Loading...
Logo TinLit
Read Story - Lenna in Chaos
MENU
About Us  

Bandung, 1 Mei.

Happy May Day! Ada sesuatu tentang Mei yang selalu muncul ke permukaan dan tenggelam bersamaku di tengah-tengah kerumunan buruh serta wartawan. Di sebuah pesta jalanan, tidak peduli terik mentari yang semakin menggigit atau hujan yang menggelandang, Mei adalah bulan yang akan selalu mengingatkanku pada sosokmu.

Kamu. Ingatkah kamu bagaimana caramu membantuku memandang dunia karena selama ini aku buta? Berkat cara-caramu itu, kamu membuatku memandang dunia seperti caramu memandang dunia: liar, bebas, tak terbatas. Kenapa kamu pergi? Kenapa nomor ponselmu berada di luar jangkauan? Kenapa kamu tidak membalas surat-suratku?

Sudah tiga tahun. Apa yang kamu lakukan di luar sana?

Aku belum sanggup memutuskan hubunganku denganmu padahal sudah tiga tahun kurang beberapa hari saja kita telah terpisah. Kamu, pria keras kepala dan lembut dalam waktu yang bersamaan. Seorang pria yang membukakan pintu-pintu dunia hingga kini tempat yang kuhuni terasa jauh lebih luas. Seorang pria yang setiap detail kecilnya perlahan sudah hanyut tergerus siang dan malam. Padahal aku enggan melupakanmu.

Kamu. Kamu terus pudar seiring berjalannya waktu.

Bagaimanapun juga, satu Mei adalah saatnya aku mematikan televisi. Lalu berdansa.

Bukan hanya itu saja. Jika bukan karena kamu, mungkin saja hari ini aku tidak akan berada di tengah-tengah jalanan aspal bersama ribuan orang berseragam buruh yang berwarna-warni sembari mengibarkan bendera-bendera perserikatan mereka di udara. Kuanggap apa yang kulakukan ini adalah wasiat darimu. Karena bagaimana pun juga, kamu sudah lama hilang begitu saja. Lenyap. Dunia seakan-akan telah menelanmu bulat-bulat di antara temaram malam dan hutan serta menolakmu untuk memberi kesempatan mengucapkan selamat tinggal. Kepadaku.

Kamu tahu tidak? Sebagian besar orang dalam kehidupan kita berasumsi bahwa hubungan yang kita miliki ini telah berakhir sejak lama. Bapak dan Ibu Anwar, kedua orang tuamu, sudah berhenti menghubungimu setelah aku datang ke acara halal bihalal lebaran keluargamu dua tahun lalu. Waktu aku datang ke rumahmu saat itu, aku bersikap seperti orang gila. Sepertinya mereka merasa kasihan padaku sekaligus ingin melindungi segenap keluargamu dari kehancuran mereka sendiri atas kehilangan anak laki-laki, cucu, sepupu, dan bagian penting keluarga mereka yang pernah begitu pemberani.

Apa kamu tahu? Teman-temanmu sudah menyalakan lilin penghormatan sejak lama. Mereka sudah menganggapmu tiada. Padahal aku dan mereka sama-sama tahu: kamu takut kesepian.

Hari-hari kosongku setelah itu banyak diisi oleh kegiatan-kegiatan padat alih-alih bermanuver untuk mencari gebetan baru. Aku masih memikirkanmu. Aku masih membayangkan suatu saat kamu akan kembali kepadaku, merebahkan kepalamu di atas pahaku sembari memainkan ujung-ujung rambutku. Aku bahkan tidak tahu apa yang kupikirkan ini hanyalah angan-angan atau harapan yang sudah pupus sejak lama.

Dulu, kamu sering memintaku untuk terhubung kembali dengan teman-teman SMA-ku karena kamu khawatir aku semakin idiot dalam menghadapi fase menjadi dewasa yang sulit ini. Tapi kini, geng SMA-ku itu sudah menggendong bayi yang lucu-lucu. Pipi anak-anak mereka begitu gembul. Mereka kerap kali menghindari topik seputar suami dan segala kegiatan peristrian mereka karena mereka hanya ingin menjaga perasaanku. Suasana di sudut kedai kopi itu seringkali canggung. Mungkin saja mereka menangkap sorot mataku yang kerap kali kabur.

Tapi sekarang ini adalah satu Mei.

Tantanganku bukan hanya perihal menghadapi perasaanku atas kamu. Pekerjaan ini, pekerjaan yang kulakukan sehari-hari untuk bertahan hidup yang kutiru darimu, seringkali membawaku pada jebakan-jebakan. Beberapa orang penting dari perusahaan swasta pemenang lelang tender proyek pemerintah memusuhiku gara-gara aku tidak mau menerima amplop berisi duit agar aku mau menuliskan press release mereka di media tempatku bekerja. Kamu tahu? Mereka menyumpahiku agar mandul, dipecat, dan celaka.

Belum lagi ketika aku hadir di beberapa pertemuan besar yang melibatkan para wartawan kota. Kawan-kawanmu yang sebagian besar kukenal diam-diam bergunjing tentang kita. “Tuh, lihat si Lenna. Kasihan, ya, dia susah move on. Kasihan banget Aksara, arwahnya nggak bakal tenang.”

Hei, Aksara. Aku belum juga bisa memutuskan kira-kira sebutan apa yang layak disematkan bagi hubungan antara aku dan kamu yang tidak pernah kembali itu. Apa kita masih menjadi sepasang kekasih? LDR-an antara Dunia dan Surga? Menggantung? Bertepuk sebelah tangan?

Tapi, sekarang ini adalah satu Mei. Apa aku harus membiarkan hubungan kita menggantung saja? Mungkin saja nyawamu direnggut orang jahat dan mungkin saja sebenarnya kamu masih hidup dan selamanya akan selalu hidup di belahan dunia yang lain. Mungkin saja kelak dunia akan berbaik hati dan menyerahkan kamu kembali padaku. Nih, kukembalikan pria malang ini padamu dan kuharap kamu dapat memperbaikinya karena dia barang rusak. Kamu tahu? Aku akan selalu menerimamu kembali dengan lapang dada.

Meski begitu, penyangkalan itu akan terus semakin kuat meski kamu sudah dianggap mati. Seseorang mungkin boleh menyebutku gila. Yang lain menyebutku terobsesi. Manusia tetaplah manusia. Manusia bisa mati kapan saja. Tapi kamu sudah berjanji akan selalu hidup. Jadi, bagaimana kamu bisa memilih untuk mati jika kamu sendiri akan selalu berjuang untuk hidup?

Tapi, sekarang adalah satu Mei. Kumohon hadirlah di dalam mimpiku.

“Naikkan upah kami!”

“Jangan ada PHK lagi!”

“Sejahterakan kami!”

“Izinkan buruh perempuan cuti hamil!”

Setiap kalimat orasi yang menggema dari panggung yang berdiri di depan pagar Gedung Sate itu terdengar seperti sebuah ode. Tak peduli betapa panasnya matahari membakar kepala-kepala manusia yang tergerus zaman, kami masih memperjuangkan sesuatu. Entah mengapa, satu Mei kali ini terasa seperti sebuah pesta perpisahan kecil untukku. Wajahmu kembali muncul di mana-mana. Di antara wajah orang-orang asing di sekeliling yang kepanasan dan dipenuhi bulir-bulir keringat. Di antara spanduk-spanduk warna-warni yang membumbung tinggi. Di antara keluh kesah dan semua pedagang asongan yang disusupi intel.

 

*

 

Tapi, sekarang ini adalah satu Mei.

Maia dan Yuka, kedua rekan kerjaku, segera menarikku pergi dari depan Gedung Sate.

“Len, kok déjà vu ya?” Maia berujar di sebelahku sambil mengarahkan lensanya secara acak.

“Iya, firasat jelek,” sahut Yuka sambil menjauh beberapa meter dari kami.

Semakin sore turun, matahari memancar semakin kejam. Hangat dan menyilaukan mata. Sementara itu, rombongan massa berpakaian hitam-hitam yang kontras dengan rombongan buruh yang cenderung berpakaian seragam warna-warni mulai berdatangan menuju Gedung Sate dari berbagai arah. Panasnya matahari seperti berupaya untuk memperingati kami semua tapi kami terlalu naif. Kuperhatikan, gerombolan itu berdatangan dari arah Jalan Sulanjana, Jalan Sentot Alibasyah, Jalan Trunojoyo, dan Jalan Diponegoro. Mereka berjalan sembari membentuk barikade yang rapat dan panjang. Mereka juga saling berhimpitan dan mempercepat langkah. Semuanya bersatu di satu titik, semakin melebar, membesar, dan menciptakan atmosfir gelap di angkasa raya. Mereka menyanyikan himne penyemangat bagi buruh dengan berapi-api, membuatku sedikit takjub saat mendengarnya.

Waktu terus berlarian tanpa arah. Matahari pukul satu membakar siapa saja. Barisan demonstran semakin penuh dan rapat. Kepala manusia yang ada di tempat itu seketika terlihat menjadi seperti gerombolan bulu babi yang berenang-renang. Orasi di atas panggung terdengar makin berapi-api. Kali ini pembelaan bagi kaum miskin. Tepuk tangan semakin riuh saat si orator mengakhiri ucapannya dan digantikan dengan orator lain.

Pukul 14.23, suasana mulai menghangat. Udara semakin pengap dan menyesakkan dada.

 

*

 

Sudah pukul 17.12.

Ini adalah kebiasaanmu dulu. Kamu senang memotret apa saja bahkan saat aku merengek-rengek minta dibelikan es krim di CK atau mengantarku pulang ke rumah lebih cepat. Kamu bilang kamu ingin mengenang apa saja dengan foto. Kamu ingin hidup di dalam foto-foto itu. Kini kuputuskan sebelum aku kembali ke kantor aku harus memotret sebanyak-banyaknya seperti kamu yang selalu sibuk menangkap cahaya.

Aku mengambil jalan pintas menuju depan kerumunan demonstran melewati jajaran buruh pabrik tekstil tersisa. Para buruh itu berpakaian merah-merah. Jumlahnya sudah menyusut drastis sejak pukul tiga sore tadi. Kini jumlah itu sudah terkalahkan oleh rombongan baru serba hitam. Badanku yang kecil memudahkanku untuk menembus celah-celah badan yang bau keringat. Saat itulah kuarahkan lensaku kepada apa atau siapa saja.

Saat menerobos barisan menuju paling depan kerumunan, aku bisa lihat pemandangan demonstran dengan leluasa. Entah mengapa, aku semakin semangat ketika mengetahui bahwa di depan sana salah seorang perwakilan dari demonstran sedang menyampaikan orasi dengan nada berapi-api. Biar kutebak, biasanya orasi orang-orang seperti itu akan dikahiri kutipan-kutipan puitis yang menyulut tepuk tangan massa. Ah, benar, kan. Dia mengutip Chairil Anwar dengan manis. Ada yang berubah, ada yang bertahan. Karena zaman tak bisa dilawan.

Aba-aba dari aparat untuk membubarkan diri sudah terdengar dari dalam Gedung Sate. Semua demonstran saling bertatapan dengan wajah bingung. Sebagian orang mulai merasa tegang dan bergunjing.

“Ada orang miskin perutnya kelaparan. Ada orang kaya menghancurkan alam dan semakin kaya. Kita harus terus berjuang! Berjuang dan melawan!”

Peringatan kedua kembali diserukan.

Barikade semakin rapat. Aku menghela nafas dengan tegang. Jalan di hadapanku sudah tertutup rapat oleh para demonstran. Yel-yel kembali dikumandangkan. Kali ini terdengar semakin keras dan terkesan terlalu bersemangat. Apa yang ditunggu-tunggu? Aku melihat sekeliling. Mataku mengerling ragu saat melihat wajah-wajah pendemo yang dipenuhi peluh itu. Wajah-wajah yang mengerikan serta diiringi mimpi buruk. Setengah wajah-wajah itu tertutup buff dan masker. Namun mata mereka memancarkan kemarahan yang tersulut api.

Tapi, sekarang ini adalah satu Mei. Aku berharap aku bisa mendapatimu dan kamu akan membawaku pergi meninggalkan tempat ini. Atau setidaknya, aku bisa mendapati Maia atau Yuka di sekitar. Tapi yang kulihat adalah gerombolan wajah asing dengan mata berkilat-kilat.

Setelah sang orator undur diri dan peringatan ketiga telah diserukan, seketika dunia berubah menjadi kacau balau. Dalam sekejap, semburan gas air mata sudah menghujani kami semua. Hitam. Kelam. Jeritan dan teriakan di mana-mana. Ledakan tersulut di mana-mana, asap berterbangan, serta bau gas menyengat hidung.

Anjrit! Perih!

Mau tidak mau aku kabur dan membenamkan diri dalam kerumunan yang begitu beringas. Badanku terseret-seret tidak tentu arah. Aku bahkan tidak sanggup melihat lagi. Mataku terlalu perih untuk memandang sekitar. Segalanya terlihat semakin buram. Gas air mata itu mencubiti bola mataku yang sudah lebih dulu rapuh digerogoti asap.

“Lenna!” panggil Yuka entah dari mana.

“Yuka!” seruku sambil menatap sekeliling yang kelabu.

Belum sempat aku mengeluarkan sepatah kata, dalam waktu hitungan detik, semuanya berubah menjadi kekacauan. Suara tembakan polisi terdengar bersahutan. Aku terbawa arus massa itu berlainan arah dengan kedua temanku. Belum juga sempat untuk menghindar, lantas sesuatu yang besar dan berat menghantam badanku dan membuatku terhempas ke jalanan aspal yang dipenuhi kerikil. Badanku terjatuh, berguling, berputar, dan sudah kehilangan keseimbangan. Kepalaku membentur aspal dengan keras berkali-kali dan firasatku mengatakan aku nyaris mati. Benar. Aku akan segera mati. 

Entah berapa lama aku seperti terbujur kaku di atas aspal yang terasa hangat itu.

Aku mencoba bangkit dengan sekuat tenaga. Namun, sekujur badanku terasa nyeri dan ngilu.

“Lenna, jika suatu saat kamu sedang terjebak di tengah-tengah kekacauan dan merasa nyawamu diujung tanduk, ingatlah satu hal: kamu harus tetap hidup dan jangan pernah biarkan seseorang menangkapmu.”

Suaramu menggema.

 

*

 

Setelah nyaris satu menit badanku terkapar di jalanan, kurasakan seseorang meraih badanku. Aku tidak bisa menolak ataupun menangkis karena badanku seakan telah membeku. Seseorang itu membangkitkanku dan membawaku pergi. Kukira aku ditangkap aparat. Aku sudah merasa gagal bahkan sebelum aku dapat memastikan siapa orang yang kini tengah membawaku pergi.

“Jangan takut dan terus berjalan,” bisiknya di telingaku. “Kabar buruknya adalah, sepertinya lensa kameramu pecah.”

Suara itu asing. Aku memberanikan diri membuka kedua mata. Siluet wajahnya muncul di antara cahaya matahari yang menembus celah dedaunan. Abu. Sepia. Aku mengedipkan kedua mataku berkali-kali. Tapi semuanya masih buram.

Saat aku menunduk ke bawah, aku tidak sengaja melihat tanda pengenal yang tergantung di saku celananya. Seorang pria. Wartawan media sebelah. Bukan kamu. Kamu sudah hilang nyaris tiga tahun lalu. Aku tidak bisa berharap kamu berada di sini sekarang untuk menolongku dari kekacauan ini.

Aku tidak kenal orangnya dan sepertinya aku belum pernah berjumpa dengannya. Wajahnya ditutupi masker putih serta menampakkan sepasang mata yang belum pernah kulihat sebelumnya. Aku sama sekali tidak peduli jika lensa kameraku pecah. Aku hanya peduli nasibku sendiri.

          

***

Tags: twm23

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
The Last tears
955      542     0     
Romance
Berita kematian Rama di group whatsap alumni SMP 3 membuka semua masa lalu dari Tania. Laki- laki yang pernah di cintainya, namun laki- laki yang juga membawa derai air mata di sepanjang hidupnya.. Tania dan Rama adalah sepasang kekasih yang tidak pernah terpisahkan sejak mereka di bangku SMP. Namun kehidupan mengubahkan mereka, ketika Tania di nyatakan hamil dan Rama pindah sekolah bahkan...
Gino The Magic Box
4393      1361     1     
Fantasy
Ayu Extreme, seorang mahasiswi tingkat akhir di Kampus Extreme, yang mendapat predikat sebagai penyihir terendah. Karena setiap kali menggunakan sihir ia tidak bisa mengontrolnya. Hingga ia hampir lulus, ia juga tidak bisa menggunakan senjata sihir. Suatu ketika, pulang dari kampus, ia bertemu sosok pemuda tampan misterius yang memberikan sesuatu padanya berupa kotak kusam. Tidak disangka, bahwa ...
Susahnya Jadi Badboy Tanggung
6151      1922     1     
Inspirational
Katanya anak bungsu itu selalu menemukan surga di rumahnya. Menjadi kesayangan, bisa bertingkah manja pada seluruh keluarga. Semua bisa berkata begitu karena kebanyakan anak bungsu adalah yang tersayang. Namun, tidak begitu dengan Darma Satya Renanda si bungsu dari tiga bersaudara ini harus berupaya lebih keras. Ia bahkan bertingkah semaunya untuk mendapat perhatian yang diinginkannya. Ap...
Konspirasi Asa
2861      995     3     
Romance
"Ketika aku ingin mengubah dunia." Abaya Elaksi Lakhsya. Seorang gadis yang memiliki sorot mata tajam ini memiliki tujuan untuk mengubah dunia, yang diawali dengan mengubah orang terdekat. Ia selalu melakukan analisa terhadap orang-orang yang di ada sekitarnya. Mencoba untuk membuat peradaban baru dan menegakkan keadilan dengan sahabatnya, Minara Rajita. Tetapi, dalam mencapai ambisinya itu...
Gi
1200      696     16     
Romance
Namina Hazeera seorang gadis SMA yang harus mengalami peliknya kehidupan setelah ibunya meninggal. Namina harus bekerja paruh waktu di sebuah toko roti milik sahabatnya. Gadis yang duduk di bangku kelas X itu terlibat dalam kisah cinta gila bersama Gi Kilian Hanafi, seorang putra pemilik yayasan tempat sekolah keduanya berada. Ini kisah cinta mereka yang ingin sembuh dari luka dan mereka yang...
Lullaby Untuk Lisa
5779      1667     0     
Romance
Pepatah mengatakan kalau ayah adalah cinta pertama bagi anak perempuannya. Tetapi, tidak untuk Lisa. Dulu sekali ia mengidolakan ayahnya. Baginya, mimpi ayahnya adalah mimpinya juga. Namun, tiba-tiba saja ayahnya pergi meninggalkan rumah. Sejak saat itu, ia menganggap mimpinya itu hanyalah khayalan di siang bolong. Omong kosong. Baginya, kepergiannya bukan hanya menciptakan luka tapi sekalig...
THE YOUTH CRIME
5040      1420     0     
Action
Remaja, fase peralihan dari anak-anak menuju dewasa dengan dua ciri khusus, agresif dan kompetitif. Seperti halnya musim peralihan yang kerap menghantui bumi dengan cuaca buruk tak menentu, remaja juga demikian. Semakin majunya teknologi dan informasi, semakin terbelakang pula logika manusia jika tak mampu mengambil langkah tegas, 'berubah.' Aksi kenakalan telah menjadi magnet ketertarika...
Bee And Friends
3237      1234     1     
Fantasy
Bee, seorang cewek pendiam, cupu, dan kuper. Di kehidupannya, ia kerap diejek oleh saudara-saudaranya. Walau kerap diejek, tetapi ia memiliki dunianya sendiri. Di dunianya, ia suka sekali menulis. Nyatanya, dikala ia sendiri, ia mempunyai seseorang yang dianggap sebagai "Teman Khayalan". Sesosok karakter ciptaannya yang ditulisnya. Teman Khayalannya itulah ia kerap curhat dan mereka kerap meneman...
Bumi yang Dihujani Rindu
8329      2466     3     
Romance
Sinopsis . Kiara, gadis bermata biru pemilik darah Rusia Aceh tengah dilanda bahagia. Sofyan, teman sekampusnya di University of Saskatchewan, kini menjawab rasa rindu yang selama ini diimpikannya untuk menjalin sebuah ikatan cinta. Tak ada lagi yang menghalangi keduanya. Om Thimoty, ayah Kiara, yang semula tak bisa menerima kenyataan pahit bahwa putri semata wayangnya menjelma menjadi seorang ...
Potongan kertas
948      491     3     
Fan Fiction
"Apa sih perasaan ha?!" "Banyak lah. Perasaan terhadap diri sendiri, terhadap orang tua, terhadap orang, termasuk terhadap lo Nayya." Sejak saat itu, Dhala tidak pernah dan tidak ingin membuka hati untuk siapapun. Katanya sih, susah muve on, hha, memang, gegayaan sekali dia seperti anak muda. Memang anak muda, lebih tepatnya remaja yang terus dikejar untuk dewasa, tanpa adanya perhatian or...