuran Candramaya saat matahari sudah berada sejajar dengan pandangan mata kami. Sekarang pukul 15.27. Keadaan terpantau ramai dan sendu. Lahan ini telah menjadi sengketa sejak lama dan menarik perhatian banyak orang di kotaku, terutama para aktivis, LSM, dan LBH yang turut mendampingi warga dalam menghadapi sengketa tanah yang pelik ini. Beberapa anak kecil penduduk asli sekitar terlihat tertawa riang sambil bermain sepak bola di atas tanah berdebu yang tersisa. Aku tahu mereka pura-pura senang. Ada kedamaian yang bertengger di tempat ini untuk sesaat.

Maia segera mengeluarkan jurus memotretnya dan meninggalkan kami menuju area pameran begitu saja. Yuka menyenggolku, “Kamu benar-benar harus mewawancarai perempuan itu. Dia pasti ada di sini sekarang,” bisiknya. Matanya dengan liar mencari-cari ke berbagai sudut.

Please, gantikan saya, ya, Yuk? Biar saya yang wawancara orang lain. Lebih baik kamu menyelamatkan saya kali ini,” aku sudah memasang tatapan kucing kepadanya.

Yuka tetap menggeleng dengan tegas. “Nggak bisa, Len. Kamu harus mencobanya dan kali kamu harus berhasil.”

“Tapi, Yuk…,”

“Yah, meskipun orang-orang sepertinya udah apatis dengan kita karena menganggap kita gampang disogoklah, atau apalah, tapi justru kemampuan negosiasimu itu diuji. Sebagai wartawan kita nggak seharusnya menciptakan jarak dengan para aktivis, Len,” nasihatnya.

Aku menatapnya dengan tatapan memelas. “Gimana caranya bernegosiasi dengan musuhku dari TK?”

Yuka hanya menatapku dengan tatapan tajam dengan tatapan jangan-jadi-wartawan-manja-tolong.

“Yuk, sekali aja…”

“Nggak, Len,” sahutnya dengan tegas. “Kamu kan udah gede. Masa gitu doang nggak bisa?”

Aku menghela nafas panjang dengan perasaan sebal. Tanpa memiliki pilihan lain lantas aku bergegas pergi memasuki area pameran dengan pundak yang terasa berat.

 

*

 

Festival Kampung Kota tersusun apik dengan goresan graffiti dan lukisan karikatur yang terpajang di sepanjang bekas reruntuhan rumah yang telah lebih dulu tergusur beberapa minggu yang lalu. Tagar #MosiTidakPercaya” dan #CandramayaMasihMelawan” tergores di mana-mana dan terlihat seperti pertanda amukan warga. Namun entah mengapa, saat dua kalimat itu terbaca olehku, mereka malah terdengar seperti nyanyian merdu. Segalanya terlihat redup: sebuah perlawanan tersisa dari segala daya upaya yang sudah ditempuh. Pada akhirnya, perlawanan itu menyisakan secuil harapan yang telah susut. Energi yang telah terbakar tidaklah sedikit. Peluh sudah bercucuran dan kini saatnya menikmati pemandangan indah nan tragis yang tersisa di hadapanku.

Di antara potret seorang remaja perempuan yang sedang berteriak marah serta potret seorang anak kecil yang dikelilingi oleh beberapa aparat, aku melihat tulisan kecil yang dibuat oleh spidol papan tulis berwarna merah. Jika aku menulis dilarang, aku akan menulis dengan tetes darah. Oh, sudah pasti itu adalah kalimat ikonik Wiji Thukul. Kata-kata manisnya itu mengingatkanku pada secuil memori saat aku masih berada di sebuah kegelapan, saat Tuhan meniup ruhku saat kekisruhan di Jakarta dan sekitarnya begitu membabi buta. Tahun 1998 dan tahun-tahun sebelumnya yang tak akan pernah kehabisan cerita.

Terkadang pemandangan seperti ini mengingatkanku pada dunia yang tidak adil. Semua yang terlintas di setiap tempat adalah hal yang jauh lebih mengerikan dibandingkan dengan dongeng Mama yang selalu ia utarakan sebelum aku jatuh lelap saat aku kecil. Dongeng yang sejak awal membuatku menaruh harapan besar pada akhir cerita yang bahagia. Tapi, semakin aku tumbuh dewasa, pekerjaan yang kulakukan dan dunia nyata yang kupijaki ini malah semakin menunjukkan kenyataan yang kontradiktif. Dunia ini nyaris tak ada harapan. Dunia ini sudah lebih dulu hampa dan banyak hati yang terluka.

“Coba lihat, siapa yang berkunjung sore ini,” seorang perempuan tiba-tiba berdiri di sampingku. Aku menoleh dengan cepat. Jantungku nyaris lompat dari lempatnya. “Lenna. It’s been a long time, Len.”

Suara itu terdengar dalam, basah, dan seperti menyerbak dari masa lalu. Kini perempuan itu sudah berdiri di sampingku. Kami sama-sama sedang menatap sebuah foto sekumpulan warga yang tengah menangis saat menyaksikan alat berat itu menghancurkan rumah yang mereka tempati sejak lahir. “Nirvana. Apa kabar?”

Bahkan saat menyebut namanya saja sebenarnya aku merinding.

“Aku baik,” balasnya. “Kamu?”

“Baik.”

“Gimana Bandung selama aku tinggal? Aman?” tanyanya kemudian.

Aku menyeringai. “Gimana Italia? Nggak sekalian aja nyari suami bule di sana?”

Dia balik menyeringai dengan sinis. “Ngomong-ngomong, tempat ini sudah jauh lebih menenangkan ya, dibandingkan dengan beberapa minggu lalu. Kamu setuju?”

Aku mengangguk saja.

“Lihatlah foto-foto itu,” dia menunjuk potret di hadapan kami. “Mereka semua mengagumkan sekaligus menyakitkan,” lanjutnya.

“….,”

Kemudian dia meraih kalung identitas di dadaku dengan lancang dan membacanya. Dia terkekeh, “Lenna, Lenna. Kamu sudah besar, ya. Sudah jadi wartawan sekarang. Gimana dengan dongeng masa kecilmu itu? Bukankah ibumu seorang penipu? Semua yang ada di dunia ini terasa pahit sekarang.”

Aku nyaris menampar pipinya saat dia menyebutkan kata “ibu”. Tapi segera kutahan karena aku mesti berhubungan lebih jauh dengan orang ini. “Nir…,”

“Hei, kudengar pacarmu hilang.”

Sialan, batinku saat peluru itu menancap tepat di ulu hati.

“Sepertinya kamu nggak bisa mengatur orang dengan idealisme yang tinggi. Jadi dia kabur darimu dan dia celaka,” pancingnya.

Jangan terpancing, Lenna. Kutatap matanya dengan penuh keberanian. Aku menghela nafas dengan teramat berat dan mencoba untuk bersabar sekali lagi. “Aku ingin mewawancaraimu soal pameran kali ini. Kudengar kamu inisiatornya, kan? Bisa nggak kalau kita berbincang soal pameran ini saja dan berpura-pura untuk nggak saling kenal?” pintaku sambil menatap wajahnya yang… semakin cantik.

Saat wajahnya terpapar sinar matahari, pipinya terlihat menjadi lebih kemerahan. Rambutnya yang sebahu itu tertiup angin sepoi-sepoi, memperlihatkan lehernya yang jenjang. Baju terusan sedengkulnya yang berwarna hitam serta jaket jins kedodorannya membuatnya terlihat feminin dan rebel sekaligus. Entah mengapa, bahkan dia terlihat sama sekali tidak berubah seperti saat kami sama-sama masih duduk di bangku TK. Badannya jauh lebih ramping dan tinggi sekarang. Sekali lagi, bibirnya tersenyum meremehkanku. Aku membuang muka dan kembali menatap karikatur di hadapanku.

“Oke, kamu menang,” ujarnya. Lalu cerita itu mengalir begitu saja, “Jadi, pameran ini tuh menjadi sebuah cara yang elegan untuk melawan. Sudah banyak kok aksi-aksi di dunia yang melawan pemerintahnya lewat kegiatan seni. Aku dan teman-teman sepakat untuk turun dan melakukan semua ini.”

“Terus gimana respon warga atas diadakannya pameran ini?”

Dia menunjuk sekitar dan sekali lagi pemandangan di sekitar menamparku. “Lihat deh anak-anak itu. Mereka senang tempat tinggal mereka didatangi oleh banyak orang. Para orang tua pun nggak kalah senang. Mereka mendapatkan perhatian serta dukungan dari sesamanya. It’s sad, beautiful, and tragic,” kemudian dia menendang-nendang kerikil di sekitarnya. “… dan jika pada akhirnya perjuangan kami nggak berguna dan tempat yang indah ini akan digusur dan ditutup secara permanen oleh petugas, apa kamu tahu Len, kata-kata Nyai Ontosoroh di bab akhir novel Bumi Manusia?” Nirvana menatapku. Aku menatapnya dan mencoba mengingat-ingat. Sebelum aku menjawab, dia sudah lebih dulu menyela, “Kita telah melawan sebaik-baiknya.”

Ada momen hening yang tidak kupahami selama beberapa detik kami berdiri berdampingan.

Kemudian aku menatap tanah reruntuhan yang dipenuhi debu dan pasir yang kupijaki. Dia kemudian memperlihatkan padaku potret-potret yang amat sangat berarti untuknya. Dimulai dari menunjuk foto-foto keluarga korban penggusuran yang terlihat sangat berbahagia, foto-foto bayi yang masih merah, foto-foto pemandangan di sore hari dan anak-anak yang bermain di lapang kecil di bawah jalan layang Pasopati. “Mereka adalah setan tanah. Nggak ada bedanya dengan zaman penjajahan dulu.”

Lalu dia menceritakan sedikit soal lukisan ibunya yang selalu akan ia kenang: “Memoar Masa Lalu”. Lukisan yang secara garis besar bercerita tentang perjuangan melawan kolonialisme dan imperialisme itu telah terjual di galeri Katia Verde Singapura seharga ratusan ribu dolar. Oh, aku bahkan nyaris lupa jika Nirvana adalah putri tunggal Ezme Barkenbosch, pelukis kontemporer terkenal di Indonesia. Tapi dibandingkan dengan paras ibunya yang blasteran, Nirvana jauh lebih berparas keindonesiaan seperti ayahnya.

Seketika aku teringat potret Ambu dan Ezme yang minggu lalu Wulan tunjukan kepadaku.

“Kenapa tema itu yang diambil oleh ibumu? Bukankah itu semua sudah kuno dan Indonesia sudah merdeka selama tujuh puluh tiga tahun?”

“Pertanyaan itu sepertinya berada di luar konteks. Tanyakan saja langsung pada ibuku,” jawabnya ketus kemudian memalingkan muka. Biar kuduga, hubungannya dengan ibunya pasti berjalan dengan buruk. Semoga saja tebakanku benar karena entah mengapa, ada perasaan senang saat dia juga merasa kesusahan.

Nirvana kemudian memalingkan wajah dan menggesek-gesekan sol sepatunya di atas tanah berpasir yang menimbulkan suara-suara canggung yang menyebalkan. Kemudian aku menghela nafas panjang. Orang ini benar-benar belum berubah sejak dulu.

“Kapan-kapan kalau ibumu free, kabari ya. Aku tertarik untuk ngobrol sama ibumu soal seni. Lagian kita sudah dewasa, Nirvana. Bersikaplah biasa saja,” aku bersiap hendak meninggalkannya. Rasanya benar-benar sulit untuk bersikap profesional di hadapan perempuan keras kepala seperti dia.

Perempuan itu tertawa kecil sembari menunjukkan tatapan bulan sabit. “Nggak tau kenapa, rasanya senang sekali kamu sudah melupakan kejadian yang dulu.”

“Siapa bilang?” balasku. Tiba-tiba bayangan Langit, siput, darah, lorong, ayunan, dan perosotan di taman kanak-kanak kembali terputar. Seperti tayangan televisi jadul, mereka berwarna hitam putih dan buram. Namun, perasaanku tidak bisa berbohong. Aku sudah lama membencinya. Aku sudah lama ingin memberikannya pelajaran. Aku benci kenapa dia selalu harus lebih unggul dariku dengan cara membungkam ucapanku. Seperti hari ini dan seperti dahulu kala saat ibu guru menanyai kami kenapa Langit bisa terjatuh dari ayunan hingga kehilangan banyak darah. Dia tidak pandai mengakui kesalahannya.

“Nirvana,” tiba-tiba seseorang memanggil perempuan itu dari belakang dan memaksaku untuk menoleh kembali. Suara itu terdengar seperti batu yang dilempar ke tengah-tengah telaga.

Seorang pria yang familiar datang menghampiri kami sambil menenteng kameranya. Nirvana pun segera memeluk pria itu dengan sangat erat. “Aslan! Hei, Sayang. Kamu datang? Kamu udah makan belum? Lontong kari di sana enak…”

Aslan. Ya, dia adalah Aslan. Singa itu.

Di balik pelukannya bersama Nirvana, pria itu tersenyum kepadaku. Matanya menatapku dan aku menolaknya dengan halus. Dekapan itu terasa erat dan hangat. Bahkan hamburan cahaya matahari Bandung yang benderang pun seraya turut memeluk mereka berdua seperti sepasang bayi yang diberkati. Aku hanya sanggup membalas senyum pria itu dengan samar lalu pergi meninggalkan mereka berdua. Langkahku memberat seperti memikul beban lain yang tak kasat mata.

Nirvana? Aslan? Mereka pacaran?

Seketika hatiku terasa luluh lantak. Harus kuakui, sosok Nirvana telah jauh melampauiku dan kenyataan itu terasa sangat menyakitkan.

 

*

 

“Sudah dapat?” Yuka bertanya padaku.

Aku hanya terkekeh. “Kurang dalam. Dia terlalu nyebelin.”

Segelas kopi di tangan kanan diiringi langit petang yang penuh romansa. Matahari sudah pamit undur diri beberapa belas menit yang lalu. Pameran dilanjutkan dengan sesi diskusi dengan tema yang diangkat seputar dinamika masalah yang terjadi pada penggusuran lahan dan akan ditutup dengan screening film pendek dan aksi teatrikal. Maia masih asyik keluyuran entah di mana. Sementara aku hanya asyik menghabiskan penghujung hari bersama Yuka.

Yuka sendiri bukanlah sosok yang baru kukenal, melainkan kakak tingkatku semasa kuliah. Lihatlah dirinya: berambut model buzz cut, celana jins abu-abu tua dengan bagian lutut yang sobek-sobek, serta kaos band Seringai yang ditutupi jaket parka warna gelap. Di bagian pergelangan tangannya, terdapat banyak gelang tali yang dia kumpulkan dari berbagai daerah di Indonesia.

Sewaktu kuliah, kami sama-sama mengambil jurusan jurnalistik. Pertama kali aku berkenalan dengan Yuka, aku melihatnya sebagai sosok pendiam, misterius, namun piawai dalam mencari celah. Celah apapun dia tembus: soal terlambat masuk kelas, lolos syarat administrasi sidang skripsi, dan selamat dari kecelakaan maut di Jalan Soekarno-Hatta. Itu belum termasuk keberuntungan hal-hal kecil. Yuka juga selalu lolos dalam kekacauan: seperti demonstrasi-demonstrasi yang selalu berlangsung di depan Gedung Sate, Gedung DPRD Jawa Barat, ataupun balai kota. Bahkan, setelah insiden May Day lalu, Yuka kemudian mengajariku rute jalan cepat yang aman dari risiko kekacauan pendemo.

Yuka juga pernah ditugaskan untuk meliput di daerah Kabupaten Bandung Barat, menggantikan wartawan kontributor di sana selama satu bulan. Dia sampai diancam oleh salah satu pejabat karena mengangkat kasus dana bantuan sosial yang tidak merata. Dia pun berhasil keluar dari perangkap “mematikan” itu dengan pemberitaan mulusnya yang naik ke permukaan. Dia juga pernah berkelahi dengan preman Cimahi, dihipnotis oleh pencopet serta kameranya yang berharga dibawa kabur, dan tak ada yang lebih menyedihkan daripada itu. 

 “Sepertinya dia sudah berubah. Dia udah nggak jadi cewek gila kayak dulu lagi. Meskipun dia masih menyebalkan, sih, kelihatannya,” gumamku sambil memandang gadis itu.

Yuka menyeruput kopi milikku dan menatapku. “Ngomong-ngomong, dari jauh kalian berdua tuh kelihatan mirip.”

“Mirip apanya?”

“Tingginya, lesung pipinya, hidungnya, serta gelagatnya. Dan yang terpenting adalah bahasa tubuhnya,” terangnya. “Bedanya, ekspresimu lebih mudah terbaca dibandingkan dengannya.”

“Saya? Mudah terbaca?”

Dia mengangguk. “Karena kita sudah saling mengenal.”

“Contohnya?”

“Ketika kamu membenci seseorang, kamu akan segera menunjukkannya lewat tatapan matamu itu. Kamu biasanya akan mengerlingkannya, memalingkan wajah, menatap ke tanah, ke langit. Kamu nggak akan menatap lawan bicaramu. Seperti tadi saat kamu berbincang dengan dia.”

“Kamu memerhatikan kami berbincang, Yuk?”

Dia terkekeh. “Tentu saja.”

“Jangan-jangan, apa karena Nirvana lebih cantik daripada saya?”

Yuka tertawa terbahak-bahak dan mengeluarkan sebatang rokoknya. Dia memintaku untuk memerhatikan Nirvana yang sedang berjalan ke depan untuk mengisi sesi talkshow berikutnya.

Ya, perempuan itu hebat. Dia idealis, visioner, independen, di kelilingi oleh orang lain yang peduli dengannya, dan tentu saja dia sangat cantik. Semua orang senang berlama-lama menatapnya. Wanita itu bisa tertawa lepas di antara orang-orang. Belum lagi kepulangannya ke Indonesia akan selalu ditunggu-tunggu oleh teman-teman aktivis lainnya. Setelah mengutarakan pendapatku soal sosok Nirvana, Yuka berkata, “Kamu tahu, Len? Orang-orang seperti perempuan itu adalah sasaran empuk.”

“Maksudnya?”

Dia tidak menjawab.

 

*

 

Setelah acara teatrikal dan pembacaan puisi berakhir, aku bergegas pulang.

Jam sudah menunjukkan pukul 23.48 saat acara pameran hari pertama itu berakhir. Langit yang menaungi kota sudah muram. Tak ada bintang ataupun bulan yang menggantung di atas sana. Jembatan Pasupati sudah akan lelap. Lampu penerangan di lokasi pameran baru saja dimatikan, membuat suasana menjadi gelap gulita. Semuanya yang kulihat hanyalah gelap dan sedikit remang cahaya dari bangunan-bangunan kejauhan. Yuka sudah pergi meninggalkanku setengah jam yang lalu untuk melakukan beberapa tugas dengan tengat watu yang tipis. Sementara itu Nirvana sudah mabuk parah. Ia hendak dibawa pulang oleh seorang kawannya yang tinggal satu kos dengannya.

Seseorang menepuk pundakku.

Aku menoleh, “Ya?”

Kulihat wajah Aslan di antara gelap. “Senang bisa berjumpa denganmu lagi,” dia berkata begitu dan terdengar seperti sebuah godaan di telingaku.

“Mana pacarmu?” aku mencari-cari perempuan itu dan tidak kudapati sejauh mata memandang.

“Nirvana bukan pacar saya.”

“Ah, I see.” Kupikir dia berbohong.

“Kenapa?”

Aku menggeleng.

“Mau saya antar pulang?” tawarnya. “Sudah malam.”

Aku berpikir sejenak kemudian menggeleng.

“Baiklah, Lenna.”

Bagaimana cara dia mengucapkan namaku yang terakhir itu terdengar indah di telingaku. Aku bahkan tidak pernah menyangka namaku bisa terdengar semenakjubkan itu. Lenna. Nama depan yang aneh. Lenna dengan dua huruf “N” berdampingan. Bukan nama familiar di Eropa ataupun Asia. Dan apabila seseorang memanggil namaku, biasanya hanya akan terdengar seperti nama-nama yang biasa saja. Tapi, kali ini sungguh berbeda.

Lantas, aku tersenyum kecil kepada Aslan dan mempersembahkannya sebuah punggung yang pergi menjauh.

 

***

Tags: twm23

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
AKSARA
6410      2186     3     
Romance
"Aksa, hidupmu masih panjang. Jangan terpaku pada duka yang menyakitkan. Tetaplah melangkah meski itu sulit. Tetaplah menjadi Aksa yang begitu aku cintai. Meski tempat kita nanti berbeda, aku tetap mencintai dan berdoa untukmu. Jangan bersedih, Aksa, ingatlah cintaku di atas sana tak akan pernah habis untukmu. Sebab, kamu adalah seseorang yang pertama dan terakhir yang menduduki singgasana hatiku...
Antic Girl
141      117     1     
Romance
-Semua yang melekat di dirinya, antic- "Sial!" Gadis itu berlalu begitu saja, tanpa peduli dengan pria di hadapannya yang tampak kesal. "Lo lebih milih benda berkarat ini, daripada kencan dengan gue?" tanya pria itu sekali lagi, membuat langkah kaki perempuan dihadapannya terhenti. "Benda antik, bukan benda berkarat. Satu lagi, benda ini jauh lebih bernilai daripada dirimu!" Wa...
Negeri Tanpa Ayah
15103      2509     1     
Inspirational
Negeri Tanpa Ayah merupakan novel inspirasi karya Hadis Mevlana. Konflik novel ini dimulai dari sebuah keluarga di Sengkang dengan sosok ayah yang memiliki watak keras dan kerap melakukan kekerasan secara fisik dan verbal terutama kepada anak lelakinya bernama Wellang. Sebuah momentum kelulusan sekolah membuat Wellang memutuskan untuk meninggalkan rumah. Dia memilih kuliah di luar kota untuk meng...
A Day With Sergio
1791      802     2     
Romance
Listen To My HeartBeat
583      354     1     
True Story
Perlahan kaki ku melangkah dilorong-lorong rumah sakit yang sunyi, hingga aku menuju ruangan ICU yang asing. Satu persatu ku lihat pasien dengan banyaknya alat yang terpasang. Semua tertidur pulas, hanya ada suara tik..tik..tik yang berasal dari mesin ventilator. Mata ku tertuju pada pasien bayi berkisar 7-10 bulan, ia tak berdaya yang dipandangi oleh sang ayah. Yap.. pasien-pasien yang baru saja...
Sweet Equivalent [18+]
4788      1230     0     
Romance
When a 19 years old girl adopts a 10 years old boy Its was hard in beginning but no matter how Veronica insist that boy must be in her side cause she thought he deserve a chance for a better live Time flies and the boy turn into a man Fact about his truly indentitiy bring another confilct New path of their life change before they realize it Reading Guide This novel does not follow the rule o...
KEPINGAN KATA
506      323     0     
Inspirational
Ternyata jenjang SMA tuh nggak seseram apa yang dibayangkan Hanum. Dia pasti bisa melalui masa-masa SMA. Apalagi, katanya, masa-masa SMA adalah masa yang indah. Jadi, Hanum pasti bisa melaluinya. Iya, kan? Siapapun, tolong yakinkan Hanum!
Lily
1925      874     4     
Romance
Apa kita harus percaya pada kesetiaan? Gumam Lily saat memandang papan nama bunga yang ada didepannya. Tertulis disana Bunga Lily biru melambangkan kesetiaan, kepercayaan, dan kepatuhan. Lily hanya mematung memandang dalam bunga biru yang ada didepannya tersebut.
Sebelas Desember
4737      1360     3     
Inspirational
Launa, gadis remaja yang selalu berada di bawah bayang-bayang saudari kembarnya, Laura, harus berjuang agar saudari kembarnya itu tidak mengikuti jejak teman-temannya setelah kecelakaan tragis di tanggal sebelas desember; pergi satu persatu.
Hujan Paling Jujur di Matamu
8794      2011     1     
Romance
Rumah tangga Yudis dan Ratri diguncang prahara. Ternyata Ratri sudah hamil tiga bulan lebih. Padahal usia pernikahan mereka baru satu bulan. Yudis tak mampu berbuat apa-apa, dia takut jika ibunya tahu, penyakit jantungnya kambuh dan akan menjadi masalah. Meski pernikahan itu sebuah perjodohan, Ratri berusaha menjalankan tugasnya sebagai istri dengan baik dan tulus mencintai Yudis. Namun, Yudis...